Tragedi 98 merupakan salah satu episode paling gelap dalam lembaran hitam sejarah Indonesia. Hari itu, Republik Indonesia nyaris runtuh dalam kobaran amarah dan kebrutalan. Dalam waktu singkat, negeri ini berubah menjadi neraka bagi banyak orang, khususnya bagi mereka yang terjebak dalam pusaran kerusuhan.
Tanggal 12 Mei 1998 menjadi penanda awal tragedi besar itu. Mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta yang turun ke jalan untuk menyuarakan reformasi pulang ke kampus dengan tenang setelah bernegosiasi dengan aparat. Namun tiba-tiba suara letusan senjata membelah udara sore. Peluru tajam menghantam tubuh-tubuh muda itu dengan sadis. Lang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendria Wansi ambruk bersimbah darah.
Padahal mereka bukan perusuh dan juga bukan penjahat. Mereka hanyalah mahasiswa yang membawa sepanduk dan mimpi perubahan. Keesokan harinya, amarah rakyat meledak dan nyaris mustahil dipadamkan.
Jakarta segera berubah menjadi lautan api. Toko-toko dijarah, mobil-mobil dibakar, lalu gedung-gedung raksasa luluh lantak. Yang sangat tragis, Mall Klender berubah menjadi kuburan masal, di mana ratusan orang yang terjebak di dalamnya tewas terbakar hidup-hidup, dengan tubuh hangus dan tidak bisa dikenali. Aroma daging panggang segera memenuhi udara kota, mengeluarkan aroma kegetiran keganasan serta kegilaan yang sulit dilukiskan. Lalu di sudut lain kota, masa yang kalap, segera menyerang perkantoran milik warga keturunan Tionghoa.
Tulisan milik peribumi dicoret besar-besar di kaca toko, sebuah upaya putus asa untuk selamat dari amukan. Tetapi nahasnya bagi banyak keluarga Tionghoa, tidak ada lagi tempat yang aman. Mereka terkunci di rumah, mendengar jendela dipecah, Mendengar api merayap dan mendengar pintu diobrak dengan paksa.
Yang paling memilukan adalah kisah perempuan-perempuan Tionghoa yang menjadi korban kekerasan seksual. Di tengah kekacauan, mereka dijadikan sasaran kegejaman yang tidak pernah terbayangkan. Diruda paksa beramai-ramai, disiksa, bahkan ada yang dihabisi setelahnya. Laporan menyebutkan sedikitnya 168 kasus ruda paksa terjadi selama kerusuhan.
Sebuah noda hitam yang hingga kini masih meninggalkan trauma yang mendalam. Dalam hitungan hari, lebih dari seribu orang tewas. Sebagian karena peluru, sebagian karena terjebak di gedung yang dibakar, dan sebagian lain karena amuk masa.
Ribuan orang luka-luka, puluhan ribu kehilangan rumah, toko, serta sumber nafkah. Sementara itu, mereka yang selamat tidak pernah kembali utuh. Mereka membawa luka batin yang amat kelam, juga ketakutan yang tertahan selama puluhan tahun.
Banyak keluarga Tionghoa memilih mengungsi ke luar negeri, meninggalkan tanah air yang mereka cintai, tetapi saat itu menolak melindungi mereka. Dengan demikian, tragedi 1998 bukan sekedar kerusuhan biasa. Ia merupakan ledakan kebencian, kegagalan negara, dan kerapuhan sosial yang berpadu menjadi badai. Ia meninggalkan jejak luka yang sangat dalam, korban yang tidak mendapat keadilan, pelaku yang tidak tersentuh oleh hukum, dan sebuah bangsa yang harus menanggung trauma sejarah.
Bagi generasi setelahnya, tragedi 98 adalah pengingat bahwa ketika keadilan diabaikan, ketika diskriminasi dipelihara, Dan ketika kekuasaan membungkam rakyat, maka api bisa menyala dengan kebrutalan yang tidak pernah terbayangkan. Tragedi 98 yang memunculkan amuk masa yang mengerikan tentu tidak muncul secara tiba-tiba. Tragedi ini dipicu oleh serangkaian masalah serius yang telah menumpuk selama masa Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto.
