Selamat malam, salam sejahtera untuk kita semua. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Terima kasih atas kehadiran Anda pada malam ini.
Ini adalah acara rutin yang kami selenggarakan. Setiap tiga bulan sekali ada ceramah umum. Dan pada malam ini kita akan mendengarkan cerama tentang sistem politik Indonesia setelah reformasi yang nanti akan disampaikan oleh Bapak Marsilam Simanjuntak.
Pada tahun ini, pada awal kuliah umum ini, pada bulan Januari, Kami menyelenggarakan ceramah umum yang hampir sama tentang arkeologi oleh Bapak Profesor Mundarjito. Kemudian pada bulan Mei ada ceramah tentang seni dan politik disampaikan oleh Bapak Gunawan Muhammad. Dan pada bulan ini, Agustus, dan juga ini momen setelah pemilu kemarin, kita akan mendengarkan ceramah tentang sistem politik Indonesia setelah reformasi. Tema ini berangkat dari diskusi kami.
kami pengurus di Salihara melihat kondisi politik Indonesia khususnya setelah reformasi mungkin bisa dilihat pada sosok presiden yang sekarang Pak SBY yang setiap orang katanya bilang tuh agak geregetan itu ya geregetan dalam arti geregetan kayak lagunya Sherina ya apa dalam sistem predensil ternyata presiden yang yang kita lihat tuh kan bisa dikatakan lemah atau dipilih 60% pada tahun 2009, kemudian kalau tahun 2004 oke lah, dikatakan partainya masih kecil, tetapi ketika dukungan itu membesar ternyata karakternya tetap sama. Nah tentu saja kami tidak ingin membicarakan person, tapi ketika melihat kata orang itu kan ada persoalan sistem politik di Indonesia, meskipun presidensil, tapi... tapi juga tetap terpenjara oleh koalisi partai politik ataupun juga politik parlemen yang ikut dalam tanda kutip atau sebenarnya juga bisa menyandra kekuasaan presiden itu sendiri.
Nah kami ingin membicarakan tentang itu dari pengalaman 10 tahun terutama pada akhir-akhir ini. Yang kami minta adalah Bapak Marsilam Simanjuntak, seorang aktivis pada tahun... 60-an dan pada tahun 70-an. Kemudian juga Pak Marsilam juga terlibat dalam Kabinet Pemerintahan setelah reformasi dalam Kabinet Gusdur. Kemudian Pak Marsilam saya kira juga, bukan saya kira tapi juga terlibat dalam UKP 3R ya, Ketua UKP 3R yang bisa melihat ya secara langsung baik pengalaman ataupun juga secara teori karena Pak Marsilam ini memiliki buku tentang Negara Integralistik, salah satu buku yang ditulis oleh Bapak Marsilam.
Dan Pak Marsilam pendidikannya belum ada seorang dokter, bukan sekaligus setelah itu ada sarjana hukum. Ya, itu kami akan minta pada, selamat datang Pak Fikri Jufri. Sebelum kami membuka ceramah pada malam ini alangkah baiknya kalau tempat di depan bisa diisi ya, biar di belakang itu bisa, biar jangan berdiri, ini masih ada tempat di depan bisa mengisi dulu. Baik, kami persilahkan kepada Pak Marsilam untuk memberikan ceramah umum pada malam ini. Silakan Pak Marsilam.
Selamat malam saudara-saudara. Sebelumnya saya akan mendahului dengan memberi komentar mengenai judulnya Sistem Politik Indonesia Setelah Reformasi. Sebetulnya agak terlalu... Terlalu besar itu.
Kalau dikatakan politik Indonesia setelah reformasi atau sistem pemerintahan Indonesia sekarang, maka itu saya pilih sebagai judul pembicaraan kita malam ini. komentar saya yang pertama komentar saya yang kedua agak pribadi saya lihat ada Pak Fikri Jufri disini saya tanya mau apa kamu disini dia bilang mau denger tapi setahu saya pendengarannya sudah kurang baik jadi dia mau oke lah terima kasih atas kedatangan Anda ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya ya Kita saling bersaksi mengenai kegiatan kita sejak 50 tahun yang lalu. Sedara-sedara, demokrasi sudah menjadi dan adalah pilihan kita dalam bernegara di Indonesia.
Mengenai pilihan itu tidak banyak yang bisa atau perlu dipersoalkan lagi. Tidak ada yang menganggap bahwa memilih negara demokrasi bagi Indonesia seperti dilakukan dalam konstitusi itu bermasalah. Tidak ada yang mempertanyakan secara terbuka. Misalnya, tidak pernah terdengar keinginan untuk memilih negara demokrasi.
memilih monarki seperti kerajaan atau kesultanan atau diktatur atau junta militer untuk yang terakhir ini pemerintahan militer mungkin ada yang diam-diam menginginkannya entah siapa tapi tidak terdengar ada yang menyuarakan di muka umum hai hai Tetapi, meskipun demokrasi adalah pilihan semua orang dan telah ditetapkan demikian secara hukum dalam konstitusi, kadang-kadang yang menjadi persoalan atau bahan perbedaan pendapat ialah mengenai pelaksanaan demokrasi. dalam bernegara, yaitu mengenai sistem pemerintahan dan cara mengatur kehidupan negara. Juga mengenai kekurangan dan kelemahan yang ada, sehingga tidak mencerminkan di muda.
yang dianggap benar atau yang sesungguhnya. Bahkan perbedaan pendapat itu lebih awal atau yang lebih mendasar lagi mengenai bentuk dan jenis demokrasi apa yang seharusnya dijalankan dan diwujudkan, khususnya di Indonesia. Masih ada berbagai pendapat, sekalipun masing-masing tetap sama-sama menamakannya sebagai demokrasi juga.
Secara generik, saya sebut saja begitu secara generik, demokrasi atau republik, dua-duanya ini sebetulnya bisa dipertukarkan, adalah pemerintahan oleh rakyat. Lebih lengkap lagi, demokrasi adalah pemerintahan dengan persetujuan rakyat yang diperintah. Salah satu perwujudan pelaksanaan demokrasi yang paling baru dilaksanakan atau kita laksanakan di sini adalah pemilihan umum presiden.
Boleh dikatakan ini telah terlaksana dengan baik. setidak-tidaknya berjalan dengan lancar sampai ke pemungutan suara. Kita kesampingkan dulu timbulnya masalah karena kandidat yang satu mengatakan mengundurkan diri pada saat terakhir setelah kalah.
lalu disusul dengan mengajukan keberatan ke Mahkamah Konstitusi. Itu kita kesampingkan dulu soal itu. Sesungguhnya pemilihan presiden secara langsung ini baru tiga kali diselenggarakan.
Baru semenjak apa yang kita sebut sebagai era reformasi. Itu berjalan sebagai wujud pelaksanaan demokrasi tanpa harus menyebut demokrasi jenis apa atau membubuhkan adjektif di belakang istilah. istilah demokrasi.
Sebelumnya, kita mengenal dan menjalankan semacam demokrasi juga, yang disebut demokrasi Pancasila. Jelas perbedaannya. Antara lain, karena pemilihan presiden tidak secara langsung seperti sekarang melalui pemilihan umum. Sebelumnya lagi, sebelum demokrasi Pancasila, yang mungkin sebagian kecil saja dari kita yang pernah langsung ikut mengalami, terang Pak Fikri pernah...
adalah demokrasi terpimpin antara tahun 1959 sampai tahun 1966. Demokrasi juga katanya. Masa yang lebih awal lagi kita mengalami masa demokrasi parlementer atau yang sering diberi julukan, julukan yang tidak memuji sebagai masa demokrasi liberal. Bila kita hubungkan masing-masing demokrasi dengan nama berbeda-beda itu dengan sistem pemerintahan dan sistem keparteian, maka kita dapati bahwa demokrasi liberal menggunakan sistem kabinet parlementer.
yang dipimpin seorang Perdana Menteri dan sistem kepartian yang ada ialah multipartai. Demokrasi terpimpin menggunakan sistem presidensial dan multipartai yang terseleksi. Yaitu partai-partai yang sudah disaring kadar progresif revolusionernya dan kesediaannya berdiri di platform Nasakom.
Nasakom, Nasionalis Agama Komunis. Sesudah itu ada demokrasi Pancasila, sistem presidensial dengan sistem sedikit partai, tiga partai saja. Terakhir yang sekarang ini, sebut saja demokrasi masa reformasi, juga memakai sistem presidensial dan multi partai.
Sistem pemerintahan yang dipakai adalah selalu variasi dari konstitusi yang mengaturnya. Sistem presidensial yang dipakai didasarkan pada Undang-Undang 45, termasuk Undang-Undang 45 yang sudah di amandemen. Sedangkan sistem kabinet parlementer yang berlangsung pada dasar warsa 50-an didasarkan pada Undang-Undang Dasar Sementara atau sering disebut UUDS Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Tetapi, riwayat pemerintahan kita pernah mengalami masa dengan keistimewaan. Kalau kita tidak mau menyebut sebagai keganjilan, yaitu memakai sistem kabinet parlementer sedang konstitusi yang berlaku menggunakan sistem presidensial, yaitu Undang-Undang 45. Ini berlangsung pada awal masa kemerdekaan antara tahun 1945 dan 1945. sampai tahun 1949. Kabinetnya parlementer, tapi undang-undangnya mengatakan sistem presidensial.
Saudara-saudara, bagaimanakah kita akan menafsirkan apakah suatu kegiatan politik adalah bagian dari prosedur pelaksanaan demokrasi atau tidak? Mengapa kita mengatakan bahwa pembinaan umum presiden seperti apa yang baru saja kita laksanakan adalah wujud pelaksanaan demokrasi? Kita bisa menjawab, karena ia tampak memenuhi berbagai syarat dari asas demokrasi.
Dari asas yang paling sederhana, bila kita menggunakan pengertian awam, tadi saya sudah sebut demokrasi berarti pemerintahan dilakukan oleh rakyat, kekuasaan berada di tangan rakyat. Lebih tepat lagi, pemerintahan ditentukan oleh rakyat, ditentukan oleh kehendak rakyat. Rakyat yang memutuskan kebijakan apa yang dikehendakinya. Secara praktis, maka itu dilakukan dengan memilih siapa yang dipercaya untuk memimpin pemerintahan dalam jangka waktu tertentu. Karena semua rakyat bersama-sama tidak bisa memutuskan langsung pada setiap saat kebijakan apa yang dikehendaki.
apa yang dikendaki. Memilih siapa yang dipercayai untuk membuat keputusan kita sebut sebagai memberi mandat untuk memimpin. Apakah sebagai presiden, gubernur, dan sebagainya. Termasuk memilih yang dipercayai untuk membuat undang-undang, yaitu para legislator.
