Bahasa ini bisa tumbuh kalau saat ini dicampur dengan bahasa Sunda, Jawa, Madura. Ada banyak ekspresi yang akan jauh lebih bermakna, kuat gitu. Belanda bilang enggak, kamu harus pakai Melayu standar. Jadi bedanya kita dengan penjajahan di Inggris. Inggris menggunakan, British itu menggunakan bahasa sebagai alat untuk menaklukkan orang di India, di Afrika, Prancis juga begitu.
Belanda enggak. Landa itu lebih hebat lagi proyeknya. Dia bikin bahasa Melayu.
Itu bagian dari politik artis. Jadi kalau misalnya orang bilang hari ini, wah kamu gak rasionalis karena berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Yang baik dengan benar itu adalah orang Belanda. Dia yang bikin aturan bahasa. Kemudian dengan segala macam keteraturannya.
Indonesia sebagai satu ide yang dinamis, dia hidup justru dari ledakan-ledakan campur. Perhatikan misalnya novel-novel di tahun-tahun 20-an itu, Belanda Mas. Bahasa Inggris Apapun yang mereka anggap Penting gitu ya Untuk mereka artikulasikan ke dalam Tahu dari mana sih datangnya bahasa Indonesia Apa proses yang membentuk dia Itu kan bukan satu proses natural Orang buala 1928 Mengucap sumpah kemudian rame-rame pakai bahasa Indonesia Bahkan peserta Kongres Pemuda yang melahirkan sumpah pemuda itu Ada yang gak bisa bahasa Indonesia Mereka hanya berbahasa Belanda dan Jawa Sobat Chronicles, selamat datang di episode kali ini.
Saya sangat berbahagia hadir di studio sekarang Bapak Hilmar Farid. Selamat datang Pak Hilmar Farid. Terima kasih, Mas Balus.
Selamat datang di Chronicles. Untuk yang pasti sudah mengenal tapi yang belum mengenal, Pak Hilmar Farid adalah Direktur Jenderal Kebudayaan di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Riset. Dan Teknologi. Dan Teknologi. Dan saya sangat senang karena diskusi pada hari ini akan sangat overlap dengan...
inti sari dari program Chronicles itu sendiri yaitu untuk mencari semacam kejadian Indonesia. Dari mana asalnya, mau kemana perginya, dan saya rasa kebudayaan yang merupakan field of expertise adalah hal yang sangat penting untuk dibahas. Tapi pertama kita ingin mulai dengan, saya ingin tahu Pak Hilmar, apa yang membuat Hilmar Farid? Pak Hilmar terlatih sebagai seorang sejarawan. Sebagai mahasiswa UI di Departemen Sejarah gitu ya.
Tapi kemudian melakukan gelar S3 di NUS di Singapura di bidang Cultural Studies. Ada dua hal yang saya ingin tahu. Yang pertama adalah bagaimana seorang sejarawan itu melihat kebudayaan.
Apakah ada pola pikir yang berbeda dari seorang yang hanya belajar. Mohon maaf kata hanya itu mungkin agak derogatory. Maksudnya hanya seorang yang belajar kebudayaan. Dan yang kedua apa itu lingkup kebudayaan itu sendiri?
Apa itu kebudayaan dan kenapa kita harus peduli? Untuk mulai ya, jadi saya kira kita punya pengertian kebudayaan yang sering dipertukarkan dengan peradaban. Jadi pertama itu dulu.
Kalau kebudayaan sebenarnya pengertiannya sangat luas. Keseluruhan cara hidup. Kalau mau pakai kuncoron ring rat misalnya.
Jadi segala sesuatu ya sebetulnya dan Bentuk kebudayaan kita. Selama dia berulang. Bentuk pola. Kemudian ditransmisikan dari generasi ke generasi. Dan itu luas sekali.
Nah hanya kalau misalnya udah berbicara. Dengan kaitan dengan peradaban. Kita biasanya fokus kepada hal-hal yang kelihatan meningkat. Itu misalnya sistem sosial, politik, ekonominya.
Tingkat pengetahuan teknologi dan seterusnya. Sehingga dia bisa dibilang tinggi rendah. Kebudayaan gak kenal tinggi rendah. Kebudayaan. apa adanya, apapun yang terkait dengan cara kita hidup yang terus berulang membentuk pola kita sebut kebudayaan nah menarik ya bagaimana seorang sejarawan melihat ini biasanya kalau misalnya kajian antropologi sosiologi budaya, ilmu sosial pada umumnya gitu ya, mereka akan fokus pada bidang tertentu, oke masyarakat ini mata pecah harian ini gimana gitu ya apa tuh teknologi terkait pengetahuan dan seterusnya um sejarawan biasanya akan melacak mundur nih dari mana sih datangnya pengetahuan itu ya dari mana sih kenapa mata pancarian itu muncul di tempat itu dan tidak di tempat lain dan pada waktu ini dan tidak pada waktu lain seterusnya jadi kita sangat precise gitu ya berusaha memahami sebuah kebudayaan dalam rentang waktu dan geografis tertentu gitu yang kadang-kadang untuk ilmu sosial dia gak akan mungkin bikin apa namanya pengamatan lintas waktu lintas geografis untuk sampai pada kesimpulan kesimpulan fokusnya lebih teoretik dia ingin mendapat kesimpulan dari berbagai macam pengalaman manusia itu kemudian membentuk konsep-konsep dan seterusnya.
Dan waktu kuliah, ya kita sering tuh, ya, dengan teman-teman dari ilmu sosial, dengan filsafat, gitu ya, untuk tukar pikiran, sering debatnya, gitu ya, untuk, bagusnya itu kemudian menjadi diskusi yang produktif, ya. Saya misalnya skripsi tentang bahasa, it's very unusual, gitu ya. Gak ada yang misalnya mahasiswa sejarah belajar linguistik.
gitu ya, cuman buat saya itu bidang yang menarik gitu ya, untuk tahu dari mana sih datangnya bahasa Indonesia nih gitu ya apa proses yang membentuk dia gitu, itu kan bukan satu proses natural orang wala 1928 mengucap sumpah kemudian ramai-ramai pakai bahasa Indonesia, bahkan peserta kongres pemuda yang melahirkan sumpah pemuda itu ada yang gak bisa bahasa Indonesia, mereka hanya berbahasa Belanda dan Jawa gitu ya, jadi ini kan terkait dengan satu komitmen politik Nah kita, saya dalam skripsi waktu itu tuh belajar mengenai itu. Apa sih komitmen politik, gimana cara membangunnya gitu. Apa ingredients-nya, apa keberpihakan sosialnya, politiknya, dan seterusnya gitu. Dan menemukan bahwa ternyata apa yang nampak di permukaan, sebutlah bahasa Indonesia, sebutlah apa kebudayaan itu, punya sejarah gitu yang sangat-sangat kompleks gitu.
Dan itu hal penting ya yang saya pelajari. Karena waktu itu kuliah di jurusan sejarah, perspektif historis ya terhadap segala sesuatu gitu. Memang sih kadang-kadang kita sering dibilang terlalu empiris ya. Karena sebagai sejarawan di antara ilmu-ilmu kan. Kita gak melahirkan teori misalnya gitu ya.
Kita gak melahirkan apa namanya statement-statement besar gitu ya. Nah spesifik belajar tentang... periode tertentu biasanya atau kawasan tertentu gitu ya.
Tapi belakangan setelah di dalam proses waktu PhD gitu ya ketemu dengan cultural studies kombinasi itu menjadi sangat menarik gitu. Karena cultural studies ini selalu berambisi untuk membuat kayak rumusan theoretical gitu ya. Apa nih terobosannya ya.
Kalau gak ada sesuatu yang baru dia kayak ya ngapain nulis kayak begitu ya kalau cuma hasilnya menambah dokumentasi terhadap apa yang sudah di tulis orang lain gitu jadi ada ambisi theoretical di satu sisi dan tarikan kesininya adalah selalu berusaha menyejarah gitu ya to make it historical gitu dan itu kombinasi yang paling gak ya di lingkungan akademik waktu itu menarik ya karena biasanya orang cultural studies gak terlalu interest gitu apalagi kalau udah mundur sejarahnya cukup lama gitu ya oke sementara buat saya Justru itu kalau mau memahami Indonesia Kita gak akan bisa tuh Kalau gak mundur 3000 sampai 5000 tahun yang lalu Jadi sejarah itu Adalah apapun yang membentuk pola Terakumulasi diteruskan Turun-temurun termasuk Di dalamnya bahasa Bahasa adalah yang penting Seorang sejarahwan ingin tahu Mengapa sesuatu itu demikian Menjelaskan dari mana Muasal dari elemen-elemen Kultur dan seorang Sejarahwan cultural student memberikan teori memberikan teori mencoba menjelaskan fenomena disini ada buku Pak Hilmar saya baca belum habis ini perang suara, bahasa dan politik pergerakan, tadi juga sedikit dibahas tentang tesis dari Pak Hilmar Farid tentang itu, kalau saya boleh bacakan sedikit dari sinopsisnya adalah bahwa bahasa bukan sekedar alat penyampai gagasan yang statis. Lebih dari itu bahasa dalam medan perang bagi gagasan-gagasan. Nah saya mau, ada banyak sekali pertanyaan di sini.