Pada akhir 1990-an, Indonesia dilanda krisis ekonomi parah yang menyebabkan harga-harga kebutuhan pokok melonjak dan pengangguran massal. Krisis ini diperburuk oleh praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. yang merajalela dalam pemerintahan, sehingga masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap rezim Suharto. Selain itu, terdapat diskriminasi sistemis terhadap etnis Tionghoa yang selama puluhan tahun ditekan dan dijadikan kambing hitam atas berbagai persoalan ekonomi.
Kombinasi krisis multidimensi inilah yang menyulut kemarahan rakyat dan berujung pada ledakan kerusuhan pada Mei 1998. Pada Juli 1997, badai krisis finansial melanda wilayah Asia. Indonesia, termasuk negara yang terdampak paling parah dalam krisis moneter Asia 1997. Nilai tukar mata uang rupiah anjolok drastis terhadap dolar Amerika Serikat dari sekitar Rp2.500 per USD sebelum krisis, merosot tajam hingga sempat menyentuh Rp16.000 per USD. Pada awal tahun 1998, menurunnya nilai rupiah yang sangat dalam itu segera menyebabkan efek berantai terhadap perekonomian nasional.
Harga-harga barang impor dan bahan baku industri melambung. Banyak perusahaan tidak mampu membayar utang luar negerinya dan sektor perbankan goyah. Pada akhir 1997, pemerintah telah mencoba menangani krisis dengan menutup 16 bank bermasalah untuk memulihkan kepercayaan terhadap sektor perbankan. Namun demikian, langkah ini justru memicu kepanikan di masyarakat.
Banyak orang menarik simpanan mereka dan kepercayaan publik terhadap Bank Nasional semakin runtuh. Situasi ini kemudian memburuk pada akhir 1997 hingga awal 1998. Kala itu, persediaan bahan pokok mulai menipis, sehingga harga beras minyak goreng, gula dan kebutuhan pokok lainnya naik tidak terkendali. Lalu, isu kelangkaan pangan menimbulkan kepanikan. Pada Januari 1998, warga menyerbu pasar swalayan dan toko-toko untuk memborong sembako karena takut harga akan semakin mahal atau barang hilang dari peredaran.
Dan dalam sekejap, rak-rak toko menjadi kosong. dan panik buying terjadi di mana-mana. Pada gilirannya, krisis ekonomi ini menyebabkan lonjakan angka pengangguran.
Banyak perusahaan swasta gulung tikar atau melakukan PHK masal karena tidak sanggup beroperasi di tengah beban utang dan biaya produksi yang melonjak. Akibatnya ratusan ribu hingga jutaan orang kehilangan pekerjaan dalam waktu singkat. Pengangguran masal ini berarti pula bertambahnya penduduk miskin. karena keluarga-keluarga kehilangan sumber pendapatan. Saat itu, tekanan ekonomi benar-benar dirasakan langsung oleh rakyat.
Harga kebutuhan pokok naik berkali lipat, sementara daya beli terus merosot dengan tajam. Selain faktor ekonomi, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merajalela di era Orde Baru turut menyumburkan ketidakpuasan rakyat. Selama lebih dari 3 dekade berkuasa, pemerintahan Soeharto dikenal menumpuk kekayaan bagi keluarga dan kroni-kroninya melalui berbagai cara yang tidak transparan.
Korupsi terjadi di hampir semua level birokrasi, dari pungutan liar di instansi pemerintahan hingga penyelewengan anggaran negara. Namun, semua itu sulit untuk disentuh oleh hukum karena aparat penegak hukum berada di bawah kendali rezim. Kolusi antara pejabat pemerintah dan pengusaha kroni juga jamak terjadi.
Misalnya, pemberian monopoli bisnis atau kontrak pemerintah kepada perusahaan milik kerabat penguasa. Sementara itu, nepotisme tampak jelas ketika banyak posisi strategis dan peluang usaha penting dikuasai oleh keluarga cendana serta segelintir konglomerat yang dekat dengan kekuasaan. Masyarakat Luas sebenarnya mulai geram dengan budaya KKN ini. Namun, kritik terhadap pemerintah nyaris tidak mendapat tempat di era orde baru.