Suatu negara dengan pemimpin yang mendapat mandat dari rakyatnya melalui pemilihan umum disebut sebagai negara demokrasi atau negara republik. Bahwa benar merupakan pilihan rakyat harus dicari. Dengan cara pemilihan yang langsung, yang bebas oleh seluruh rakyat yang berhak memilih dan secara rahasia.
Artinya, bebas melakukan pilihan tanpa dipengaruhi atau mendapat tekanan apapun. Demokrasi dengan cara ini disebut sebagai demokrasi melalui perwakilan atau demokrasi representatif Untuk membedakan dengan demokrasi langsung di mana seluruh rakyat berkumpul dan membuat keputusan bersama-sama Zaman modern ini tidak ada yang seperti itu Itu terjadi di zaman Yunani kuno Sudara-sudara, pemilihan umum presiden ketiga yang baru saja berlangsung ini dapat kita gunakan untuk membahas mengenai demokrasi dan hubungannya dengan sistem pemerintahan serta ketentuan-ketentuan yang mengatur hal itu dalam konstitusi kita, Undang-Undang 45 yang sudah diamandemen. Pertama-tama kita ingin diyakinkan atau kita ingin meyakinkan diri bahwa tiga kali pemilihan umum presiden yang telah diadakan, terutama yang terakhir, telah merupakan perwujudan asas demokrasi.
seperti digendaki. Ini bisa juga dipakai sebagai ukuran mengenai pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Apakah sudah seperti seharusnya?
atau semestinya, sebagaimana amanat konstitusi kita, negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, kata pembukaan, dan kedaulatan berada di tangan rakyat, kata pasal 1 Undang-Undang Dasar. Saya mengalami kesulitan dengan kertas-kertas ini. Apakah pemilihan umum itu telah pantas untuk mencerminkan adanya demokrasi dengan nyata atau belum cukup? Pemilihan umum presiden yang lalu.
Untuk itu, membandingkan dengan pelaksanaan demokrasi dalam masa sebelumnya akan bisa membantu kita dalam menilai, khususnya yang menyangkut proses pemilihan atau pengangkatan presiden. Sebelum ada pemilihan umum presiden yang secara langsung dipilih oleh rakyat, presiden dipilih dengan suara terbanyak oleh MPR. Begitu kata Undang-Undang 45 yang orisinal, yang belum diamandemen. Setelah reformasi, juga masih sempat dilakukan satu kali pemilihan presiden oleh MPR, yaitu di tahun 1999. Itu adalah yang terakhir sebelum amandemen ketiga.
yang dibuat pada tahun 2001. Selama 30 tahun sebelumnya, 30 tahun, Presiden selalu dipilih melalui sistem MPR yang sendemikian rupa menghasilkan terpilihnya Presiden Soeharto untuk 6 kali masa jabatan berturut-turut. Barangkali perlu kita mengingat kembali bahwa setiap kali terpilih, Suharto selalu terpilih secara aklamasi di MPR. Walaupun ketentuan Undang-Undang 45 menyebut dipilih. dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak tentu saja aklamasi karena setiap kali hanya ada satu calon tunggal untuk dipilih sebagai presiden dan itu selalu Soeharto sendiri hai hai Pemilihan presiden dengan sistem MPR yang menggunakan pemilihan dengan suara terbanyak di antara lebih dari satu calon, yaitu dua calon, baru sekali dijalankan pada tahun 1999. Calonnya adalah Gus Dur dan Megawati. Itu pun setelah reformasi, setelah Soeharto mengundurkan diri tahun 1998. Undang-Undang 45 belum mengalami amendement mengenai cara pemilihan presiden.
Tadi saya telah sebutkan amendement ketiga mengenai pemilihan presiden secara langsung baru dibuat tahun 2001. Sistem MPR tersebut dilakukan berdasarkan Undang-Undang 45 yang juga menyebut negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan juga mengatakan kedaulatan adalah di tangan rakyat. Jadi sama. Namun dilengkapi dengan anak kalimat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Dengan rekayasa politik pada sistem kepartaian pada waktu itu, melebur jadi dua partai, tambah satu Golkar dan Abri, rekayasa politik terhadap susunan keanggotaan MPR, maka Jenderal Soeharto berhasil untuk selalu memegang mayoritas dalam MPR yang selanjutnya membuat dia selalu terpilih kembali sebagai presiden. Ini, saudara-saudara, juga disebut sebagai pelaksanaan demokrasi. yang menuruti dan melaksanakan Undang-Undang 45 secara murni dan konsekuen. Begitu bunyi sumboyan atau slogan Orde Baru pada saat itu.
Barangkali kita sudah mulai lupa bahwa itu terjadi. Baiknya kita ingat kembali bahwa Undang-Undang Dasar 45 yang murni itu tidak membatasi berapa kali seorang presiden boleh dipilih kembali. Pasal 7 Undang-Undang 45 mengatakan presiden dan presiden tidak bisa dipilih kembali. Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Hanya begitu saja.
Maka Presiden Soeharto dengan rekayasa konstitusionalistik Kita sebut konstitusionalistis karena dia selalu mengklaim semua langkahnya didasarkan atas huruf-huruf konstitusi. Presiden Soeharto secara praktis telah menjadikan dirinya presiden seumur hidup. Dengan cara mencicil, terpilih setiap lima tahun sekali, terus menerus.
Sebelum era Orde Baru Soeharto, secara resmi Presiden seumur hidup itu dijabat oleh Presiden Soekarno, Presiden pertama negara Republik Indonesia ini. Ini juga diberikan atau dianugerahkan oleh MPR atau MPRS, MPR Sementara. Dan ini berlangsung atas dasar Undang-Undang 45 juga. Saya memberikan perbandingan contoh ini supaya kita memahami bahwa istilah atau klaim mengatakan demokrasi bisa berbeda-beda wujudnya. Jadi hal itu juga dinamakan sistem demokrasi yang kala itu mempunyai nama jenis tersendiri yaitu demokrasi terpimpin.
Baik sistem pemerintahan dalam masa orde baru maupun orde lama. Orde lama ini julukan yang dikenakan oleh Orde Baru kepada masa kekuasaan Soekarno bersama militer. Keduanya adalah sistem presidensialisme, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 45. Dipandang dengan kacamata sekarang, masa kini, dengan ukuran pengalaman kita 10 tahun terakhir ini, kita mungkin menganggap sebagai suatu absurditas untuk menamakan keadaan politik yang terjadi.
dulu itu di zaman Soekarno dan zaman Soeharto sebagai demokrasi tetapi justru disitulah persoalannya demokrasi terpimpin Soekarno demokrasi Pancasila Soeharto menyebut dirinya sebagai demokrasi dengan memakai dasar sama yaitu Undang-Undang Dasar 45 Sistem pemerintahan juga dikatakan sama, yaitu sistem presidensial atau presidensialisme Pada zamannya masing-masing, keduanya disebut atau lebih tepat menyebut diri sebagai demokrasi berasas kedolatan rakyat berdasar Pancasila dan Undang-Undang 45. Bukankah salah satu sila adalah demokrasi? Salah satu sila dari, sila keempat namanya. Saya ingat ketika itu tahun 60, Pak Fikri masih ingat kalau nonton bioskop, kita harus lihat film PFN lebih dulu.
Pada tahun 60 itu digambarkan Presiden Soekarno berbicara di depan majelis umum PBB. Berpidato berbahasa Inggris, judulnya To Build a New World. Build the World Anew, tahun 60 itu.
Saya masih ingat mimik suara Soekarno ketika menyebut Pancasila, memperkenalkan Pancasila, dan menyebut sila keempat dengan mengatakan false democracy. Nah, itu dia katakan. Apa artinya? Bahwa dia anggap bahwa yang dilakukannya adalah demokrasi juga. Baru sekarang kita mengatakan bahwa demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila Orde Baru tidak lain dari bentuk rezim otoritarianisme.
Sehingga menamakannya sebagai demokrasi tadi saya katakan adalah absurd. Harus dicatat bahwa ketika masa kedua rezim tersebut sedang berlangsung, tidak ada bantahan yang berarti yang diutarakan secara terbuka terhadap pelaksanaan sistem berdasarkan undang-undang. Undang-Undang 45 tersebut. Kalaupun ada, maka itu dinyatakan di balik pintu atau secara tidak terbuka dan tidak langsung.
Secara bergerilya barangkali. Tapi tidak banyak artinya. Kemudian, setelah rezim demokrasi terpimpin Soekarno digulingkan, maka Orde Baru yang mengantikannya menamakannya sebagai Orde Lama yang inkonstitusional.
Demikian juga, setelah rezim Orde Baru Soeharto dengan... demokrasi Pancasili nya tumbang barulah dalam zaman reformasi kita menyebut order baru sebagai rezim otoriter dan melakukan koreksi antara lain yang terpenting ialah dengan membuat berbagai amandemen dalam undang-undang dasar 45 Empat kali amandemen yang berhasil dilakukan itu telah mengubah sistem pemerintahan dalam negara Indonesia secara luar biasa. Menjadi lebih demokratis atau memungkinkan pelaksanaan demokrasi yang lebih baik.
Lebih demokratis itu terasa dan terlihat dalam cara pemilihan presiden yang sekarang dilakukan secara langsung dan terbuka seperti baru kita alami. Tak perlu lagi diuraikan bedanya dengan pengangkatan seumur hidup bagi Soekarno dan pemilihan presiden oleh MPR dengan calon tunggal dan secara aklamasi bagi Soeharto. Jelas bedanya. Dalam sistem presidensial, sebagaimana dianud oleh konstitusi kita, kedudukan presiden amat penting dalam kehidupan bernegara. Sebelum mengalami amandemen, sistem ketatanagaraan dalam konstitusi kita sering dinilai sebagai eksekutif heavy, yaitu imbangan atau titik pusat kekuasaan terletak lebih berat ke posisi pemerintah, yaitu di tangan presiden.