Tapi yang pertama, dari mana bahasa itu, bahasa Indonesia itu berasal dari awal? Tadi Pak Hirmal bilang tentang bahwa pada tahun 1928, bahkan yang merumuskan bersama-sama Sumpah Pemuda itu pun belum semuanya berbahasakan Indonesia. Dari mana bahasa Indonesia itu bisa berasal punya political strength dan disetujui oleh kemajemukan yang sangat besar ini?
Ini ada hubungannya dengan sejarah sastra kita. Karena sastra menggunakan bahasa sebagai alat paling sentral di dalam ekspresinya itu. Dan kalau kita perhatikan sejarah sastra kita, Melayu klasik dalam bentuk hikayat dan seterusnya. sudah ada sejak abad 15, 16 terus berkembang sampai abad ke-19 di akhir abad 19 paruh kedua, abad ke-19 muncul sastra yang berbahasa Melayu dengan format modern novel dan itu sangat signifikan bentuk novel ini kenapa gitu karena dalam novel ini dia akan membuat cerita drama gitu ya mulai dari awal kemudian sampai kepada akhir menghadirkan dunia secara lengkap ya misalnya crime scene ada peristiwa kriminal cerita tuh mulai asal usulnya sampai kemudian closure gitu gimana kasus ini diungkap dan seterusnya sehingga mendapat pengertiannya. Nggak ada dalam hikayat, hikayat selalu kesana kesini gitu ya.
Dia nggak bercerita secara urut gitu ya di dalam satu dramaturgi gitu tetapi dia memberi banyak kesan dan kemudian orang itu sebabnya kayak misalnya karya-karya sastra klasik kita itu nggak dibaca seperti orang membaca buku dari ujung ke ujung gitu kadang-kadang mereka nyanyikan. Kadang-kadang mereka tarikan, kadang-kadang mereka ekspresikan menggunakan si bahan ini untuk berbagai macam ekspresi lain. Novel adalah hal yang berbeda. Novel betul-betul kita individual reader berhadapan dengan askar awal sampai akhir. Itu konteksnya.
Melalui novel ini, semua ide kebaruan itu bisa diakomodasi. Hikayat nggak mampu. Hikayat nggak mampu, lihat misalnya sekarang ini ada kereta api, Ada pabrik berdiri gitu ya.
Dan kemudian ada perang dunia yang sekitar semudian terkait gitu. Harga jadi naik karena barang jadi susah. Ini gak bisa nih. Hikayat gak bisa handle itu. Bukan berarti jelek gitu ya.
Tetapi dia gak didesain untuk itu. Novel itulah mediumnya. Mungkin tidak dinarasikan seperti novel. Tidak dinarasikan seperti novel. Nah novel lebih dekat dengan surat kabar nih.
Dan kalau kita baca karya sastra akhir abad 19. Itu seperti. Perpanjangan dari Surat kabar Jadi artikel surat kabar memberitakan sesuatu Nanti mereka bikin novelnya Jadi kayak semacam dramatisasi Dari Pembunuhan seorang tuan kebun Oleh nyai nya Masuk di dalam koran sebagai berita Novelnya nanti bikin extended version Tentu dengan tambahan rumor dan segala macam Menjadi satu cerita yang utuh Nah ini yang kemudian Bahasa yang berkembang dengan sangat pesat dalam beberapa dekade sampai 1920-an di Sumpah Pemuda itu. Bahasa Melayu yang digunakan di dalam novel.
Belanda sadar ini bahaya nih. Dia tahu persis gitu ya bahwa cerita-cerita seperti ini kalau digeser sedikit masuk katakanlah unsur nasionalisme dan segala macam mereka bisa repot. Sehingga mereka pada tahun 1908 membentuk satu komisi bacaan rakyat yang pada tahun 1917 menjadi Balai Pustaka yang kita kenal sekarang nih.
tugasnya apa? imbangi semua tuh, narasi-narasi yang disampaikan dalam bahasa Melayu, mereka bilangnya bahasa Melayu rendah, dan ini politik bahasa luar biasa, makanya saya kayak fascinated oleh periode itu tuh, ini luar biasa ya mereka gunakan grammar sintaksis, fonetik jadi Nur Sultan Iskandar salah satu editor Balai Pustaka itu sempat mengeluh gitu ya Karena dia bilang bahasa ini bisa tumbuh kalau saat ini dicampur dengan bahasa Sunda, Jawa, Madura. Ada banyak ekspresi yang akan jauh lebih bermakna, kuat gitu. Belanda bilang enggak. Kamu harus pakai Melayu standar.
Jadi bedanya kita dengan penjajahan di Inggris. Inggris menggunakan, British itu menggunakan bahasa sebagai alat untuk menaklukkan orang di India, di Afrika, Prancis juga begitu. Belanda enggak.
Belanda tuh lebih hebat lagi projeknya. Dia bikin bahasa Melayu. Itu bagian dari politik etis.
Politik etis gitu. Jadi 1901 orang namanya Van Afersen bikin riset di Riau, daerah itu, dan kemudian menetapkan inilah bahasa Melayu yang harusnya digunakan. Namanya bahasa Melayu tinggi. Dan itu resmi.
That's official. Nah setelah itu, mau bikin publikasi dan segala macem, ini acuan ini. Oke, sebentar. Saya tuh selalu dibayangkan saya, mungkin ini penerangan baru nih, bayangan saya ya, menjelaskan kenapa orang Indonesia nggak berbahasakan Belanda, tapi orang jajahan Commonwealth gitu, berbahasakan Inggris. Itu karena Indonesia tuh lebih dijajah oleh perusahaan.
Dan dari segi untung-rugi, mana yang lebih menguntungkan? Atau mana yang lebih makan banyak biaya? Ngajarin seluruh orang Indonesia bahasa Belanda, atau ngajarin sedikit orang perusahaan bahasa Indonesia? Tentu yang kedua. maka itu alasan, tapi ternyata ada alasan yang lebih sinister gitu ya, jadi bahwa itu adalah semacam utility tool untuk menaklukkan oke, dan itu memang dilihat Makanya saya bilang perang suara gitu ya, gak kelihatan gitu ya.
Belanda ini mendesain ini dengan sangat serius gitu. Dia kasih tau tuh, ini gak boleh, itu gak boleh. Dan kalau kita perhatikan babat dan segala macem itu mereka tulis ulang kan.
MainSmart itu menulis ulang babat Tanah Jawi oleh dia dibuat menjadi koheren. Koheren artinya apa? Artinya banyak hal di dalam babat Tanah Jawi yang asli, yang sebetulnya merupakan kompilasi dari sekian banyak naskah gitu.
Sehingga mudah dibaca, mudah diikuti oleh logika Eropa. Dengan hal-hal yang dianggap boleh dibaca oleh orang primumi. Jadi mereka tuh bener-bener kayak punya satu pabrik gitu ya.
Pabrik pengetahuan gitu yang betul-betul. Dan itu orang-orangnya well trained. Mereka belajar bahasa lokal gitu.
Kalau kita perhatikan hampir semua pejabat kolonial tuh ahli dalam salah satu bahasa. dan bahkan mereka, ya mereka lah yang kemudian bikin kamus, ya awal-awal ya kamus dari itu, dan ini ada kaitannya dengan issue translatability jadi dia mampu kemudian menerjemahkan alam pikir yang tersebar di mana-mana masuk di dalam sistem kolonial ini hukum adat, sama aja itu Van Vollenhoven yang kemudian menkonstruksi, gitu ya dia bikin, oh ini ada ada satuan-satuan hukum adat menurut pengertian dia gitu ya dan batas-batasnya dia buat oh iya kalau disana ada Batak, ada Madura dan seterusnya, seterusnya, inilah komposisi etnik nah gugus pengetahuan ini diwarisi sampai sekarang nih jadi kita belum sepenuhnya melepaskan diri ini ya dari makanya saya punya sentimen sedikit yang mungkin Noam Chomsky seorang linguis pernah juga berkata walaupun gak dalam konteks jurnal publication bahwa Bahasa itu banyak disalah artikan sebagai semata-mata medium untuk berkomunikasi. Jadi kenapa harus berbahasakan asing atau orang Belanda mau berbahasa Indonesia karena untuk komunikasi?
Bukan. Sebenarnya bahasa itu adalah medan artikulasi pikiran, alam pikiran. Orang kuasai bahasanya, kuasai alam pikiran.