Pemerintah menerapkan kontrol ketat terhadap kehidupan politik. Mulai dari partai oposisi yang dilemahkan, pers yang dibungkam melalui sensor, dan kebebasan berekspresi dibatasi. Akibatnya, penyelewengan kekuasaan terus berlangsung tanpa mekanisme kontrol yang membandai.
Sebagai contoh, Putra Putri Soeharto dikenal terlibat dalam bisnis-bisnis besar dengan dukungan fasilitas negara. Tommy Soeharto misalnya mendapat hak eksklusif dalam proyek mobil nasional timur. Tutut Soeharto menguasai jaringan televisi dan jaringan telepon.
Lantol, sedangkan kroni seperti Bob Hasan dan Sudonu Halim atau Lim Siliong, memperoleh monopoli perdagangan cengkeh serta tepung terigu. Praktik-praktik ini menciptakan kesenjangan sosial ekonomi serta menimbulkan kecemburuan dan kemarahan di kalangan pengusaha lain maupun masyarakat umum. Tidak hanya itu, dominasi militer dalam politik semakin membuat kehidupan demokrasi terpasung. ABRI atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, gabungan TNI dan Polri saat itu tidak hanya menjaga keamanan, tetapi juga memiliki peran politik formal dengan adanya fraksi ABRI di parlemen dan jabatan-jabatan publik bagi perwira militer. Akibatnya, ruang partisipasi sipil untuk mengawasi pemerintah nyaris tertutup.
Krisis hukum juga terjadi karena peradilan kerap diintervensi demi kepentingan penguasa. Pelanggaran HAM oleh negara seperti operasi militer di Aceh dan Papua atau kasus pelenyapan aktivis, misalnya kasus Marsina, seorang aktivis buruh tahun 1993, juga jarang diusut tuntas. Di penghujung Orde Baru, muncul pula tindakan represif seperti penculikan para aktivis pro-demokrasi oleh oknum militer pada tahun 1997 hingga 1998, yang tujuannya untuk membungkam suara kritis.
Sejumlah aktivis mahasiswa dan pro-demokrasi dilaporkan hilang diculik oleh tim yang belakangan dikenal sebagai tim mawar dari Kopassus, menimbulkan ketakutan di kalangan gerakan mahasiswa. Lebih dari itu, salah satu aspek penting dalam latar belakang tragedi 98 adalah diskriminasi yang dialami komunitas Tionghoa Indonesia selama rezim Orde Baru. Etnis Tionghoa Indonesia yang jumlahnya sekitar 3% dari populasi sejak lama telah diperlakukan sebagai kelompok minoritas yang berbeda.
Pada masa Orde Baru, diskriminasi terhadap warga Tionghoa dilembagakan dalam berbagai peraturan dan kebijakan. Misalnya, melalui instruksi Presiden nomor 14 tahun 1967, pemerintah melarang perayaan kebudayaan Tionghoa secara terbuka, seperti Imlek, Barongsai, dan penggunaan aksara Tionghoa dilarang di ruang publik. Orang Tionghoa didorong untuk mengganti nama mereka menjadi nama yang bernuansa Indonesia.
Mereka juga diwajibkan memiliki surat bukti keluarga negaraan atau SBKRI yang justru kerap dijadikan alat pungutan liar. Total terdapat sekitar 45 regulasi yang secara langsung maupun tidak langsung bersifat diskriminatif terhadap etnis Tionghoa selama Orde Baru. Di bidang pendidikan dan pemerintahan, terjadi pembatasan partisipasi bagi warga Tionghoa.
Kesempatan mereka masuk universitas negeri atau menjadi pegawai negeri sipil sangat kecil karena adanya kuota tidak tertulis. Sementara di bidang ekonomi, pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan paradoksal. Di satu sisi, mengekang ekspresi budaya dan politik Tionghoa, tetapi di sisi lain, membiarkan segelintir penguasa Tionghoa besar bekerja sama dengan elit Orde Baru dalam menguasai sektor-sektor ekonomi penting.