Presiden. Sekarang pun setelah titik berat digeser dan kekuasaan lebih diseimbangkan dengan legislatif yaitu DPR, kedudukan kekuasaan Presiden sebagai pemerintah masih tetap menentukan, tetap sangat penting. Sistem pemerintahan adalah tetap sistem presidensial dengan kekuasaan pemerintah atau eksekutif terpusat di tangan Presiden.
Tadi telah kita katakan bahwa pemilihan umum presiden yang ketiga yang terakhir ini bisa dinilai sebagai perwujudan pelaksanaan demokrasi yang memenuhi syarat-syarat demokrasi dengan amat baik, kalau bukan yang terbaik semenjak reformasi 50 tahun. tahun lalu. Apalagi bila dibandingkan dengan apa yang kita alami di negeri ini selama 40 tahun sebelum reformasi yang juga menggunakan Undang-Undang 45 dan pemerintahan dengan sistem presidensial. Saya ingin mengecualikan proses demokrasi pada tahun 1955-1956 yang sering dipakai sebagai contoh pelaksanaan demokrasi yang baik, yaitu pemilihan umum dengan sistem pemerintahan parlementer.
Apa alasan kita untuk mengatakan pelaksanaan demokrasi sudah cukup baik? Syarat pelaksanaan demokrasi atau pemerintahan oleh rakyat antara lain yang terpenting ialah apabila keputusan yang menyangkut kepentingan bersama, kepentingan rakyat dibuat oleh rakyat. Untuk melaksanakan itu harus ada kebebasan. Kebebasan berpendapat dan mengeluarkan pendapat, berkumpul, bergabung dalam kepentingan.
dalam organisasi yang mandiri. Pejabat pemerintahan dipilih oleh rakyat dalam suatu pemilihan umum yang diselenggarakan secara berkala dengan teratur, diselenggarakan dengan adil, ada persamaan hak bagi setiap warga negara untuk memilih secara bebas, tanpa paksaan. Segalanya diselenggarakan menurut aturan-aturan yang jelas dan didasarkan pada peraturan dan undang-undang atau hukum yang dibuat dari... dengan persetujuan bersama pula sebelumnya. Boleh dikatakan, semua syarat dan kondisi yang dibutuhkan demokrasi itu ada dan berwujud dalam menyelenggarakan pemilihan umum presiden yang baru lalu.
Kita semua menyaksikannya. Pers yang bebas. partai-partai politik yang merdeka, komisi pemilihan umumnya independen, netral, dan transparan.
Kesempatan memberikan suara secara langsung, bebas, dan rahasia bagi semua yang memenuhi persyaratan. Badan-badan yang mengawasi dan menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul, semua ada dan ikut serta dalam proses pemilihan umum itu. Hampir tidak ada alasan untuk membantah bahwa proses demokrasi berlangsung sebagaimana semestinya, atau dilangsungkan secara memadai di dalam dan dengan pemilihan umum presiden itu. Jadi, Presiden terpilih berikut ini, kalau saya boleh menyebut namanya Jokowi, adalah hasil pemilihan umum Presiden yang diselenggarakan secara demokratis.
Atau Presiden terpilih... Terpilih adalah buah dari pelaksanaan sistem demokrasi. Dan Presiden terpilih itu akan memimpin negara dengan pemerintahan yang bersistem presidensial. Pemilihan umum presiden itu sendiri yang kita nilai tadi sebagai perwujudan demokrasi terselenggara di bawah pemerintahan SBI dengan sistem presidensial juga. Apa yang hendak kita simpulkan di sini?
Ternyata sistem presidensial juga bisa demokratis sifatnya atau bisa melaksanakan demokrasi. Bisa, tapi tidak berarti selalu pemerintahan sistem presidensial mesti dan pasti menjalankan asas-asas demokrasi. Yang kita bicarakan adalah mengenai sistem presidensial di Indonesia atau lebih terutama di Indonesia.
sempat pelaksanaan sistem presidensial yang pernah dialami di Indonesia. Mungkin kita tidak bisa menyangkal argumen bahwa dibandingkan dengan sistem parlementer, maka sistem presidensial ini tidak akan berhasil. presidensial cenderung lebih mudah diselewengkan menjadi pemerintahan otoritarian akan tetapi itu adalah kekecualian dengan penyelewengan walaupun itu telah pernah dua kali terjadi dalam sejarah Indonesia justru pada kesempatan ini kita saya berusaha menunjukkan bahwa sistem presidensial cocok atau kompatibel dengan dan bisa melaksanakan konstitusi itu sendiri adalah hasil perumusan dan susunan para pembuatnya, para penemunya. Pertanyaannya, mengapa para penyusun undang-undang dasar memilih membuat pemerintahan dengan sistem presidensial? Mengapa bukan sistem parlementer yang umum diterima sebagai lebih demokratis?
Banyak pandangan dan pendapat yang bisa diberikan mengenai hal ini Yang melihatnya dari segi sejarah, segi ideologi, segi politik, dan sebagainya Yang terang, dalam konstitusi pertama kita, Undang-Undang Dasar 45, Sebutannya dulu adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia saja. Baru sejak dekret Presiden tahun 1959 digunakan judul UUD 1945. Nah dalam konstitusi pertama kita itu tidak disebut dalam pasal-pasal maupun penjelasannya istilah pemerintahan sistem presidensial. Tidak perlu memang karena itu bukan istilah hukum.
Melainkan... Selain penamaan dari ilmu politik atau ilmu pemerintahan. Bahwa Presiden merupakan pemerintah yang memegang kekuasaan pemerintah, itu diatur dengan jelas dan tegas dalam bab mengenai kekuasaan pemerintahan negara. Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
Juga ada pasal yang mengatur bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Serta ayat berikutnya. Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Ini dalam Undang-Undang Dasar 45 yang orisinal, yang belum di-amendement.
Dari ketentuan-ketentuan ini jelas bahwa dalam sistem kekuasaan pemerintahan, Presiden adalah yang jadi pusatnya. Walaupun dalam kesempatan ini kita tidak ingin menganalisa mengapa para penyusun Undang-Undang 45 itu memilih sistem pemerintahan presidensial, tetapi harus dicatat atau harus diketahui bahwa Undang-Undang 1945 disusun di bawah pengawasan penguasa Jepang saat itu. Suasana anti-liberalisme, anti-individualisme amat kuat sehingga pikiran untuk sistem pemerintahan parlemen dengan kabinet yang bertanggung jawab pada parlemen yang bergantung pada mayoritas suara di parlemen pasti akan ditolak.
Sistem demokrasi liberal adalah yang dianut oleh pihak sekutu musuh Jepang dalam Perang Dunia II. Demikian pula, pasti memilih kekuasaan pemerintahan yang terpusat pada Presiden bukanlah karena dipengaruhi sistem Amerika yang dikenal sebagai sebagai pemerintahan dengan sistem presidensial sejak lama dan paling established, paling mapan. Kalau harus menduga, maka mungkin sebabnya ialah meletakkan kepercayaan pada pemimpin tertinggi, yaitu Presiden. lebih cocok dengan sistem yang dianggap sesuai dengan budaya timur, baik dalam sistem kekeluargaan di Indonesia maupun di Jepang, yang memberi penghormatan pada pimpinan tertinggi, kepala keluarga yang dianggap pasti adil dan bijaksana, serta selalu mengayomi warganya.
Atau barangkali dipengaruhi Führerprinsip yang dipakai oleh fasisme Jerman, negara satu kubu dengan Jepang melawan sekutu. Itu tidak ingin saya perdebatkan sekarang dan bukan bahan diskusi untuk malam ini. Dalam Undang-Undang 45 tidak diatur, tidak disebut tentang pemilihan umum, apalagi dengan rakyat memilih langsung.
baik untuk Presiden maupun untuk DPR. Cara Presiden dipilih bukan langsung oleh rakyat, melainkan oleh MPR, walau ditulis dengan suara terbanyak. Begitu pula dengan DPR, tidak disebut harus melalui pemilihan umum, hanya bahwa susunan DPR ditetapkan dengan undang-undang.
Dalam konstitusi itu juga tidak disebut tentang kabinet atau dewan menteri. Dalam sistem presidensial, presiden mengangkat menteri-menteri sebagai pembantunya, tetapi kekuasaan pemerintahan terlalu besar. tetap ada di tangan Presiden yang berwenang membuat keputusan. Letak kewenangan memutuskan kebijakan bukan pada kolektivitas yang disebut kabinet atau sidang kabinet. Sekarang ini dalam sistem presidensial seperti sekarang, penyebutan, sering orang menyebut begitu, keputusan sidang kabinet itu adalah salah kaprah.
Tidak ada kekuatan hukumnya keputusan sidang kabinet. Yang ada adalah keputusan pemerintah. Pemerintah adalah identik dengan presiden. Presiden dan para menteri tidak bertanggung jawab pada DPR, sebaliknya Presiden tidak berkuasa untuk membubarkan DPR. Mengenai partai politik, Undang-Undang 45 tidak menyebut apa-apa.
Masih mengenai sistem presidensial menurut Undang-Undang 45 sebelum amandemen yang orisinal. Presiden tadi sudah saya sebut juga dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak. Jadi tidak perlu...
atau tidak mungkin diadakan pemilihan umum untuk memilih presiden secara langsung seperti yang dilakukan sekarang. Untuk pertama kali tahun 1945, karena belum ada MPR, presiden dan wakilnya dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Maka, Saudara-saudara, dari tahun 1945 sampai tahun 2004, Hampir 60 tahun, tidak pernah ada pemilihan umum presiden secara langsung. Tapi Undang-Undang 45 mengatakan ada demokrasi. Mengenai partai politik, mula-mula pada hari-hari pertama saya sudah proklamasi, saya bawa saudara-saudara 60 tahun yang lalu, ditetapkan dalam rapat penitia persiapan kemerdekaan Indonesia untuk mendirikan satu partai politik saja.
Sebuah partai negara yang dinamakan, kalau saya tidak salah, partai nasional. pada saat itu. Tapi umurnya pendek karena dalam beberapa bulan sistem presidensial ditinggalkan dan dibentuk pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri Perdana Menteri Syahrir waktu itu yang bertanggung jawab pada sebuah badan semacam Dewan Perwakilan Rakyat Sementara yaitu Komiti Nasional atau Komiti Nasional Indonesia Pusat.