Nah jadi proyek kolonial ini, Balai Bustaka terus, dan ini untuk menjelaskan dari mana datangnya bahasa Indonesia. Pada saat bersamaan tuh ada Kelanjutan dari Projek sastra ini nih Yang tadinya fokus pada Hal-hal yang sifatnya sensasional Tiba-tiba di pergantian Abad kira-kira 1910-1910 Ada orang seperti Tirta Adosuryo Terus Mas Marco mulai menulis 1914 dan seterusnya Dan mereka menjadikan ini sebagai Novel Untuk mengartikulasikan pemikiran-pemikiran sifatnya lebih politis soal persatuan dan seterusnya jadi kalau saya ditanya dari mana datangnya Pak Yusuf Nisya dari ini nih stream yang ini gitu ya dia mengartikulasikan ide-ide kemerdekaan, keadilan dan seterusnya itu melalui novel utamanya gitu ya tapi mulai 1910 sampai 1920-an apa namanya sumpah pemuda itu surat kabar itu tumbuh dengan sangat cepat itu bener-bener kayak apa namanya nah cendawan di musim hujan, itu bener itu kayak kota-kota kecil itu punya korannya sendiri, kadang 2-3 judul gitu di satu kota yang sekarang gak ada koran, gitu ya itu persebar luasannya tuh cepat sekali dan membentuk itu tadi ya, satu medan kesadaran baru yang di portrait Ben Anderson di Imagine Communities ya nge-print capitalism dan kemudian dampaknya terhadap kemampuan untuk membayangkan satu sama lain sebagai bagian dari sesuatu yang lebih besar namanya nation gitu dan itu satu proses yang luar biasa nah sementara yang contending nih si Belanda dengan segala usahanya untuk merapikan ini betul-betul akhirnya menjadi political battle 1924-2526 selama 3 tahun Berturut-turut itu beribut soal percetakan Karena pada akhirnya kan si koran perlu percetakan Belanda tau Udah gak usah larang korannya, gak usah tangkap orangnya Toh kalau mereka ditangkap malah jadi lebih rame Stop aja kertasnya Stop aja percetakan Boykot gak mau mencetak koran-koran itu Dan itu bener-bener kayak Kayak satu proses ya Nah sayangnya Dalam cerita tentang Sumpah Pembuda Ini hilang nih Mhm Dan itu concern saya waktu awal Nulis itu, ini kenapa sih tiba-tiba Orang ngomongin sumpah pemuda ini seolah-olah Ya, nasionalisme Ya, gitu ya Ya memang betul sih salah satunya, tapi kayaknya Memang saya sih Ini mungkin yang tadi Memang buku ini saya lihat Banyak mengambil inspirasi Atau mungkin overlapping dengan Ben Anderson Bahwa bahasa itu Juga terlihat seperti di Indonesia Banyak yang menjamurnya Medium cetak Itu juga paralel dengan apa yang Membuat Eropa pada waktu itu Nasionalismenya tumbuh karena ada Percetakan yang menjamur juga disitu Kelihatannya dari Pak Hilmar, gagasan-gagasan Pak Hilmar tadi Di masa itu kelihatannya orang mengerti baik pihak Belanda maupun pihak Indonesia tentang efikasi dari bahasa, utility bahasa yang bukan hanya semacam medium komunikasi. Tapi saya melihat, correct me if I'm wrong, di level populer di zaman sekarang kita banyak mendengar bahwa bahasa itu hanya semacam cara sesuai dengan sumpah pemuda untuk mengejawantakan nasionalisme.
Justru mencegah orang Indonesia untuk fasi berbahasakan asing atau... memamerkan atau mendemonstrasikan kepiawannya berbahasa asing di dalam konteks Indonesia, banyak orang nyinyir gitu, gimana menurut Pak Hilmar, apakah seorang yang bernasionalismekan Indonesia itu harus memandang bahasa Indonesia dalam kapasitasnya dengan bahasa asing itu seperti apa? ya seringnya kita dengar ya, jadi orang kayak misalnya mempersoalkan ya Dalam pembicaraan sehari-hari tiba-tiba terselip bahasa asing dan seterusnya. Saya kira yang penting dipahami dalam hubungan bahasa dengan nasionalisme.
Nah ini ada seorang ilmuwan lipi Prof. Mohtar Pabutingi, beliau pernah nulis itu, bagaimana bahasa menentukan bangsa. Saya bikin tulisan, complete the opposite. Memang maksudnya mau mengkritik dia Masih zaman kuliah dulu ya masih pelagu gitu ya Jadi semacam kita coba Itu untuk challenge gitu Saya bilang bagaimana bangsa menentukan bahasa Karena Bahasa disini adalah political choice Ya satu pilihan yang dibuat nih Oleh si orang yang Berkumpul menjadi bangsa Dan secara sadar mereka milih ini bukan itu Dan tau kenapa mereka harus milih itu Karena dalam bahasa Indonesia itu bisa mengartikulasikan semua ide-ide yang membentuk apa yang mereka sebut Indonesia itu bangsa menentukan bahasa bukan sebaliknya, bukan secara otomatis karena kita sama-sama berbahasa Indonesia maka membentuk satu bangsa karena kalau misalnya itu kasusnya, kenapa gak ada opsi aja bahasa Melayunya Belanda waktu itu dan ini perdebatan yang muncul lagi nanti tahun 1940-an Orang kayak Khairil Anwar bilang, oh nanti dulu nih. Ini pujangga baru nih yang membuat kita bergerak sangat lambat untuk maju.
Karena mereka menjelaskan kehidupan dengan cara yang begitu panjang dan seterusnya. Dan Nabi Yasin kemudian bilang gitu, ya Khairil ini orang yang mampu merumuskan banyak pikiran rumit dalam dua kalimat yang oleh pujangga baru perlu 200 salaman. Jadi untuk membandingkan caranya Khairil berbahasa nih sebetulnya kelanjutan nih dari bahasa.
Indonesia yang energetik ya di masa awal gitu. Dan itu terus kita alami sebetulnya sekarang gitu ya. Jadi kalau misalnya orang bilang hari ini gitu ya bahwa wah kamu gak nasionalis karena gak berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Yang berbaik dengan benar itu adalah orang Belanda. Iya yang bikin aturan bahasa yang kemudian dengan segala macam keteraturannya. Indonesia sebagai satu ide yang dinamis dia hidup justru dari ledakan-ledakan campur. Perhatikan misalnya. Novel-novel di tahun-tahun 20-an itu, Belanda masuk, bahasa Inggris, apapun yang mereka anggap penting gitu ya, untuk mereka artikulasikan ke dalam gitu, dan mereka jadikan pilihan.
Lihatnya pidato Soekarno. Kita bilang dia gak nasionalis gitu ya. Dia seluruh kehidupannya gitu, dia abdikan untuk coba ngebangun si bangsa ini gitu. Jadi isu itu menurut saya, masih terlalu peripheral gitu, kalau cuman soal satu dua kata dari bahasa asing, nyelip di dalam cara kita berbicara gitu. Iya, iya.
Karena kita bisa mengatakan hal yang sama, dengan bahasa daerah gitu. Banyak orang, bahasa Indonesia, kadang-kadang harus keluar dari bahasa Indonesia, pinjem dari bahasa ibunya gitu, untuk bisa mengartikulasikan diri dengan baik. Yang lebih penting apa nih? Rapi berbahasa, biar kelihatan nasionalis, atau idenya sebetulnya.
Sampai. Iya, betul. Ada dua hal, yang pertama adalah kalau memang seperti di buku ini dijelaskan bahwa bahasa itu adalah juga medan peperangan, medan peperangan ide. Kalau demikian, pertanyaan pertama adalah apakah orang Indonesia secara merata, bukan hanya yang di kota-kota besar, itu sudah bisa mendapatkan akses kepada bahasa itu, bisa menggunakannya, sentimen saya bilang belum.
Dan yang kedua, posisi sebagai regulasi, karena ini kan pilihan sadar, kita berbahasakan ini kan pilihan sadar. Lalu terhadap bahasa-bahasa yang di Indonesia banyak ini, itu harusnya sikapnya seperti apa? Terbuka.
untuk memasukkan setiap elemen bahasa baru dari bahasa-bahasa daerah yang ada. Karena saya kemarin pergi ke kota Mataram di Lombok. Bahkan ngomongnya bukan dengan orang bahasa, ngomongnya dengan seorang dosen di fakultas hukum.
Dia bilang, kalau mau tulis bahasa hukum di sini dengan bahasa Indonesia yang baku, nggak nyampe ke orang. Gimana caranya meregulasi sampah segala macam. Harus pakai bahasa adat, baru dia ngerti.
Artinya seperti apa? Nah itu jadi dua hal yang menurut saya, kalau saya boleh ulangi lagi. Yang pertama, akses yang belum merata ini, untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai tool untuk berargumentasi dan perang gagasan, itu gimana cara mengatasinya? Yang kedua, gimana harusnya sikap kita sebagai orang yang duduk di daerah sentral Indonesia, sentral itu bukan geografi gitu ya, untuk menyikapi bahasa-bahasa yang dinamis. Pak Hilmarat katakan, dinamis.
Oh iya. keduanya terkait ya jadi sekarang nih di pemerintah kita punya namanya badan bahasa ya badan pemilihan pengembangan bahasa sebetulnya ini kelanjutan nih dari bahasa apa institusi yang mengontrol cara kita berbahasa dari masa lalu ya sekarang jauh lebih dinamis, jauh lebih terbuka gitu dan saya kira untuk membuat, membuka akses orang agar bisa menggunakan bahasanya sendiri yang perlu menjadi lebih demokratik di dalam penggunaan sehari-hari gitu ya, jadi misalnya gramatik dan itu terjadi pada bahasa-bahasa di Eropa, Belanda ini terus aja melakukan pembaruan ya, membuat dia menjadi lebih mudah dibandingkan katakanlah 50 apalagi 100 tahun yang lalu kita ini menuju ke sana gitu ya cuma saya kira PR-nya masih banyak sekali gitu ya Untuk bisa memberi ruang misalnya pada ekspresi-ekspresi lokal. Karena secara gramatik sintaksis misalnya.