Kolusi antara penguasa dan para cukong ini menghasilkan konglomerat superkaya keturunan Tionghoa. Akibatnya tercipta gambaran di masyarakat bahwa orang Tionghoa identik dengan kekayaan serta dominasi ekonomi. Selama era Orde Baru, sentimen anti-Tionghoa memang sesekali muncul terutama saat kondisi ekonomi sedang buruk. Etnis Tionghoa kerap dijadikan kambing hitam atas masalah ekonomi maupun sosial.
Propaganda atau pernyataan pejabat yang menyudutkan Tionghoa turut menyuburkan perasangka itu. Misalnya, menjelang 1998, ketika krisis moneter terjadi, beberapa tokoh pemerintah dan militer memberikan pernyataan bernada menyalahkan Kong Lemerat yang tidak nasionalis. Sindiran terselubung yang mengarah pada penguasa Tionghoa yang dituduh menyimpan uang di luar negeri.
Bahkan seorang pejabat tinggi kala itu secara terbuka menyebut etnis Tionghoa sebagai tikus-tikus yang tidak punya patriotisme karena dianggap menimbun barang dan lari ke luar negeri saat krisis. Pernyataan-pernyataan semacam ini alih-alih meredakan situasi justru memicu kebencian masyarakat terhadap warga Tionghoa. Kesenjangan ekonomi antara kelompok peribumi dan segelintir orang Tionghoa kaya juga memperkuat kecemburuan sosial.
Di tingkat akar, Rumput sudah berkembang konsepsi bahwa orang Cina kaya karena curang atau pelit yang merupakan bias turun-temurun sejak zaman kolonial. Rezim Orde Baru tidak berusaha serius mengikis prasangka ini, malah secara tidak langsung menyuburkannya. Warga Tionghoa digambarkan sebagai orang luar yang hanya mencari untung di Indonesia, padahal mereka adalah warga negara Indonesia juga yang lahir dan besar di negeri ini. Kombinasi diskriminasi negara dan sentimen negatif yang dibiarkan tumbuh inilah yang membuat posisi komunitas Tionghoa rawan ketika terjadi gejolak sosial.
Jadi, pada awal 1998, Indonesia bukan hanya menghadapi krisis ekonomi dan politik, tetapi juga bom waktu sosial berupa sentimen anti-Tionghoa. Diskriminasi sistemik di era Orde Baru membuat komunitas Tionghoa terisolasi secara budaya dan politik. Namun secara ekonomi, mereka dijadikan kambing hitam yang siap ditumbalkan ketika dibutuhkan untuk meredakan kemarahan masa.
Inilah sebabnya mengapa saat kerusuhan Mei 1998 akhirnya pecah, kekerasan yang terjadi begitu kental dengan nuansa rasial. Latar belakang diskriminasi dan prasangka sosial ini Penting dipahami agar kita memahami mengapa etnis Tionghoa menjadi target utama dalam tragedi 98. Menjelang bulan Mei 1998, tanda-tanda pergolakan sudah tampak di berbagai kota. Gerakan protes mahasiswa mulai muncul sejak pertengahan 1997 dan semakin menguat pada awal 98. Para mahasiswa yang tergabung dalam berbagai perguruan tinggi di Indonesia bergerak menyuarakan reformasi. Isu-isu yang mereka bawa, antara lain desakan agar pemerintah menurunkan harga-harga, memberantas KKN, menghapus dui fungsi ABRI, dan menuntut suksesi kepemimpinan nasional.
Awalnya, tuntutan mahasiswa bersifat gradual. Mereka mendesak pemerintah untuk mengatasi krisis ekonomi. Namun, karena dianggap tidak ada perbaikan dan aspirasi diabaikan, tuntutan itu berkembang menjadi tuntutan reformasi total termasuk pengunduran diri Soeharto. Kemuakan masyarakat kemudian diperparah pada Maret 1998 ketika Soeharto kembali dilantik menjadi presiden untuk masa jabatan yang ketujuh kalinya. Pelantikan ini menyulut aksi protes yang lebih besar sebab dianggap mengabaikan penderitaan rakyat di tengah krisis.