Partai-partai politik pun dibentuk pada permulaan November 1945 Kita tidak bisa menilai dengan demikian pengaruh sistem presidensial pada pelaksanaan demokrasi untuk kurun 45-49 Walaupun konstitusi yang berlaku tetap undang-undang 45 Sejak tahun 50 undang-undang 45 Undang 45 tidak berlaku sampai tahun 1959, sehingga sistem presidensial pun tidak dijalankan karena pada waktu itu yang digantikan dengan sistem pemerintahan parlementer. Pemerintahan dilakukan oleh Dewan Menteri atau Kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri. Presiden adalah Kepala Negara, tidak menjadi Kepala Pemerintah atau Kepala Eksekutif.
Dalam masa undang-undang dasar sementara 50 ini, tadi saya sudah sebut, untuk pertama kali Indonesia mengalami pemilihan umum pada tahun 55 untuk memilih anggota DPR dan setahun kemudian untuk memilih anggota konstituante tahun 56. Berbeda dengan Undang-Undang Dasar 45, Undang-Undang Dasar Sementara 50 menentukan bahwa anggota, jadi tertulis anggota DPR dipilih dalam suatu pemilihan umum oleh warga negara Indonesia yang memenuhi syarat-syarat. Pemilihan umum memang merupakan salah satu syarat demokrasi, tetapi adanya pemilihan umum belum tentu membuktikan bahwa demokrasi berjalan. Dalam negara otoriter, bahkan totaliter sekalipun, juga diselenggarakan pemimpinan umum secara berkala. Presentase yang ikut mencoblos, kalau bahasa politiknya, turn out mereka yang datang ke TPS untuk... untuk mencoblos lebih dari yang ada di negara-negara demokrasi bebas.
Di negeri kita, selama masa order baru juga pemilu diadakan setiap 5 tahun dan dinyatakan sebagai pemilu yang berasas luber, langsung, umum, bebas, dan rahasia. Tapi kita mengatakan setidak-tidaknya sekarang, pemilu-pemilu itu di zaman Oral Baru tidak mencerminkan demokrasi. Sistem presidensial kembali dipakai sejak dekret Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan oleh Soekarno sebagai Presiden dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang. Yang isinya membubarkan konstituante dan...
dan menetapkan bahwa Undang-Undang Dasar 45 berlaku menggantikan Undang-Undang Dasar sementara tahun 1950. Kita tidak bisa menilai apakah sistem presidensial pada masa itu dijalankan sesuai dengan keadaan masyarakat. sesuai dengan konstitusi atau tidak. Sehingga tidak banyak gunanya pula untuk menilai seberapa jauh sistem presidensial itu kompatibel dengan demokrasi atau tidak.
Pada saat itu kekuasaan pemerintahan dijalankan secara otoriter, sangat otoriter, dan mendasarkan segala sesuatu pada revolusi di bawah pimpinan pemimpin besar revolusi Presiden Panglima Tertinggi Soekarno. Ada tambahan lagi banyak penyambung lidah rakyat dan sebagainya Terlalu banyak hal-hal yang luar biasa yang dilakukan pada masa itu Apakah berupa terobosan, pelanggaran, pengingkaran, pendobrakan konstitusi Yang tidak akan ada habisnya jika akan dipaparkan kembali satu demi satu Pada saat itu tahun 1959, belum sampai setahun, Presiden membubarkan Parlemen. Kenapa?
Karena Parlemen tidak menyetujui rancangan APBN. Dan Presiden Soekarno menyusun sendiri, menyusun sendiri, Parlemen baru yang dinamakannya DPR gotong royong. Padahal undang-undang 45 yang sudah diberlakukan melalui dekretnya sendiri tidak memberi wewenang, bahkan menyebut secara eksplisit Presiden tidak bisa membobarkan DPR. Ini contoh-contoh pengingkaran konstitusi. Dan kemudian Soekarno menjadikan pidatonya, pidato pada tanggal 17 Agustus tahun 1959. Dia suka slogan, suka judul, dia beri nama manifesto.
politik, pidatonya itu diangkat sebagai garis besar haluan negara. Garis besar haluan negara itu harus ditetapkan oleh oleh MPR. Tapi MPR belum terbentuk pada saat itu. Maka siapa yang menetapkan Soekarno memerintahkan Dewan Pertimbangan Agung yang dia baru dibentuk, itu yang dipakai untuk mengesahkan GBHN.
Bisa segala macam terjadi pada saat itu. Undang-Undang 45 dipakai sebagai bagian dari slogan. Zaman itu dibanjiri dengan slogan-slogan politik.
Soekarno gemar sekali dengan slogan. Lamat-lamat sekarang saya dengar ada yang mau pakai 1-2 slogan Soekarno kembali. Sayang. Jadi Undang-Undang 45 itu dipakai sebagai bagian dari slogan Landasan Refugee.
landasan revolusi USDEC mungkin kita semua masih ingat USDEC itu apa? Kependekan U, Undang-Undang 45 S, Sosialisme Indonesia D, Demokrasi Terpimpin E, Ekonomi Terpimpin dan K, Kepribadian Nasional Puncak keluar biasaan inkonstitusional yang terakhir ialah ketika MPR sementara menganugerahkan pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Selain dari gelar panglima besar revolusi, ini semua berlangsung dalam masa di mana dikatakan Undang-Undang 45 dinyatakan berlaku sebagai hukum dasar negara.
Apakah relevan untuk mengukur apakah sistem presidensial mengandung kadar demokrasi atau tidak dalam zaman revolusi Gaya Soekarno itu? Kita terdorong untuk mengatakan bahwa karena sistem presidensial yang tersedia dalam... Undang-Undang 45, maka Presiden Soekarno bisa melakukan penyimpangan-penyimpangan ekstra konstitusional maupun inkonstitusional dengan alasan revolusinya.
Barangkali bukan begitu sebetulnya. Soekarno dan militer memang memakai peluang yang tersedia dalam Undang-Undang 45. Tetapi yang dilakukannya bukan sekedar memanfaatkan kelonggaran sistem presidensi. Sial melainkan menjalankan kekuasaan di luar dan melanggar konstitusi sama sekali sekalipun undang-undang dasar tadi dipakai sebagai salah satu slogan dalam usdeq yang tadi telah kita sebutkan Undang-Undang 45 memang sangat ringkas dan luwes atau dengan kata lain, kurang lengkap mengatur batas-batas dan hubungan kekuasaan, khususnya dalam perwujudan asas kedaulatan rakyat atau demokrasi.
Namun, melihat sepak terjang Presiden Soekarno dengan revolusinya saat itu, andai katapun, batasan-batasan konstitusi lebih lengkap dan tegas tetap akan didobrak. dan tidak dihiraukan olehnya. Soekarno menolak legalisme, apalagi formalisme legal.
Jika menghalangi revolusi, seru Soekarno, sekalipun konstitusi harus dijebol. Sebagai selingan saya ingin katakan, Soekarno itu mengatakan begitu dengan gagah meniru kata-kata Karl Marx bahwa konstitusi dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk konstitusi. Jadi dia niru tapi kedengarannya gagah buat orang-orang zaman itu. Karena itu, ketika kekuasaan berpindah ke Orde Baru Soeharto, Bandul mengayun ke arah sebaliknya.
Semboyan yang dipakai ialah melaksanakan Undang-Undang Dasar 45 secara murni dan konsekuen. Karena rezim order lama Soekarno telah menyeleweng dan bertindak inkonstitusional. Menjatuhkan kekuasaan Soekarno dengan paksa hanya mendapatkan pembenaran atau justifikasi.
dengan mengatakan ada penyelewangan Undang-Undang Rasal 45 atau inkonstitusionalitas dari Soekarno. Karena itu, yang menggantikan harus membuktikan melakukan tindakan yang tidak sama atau melakukan yang sebaliknya. Maka Orde Baru Soeharto pun bersifat sangat konstitusionalistis.
Namun hasil akhirnya tetap sama seperti yang kita alami sendiri. Dengan mengikuti kata-kata konstitusi sampai berikrar tidak akan mengubah Undang-Undang 45 walaupun satu kata saja Rezim Soeharto berkuasa dengan otoriter selama 30 tahun dengan rekayasa politik dan dukungan militer Secara formal menjalankan pasal-pasal konstitusi termasuk sistem presidensialnya akan tetapi tidak mewujudkan asas demokrasi yang jadi dasar konstitusi itu sendiri. Akhirnya kita bisa memahami. Kalaupun bukan merupakan kesimpulan, bahwa sistem presidensial dalam Undang-Undang 45 sebenarnya bukan pada hakikatnya tidak demokratis, tetapi pelaksanaannya yang tidak demokratis atau bisa tidak demokratis.
Pelaksanaan yang tidak demokratis dengan rekayasa atau manipulasi atau dengan melanggarnya secara kasar harus diakui disebabkan mendapat peluang celah atau kemuliaan. karena Undang-Undang 45 yang longgar dan tidak lengkap. Keluasan dan ringkasnya Undang-Undang 45 telah dimanfaatkan oleh kekuasaan ke arah yang ademokratik, yang tidak demokratis. Sebenarnya, secara logika biasa, jika kelonggaran dan keluasan bisa dimanfaatkan untuk akumulasi kekuasaan, menjadi otoriter, maka keluasan yang sama juga bisa digunakan untuk pelaksanaan kekuasaan yang demokratis. Bergantung pada penguasanya sebetulnya.
Tapi sampai dengan akhir kekuasaan Orde Baru Soeharto itu tidak terjadi. Kekuasaan cenderung untuk lebih berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya. Begitu biasanya. Maka tepatlah dan tidak bisa lain lagi bahwa tindakan reformasi pertama yang dilakukan adalah membuat amendement pada Undang-Undang 45. Amendement pertama dari empat kali amendement seluruhnya memberi prioritas untuk menutup kelemahan-kelemahan dalam aturan mengenai kekuasaan pemerintahan atau pada kekuasaan presiden. Jadi prioritas pada perbaikan sistem presidensial.
Salah satu contoh Contoh ialah mengubah Pasal 7 yang mengatakan Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Rumusan sesudahnya dapat dipilih kembali telah membuka peluang bagi Jenderal Soeharto untuk dipilih kembali selama enam kali. Amandemen pertama mengubah menjadi dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk untuk satu kali masa jabatan.