Indonesia Timur agak beda tuh. Dengan orang berbahasa Melayu di Sumatera. Jadi hal-hal kayak begini mesti kita mulai pikirkan.
Tapi kalau buat saya membuat regulasi, membuat tata bahasa baru dan segala macam itu satu hal ya. Tapi mulai memberikan keluasa. di media, dalam pembicaraan seperti ini misalnya, itu mungkin jauh lebih mendesak.
Jadi kalau boleh saran, terutama teman-teman yang kerja di media, kalau buat saya, buka itu kemungkinan. Kemarin kalau nggak salah, ada artikel bagus dari Amundudin Seregar tentang kebudayaan di Kompas. Dia memberi, Kompas memberi ruang untuk dia mengekspresikan dengan bahasa yang lebih kolokial.
Gitu ya. gak berarti itu pasti nyampe ke orang yang tadi kita bicarakan gitu ya tapi yang seperti ini nih sangat penting gitu ya dan kalau sekarang ini bahasa lokal yang jumlahnya banyak sekali tantangannya mungkin lebih banyak apa kontribusi dia terhadap bahasa Indonesia yang terus berkembang ini ketimbang misalnya kita memuri preservasi gitu ya melestarikan dan seterusnya gitu ya Tapi memikirkan apa hubungan dia ya, kontribusi dia terutama terhadap bahasa Indonesia. Dan kalau kita lihat di Dewan Istilah gitu ya, jadi mereka-mereka yang menciptakan entry kamus, lemah di kamus, dan seterusnya itu, terus aja nyari ini sebetulnya.
Ekspresi-ekspresi lokal yang jauh lebih mengena gitu ya pada gejala yang coba direpresentasikan oleh si kata tersebut gitu. Dan itu ya kerja keras, tapi saya kira tadi ya. Membuat semua ini di satu hal, tapi mempopulerkan di media tuh mungkin yang lebih urgent.
Cara pandang, karena ini ada tantangan. Sekarang dunia sangat interconnected. Ini tantangan praktisnya.
Mungkin di zaman pada waktu bahasa Indonesia pertama kali diinaugurasikan sebagai bahasa nasional, dunia belum se-interconnected itu. Sekarang tantangan kita banyak geopolitik. Sedangkan kalau kita imajinasikan Indonesia sebagai tubuh yang utuh, kelihatannya bahkan otak... mungkin otak itu mungkin ada di Jakarta semata-mata hanya karena dia pusat pemerintahan, itu belum bisa secara efektif ngomong dengan Jadi kelingking Tapi kemudian Si tubuh ini punya tantangan eksternal Itu pertanyaan pertama Jadi Pandangan Pak Hilmar tentang Urgensi dari Kita harus sebenarnya Secara motorik itu kita mungkin namanya Batas anak bayi gitu loh Masih baru bisa jalan kayak begitu kan Sedangkan tantangan ke depan itu Sangat eksternal sifatnya Nah yang kedua Bahasa Indonesia sendiri, misalnya Indonesia semua dari ujung Sabang sampai Merauke bisa berbahasa Indonesia secara fasi.
Akses kepada bahasa itu sudah sangat merata. Bahasa Indonesia sendiri dibandingkan dengan bahasa asing. Pak Hilmar lahir di Jerman. Pak Hilmar fasi berbahasa Jerman.
By the way, meine Frau ist eine Deutsche Messe. Oh ya? Yes.
So, poinnya begini. Orang Jerman bahasanya mungkin correct me if I'm wrong ya. Itu sangat-sangat mengikat.
Sangat-sangat saya kasih contoh mungkin seperti ini. Verb atau kata kerja keduanya itu selalu ditaruh di belakang. Jadi misalnya saya mau bilang. Saya mau makan di restoran yang enak nanti sore jam 7 kalau tidak hujan.
Jadi saya sambil ngomong, sambil mikir Agak sulit melakukan itu dalam bahasa Jerman Karena kata kerja keduanya ada di belakang Jadi sebelum dia ngomong Dia harus tahu persis apa yang dia ngomongin Betul kan, seperti itu kan Nah itu membentuk Makanya saya, oh pantesan Saya ngomong ke istri saya, pantesan kamu gak terlalu lucu Karena gak bisa bikin becandaan Sambil mikir gitu, orang Indonesia bisa Seperti itu, bahasa Inggris pun juga bisa begitu kan Nah dengan begitu bakunya Bahasa Jerman diformulasikan Makanya sangat efektif dalam membentuk Hal-hal seperti undang-undang Atau hal-hal yang tidak ambigu Dalam segi waktu Karena artikelnya sangat mengikat Dari segi waktu, bahasa Indonesia enggak Nah pertanyaan saya Di dunia yang interconnected ini Bahasa yang seperti Indonesia, Pak Hilmar melihatnya Bisa enggak bersaing Kalau memang bahasa itu ditempatkan Sebagai medan pertempuran, bersaing Dengan bahasa-bahasa yang sangat-sangat grammatically very constrained. Reject dan segala punya. Yang Jerman salah satunya.
Buat saya, ini bicara lagu besar ya. Buat saya, kalau kita perhatikan bahasa Jerman akarnya ke bahasa Latin. Betul tadi ya. Dengan injeksi yang sangat kompleks gitu ya. 6 persona itu punya verbanya masing-masing.
Dan ya, tau kan. dia adalah bahasa yang tumbuh bersama peradaban modern kita bahasa Inggris juga sama itu nasibnya ya, kalau kita balik lagi ke opiermanik dan sejarahnya dia juga jatuh bangun untuk bisa sampai ke sekarang nah sementara dan itu maksudnya kenyataan yang kemudian dihasilkan oleh si bahasa bahasa kan juga ikut membentuk realitas jadi yang dihasilkan adalah peradaban modern yang kita lihat sekarang nah kalau misalnya sekarang ditanya apakah Indonesia bisa bersaing kalau misalnya ranah persaingan adalah peradaban modern dengan sains dan segala macem itu kita diekor walaupun pernah ada proyek ambisi dari Sultan Takdir ala Syabana terjemahkan sebanyak mungkin, lihat Jepang ya nah Mereka bisa mengejar ketertinggalan dan bahkan kemudian menyusul gitu ya. Karena mereka melakukan transfer pengetahuan secara masif gitu ya. Selama berdekade gitu. Kita gak pernah terlalu serius menanggapi seruannya Sultan Takdir ini gitu ya.
Unfortunately gitu ya. Tetapi saya juga pikir kalau misalnya sekarang kita lihat. Peradaban modern kan memperlihatkan batas-batasnya nih.
Gitu ya. Sepanjang abad 20. Perang Dunia pertama, Perang Dunia kedua As a product of modernity Fascism, sistem politik Yang gagal untuk membangun Dengan segala mimpi modernnya itu Kerusakan lingkungan hari ini Semua adalah akibat Peradaban modern yang mengambil jarak Dari alam Berusaha menguasai dan seterusnya Jadi ada banyak sekali keterbatasan yang diperlihatkan Oleh peradaban modern Dengan si bahasanya itu Sekarang Kalau kita lihat, dan ini ada hubungannya dengan pertanyaan pertama tadi gitu. Gimana kita melihat Indonesia.
Yang tubuhnya tuh boleh dibilang ya bayi baru bergerak. Ya karena selama ini juga cara pikir yang menurut saya gitu ya. Sangat terbatas itulah yang digunakan untuk memotret Indonesia yang kompleks.
Gak pernah bisa dia betul-betul memahami gitu ya. Secara utuh keindonesiaan ini. Ketika dia bersandar pada pengertian-pengertian.
Konsep, teori dan seterusnya gitu. Yang lahir dari rahimnya peradaban. Modern di barat sana gitu. Dan ya saya gak bilang bahwa ini barat timur seperti debat-debat di abad ke-20 gitu ya. Tapi gimana caranya mempertemukan ini?
Hal pertama menurut saya gitu ya, pahami dulu deh. Indonesia ini dengan segala kompleksitas. Paling basic. Indonesia kenapa Jakarta menjadi pusat, Jawa menjadi pusat? Ya karena cara berpikirnya kontinental.
Ya. Dia berusaha memahami. selalu menjadikan tuh, lihat Cina, peradaban besar, lihat India, Eropa, dan segala macam semuanya kontinen, kenyataan kita, kita satu negara arkipelagik, jangan diterjemahkan jadi kepulauan ya, karena arki dan pelagos, lautnya yang utama, dan kalau kita perhatikan batas sering keliru ya, kita lihat Indonesia, potretnya pulau-pulau enggak, mestinya kalau misalnya bilang Indonesia, potretnya lautnya di dalamnya ada Pulau-pulau.
Ini yang sangat indah menggambarkan, merumuskan ini Profesor Lapian, sejarawan maritim. Dia bilang Indonesia itu adalah sebuah negeri yang wilayahnya lautan ditaburi pulau-pulau. Jadi lautan itu bukan pemisah.
Bukan pemisah. Itu dia bagian dari itu. Nah, seberapa jauh kita paham mengenai laut kita, potensinya, apa yang dia mampu kontribusikan, bagaimana cara mengelolaknya. Bagaimana seharusnya kita mengoptimalkan Laut dan seterusnya itu Kalau lihat pembangunan selama 79 tahun Indonesia merdeka belum Bahwa bolak-balik ada seruan Gustur bilang kita negara maritim Pak Jokowi bilang bahwa Kita terlalu lama menghubungi laut Dan seterusnya gitu At a rhetoric level gitu Oke kita udah punya tuh Kayak sense bahwa ini harusnya Kita berpikir maritim Tapi ternyata Kalau misalnya kita lihat di dalam praktek strategi pembangunan, lihat dokumen Bapenas, dan seterusnya.