Dalam bulan Maret hingga April 98, hampir setiap hari terjadi demonstrasi mahasiswa di berbagai kota. Dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Makassar, dan lainnya. Misalnya, pada 14 Maret 98, setelah kabinet baru diumumkan, gelombang demo merebak di kampus-kampus untuk menolak kabinet hasil KKN.
Puncaknya, sepanjang April 98, mahasiswa terus turun ke jalan menuntut reformasi politik. Pada 15 April 1998, Presiden Soeharto secara terbuka meminta mahasiswa untuk menghentikan unjuk rasa serta kembali ke kampus. Seraya berjanji akan melakukan reformasi di kemudian hari.
Namun demikian, permintaan ini tidak diindahkan mahasiswa karena permintaan tersebut dianggap hanya sebagai taktik untuk mengulur waktu. Di sisi lain, Tanda perpecahan di kalangan elit Orde Baru juga mulai nampak Beberapa tokoh lingkar dalam Soeharto dikabarkan berbeda pandangan mengenai penanganan krisis Kendati demikian, secara lahiriah Soeharto masih menunjukkan kepercayaan diri Ia bahkan sempat berencana menghadiri konferensi tingkat tinggi G15 di Cairo, Mesir Pada pertengahan Mei 1998 sebagai kunjungan ke negaraan Dimana kemudian Keputusan Soeharto untuk berangkat ke luar negeri di tengah krisis dipandang sebagai pihak sebagai bukti Bahwa ia tidak menyadari gentingnya situasi dalam negeri Dan benar saja ketika Soeharto terbang ke Cairo pada 9 Mei 1998 Kondisi di tanah air justru sangat memanas Di Medan, Sumatera Utara demo mahasiswa yang sudah berlangsung sejak awal Mei 1998 semakin membesar Tanggal 4 hingga 5 Mei 1998, ribuan mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan memprotes kenaikan harga serta situasi ekonomi. Aksi di Medan kemudian berubah rusuh, terjadi bentrokan dengan aparat, kendaraan dibakar, dan penjarahan toko terjadi di sejumlah tempat. Kejadian di Medan ini menjadi semacam alarm bahwa situasi nasional sedang sangat genting.
Sementara itu di Jawa, aksi mahasiswa terus meluas. Di Bandung, Yogyakarta, dan kota-kota lain, mahasiswa melakukan mimbar bebas dan aksi mogok kuliah. sebagai bentuk protes. Tuntutan mereka seragam, yaitu reformasi dan turunnya Suharto.
Aparat keamanan kadang mencoba membubarkan aksi dengan kekerasan, yang justru menimbulkan simpati publik kepada mahasiswa. Sementara itu di Jakarta, tensi makin tinggi. Mahasiswa di Jakarta awalnya tertahan beraksi di dalam kampus masing-masing karena ketatnya pengamanan. Aparat keamanan menjaga ketat objek vital dan melarang demonstrasi di jalan-jalan utama.
Namun, para mahasiswa Jakarta menemukan momentum pada tanggal 12 Mei 1998 ketika mahasiswa Trisakti, Jakarta Barat, merencanakan aksi demonstrasi besar. Aksi di Trisakti inilah yang kemudian menjadi titik balik situasi karena berakhir dengan tragedi yang menyulut emosi seluruh negeri. Sejak pagi hari, Sekitar 6.000 sivitas akademika Trisakti telah berkumpul di kampus untuk melakukan aksi damai. Mereka mengibarkan bendera setengah tiang dan menyanyikan Indonesia Raya sebagai tanda berkabung atas keadaan bangsa yang terpuru. Suasana di dalam kampus berlangsung tertib.
Menjelang siang, masa mahasiswa Trisakti berupaya melakukan long match keluar kampus menuju gedung MPR di Senayan. Tujuan mereka... adalah menyampaikan secara langsung tuntutan reformasi kepada wakil rakyat. Sekitar pukul 12.30, rombongan mahasiswa mulai bergerak keluar gerbang kampus Trisakti menuju jalan S. Parman.