Dalam amendement-amendement yang dibuat, sistem presidensial diatur dengan lebih rinci dan dilengkapi. Tapi sistem itu tidak diganti dengan sistem yang lain. Peluang-peluang untuk dimanipulasi menjadi tidak demokrat.
dalam pelaksanaan dikurangi atau ditutup. Yang terpenting diantaranya sebagai perwujudan semangat demokrasi ialah ketentuan, ketentuan amandemen presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat yang dibuat dalam amandemen ketiga. Jikalau ketentuan pemilihan langsung ini kita terima sebagai unsur penentu dalam demokratisasi sistem presidensial, maka itu artinya kita juga menerima bahwa Undang-Undang 45H hasil amandemen ini sebetulnya saya mengalami kebingungan untuk menyebut undang-undang 45 yang sekarang ini apa saya sebut saja undang-undang 45 hasil amandemen saya kira belum ada eh hai hai nama yang resmi dan sebetulnya enggak perlu nama yang resmi nama yang resmi adalah undang-undang negara Republik Indonesia itu yang nama undang-undang dasar negara Republik Indonesia Pembatasan dan perimbangan kekuasaan di sana, checks and balances dalam sistem presidensial Undang-Undang 45 yang sudah diamanemen juga cukup nyata. Kita lihat satu persatu. Pembatasan utama, pembatasan, checks.
Presiden RI memegang kekuasaan menurut Undang-Undang dasar. Implikasinya, Presiden RI menjalankan kekuasaan dengan Undang-Undang. Dengan menetapkan peraturan pemerintah. sesuai dengan undang-undang. Artinya, Presiden tidak bisa memerintah di luar ketentuan undang-undang.
Itu adalah pembatasannya. Perimbangan kekuasaan terlihat. Jika peraturan pemerintah bertentangan dengan undang-undang, Mahkamah Agung bisa melakukan review pengujian dan membatalkan peraturan pemerintah tersebut. Undang-undang sendiri dibentuk dan dibuat oleh DPR dengan persetujuan Presiden. Apabila suatu undang-undang melampaui atau berlawanan dengan undang-undang dasar, maka Mahkamah Konstitusi bisa menguji undang-undang tersebut dan bisa menyatakan batal dan tidak berkekuatan hukum lagi.
Begitulah kekuasaan pemerintahan dalam sistem presidensial dibatasi dan diimbangi kekuasaan lembaga negara lainnya. Orang mengatakan bahwa sekarang walaupun tetap memakai sistem presidensial, tadi seperti dikatakan pengantar oleh Saudara Guntur, tetapi demokratisasi yang mengiringinya telah membuat keefektifan pemerintahan menjadi berkurang. Sebenarnya ini telah mulai terasa sejak reformasi tahun 1999, meskipun belum ada pemilihan presiden secara langsung.
Pemerintah eksekutif dalam menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintahan dalam membuat keputusan politik seperti tersandra oleh kekuatan-kekuatan partai politik di DPR yang mempunyai kepentingan-kepentingan berbeda-beda. Ringkasnya, kata orang, pemerintahan dengan sistem presidensial tidak cocok dengan sistem multi-partai. Presiden yang memerintah akan menjalankan roda pemerintahan dengan tersendat sendiri.
apabila tidak mendapat sokongan mayoritas suara di dalam parlemen. Dengan adanya multipartai, maka biasanya untuk memperoleh sokongan mayoritas, Presiden harus menggalang gabungan partai-partai yang lazim disebut koalisi partai politik. Keharusan menggalang koalisi itu, atau keterpaksaan sebenarnya, sebabnya ialah bahwa dengan multi partai seperti di Indonesia, hampir tidak mungkin satu partai akan memenangkan mayoritas mutlak, bukan pluralitas, dalam pemilihan umum legislatif. Maksud saya mayoritas sumber telak lebih dari 50 persen.
Kalau pluralitas, PDIP itu punya pluralitas dibandingkan yang lain-lain sekarang. Lalu, oleh karena itu terpaksa mengerahkan dukungan dengan berkoalisi. Maka tawar-menawar pun tidak bisa dihindarkan akan terjadi. Dalam tawar-menawar ini, bahasa itunya bargaining, Dagang politik, bahasa bagusnya transaksional katanya, yang sekarang suka dipakai-pakai.
Yang jadi acuan ialah kepentingan-kepentingan kelompok atau partai, sehingga manfaat bagi kepentingan umum atau kepentingan negara tidak diutamakan atau disingkirkan. Kalau berbicara mengenai kondisi keparteian Indonesia, dari permukaan tampaknya memang sulit atau hampir tidak mungkin untuk tidak mengusahakan koalisi dalam sistem multipartai. Sedangkan sistem multipartai... partai itu tidak terhindarkan adanya di negeri ini mengingat begitu banyak kepentingan-kepentingan politik yang hidup dan memilih tetap berdiri sendiri-sendiri ketimbang bergabung dengan landasan program politik yang serupa. Dalam konstitusi yang sudah diamandemen tidak diatur secara langsung mengenai partai politik.
Hanya secara tidak langsung, misalnya disebutkan peranan partai politik di dalam aturan mengenai pemilihan umum, yaitu bahwa peserta pemilihan umum untuk DPR dan DPRD adalah partai politik. bukan individu dan mengenai pemilihan presiden bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik berserta pemilihan umum Dengan demikian, secara konstitusional, adanya dan perlunya partai politik diakui. Tidak seperti dalam Undang-Undang 45 yang orisinal, yang tidak menyebutkannya sama sekali. Jadi sekarang tidak ada pemilihan umum bagi badan legislatif tanpa partai politik. Jadi pesertanya adalah parpol, bukan anggota parpol.
Dan tidak ada calon presiden tanpa diusulkan partai politik. Cuma tidak disebutkan mengenai sistem kepartaian dan jumlah yang dibolehkan. Misalnya apakah partai tunggal, dui partai, sedikit partai, atau multi partai.
Namun tersirat secara implisit, konstitusi, ini kalau baca konstitusi tidak harfiah ya, mengisyaratkan adanya banyak partai, paling tidak lebih dari... Mengapa? Ini terbaca dari ketentuan pengusulan calon presiden yang dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik beserta pemiliu.
artinya jamak. Selain itu, bahwa ada kemungkinan pemilihan presiden berlangsung dua putaran menunjukkan pikiran terbukanya kemungkinan partai politik lebih dari dua. Kalau cuma dua, kan cuma satu putaran seperti sekarang. Dua kelompok. Kalau memang dianggap dui partai atau sedikit partai lebih cocok untuk sistem presidensial, dan sebaliknya, bila mur...
multipartai hanya cocok untuk sistem pemerintahan parlementer maka pada kita hanya tinggal dua pilihan. Jika tetap ingin sistem presidensial maka struktur kepartai yang dirombak dari multipartai menjadi dua atau tiga partai. Kalau merombak dengan paksa maka itu sama seperti yang dilakukan oleh Orde Baru Soeharto dulu. Jika multi partai tidak bisa diubah dan ingin pemerintahan yang sesuai, maka sistem presidensial yang terpaksa dirombak menjadi sistem parlementer.
Itu melalui amendement konstitusi lagi. Keliatannya kedua pilihan ekstrim ini mustahil terjadi. Saudara-saudara, batasan yang diletakkan dalam konstitusi tentang sistem presidensial tidak perlu jadi halangan. Karena asumsi bahwa itu tidak cocok dengan multi partai belum tentu. itu mutlak benar.
Maksud saya, belum tentu faktor multi partai yang tak terhindarkan dan keterpaksaan berkoalisi menjadi halangan atau kendala mutlak. Yang penting ialah bagaimana proses politik dilakukan agar pemerintah bisa berjalan efektif tapi demokrasi tetap terjaga. Di dalam sistem presidensial dengan dui partai yang sudah sangat mapan pun seperti di Amerika misalnya bisa terjadi kemacetan-kemacetan karena presiden yang terpilih atau yang memerintah pernah hanya didukung oleh partai minoritas dalam badan legislatif dan kemudian Oleh karena itu, melalui negosiasi yang tidak berhenti, tawar-menawar dan kompromi politik, selalu bisa diusahakan jalan keluar yang aman meskipun prosesnya membuat capek, melelahkan.
Tapi itu adalah kewajiban pimpinan negara dalam suatu sistem politik tertentu. Ada hal lain yang ingin saya berikan sebagai catatan. Sebenarnya, secara konstitusional tidak diatur mengenai cara pengambilan keputusan di DPR.
Tidak dikatakan melalui pemungutan suara. Tidak dikatakan dengan suara terbanyak. Sistem suara terbanyak bukan menjadi keharusan di dalam konstitusi kita. Apa yang ada di dalam konstitusi kita, dalam batang tubuh, dalam pasal-pasal, tidak ada satu kata pun. Tetapi dalam pembukaan, itu tersirat di dalam Pancasila.
Pancasila mengatakan, mengacu pada kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Apa artinya? Kerakyatan adalah demokrasi. Jadi demokrasi menurut Pancasila bukan demokrasi voting, bukan demokrasi suara terbanyak, tapi permusyawaratan, perwakilan.
Demokrasi representatif, tapi bermusyawarat. Dan mereka percaya akan ada hikmah kebijaksanaan di situ. Bukan hanya di Indonesia ada sistem presidensial dengan multi partai, tapi masing-masing sistem di setiap negara Mencari kombinasi-kombinasi upaya politik dan upaya legal yang memungkinkan eksekutif menjalankan tugas pemerintah. Pihak pemerintah mengusahakan dari satu isu atau satu masalah ke yang lain dari hari ke hari untuk mendapat dukungan mayoritas dalam pemungutan suara di parlemen.
Tidak harus menggalang koalisi permanen jika memang kesempatan itu tidak ada. Dengan koalisi insidental atau saya sebut koalisi program atau koalisi untuk kebijakan tertentu, pemerintahan masih bisa dijalankan tanpa mayoritas permanen. Seberapa banyakkah Presiden punya uonan konstitusional dan seberapa besarkah ketergantungan eksekutif pada kekuasaan DPR?
Bagaimana bila terjadi kemacetan dan deadlock dalam persetujuan undang-undang? kesulitan akan timbul memang. Karena itu banyak pendapat mengatakan sistem presiden sosial seharusnya tidak digabung dengan sistem multipartai karena kekhawatiran mengenai kemacetan itu. Nah, kedua kondisi itulah yang menghasilkan pemerintahan yang kurang atau tidak efektif.