Itu belum nampak betul. Dan memang salah satu problemnya adalah pengenalan terhadap si Indonesia yang sangat kompleks. Ini yang sangat terbatas, mesti kita akui. Kita praktis tahu sangat sedikit mengenai Sulawesi bagian timur.
Jangan-jangan nyebut kota di Angara di sana aja, kita masih kayak kira-kira gitu. Dan saya sering... Di kelas dengan mahasiswa.
Tanya kalian tau gak. Kepulauan Sula itu dimana. Ide nya bukan untuk.
Bukan untuk apa namanya. Geografi gitu. Tapi untuk kasih lihat gitu bahwa.
Sebetulnya mentally gitu. Kita ini gak. Gak utuh memahami.
Jadi gak heran kalau kemudian dia. Geraknya masih kayak bayi. Walaupun udah 79 tahun gitu ya.
Karena gak semua. Organ yang dia miliki itu dia pahami dan dia bisa gerakan. Si otak ini sangat terbatas kemampuannya.
Kenapa ya? Karena tadi. Karena pengetahuan yang basisnya adalah sistem pengetahuan modern dari peradaban modern. Nah yang coba kita lakukan sekarang ini mulai memberi perhatian lebih luas pada pengetahuan vernacular.
Jadi apa sih yang sebenarnya tumbuh di dalam proses kebudayaan sejarah. Tadi makanya saya bilang harus mundur 3.000-5.000 tahun. Bukan hanya, apa namanya, for the sake of explaining kenapa sesuatu menjadi begitu. Tapi di sini kita bisa tap. Tentu kalau kita perhatikan sistem pertanian, kalau sekarang laporannya dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kita punya 22 ekosistem.
Bagaimana masyarakat yang tumbuh di ekosistem mengembangkan pengetahuannya, dan seterusnya. Itu yang sekarang... di Direktur Jenderal Kebudayaan kita berusaha dokumentasikan dan riset semacam itu dilakukan, sudah cukup lama tapi yang kemudian mengumpulkan menjadi satu repository pengetahuan, nah ini masih PR sampai sekarang, agar menjadi apa?
agar menjadi accessible bahkan repository-nya pun masih PR, apalagi untuk melihat itu dan mempelajarinya betul, makanya saya selalu bilang dan saya pernah bilang juga dalam diskusi dengan Pak Hilmar adalah bahwa lingkup kebudayaan menjawab pertanyaan saya yang paling pertama itu sebenarnya jauh lebih luas dari sekedar adat istiadat dari sekedar kesenian tarian-tarian seperti itu Buku ketiga Pak Hilmar, kalau tidak salah buku ketiga, itu adalah Rewriting the Nation. Ini masih nyangkut juga dengan buku pertama. Rewriting the Nation, Pramudia and the Politics of Decolonization jadi ini melihat tentang kegagalan, correct me if I'm wrong Independent Nation State di Indonesia, untuk mentransformasikan image post-colonial dia, karena kurang dapat bukan kurang dapat berimajinasi tapi kurang dapat mungkin mentranslasikan imajinasi yang sama kepada seluruh orang Indonesia begitu.
It's also Ben Andersonian. The way of thinking, right? The imagined community. Dan tapi yang menarik disitu adalah bahwa imaji itu diusung oleh literatur. Oleh karya literatur, makanya ada Pramodya, Anantathur, segala macam gitu kan.
Saya lebih camp-nya tuh lebih ke Weberian gitu ya. Yang maksudnya dalam hal bahwa Kultur itu membentuk material world Dibandingkan mungkin dengan sentiment Marx Bahwa itu sebenarnya sebaliknya Jadi di Jerman misalnya Karena saya pernah tinggal disitu juga Buku literaturnya mungkin yang paling Dianggap paling tinggi dalam serata literatur itu mungkin Goethe's Faust Faust gitu Saya Suka mengambil contoh ini. Bahwa begitu berimpaknya imajinasi orang Jerman akan kejermanannya. Dari literaturnya. Maksudnya bukan hanya sekedar.
Oh saya tahu tentang etika segala macam. Oke itu bagus ya. Seperti halnya Hamlet itu.
Menjadi landasan etika bagi anak-anak Inggris. Tapi ketika seorang direktur Central Bank. Di Jerman namanya Jens Weidmann pada waktu itu.
Dia berdebat dengan. European Central Bank dan pada itu bahkan melawan Angela Merkel sendiri untuk jangan cetak duit, ya kan dia mensitir part 1 dari karya Faust itu dia bilang bahwa seorang setan pada waktu itu Mepistopheles, dia bilang dia seorang setan ini mencoba untuk merayu sang raja untuk terus mengeluarkan proyek-proyek yang mahal dengan cara mencetak uang cetaklah uang kertas Jadi saya melihat bahwa literatur itu membentuk sekali bahkan di dunia praktis seorang direktur central bank itu bisa mensitir literatur Jerman yang membuatnya menjadi landasan bertindak. Apakah Indonesia punya literatur bukan sekaliber itu dalam hal canggihnya di segi literatur, tapi sementara daging itu sehingga bisa menjadi semacam acuan bagi seorang Indonesia bukan hanya di segi etik tapi dalam bertindak di level praktis sentimen saya bilang kita punya salah satunya mungkin laga ligo atau ananda turda, tapi belum dipahami untuk Indonesia sebagai sebuah kolektifitas saya setuju belum sebagai kolektif belum? untuk bagian-bagian dari kolektif besar itu cukup banyak dan medara daging, wayang nah itu kuat sekali ya dan itu um berkembang selama, untuk waktu yang cukup lama, dan ya pengaruhnya sangat besar gitu tapi yang kemudian naik ke level itu tuh ya, yang bisa menangkap imajinasi publik itu praktis setelah tahun 20-an, 30-an sedikit, dan ya waktu itu juga tingkat kemampuan membaca rendah sekali tahun 1930 sensusnya bilang hanya orang bisa baca gitu ya, huruf latin jadi praktis gak ada cuma kalau misalnya kita mau cari dalam literatur Islam itu saya kira kita bisa menemukan kitab-kitab yang cukup sentral ya di dalam pembentukan Islam di Indonesia ini dan itu kita pernah ada proyek di kementerian gitu ya, coba dong bikin kompendium gitu ya, dari teks-teks yang dianggap sentral gitu ya mau kerjasama dengan teman-teman di Universitas Nadalatul Lama gitu ya mau bagus sekali untuk kasih lihat gitu, sebetulnya ada naskah-naskah yang cukup sentral bukan hanya soal syariah gitu tapi juga bagaimana menentukan tatanan sosial dan seterusnya, jadi isu-isu itu masuk, jadi kalau boleh saya bilang sekarang ini kita terus masih dalam proses gitu ya sastra itu menjadi bagian yang penting tapi kita mesti ingat sekarang sudah masuk dalam satu era dimana media audiovisual digital itu memainkan peran cukup besar jadi mulai harus memikirkan gimana caranya merespons perkembangan disini ya tentu ya kita tahu kita gak kerja di dalam satu ruang hampa ya selalu ada macem-macem arus informasi yang masuk ke kita gitu dan sekarang tantangan paling besar sih sebetulnya itu dan ada isu representasi juga kita mau ambil dari khazanah mana Indonesia begitu diverse gitu ya dan itu kayaknya susah untuk bilang bahwa ya ini merepresentasi ini kita semua gitu ya kecuali kalau masuk ke dalam pidato-pidato politik yang lulu-lulu bicara tentang kedegaran dan seterusnya tapi kadang-kadang uninspiring kan si Direktur Bang gak akan menyitir pidato siapa dan seterusnya pasti akan ambil karya sastra karena itu yang masuk ke dalam kesadarannya adi ya, nah kita karya sastra yang betul-betul representasi pengalaman kolektif memang tidak mungkin satu Jadi kita bicara tentang satu set atau satu gugus karya yang bisa merepresentasi keragaman Indonesia itu. Makanya saya pernah ditanya, kalau misalnya orang Indonesia mau dibawa maju, maka anak-anak Indonesia harus belajar apa yang utama yang paling itu.
Pada waktu itu dengan kenaifan saya, saya bilang harus belajar matematik. Karena matematik adalah self-taught. Evidence, self-proving, segala macam, sains, teknologi.
Tapi makin lama saya berpikir kemarin mungkin untuk konteks Indonesia harusnya adalah kemahirannya berliteratur, berbahasa, baik secara verbal maupun penulisan. Seperti itu. Dan saya sayangkan memang ketika isu-isu seperti ini lahir di permukaan di media populer selalu agak sensitif tuh.
Ada kesan bahwa memanifestasikan ke daerahannya itu otomatis kemudian bertentangan dengan isu. kesatuan. Jadi selalu dibenturkan dengan itu. Oke. Pak Hilmar, saya pernah lihat juga talks Pak Hilmar di TEDx tentang wisdom custodian.