Namun, baru beberapa ratus meter berjalan, mereka dihadang oleh barikade aparat keamanan yang bersiaga di jalan tersebut. Aparat memasang pagar betis dengan tameng, melarang mahasiswa melanjutkan long march dengan alasan keamanan serta potensi kemacetan. Para mahasiswa terhalang di depan kantor wali kota Jakarta Barat, tidak jauh dari kampus. Saat itu terjadi negosiasi antara perwakilan mahasiswa dengan komandan pasukan keamanan setempat, yaitu Dandim Jagbar Letkol A. Amril dan Waka Polres.
Negosiasi berlangsung cukup alot, hingga lebih dari satu jam. Namun akhirnya, sekitar pukul 17.00, dicapailah kesepakatan. Mahasiswa bersedia mundur kembali ke dalam kampus dan aparat juga akan mundur untuk meredakan ketegangan. Mahasiswa Trisakti pun perlahan mundur masuk gerbang kampus sekitar pukul 17.00 hingga 17.30. Aparat keamanan bergerak agak menjauh sesuai kesepakatan.
Namun, situasi berubah dastis dalam hitungan menit. Sekitar pukul 17.15 hingga 17.30, ketika sebagian besar mahasiswa sudah berada di dalam area kampus, terdengar letusan-letusan tembakan. Kronologi rinci versi berbagai sumber agak bervariasi, namun intinya, tiba-tiba, aparat keamanan melepaskan tembakan dan gas air mata ke arah kerumunan mahasiswa yang masih berada di sekitar gerbang kampus Trisakti.
Suasana seketika kacau balau. Mahasiswa yang tadinya sudah tenang menjadi panik dan berlarian menyelamatkan diri. Beberapa sumber menyebut awalnya ada provokasi, di mana seorang yang bukan mahasiswa memancing keributan, yang membuat aparat tersulut emosi.
Ada pula kesaksian yang mengatakan bahwa beberapa oknum aparat menembak sambil berteriak ejekan, memicu kemarahan mahasiswa lalu situasi lepas kendali. Yang jelas, saat kerumunan mahasiswa berusaha lari ke dalam kampus, banyak mahasiswa awalnya menduga itu sebagai peluru hampa atau tembakan peringatan. Namun tragis, ternyata sebagian peluru adalah peluru tajam yang langsung mengenai beberapa mahasiswa.
Dalam kepanikan tersebut, jatuhlah korban di pihak mahasiswa. Dan setelah situasi reda, ditemukan empat orang mahasiswa trisakti tewas tertembak peluru panas. Tragedi Trisakti langsung memicu gelombang reaksi keras dari berbagai kalangan. Peristiwa Trisakti seakan menjadi titik Balik, jika sebelumnya gerakan mahasiswa masih sporadis, maka setelah Trisakti, mereka bersatu dengan satu tekad bahwa darah teman-teman mereka yang gugur menuntut perubahan tidak boleh sia-sia. Reaksi tidak hanya datang dari mahasiswa.
Tokoh-tokoh masyarakat dan politisi pun angkat suara mengecam kekerasan aparat. Media masa nasional yang sebelumnya relatif hati-hati mulai memberitakan tragedi Trisakti di halaman depan dengan judul-judul yang berani. Tragedi Trisakti juga langsung menyulut emosi rakyat di akar rumput. Tanggal 13 hingga 14 Mei 1998, masyarakat di Jakarta yang sebelumnya hanya mengikuti berita tiba-tiba tumpah ruah ke jalan dan beberapa berubah menjadi kerusuhan terbuka.
Mereka bukan lagi hanya mahasiswa, tetapi juga masyarakat umum yang marah dan frustrasi. Dalam pandangan banyak orang, jika mahasiswa yang bermaksud menyuarakan aspirasi saja ditembak, maka ini sudah sangat keterlaluan. Pasca tragedi Trisakti 12 Mei 98, situasi di Indonesia, khususnya Jakarta, segera berubah menjadi keos. Dalam kurun tanggal 13 hingga 15 Mei 98, terjadi ledakan kerusuhan serta penjarahan masal di berbagai penjuru Jakarta, serta kota-kota lain seperti Medan dan Surakarta. Kerusuhan ini melibatkan masa dalam jumlah besar.
Sasaran amukan masa umumnya adalah pusat-pusat perbelanjaan, toko dan properti yang diidentifikasi sebagai milik warga keturunan Tionghoa.