Sistem presidensial, ada kemungkinan pemerintahan minoritas, multi-partai, DPR. Sebaliknya, saudara-saudara, walau kurang disadari ketika kita mengeluh mengenai pemerintahan minoritas dan sistem multipartai, pemerintahan mayoritas pun membawa risiko, baik itu mayoritas dalam sistem dua partai atau multipartai. Dengan dasar Undang-Undang 45, pemerintahan mayoritas bisa berkuasa untuk menjalankan kebijakan dan undang-undang apa saja yang dikehendaki, termasuk membuat peraturan darurat seperti PERPU.
setiap waktu tanpa alasan kegentingan yang memaksa. Karena apa? Karena dengan menguasai mayoritas suara, setiap perpu yang sebetulnya disusun sebagai peraturan pemerintah yang mempunyai Hanya kekuatan undang-undang. Tapi dengan alasan darurat. PERPU itu akan disetujui.
Dan dileloskan jadi undang-undang oleh DPR. Apabila mengendalikan mayoritas di parlemen. Cara itu bisa menjadi apa yang disebut. Governing atau government by decree.
Memerintah dengan titah. Seperti berkuasa mutlak. Jadi ada risikonya mayoritas itu juga dalam sistem undang-undang kita, undang-undang dasar kita.
Dalam soal sistem presidensial dengan dukungan mayoritas absolut, kita pernah mengalami selama 30 tahun di bawah... kekuasaan Presiden Soeharto. Tapi masa seperti itu mungkin tidak akan kembali, karena Undang-Undang 45 sudah diamanemen, terutama dengan didirikannya Mahkamah Konstitusi.
sebab apabila suatu pemerintahan yang mendapat dukungan penuh dari mayoritas menyalahgunakan kekuasaan untuk membuat undang-undang yang isinya tidak sesuai dengan asas konstitusi makamah konstitusi bisa diminta untuk menyatakan undang-undang itu tidak berlaku dalam hubungannya ini masih ada Dia suruh saya minum, saya minum dulu ya. Dalam hubungannya dengan kekuatan dukungan di badan legislatif, sebenarnya Presiden masih cukup mendapat kewenang konstitusional untuk mengambil bagian dalam legislasi, dalam proses pembuatan undang-undang. Memang benar bahwa setelah amandemen tersurat, Presiden tidak lagi memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR. Pada amandemen yang pertama, pasal itu diganti dengan Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, sedangkan DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Kalau dilihat dari sini maka tampaknya kekuasaan legislatif presiden sudah diambil alih oleh DPR.
Tetapi sebetulnya tidak sepenuhnya diambil alih. Karena setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Jadi kalau mengatakan tersandra, sebetulnya seluruh DPR tersandra oleh Presiden dalam membuat undang-undang. Artinya pembentukan undang-undang itu masih bergantung penuh pada Presiden. Sebab, kata konstitusi, jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, artinya persetujuan Presiden juga, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
Jadi, Presiden bisa menolak dan mengagalkan pembentukan undang-undang yang diusulkan DPR dengan cara tidak memberikan persetujuan bersama. Artinya, Presiden tetap memegang kekuasaan. kekuasaan negatif untuk mengatakan tidak dalam legislasi.
Dengan aturan seperti ini, Presiden Indonesia tidak memerlukan hak veto seperti yang ada dalam sistem pemerintahan Amerika Serikat. Karena Presiden Indonesia sudah bisa memveto dari sejak pembahasan RUU rancangan undang-undang. Nah, selain kekuasaan negatif, Presiden juga punya hak positif dalam pembentukan undang-undang, yaitu berhak mengajukan rancangan undang-undang ke DPR. Jadi dilihat dari segi isi, bukan dari kata-kata, Presiden Indonesia tidak akan mencari kekuasaan negatif. Indonesia tidak berkurang kekuasaan atau pengaruhnya dalam pembentukan undang-undang setelah konstitusi di amandemen, meskipun secara nominal, secara sebutan, tidak lagi memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
Satu pokok lagi yang penting dalam hubungan dengan perlunya dukungan mayoritas bagi Presiden di DPR ialah dalam hal menetapkan anggaran, pendapatan, dan belanja negara. Seperti kita ketahui, anggaran negara adalah dasar, dan pokok paling penting, paling menentukan dalam politik dan arah kebijakan pemerintahan. Percaturan politik dalam negeri biasanya berkisar pada masalah menetapkan anggaran negara. Dalam konsentrasi, konstitusi kita ditentukan bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang. Dengan undang-undang, artinya karena berbentuk undang-undang, maka harus ditetapkan dengan persetujuan DPR.
Dalam konstitusi juga dikatakan bahwa DPR memiliki fungsi anggaran. Para anggota DPR sering memelesetkan fungsi anggaran dalam konstitusi itu dan menyebutnya sebagai hak budget DPR, walaupun implikasinya bisa berbeda. Dari segi penentuan anggaran ini jelas terlihat bagaimana tergantungnya pemerintah atau presiden pada keputusan DPR.
yang berarti bergantung pada dukungan mayoritas di DPR. Tanpa cukup dukungan, rencana anggaran yang diusulkan Presiden bisa ditolak. Ketergantungan ini tentu besar artinya, khususnya untuk pemerintahan minoritas.
Tapi tidak segawat yang dikhawatirkan, yaitu bahwa risiko program pemerintah menjadi macet total. Karena bagi pihak eksekutif, eksekutif, pemerintah, pemerintah minoritas masih tersedia penyangga pengamanan. Ada fallback-nya sebab konstitusi menyiapkan jalan alternatif apabila penolakan itu terjadi, yaitu pemerintah menjalankan anggaran pendapatan dan belanja negara tahun yang lalu.
Jadi pemerintahan selalu masih tetap bisa berjalan. Namun sepengetahuan saya, peristiwa semacam itu belum pernah terjadi. Dalam soal penyusunan anggaran ini, konstitusi yang sudah diamandemen memberi kelebihan bagi pihak presiden atau pemerintah.
Yaitu bahwa rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara itu diajukan atau diusukan oleh presiden. Artinya dirancang oleh pemerintah, bukan oleh DPR. Umumnya dalam pembuatan undang-undang, sebagai kita ketahui anggaran negara juga berupa undang-undang, baik Presiden maupun anggota DPR sama-sama mempunyai hak untuk mengajukan usul rancangan undang-undang. Kecuali dalam rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara, usul hanya diajukan oleh pihak Presiden semacam hak untuk mengajukan usul rancangan undang-undang.
eksklusif yang tersirat bagi pemerintah. Ini sering dicoba untuk disangkal oleh para anggota DPR dengan memaksa ikut merancang anggaran dari tingkat permulaan. Kekhawatiran bahwa seorang presiden akan menjadi presiden minoritas, seperti kira-kira sekarang ini ada kekhawatiran itu, yang tersandra oleh oposisi di parlemen yang bergabung dengan suara lebih banyak, memang ada dasarnya, tapi tak perlu dibesar-besarkan.
Deadlock dalam pembuatan undang-undang mudah terjadi. Tapi seperti saya katakan tadi ada beberapa peluang-peluang. Dalam sejarah kepresidenan, sejak deformasi, sebetulnya memang tidak pernah ada presiden yang berasal dari satu partai politik mayoritas yang mendapat lebih dari 40 persen suara.
Apalagi lebih dari 50 persen. Jadi kenyataan ini tidak bisa disangkal. dan akan tetap jadi kenyataan untuk masa akan datang yang tidak pendek. Hanya pada masa Soeharto, dengan mudah Partai Pemerintah, Golkar, meraih 70-80% suara di DPR.
Hanya pada masa itu. Sekarang setiap presiden harus selalu mengusahakan aliansi atau koalisi partai-partai yang dalam perjalanannya tentu partai-partai itu tidak selalu setia berada dalam satu kubu untuk tiap isu politik yang berbeda-beda. Kita telah ketahui dari pengalaman kita 5 tahun atau 10 tahun terakhir ini. Dalam sistem parlementer dengan multi partai, koalisi dibentuk sebelum Perdana Menteri terpilih.
Dalam sistem presidensial seperti di Indonesia, koalisi atau aliansi biasanya dibentuk setelah presiden terpilih dalam pemilihan umum. Itu bedanya. Memang dibutuhkan keterampilan dan ketekunan berpolitik, persuasi, negosiasi, kalau perlu konfrontasi, rekonsiliasi, kompromi, dan lain-lain dari pimpinan pemerintahan atau presiden sendiri untuk menjaga keutuhan dan kekompakan dari aliansi atau koalisi apabila itu bisa terbentuk. Ini tidak pernah berhasil dilakukan karena mungkin tidak diusahakan dengan sungguh-sungguh dalam riwayat dua masa kepresidenan yang terakhir ini, yaitu presiden yang sama namanya SBY. Keterpilihan yang tinggi ternyata bukan berarti mutu kepemimpinan yang sama tinggi.
Ini pelajaran yang didapat dari pengalaman 2004 dan 2009. Hal yang serupa bisa saja juga terjadi untuk 2014. Pada akhirnya, soalnya terutama bergantung pada kemauan dan kemampuan kepemimpinan politik presiden yang bersangkutan dalam sistem presidensial kita sekarang. Mengenai kemampuan Kemampuan itu berhubungan sedikit banyak dipengaruhi besar kecil tantangannya Dengan sistem multi partai maka presiden dituntut untuk bisa mengendalikan politik partai Baik itu untuk dukungan internal partai sendiri maupun politik antar partai Untuk pertama kali presiden yang akan datang ini, Tuan Jokowi, bukan ketua umum atau pemimpin partai. Juga bukan primus inter pares, bukan tokoh yang dituakan.
dalam partai. Hal ini tentu akan membawa kendala khusus bagi mobilisasi dukungan kebijakannya. Tapi kita percaya dia bisa. Ada yang masih mengeluhkan bahwa kekuasaan presiden Presiden dalam sistem presidensial Indonesia lebih lemah dibandingkan dengan sistem presidensial Amerika Serikat selain karena adanya perbedaan multi partai dan dui partai di Amerika Serikat.