Nah ini dimana Pak Hilmar menjelaskan ada beberapa teknologi-teknologi lokal yang kemudian dianggap sebagai logika mistika. Tapi kemudian di Cina itu dikultivasi, bahkan punya nilai ekonomik yang besar. Hal-hal seperti cupping, krokan, gitu ya.
Bahkan atlet-atlet besar, seperti Michael Phelps, yang berenang dengan medali begitu banyaknya, masih menggunakan itu. Dan orang Amerika tentu bukan orang logika mistika, dalam hal level Olympics. Nah kita ini banyak. Oke lah, saya tahu. Banyak sekali dan di Chronicles kita sering bahas itu bahwa ada teknologi DNA segala macam yang membumi dari Indonesia.
Permasalahan saya bagaimana kita mengintegrasikan itu dengan metodologi sains. Karena begini Pak, oke mungkin ada efekasi yang sangat dahsyat dari ngerok. Ngerokin orang dengan minyak kayu putih segala macam. Tapi ketika ibu saya bilang, wah ini istri kamu hamil.
perutnya kotak, berarti anak laki-laki itu kan belum tentu benar ini pasti, oh nangis ya berarti dia mau adek nih jadi gimana supaya kita dalam memajukan wisdom lokal itu tidak terjerembab ke kemudian segala hal yang wisdom itu dianggap scientific, gimana Pak Hilmar menarik batasnya gitu loh dengan mengintegrasikan metodologi science Untuk menilai mana yang perlu dikultivasi sebagai hal yang scientifically sound, dan apalagi punya nilai jual ekonomi, mana yang mungkin belum. Sebagai titik berangkat, keduanya, pengetahuan vernacular, modern science, harus keluar dari batas yang mereka buat sendiri. Bisa menjelaskan itu?
Pengetahuan vernacular, ya tadi. Pokoknya apa yang saya tahu dari orang tua dan segala macam mesti benarnya. Ya karena sudah teruji dari waktu ke waktu dan seterusnya.
Ya belum tentu benar. Dan demistifikasi ini penting sekali untuk dilakukan. Contoh misalnya sekarang orang bilang baju batik nih.
Wah sudah tradisi Indonesia. Nggak ada orang pakai baju batik 100 tahun yang lalu. Batik itu dipakainya di bawah. Kalau dia diangkat ke atas namanya sudah pembaruan. Apa yang memungkinkan pembaruan terjadi?
Jadi all this history akan bisa membantu kita menjelaskan secara lebih benar. Dari mana sih datangnya yang disebut tradisi ini. Kita tahu persis ada banyak Tradisi yang dibuat Yang dicari-cari dibuat-buat Di zaman sekarang disebutnya Adat lah disebut ini dan seterusnya Kemudian menjadi seolah-olah nih dari time memorial gitu enggak gitu ini ada sejarahnya lagi-lagi ini sejarah jadi penting gitu modern science juga sama gitu dia membuat claim kan bahwa ini pengetahuan science dan segala macam lupa kadang-kadang pada akar vernacular dan kadang-kadang bahkan mengabaikan atau sedikit menutupi gitu ya karena dia bilang ini harus betul-betul di uji dan seterusnya Dan di dalam modern science seperti yang tadi kita bahas gitu ya, ada banyak sekali keterbatasan kalau udah ketemu dengan ethics. Apa sih value yang kamu, oh kita value free. Matematik, gak perlu dibatasi dengan, ya betul gitu ya.
Untuk menghitung kamu gak perlu tahu bahwa apakah ini untuk baik atau buruk. Buruk surga atau enggak. Ya tapi ini semua kemudian mau apa dengan itu. Dan itu kan balik ke Jerman dengan filsafat Jerman.
Seluruh projeknya. Frankfurt der Schule si masa Frankfurt itu kan itu ketika dia menyadari bahwa gila ya ternyata kita menghasilkan authoritarian personality bertanggung jawab batas perang indimensional menshnya si Makuse semua bicara tentang projek apa problem-problem ini gitu jadi mereka sebenarnya udah melakukan kritik diri ini gitu ya kemudian ada teori postkolonial segala macam gitu yang membantu meramaikan Pembicaraan ini, tapi akarnya Mulai menyadari keterbatasan dari yang Disebut modernity Yang disebut sains dan seterusnya Menjadi lebih humble Untuk kemudian menyadari Iya ternyata ada juga yang kita gak ngerti Di dunia ini Nah kalau keduanya bisa keluar Dari cangkangnya itu Maka ada basis kita untuk ketemu Nah itu tentu Lebih mudah dikatakan daripada dilakukan Tetapi Project seperti ini sebetulnya udah mulai bertumbuhan nih di banyak tempat. Di Garut ada teman Nisa namanya, dia bikin pesantren ekologi. Dan dia mengkombinasi pengetahuan-pengetahuan lokal mengenai ekosistem yang ada di Garut itu.
Tujuannya untuk apa? Untuk bikin pertanian yang menghasilkan. Prinsip-prinsip agroekologinya dia pakai. Dia gak sendirian, ada banyak sekali nih projek-projek tersebar di Indonesia.
Seperti ini. Dan itu saya kira bibit nih. Kalau kita mau bicara gimana sih caranya mempertemukan gitu ya.
Yang saya tahu teman-teman di Lippi mereka punya museum etnobotani juga arahnya ke sana. Mulai menyadari ya bahwa sebetulnya banyak sekali ya katanya informasi yang dikumpulkan dari macam-macam suku bangsa kita ini. terkait dengan tanaman gitu yang sangat membantu kita untuk berpikir tentang industri farmasi misalnya gitu ya. Dan banyak isu seperti itu. Jadi prakteknya tersebar saya kira yang belum mungkin dan saya gak tau apakah diperlukan atau tidak kayak Kunian Revolution untuk mengubah paradigm ini gitu ya.
Apakah perlu atau enggak sih gitu ya. Di zaman sekarang kita datang lagi dengan satu statement bahwa atas-atas dari modernity dengan segala macam paradigma berpikir modernnya itu harus dibantu untuk keluar nih dari problem yang dihadapi oleh dunia sekarang ini. Buat saya momentumnya ada COVID-19. Ancaman perang nuklir yang kita gak tau nih.
Climate change. Dan semua isu yang sebenarnya udah membentuk nih konteks untuk orang mulai keluar betul-betul genuinely ya. Jadi bukan cuman sekedar dekorasi bilang kita juga Taruh perhatian terhadap indigenous knowledge. Dan seterusnya gitu.
Tapi betul-betul menyadari bahwa. Enggak ini harus ada ya. Perubahan gitu ya. Untuk di tingkat pemikiran gitu ya.
Untuk menjawab persoalan-persoalan yang kita hadapi gitu. Indigenous knowledge ini mungkin banyak orang salah artikan. Oh ini dipercayai secara turun-temurun.
Maksud saya untuk knowledge menjadi knowledge. Itu belief proven gitu ya. Yang punya efekasi di dunia praktik. Maksudnya kita pernah bicara tentang subak sistem energi di Bali gitu ya. Punya keistimewaan dalam hal mengatasi masalah praktis bahkan punya resiliensi yang tinggi terhadap hama segala macem.
Jadi itu kan bukan ya masalah dongeng itu masalah bahwa orang Bali mengerti sesuatu yang orang bukan Bali tidak mengerti. Dan punya efek asli untuk menyelesaikan masalah gitu ya. Tadi Pak Hilmar juga bilang tentang paradigma, tapi kemudian, wisdom-wisdom kayak gitu, kemudian dimasuki oleh kemudian, saya bilang, sains modernitas yang membabi buta.
akhirnya semuanya hilang, tapi kita nerima aja paradigma itu, saya juga pernah dengar Pak Hirman bilang bahwa kita tumbuh menjadi bangsa yang nerimo gitu ya, mungkin itulah mengapa local wisdom itu selalu teredam, saya punya teori mengapa Indonesia gak keluar walaupun ada banyak momentum untuk tadi Pak Hirman bilang climate change segala macem climate change itu masalah dimana sains itu berbenturan dengan etik dulu di masa sebelum modernitas masyarakat Di masa modernitas orang berpikir bahwa Alam semesta itu buas Chaotic Human adalah driving force Yang memberikan kebudayaan Kepada gitu Tapi sekarang di era postmodernis Orang menganggap bahwa alam itu adalah Seorang perawan yang suci Manusia adalah penyakit Gitu kan Nah ini kan seharusnya momentum Bagi orang Indonesia untuk punya Saya bilangnya moral kapital Untuk bilang ke dunia bahwa Kita adalah alam semesta. Kita tahu bagaimana untuk mengatasi masalah. Masalah yang benar.
Seperti perubahan klinik. Kita punya landasan etika segala macam. Tapi kungkungan paradigma ini, saya pendangkan Pak Hilmar gimana caranya mengatasi supaya kita tidak selalu keluar dari inferioritas.
Saya punya teori. Karena saya dilihatnya dari segi sains. Ada cabang ilmu yang disebut epigenetics.
Jadi intinya adalah apakah trauma sosial itu dapat diteruskan secara genetik ke anak. Jadi premisnya adalah kalau demikian, maka ketika Indonesia dijajah dalam serata sosial selalu ditaruh di bawah, selama beratus-ratus tahun, tidak bisa tidak, maka epigenomnya itu, yang bukan hanya sekedar warna kulit segala macam, tapi trauma sosialnya, itu diteruskan turun-temurun, sehingga kita tidak bisa tidak terkungkung di dalam genetika kita. Terkungkung.
untuk selalu merasa inferior. Itu teori saya. Setuju.
Saya sempat ngomong soal ini ketika ada peluncuran bukunya Mbak Isna. Itu Sapaan Sanggiri novel. Yang agak unik novel itu karena bercerita tentang perbudakan.
Di masa kolonial, bagaimana ratusan orang dari Nusantara ini kemudian sampai ke Afrika Selatan. Satu koloni budak. novelnya historis gitu dan saya bilang di dalam acara itu bahwa jangan dikira ketika perbudakan selesai kemudian kultur yang lahir dari periode perbudakan gak terbawa sama kita gitu ya dan saya bilang manifestasinya kadang-kadang sederhana saja, kadang kita kalau berhadapan dengan orang yang kita anggap superior itu langsung tuh menempatkan dirinya di bawah dan dan ya ini warisan kita juga gak tau datangnya dari mana tiba-tiba saya refleks aja cengengesan, terus gak tau mau ngomong apa saya kadang-kadang suka berpikir, kenapa orang Indonesia ya, kalau foto baris, pasti tangannya begini mungkin itu semacam kayak alam bawah sadar dia, karena waktu saya lihat foto-foto zaman penjajahan yang orang Indonesia abdi, belakang tangannya begini sorry saya potong tadi Dan betul, manifestasinya gak selalu artikulasi dalam secara kognitif kan.
Itu munculnya dalam berbagai macam gesture. Dan ya saya kira kalau bicara tadi ya, bagaimana kemudian si paradigma ini bisa keluar gitu ya. Beban yang berat dari yang vernacular itu adalah keluar dari keterkungkungan tadi itu, kulturalnya itu.
Karena dia diderah kan selama ratusan tahun kamu. Cukup lah segala macam. Pokoknya gak punya harga gitu ya. Kalau bahasanya Bung Karno. Kalau pidato-pidatonya.
Dibilang kita dianggap bangsa kurang karat katanya. Oke. Karat diamond gitu ya. Jadi padahal sebenarnya ada banyak.
Cuman dia gak teruskan. Kemudian apa yang berharga dari kita. Dan apa yang bisa dipersambungkan.
Nah saya lihat ya. Ini berpikir lebih praktikal. Dialog diantara. komunitas ilmiah yang merepresentasi dua paradigma ini sebenarnya sangat perlu untuk dilakukan misalnya waktu World Water Forum yang diundang Elon Musk terus kemudian bicara apalah proyek-proyeknya dia gitu ya saya waktu itu bilang itu alangkah sayangnya ya World Water Forum dihadiri begitu banyak kepala negara, satu forum yang juga sangat sentral karena isunya terkait dengan problem-problem yang tadi kita bicara seandainya saja pemangku dari pura batur yang paling tinggi di dalam sistem subak dan juga di dalam kebudayaan, diberi tempat untuk bicara itu akan mengirim pesan yang sangat kuat bahkan dia gak perlu berbahasa Inggris dan seterusnya ya di dalam bahasanya dia kita beri kemudian akses bagi orang untuk bisa mengerti apa yang dia katakan percakapan seperti ini yang saya kira ini sangat-sangat penting dan banyak sekali di level yang lebih katakanlah praktikal gitu ya saya membayangkan misalnya karena di catatan waktu saya terima ada soal fenomenologi bayangkan persahabatan orang yang belajar Husserl berada di Heidegger kemudian ketemu fenomenologi ketemu dengan falsafah alam Minang contoh Husserl bilang zu den Sachen selbst Jadi kalau mulai memahami sesuatu, apa yang ada pada benda itu kita terima tanpa ada prejudis kan.
Terima dia seperti adanya. Heidegger kemudian pinjam dari Yunani Aletheia. Biarkan kenyataan itu nampak. Dia menampakkan dirinya kepada kita si penerima ini.
Apa itu kalau bukan alam terkembang jadi guru? Dalam falsafah minat kan. Dan ini kan percakapan yang sangat mungkin terjadi nih.
Dengan ini metafisik ontologi oke. Mungkin satu dua kali perlu ada forum untuk menyamarkan frekuensinya. Tapi saya kira akan jadi percakapan yang sangat produktif gitu ya.
Nah hal-hal yang kayak begini saya kira sekarang ya. Apalagi sekarang kalau Sultan Daktir mengusahakan ini tahun-tahun 80-an. Mungkin pada saat itu orang belum lihat. Dan berpikirnya masih dalam barat timur polemik kebudayaan tahun 30-an gitu.
Sekarang isunya udah beda nih. Situasi dunia juga udah beda. Ada kebutuhan bersama. Yang disana juga udah tau ya bahwa ada banyak sekali problem keterbatasan mereka berpikir. Makanya banyak yang juga kemudian cari kebajikan-kebajikan di Asia.
Ketimpangan ekonomi sosial. Ini semua konteks yang saya kira dan Indonesia bisa mengambil peran yang sangat. Sentral di dalam urusan ini Sangat-sangat sentral Saya sayangkan narasi-narasi Populer seperti Oh kita negara besar Tapi ngomongnya ke dalam, ke internal gitu Kita menguliahi bangsa kita sendiri Akan betapa besarnya bangsa kita Tapi di forum-forum eksternal Seperti World Water Forum Seperti itu, gak ada yang keluar Kebesaran kita, kebesaran Wisdom orang Bali Orang Minang, gak keluar disitu Tapi kita menguliahi orang kita sendiri Kita bangsa besar Si nyalir saya itu hanya untuk meredam Semacam kritisisme Itu yang agak saya sarankan Tapi oke Saya mau Di bab terakhir ini saya mau Melihat pandangan Pak Hilmar tentang Oke kita sudah tahu Lingkup dari kultur Pentingnya kultur dalam membentuk Bukan hanya Cara bertindak sebuah bangsa Tapi caranya menyikapi Post-colonial projection di dunia Pentingnya ilmu pengetahuan, adanya momentum di dunia sekarang untuk Indonesia bertindak dan ambil peran sentral bagaimana kemudian kebudayaan ini diregulasi yang kemudian akan dibirokratisasikan dan kemudian pasti akan tumbuh di dalamnya secara inherent konflik kepentingan, politisasi pendanaan yang terbatas segala macam gimana nih di level praktis Supaya yang sebegitu pentingnya hal yang seperti kebudayaan itu bisa dimasukkan dalam struktur birokratis. Direkturat Jenderal Kebudayaan itu tugas fungsinya yang ditentukan yang selama ini sebelumnya itu dijalankan sangat mengikuti apa yang digariskan oleh UNESCO. Jadi fokusnya terhadap...
arts, heritage, ya seni dan warisan budaya, warisan budaya ya cagar budaya, kemudian juga yang intangible itu, kayak ranahnya yang ditangani oleh si bidang kebudayaan itu untuk, dan itu tentu lahir dari satu proses tadi ya paradigma berpikir modern yang kemudian di, mendunia mendunia karena kolonialisme diadopsi, betul nah Sekarang sementara kita lihat Indonesia adalah salah satu biokultural diversity terbesar. Dimana alam dengan kultur itu begitu tersambungnya. sehingga kalau misalnya sekarang kita balik kepada batas-batas yang ditetapkan oleh UNESCO kerugian di kita tuh luar biasa besar jadi pertama nih keluar dulu dari kerangka berpikir itu betul jadi ketika kita mulai bikin undang-undang itu merumuskan undang-undang nomor 5 tahun 2017 itu yang ada di benak kita tuh bagaimana caranya mengakomodasi perluasannya dari pengertian yang kita sebut kebudayaan itu Dan itu hal pertama.
Hal kedua, kemudian bagaimana sih tata kelolanya. Karena biasanya kalau negara yang punya Ministry of Culture, kayak Eropa sebagian, negara-negara Pakas Uni Soviet hampir selalu, cita-citanya apa? Mengontrolkan.
Mereka ingin mengendalikan. Mereka, ginilah harusnya kebudayaan. Nah kita lihat tadi, otak yang dipusat gak akan mampu.
Jangkau seluruh organ tubuh Yang namanya Indonesia ini Jadi pendekatan kita Kemudian juga pikir Dan ini lagi-lagi ya Cara pikir kontinental ini harus diganti Dengan cara pikir arkipelagis Ya dimana kita betul-betul Menghargai satuan-satuan ini Sehingga dia bisa mulai Bergerak Dan mengirim sinyal ke otak bahwa ini Harus bisa dikendalikan Diarahkan sehingga dia bisa menjadi Satu kekuatan jadi cara berpikirnya kita ubah sama sekali apa artinya di dalam birokrasi, ya betul-betul memainkan peran lebih sebagai fasilitator daripada sebagai pihak yang menyelenggarakan dan secara praktis itu artinya apa? kurangi kegiatan, ngapain si negara ini bikin kegiatan lah, festival ini, festival itu, dan seterusnya biarkanlah si masyarakatnya yang bekerja pakailah nama yang mereka pikir baik dan seterusnya, dukung mereka untuk bisa berkembang gitu ya agar gerak motoriknya ini mulai bisa betul gitu dan kita mengirim sinyal gitu ya melalui pendanaan melalui dukungan institusional dan segala macam agar dia betul-betul kemudian menjadi tubuh gitu yang sekarang melalui policy, melalui berbagai macam organisasi yang dibentuk ya kita bikin perubahan cukup mendasar di dalam nomenklatur Direkturat Jenderal Kebudayaan Kalau dulu kan ada Direkturat Kesenian Ada apa segala macam masing-masing punya nih Sekarang kita pakai logik Apa sih sebenarnya Tata kelola kebudayaan ini Dirumuskan di dalam undang-undang Melindungi, karena itu berarti Kita mempreservasi semua yang Kekayaan budaya Dan kaitannya dengan alam dan seterusnya Setelah kita mempunyai repository ini Ujungnya adalah repository Berbasis repository ini kita bicara tentang pengembangan Iya Mana caranya mengembangkan ini? Nah sinilah ketemu Heidegger dengan falsafah alam dan kabau dan seterusnya. Ini jalan, baru kita bisa lihat ini bisa dipakai untuk apa nih?