Keluhan itu salah tempat atau agak keliru. Presiden Indonesia lebih kuat kedudukan legislasinya dari Presiden Amerika Serikat seperti tadi sudah kita singgung sedikit. Kelemahan Presiden Indonesia ialah tidak punya hak veto seperti Presiden Amerika, demikian kata orang. Hak veto ialah hak Presiden Amerika Serikat untuk menolak menandatangani rancangan undang-undang yang sudah disetujui Kongres. Itu adalah hak reaktif dari Presiden dalam legislasi bila tidak menyetujui yang diperlukan.
putuskan Kongres. Meskipun Kongres bisa membatalkan veto itu kembali dengan dukungan 2 per 3 suara di Dewan Rakyat, House of Rep dan Senat. Hak veto yang reaktif semacam ini itu tidak dibutuhkan di sini.
Karena Presiden Indonesia ini saya ulangi yang saya katakan tadi, bisa interaktif tidak reaktif, interaktif ikut mengendalikan proses legislasi dari dan dalam masa pembahasannya di DPR. Di Amerika Serikat kekuasaan pembuatan undang-undang semata-mata adalah di tangan Kongres dan tidak bisa dicampur di Presidennya. Sebaliknya, kalau Presiden Indonesia tidak setuju dengan DPR, dia tidak perlu menunggu sampai pembahasan selesai dan bereaksi dengan hak veto seperti di Amerika.
Presiden Indonesia bisa tidak setuju dari awal, baik untuk sebagian atau seluruh rancangan undang-undang yang diajukan. Buat apa hak veto? Boleh dikatakan sejenis veto selalu bisa dinyatakan oleh Presiden Indonesia dalam tiap pembahasan.
bahasan rancangan undang-undang DPR. Ini saya uraikan secara teoritis. Bahwa secara teoritis ini diketahui bukan artinya Presiden yang bersangkutan berani melaksanakannya.
Dan saya bersaksi itu akibat ketidakberanian, bukan karena tidak tahu. Sehingga banyak undang-undang yang ya kurang baiklah. Ada beberapa lagi kelemahan dan kurang efektifnya jalan pemerintahan yang penyebab kesalahannya ditimpakan pada kombinasi sistem presidensial dan sistem multipartai. Kesalahan struktural katanya. pendapat itu kurang tepat karena ternyata kekurangan dan kelemahan lebih terletak pada pelaksanaan politik pemerintahan yang kurang maksimal.
Lebih spesifik lagi, kepemimpinan pemerintahan, yaitu presiden yang kinerja politiknya, performance politiknya, kurang atau minimal. Dalam demokrasi, kehendak rakyat yang berlaku. Apabila ada kekurangan yang merugikan yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga tidak sesuai dengan kehendak rakyat, maka rakyat berhak untuk menyuarakan ketidakpuasannya. Kondisi demokrasi yang ada sekarang cukup memberikan kebebasan untuk itu, baik melalui pers maupun melalui banyak media lain yang tersedia.
Cukup bebas, sangat bebas bahkan. Tapi bagaimana kalau kritik, keluhan, desakan, dan gerakan masyarakat sipil tidak juga membuat perubahan dan perbaikan? Salah satu sifat dasar atau prasyarat demokrasi ialah yang bisa diremuskan sebagai rakyat mempunyai kekuasaan untuk membuat keputusan dan sekaligus memegang hak untuk membuat keputusan. membalikkan keputusannya.
Kalau saya boleh terjemahkan ke bahasa Inggris, ini saya coba-coba ke bahasa Inggris, bukan dari bahasa Inggris saya kutip ke bahasa Indonesia, to have the power to decide. And to reserve the power to reverse the decision. Itu hakikat demokrasi.
Bisa memilih, bisa memutuskan, bisa menyadari pilihan salah, bisa membalikkan kembali pilihannya. Maksudnya dalam mengambil setiap keputusan selalu ada kemungkinan bahwa ternyata keputusan atau pilihan itu keliru dan rakyat berhak untuk membuat pilihan lain atau keputusan lain untuk memperbaiki. demokrasi dan sistem presidensial yang sekarang, presiden adalah pilihan, hasil keputusan rakyat sebelumnya.
Apabila kinerjanya tidak memuaskan, maka rakyat berhak untuk mengubah keputusannya. yaitu dengan memilih presiden lain pada kesempatan yang secara demokratis tersedia, yaitu pemilihan umum berikutnya. Oleh sebab itu, sebagai konsekuensinya, pemilihan umum harus secara berkala dan teratur.
Itu adalah syarat dari pelaksanaan demokrasi. Bila kita aplikasikan prinsip itu pada keadaan sekarang, Maka jika banyak keluhan dan ketidakpuasan terhadap kepemimpinan presiden periode ini, saudara Guntur tadi sudah mengumumkakan, yang notabene merupakan pilihan yang diputuskan rakyat sebelumnya, maka rakyat memperbaiki keputusan yang salah dengan tidak lagi memilih presiden yang sama dalam pemilu berikut. Tapi karena memang presiden yang menjabat sekarang ini tidak lagi bisa mencalonkan diri, karena batasan konstitusi hanya boleh menjabat dua kali, maka caranya membuat koreksi ialah dengan tidak memilih calon presiden yang kira-kira akan mengambil membuat kesalahan yang serupa, atau sebaliknya memilih calon presiden yang dianggap menjanjikan kepemimpinan yang berbeda, yang lebih baik. Nah, itu yang sudah saudara-saudara lakukan.
Kedengananya, apa yang baru kita bicarakan adalah sederhana, simple. Akan tetapi asas rakyat berkuasa memutuskan dan berhak untuk mengubah keputusannya. Hubungannya dengan pemilihan umum secara berkala serta sistem presidensial, kaitan dengan sistem multipartai, kalau itu semua dirangkum punya arti tersendiri, yaitu stabilitas pemerintahan. Dengan pemilihan umum berkala dan teratur, dijamin ada kesempatan bagi rakyat untuk menyatakan ketidakpuasanya dengan mengubah keputusan yang sebelumnya, yaitu dengan tidak memilih kembali seorang presiden atau memilih pengganti yang berbeda.
Karena itu, suatu pemerintahan sistem presidensial ala Undang-Undang 45 akan bisa stabil selama periode tertentu. Dalam hal ini, lima tahun. Koreksi final. Kita sebut saja demikian, yaitu melakukan koreksi dengan mengganti pejabat yang bertanggung jawab, dilakukan pada kesempatan pemilu berikutnya. Sementara koreksi-koreksi insidental lain tentu bisa dilakukan sepanjang masa jabatan Presiden.
Ini akan berbeda dengan sistem parlementer, di mana koreksi final pada pemerintahan parlementer bisa terjadi hampir setiap saat, yaitu dengan prakarsa musim. Koalisi musih tidak percaya di parlemen atau vote of no confidence di parlemen yang bisa menjatuhkan Perdana Menteri dan kabinetnya apabila dukungan suara koalisi di parlemen bergeser menjadi mayoritas bagi oposisi dan berkurang bagi pemerintah. Tentu saja secara teoritis dalam sistem presidensial bukan tidak mungkin ada pihak yang bernafsu, biasanya partai atau gabungan partai yang kalah pemilu, untuk melakukan koreksi final di tengah masa jabatan dengan mencari-cari dalih untuk melakukan impeachment misalnya. Namun itu harus merupakan kejadian luar biasa yang kecil kemungkinannya terjadi dan prosesnya sangat rumit. Keluahan lain di masa ini atau semacam kekhawatiran, selain dari soal sistem presidensial dan multipartai, tapi yang masih ada hubungannya dengan kurang efektifnya kekuasaan pemerintahan dan kurang lancarnya rudangan.
pemerintahan ialah mengenai peranan negara yang seolah-olah menjadi kabur dan menjadi kurang bisa dirasakan negara menjadi hilang apa? Bagaimana negara itu? Saya terpaksa mengerahkan pandangan hukum mengenai negara. Negara adalah susunan hukum yang mengatur hubungan-hubungan dalam kehidupan bersama, dalam suatu komunitas politik.
Negara memiliki kekuasaan paksa, koersif, agar aturan hukumnya dipatuhi. Dan sudut pandang politik bukan hukum saja juga menekankan hal kepatuhan. Tuhan warganya pada aturan-aturan yang berlaku dengan menggunakan keunggulan atau monopoli penggunaan kekerasan yang dipegang negara sebagai sarana koersi atau sarana pemaksa. Jika ada aturan-aturan hukum yang berlaku, tetapi tidak ada kekuasaan dan kekuatan paksa yang efektif, maka dari definisinya bisa dikatakan negara tidak ada, menghilang atau sirna. Paling sedikit bisa dikatakan tidak berfungsi.
Kita bisa memahami bahwa keluhan mengenai perasaan mengaburnya negara itu timbul akibat menyaksikan lemahnya aturan-aturan yang berlaku. tidak dilaksanakan atau separuh dilaksanakan. Itu terjadi secara horizontal hampir di segala bidang, secara vertikal di semua lapisan, dari atas, dari puncak, sampai ke bawah. Hukum tidak ditegakkan.
Tidak bisa jadi andalan, dibawa para abdi negara yang berwenang memaksa juga merosot, peradilan tempat penyelesaian perselisihan dan menjatuhkan sanksi hukum juga kehilangan integritas. Negara dan aparaturnya tidak berfungsi seperti diharapkan, membuat orang bertanya, kemana perginya negara? Saya ulangi, negara adalah masyarakat politik yang tertata dengan aturan hukum, dan hukum adalah perintah yang memaksakan kepatuhan dengan menjatuhkan sanksi bila tidak dipatuhi. Apabila negara tidak berfungsi, artinya adalah perintah hukum untuk mengatur tidak berjalan.
Kekuatan memaksanya lemah, tidak atau gagal diterapkan. Akhirnya, segala kegagalan atau kelemahan ini bisa dikembalikan pada aparatur negara yang berwajib. Dan pada gilirannya pada kelemahan pimpinan politik dan pimpinan negara, yaitu Presiden sebagai pemimpin tertinggi.
Saya akhiri pembicaraan ini dengan mengatakan, maka jika lo ingin memanggil negara kembali, kita harus mencari presiden yang sambil tetap menghormati demokrasi, bisa memimpin dengan efektif. Sekian. selamat Ya, terima kasih Pak Marsilam atas ceramah pada malam ini.