Ada yang bisa masuk ke dalam industri farmasi, ada yang bisa masuk dalam pendidikan untuk meningkatkan ketahanan budaya dan seterusnya. Ada yang untuk diplomasi, ada untuk ekonomi dan seterusnya. Jadi ini aja nih set yang ditangani oleh kementerian.
Dan memastikan tiga fungsi ini ada orangnya, ada lembaganya. Maka ada pembinaan disebutnya gitu ya. Untuk training orang.
Jadi kita banyak nih sekarang juga punya beasiswa LPDP. LPDP itu kita punya beasiswa pelaku budaya. Kenapa gitu? Karena untuk tiga fungsi ini kalau kita pakai sistem LPDP yang existing gitu ya.
Hampir nggak ada tuh. gak ada misalnya mau membiayai orang untuk sekolah pengarsipan budaya sangat esensial, repository ini gak bakal jadi nih kalau gak ada orang-orang dengan kemampuan itu kan gitu data science yang terkait dengan kebudayaan jadi hal-hal kayak gini nih juga memang perlu penanganan yang khusus gitu nah selama ini ya salah satu perjuangannya gitu kalau boleh disebut begitu adalah membuat sistem kita ini pemerintahan ini Betul-betul mengenali kebudayaan ini sebagai basis kekuatan dan juga potensi yang luar biasa. Kalau ditangani dengan baik, dia akan kontribusinya terhadap pembangunan nasional ini luar biasa. Saya gak bilang bahwa ini udah selesai ya. Masih tadi ya, intervensi politik lah ini, macam-macam kejadian masih ada gitu ya.
Tapi bentuknya saya kira mungkin sekarang jauh lebih jelas daripada katakanlah 10 tahun lalu. Luar biasa. Yang pertama harus keluar dari...
Kungkungan lingkup yang diimpose dari luar kepada kita. Seperti UNESCO based idea of what culture is. Which is limited to arts and heritage. Yang kedua untuk memfasilitasi daripada membuat kegiatan. Daripada mengimpose willing dari sentral ke daerah.
Tapi untuk memfasilitasi. Ini tentu lebih gampang diucapkan daripada dilakukan. Karena.
mau melakukan festival segala macam itu adalah membuat panggung, membuat panggung pasti ada kepentingan politik disitu pasti semua orang mau melakukan, apalagi kementerian salah satu KPI nya adalah penyerapan anggaran, oke kita pragmatis disitu kan, kecuali kementerian disuruh program mana yang boleh dilakukan itu yang bisa ngambil untung, nah itu beda lagi itu kan kasar ngomongnya yang kedua, yang ketiga sorry, adalah penguatan kelembagaan dan human capital hmm Upskilling. Itu adalah hal luar biasa. Saya mau berikan pertanyaan terakhir.
Tenang bukan. Gimana memotivasi Gen Z gitu. Apa harapan Anda tentang millennial. Tapi seorang Hilmar Farid. Melihat bangsa sekarang dengan turmoil politik.
Sebagai macam pergantian administrasi. Apakah ada landasan optimisme. Untuk melihat Indonesia dengan kulturnya yang kuat. Itu bisa. menjadi kekuatan, bukan menjadi beban bagi dunia yang sangat interconnected.
Optimisme, saya kira salah satu alasan saya bergabung dengan pemerintah, saya bukan PNS. Saya bukan PNS. Terus bergabung di pemerintah untuk satu jabatan yang sifatnya teknikal, jadi banyak kerjanya gitu ya. Jadi betul-betul kayak habis waktu kita disitu gitu.
Adalah rasa optimisme itu. Salah satu alasan yang mendorong gitu. Karena menyadari betul gitu.
Ini kebudayaan sebenarnya belum ditangani secara optimal gitu ya. Sekarang nih boleh dibilang kita kalau bicara persentase gitu ya, less than 25% sebenarnya ya. Dari yang mampu sebenarnya kita lakukan gitu.
Dan masih banyak nih mimpi besar gitu ya, yang saya kira akan punya dampak yang gak kecil terhadap si dunia ini. Tantangan terbesarnya cuman itu tadi. Memastikan, ya orang bilangnya political will. Saya bilang sebetulnya perlu lebih dari itu ya. Perlu commitment gitu ya.
Dan commitment ini bukan dirasari cuman sekedar bahwa saya suka kebudayaan, saya suka kesenian dan seterusnya gitu. Tapi karena ngerti. Ini satu proyek yang betul-betul memang kalau dijalankan konsisten gitu, itu akan luar biasa. apa yang saya coba lakukan di pemerintah selama 9 tahun menjabat ini, mungkin baru boleh dibilang baru pada tingkat fondasi ya. Ya masing-masing orang udah mendirikan tiang, membangun rumah yang tadi kita bayangkan bersama gitu ya, tetapi masih sangat awal tahapnya gitu.
Dan saya kira kalau belajar dari pengalaman negara-negara yang bangkit dan memiliki kebudayaan solid untuk perjalanannya, ya memang makan waktu 20. 30 tahun gitu ya untuk bisa sampai ke level yang mereka inginkan gitu ya. Kita sayangnya belum ya melangkah ke arah itu secara cukup serius gitu. Dan itu ya tetap sih saya kira rasa optimismenya masih ada. Justru karena saya lihat problem-problem yang sekarang ini ada ya.
Transisi, kegagalan, penjawabannya. tantangan global dan segala macamnya justru karena kurang apa namanya menggunakan resources yang luar biasa dan dalam berapa kesempatan saya bicara dengan kepala daerah bicara dengan teman-teman di pemerintahan keinginan untuk mulai melihat kekuatan yang kita miliki di biocultural diversity ini sebenarnya cukup besar Dari level kepala daerah ya? Iya level kepala daerah.
Misalnya gubernur gitu ya. Di Jambi. Kita kan sedang rekonstruksi warung Jambi kan.
Secara cukup masif gitu ya. Sementara Jambi itu boleh dibilang ekonominya bergerak karena batu bara dan kelapa sawit. Dua-duanya kita tahu punya efek yang gak terlalu bagus untuk lingkungan gitu ya.
sementara pemerintah juga punya perhutanan sosial jadi kayak kita competing gitu ya nah bedanya memang batu bara dan kelapa sawit ini sangat established, organisasinya permodalan dan seterusnya, mereka udah bagus juga untuk trading dan seterusnya, jadi sangat-sangat mapan sementara ide-ide alternatif ini kan belum punya badan, ya perhutanan sosial, agroekologi berapa hektar sih yang bisa diurus oleh praktek semacam itu gitu, jadi kita punya problem skala dan seterusnya ... Tapi dalam diskusinya saya bilang gitu. Pak Gop, kalau seandainya ini kita adu balap lari, tambang dengan pendekatan yang seperti ini, Pak Gop ini akan menang.
Cepat nyampe gitu. Tapi cepat abis nafas juga. Tambang itu ada umurnya.
Kemudayaan dengan agroekologi dan segala macem, ini dia akan tumbuh secara eksponensial begitu dia. Diberi jalan untuk tumbuh Dan batasi kita gak tau nih Sekarang kita belum tau nih Sains ketemu dengan segala macam Kearifan lokal untuk menggarap Hutan primer Di Sumatera Kita gak tau tuh sekarang ini ya Dan itu akan makan waktu Terus ya Memang persoalannya kan iya tapi saya jadi kepala daerah Kan dua periode Saya bilang ya gak apa-apa asal kasih aja Ke badangan dulu, kasih ruang nih Untuk berkembang gak perlu menggantikan yang itu dulu sampai ini membuahkan hasil tapi itu optimisme juga ketika ketemu dengan banyak teman di daerah ketika bicara tentang itu, oh ada alahannya ada itunya, nah ini yang perlu dikonsolidasi, itu ya sebagai basis untuk kegiatan-kegiatan dan program-program yang arahnya ke manfaatannya, biocultural diversity kita. Jelas memang ada landasan untuk optimisme itu ada, butuh pemimpin yang bijak Pak, ke depan itu karena ... seperti tadi agro products agro Indonesia itu juga subject to very constraining regulation yang bukan maunya kita seperti European Union deregulation for forest products segala macam nah itulah kalau kita gak mengerti akan sangat repot oke terima kasih Pak Hilmar sama-sama sampai ketemu lagi thank you for those watching that's chronicles Terima kasih.