Saya persiapkan kepada Anda yang mau memberikan komentar, pertanyaan, tanggapan. Mungkin tiga orang saja. Ada Pak Sakib.
Yang pertama adalah saya sangat mendapat pencerahan ternyata sistem politik Indonesia setelah reformasi tidak selemah yang saya bayangkan karena ternyata saya memang belum pernah membaca undang-undang 45 hasil amandemen. ternyata ada banyak poin yang membuat Presiden Indonesia kuat. Yang pertama adalah mungkin hal ini perlu di-share juga ke Pak Jokowi sehingga bisa menjadi pemimpin yang efektif. Oh dia udah lebih tahu. Oh udah lebih tahu, berarti memang pilihan kita tepat Pak ya.
Yang kedua adalah saya masih belum mengerti dari mana sumbernya sehingga partai-partai yang ada sekarang begitu berkuasanya sehingga seperti ada pergeseran pendulum dari dulu. dulu eksekutif, sangat kuat sekarang, parlement menjadi sangat kuat, partai sangat kuat, terus kemudian abuse, kemudian mencari uang, sedemikian banyak, korupsi dan sebagainya, dan katanya ini karena sistem kita yang lemah. Saya rasa saya perlu jawaban mengenai itu, apa yang saya baca di media masa, karena undang-undang kita lemah, tapi kalau kita lihat ini sebetulnya bukan. di mana letak kesalahannya.
Yang ketiga adalah saya rasa kemungkinan impeachment mungkin saja terjadi, tidak serumit yang... Pak Marsilam bilang, buktinya dulu Gus Dur mudah sekali diimpits terus tidak jadi presiden lagi. Saya rasa itu suatu kekhawatiran yang harus kita garis bawahi. Siapa tahu nanti setelah Pak Jokowi jadi presiden, partai susah korupsi, akhirnya mereka berkumpul bersama-sama, dia impits Jokowi, Jokowi jatuh.
Kan bisa saja. Demikian, terima kasih. Sebenarnya saya menghindari untuk membicarakan terlalu berat dari segi ilmu politik atau ilmu masyarakat dan saya menitibratkan pada pendekatan juristik, pada pendekatan hukum.
Tapi kalau saudara tanya dari mana datangnya partai-partai bisa Berkuasa sedemikian rupa di DPR dan bisa, tadi istilah yang dipakai menyandra eksekutif seperti itu, tidak dari mana-mana sebetulnya. Asalnya tadi saya mencoba menjelaskan bahwa pada dasarnya semua punya kepentingan. Dan partai-partai itu masing-masing punya kepentingan. Jadi kalau Anda bayangkan bahwa ada partai atau partai-partai yang kalah, baik di dalam pemilihan umum legislatif maupun di dalam pemilihan umum presiden, Kalah berarti dia kehilangan sesuatu kepentingan yang dia punya.
Nah, dia akan mencoba mengambil kembali satu dengan lain cara di bidang-bidang lain. Kekalahan itu dikompensasi dengan kemenangan-kemenangan lain. Maka tentu dia akan membuat tuntutan-tuntutan.
Termasuk tuntutan itu sudah dimulai sejak kalau diajak berkoalisi di dalam pemerintahan. Membuat koalisi itu adalah suatu kebijakan preemptif sebetulnya. Kebijakan preemptif dalam arti kata mendahului agar tidak mengalami kesulitan di dalam perdebatan atau pengambilan suara di parlemen karena tidak mengendalikan, menguasai mayoritas. Jadi sebelumnya melakukan penggalangan. Bahkan penggalangan itu diupayakan dengan cara-cara yang mungkin bagi banyak orang biasa dan bagus, tapi bagi orang lain itu mentertawakan.
Yaitu dengan kontrak misalnya. Dengan membuat kontrak-kontrak. Bapak, kontrak itu dibuat antara dua pihak. Dengan sanksi apabila yang satu tidak memenuhi apa yang di dalam kontrak, dia akan bisa dituntut di depan pengadilan. Tapi kontrak politik, apabila setelah membuat kontrak untuk berkoalisi lalu membelot, tidak ada sanksinya.
Saya teruskan cerita ini, ini hanya untuk ilustrasi supaya memudahkan saya menjelaskan apa yang saudara tanya. Apabila satu dua partai membelot dari suatu gabungan, Yang didirikan atas suatu persetujuan bersama, baik itu gentleman agreement maupun kontrak tertulis, dia membelot. Tapi tadi saya katakan siapa yang mengingkari kontrak harus mendapatkan. Tapi dia tidak mendapat sanksi karena membelot, karena pemimpin koalisinya tidak berani memberi sanksi, ya dia akan melakukan itu, memberontak atau menyimpang kapan saja. Apa sanksinya?
Ketika misalnya orang-orang atau partai itu diajak berkoalisi, mereka mau, tadi kata saya sebutkan ada dagang politik atau transaksi, mereka mau kalau dapat posisi menteri. Seharusnya kalau dia mengingkari kontrak, posisi menterinya dicabut, diganti. Tapi kalau posisi menterinya tidak diganti. dan yang harus mengganti tidak berani mengganti, dan ketidakberanian mengganti sudah diketahui dari permulaan, maka partai politiknya jadi kurang ajar.
Saya sebut perkataan itu. Tapi perkataan sehari-hari kurang ajar ini adalah lebih berkuasa jadinya. Imbangan kekuasaan ada di tangan dia, dia bisa lebih mendikti.
Itu kalau saudara tanya, dari mana asalnya? Karena ini adalah hubungan selalu. Kelebihan yang satu merupakan kekurangan yang lain.
Kalau itu terjadi, ya. Kekurangan yang satu menimbulkan kelebihan bagi yang lain. Ketidakberanian menjatuhkan sanksi menimbulkan posisi bargain yang lebih kuat di partai-partai politik.
Tadi saya secara tidak langsung sebetulnya. karena saya bukan pemberani untuk mengatakan semuanya secara eksplisit dan langsung, sebetulnya tidak perlu takut jadi pemerintahan minoritas. Ini yang selalu entah kenapa ditakuti oleh Banyak pemerintahan, tapi sebetulnya tidak banyak ya.
Pemerintahan kita yang pemilihan langsung baru dua kali. Orangnya sama juga. Jadi kalau dia penakut, dia penakut terus.
Dengan pemerintahan minoritas, saya katakan tadi, dalam membuat undang-undang, dia bisa punya bargaining position yang cukup kuat. Karena dia kalau tidak setuju, ya biar. Tidak jadi undang-undang.
yang diusulkan di PR. Undang-undangnya ditolak, ya nggak apa-apa. Pakai undang-undang yang lama.
Sama seperti anggaran. Itu kalau situasinya sudah konfrontatif. Tapi sebelum konfrontasi itu kan ada konsultasi, ada negosiasi, dan sebagainya yang harusnya dikerjakan terus-menerus. Maaf, Bapak siapa namanya?
Syakib. Saudara Syakib. Kalau saudara ikuti berita-berita di Amerika Serikat, hampir tiap saat presiden di sana itu harus berunding dengan pimpinan oposisi, membujuk, segala macam lah untuk menggolkan suatu kebijakan. Menelpon, mendatangi, mengundang setiap kali.
Itu pekerjaan sehari-hari. Tapi coba saudara bandingkan dengan Tuhan SBY. Apa sehari-hari begitu?
Tidak. Nah ini yang harus dilakukan apabila kita berjalan. Tidak berasal dari partai mayoritas, mayoritas mutlak. Dan seperti tadi saya kemukakan, tidak mungkin ada satu partai yang memegang mayoritas mutlak 50% tambah satu di Indonesia ini. Tidak mungkin.
Pluralitas mungkin. dia lebih besar atau paling besar di antara yang lain-lainnya. Yaitu seperti PDIP sekarang 19 persen yang lain di bawah 19 persen.
Itu barangkali saya sudah menjawab pertanyaan pertama. Soal impeachment impeachment ini ada pengertian yang sedikit. Perlu dijelaskan sedikit. Impeachment artinya proses menuntut seorang pejabat, sebetulnya elected official kalau di Amerika, karena tindakan-tindakannya yang menyalahi, menyalahi undang-undang dasar, menyalahi segala macam. Jadi impeachment is a process.
Hasilnya, kalau di Amerika Serikat, itu adalah... Impeachment itu hanya menghasilkan orang diturunkan dari jabatannya, bukan dihukum. Tapi setelah turun dari jabatannya, baru bisa dituntut di pengadilan biasa. Karena apa? Karena ada korsi-korsi atau jabatan-jabatan yang tertentu, yang dianggap cukup terhormat untuk tidak digoyah-goyahkan oleh tuntutan-tuntutan dari peradilan sewaktu-waktu.
Dia harus turun dulu ke jabatannya dan proses untuk menurunkan dari jabatannya itu dilakukan melalui proses yang bertahap. Di Amerika Serikat dituntut oleh Dewan Perwakilan Rakyat atau House of Representatives, kemudian diadili oleh Senat di bawah pengawasan Ketua Mahkamah Agung. Proses impeachment. Gus Dur itu bukan di-impeach namanya.
Gus Dur itu dipecat saja. Sebetulnya bukan proses melalui peradilan, tapi itu diturunkan dari jabatannya hampir sama dengan tadi yang saya sebut sistem parlementer. yaitu mendapat vote of no confidence.
Artinya pertanggung jawabannya tidak diterima. Bukan Gus Duraja, Habibie juga begitu pada tahun 1999. Tidak diterima pertanggung jawabannya. Nah, makanya sistem MPR itu disebut sistem quasi-parlamenter.
Artinya seakan-akan parlamenter. Karena kekuatan-kekuatan di parlement bisa menjatuhkan presiden atau pemerintah. Itu, apapun impeachment yang dimasukkan, yang dicantumkan di dalam undang-undang dasar, yang saya katakan rumit, itu melalui berbagai tahap.
Tahap pertama apabila... DPR menganggap bahwa ada beberapa daftar dosa yang memenuhi syarat untuk dilakukan penuntutan, maka sekian jumlah anggota DPR saya buka saja. Kalau tidak salah 2 per 3 itu mengusulkan.
kepada MPR, tapi sebelum mengusulkan kepada MPR harus membawa dulu ke Mahkamah Konstitusi untuk mengadili. Jadi usul pemerintahan presiden oleh DPR kepada... MPR melalui permintaan kepada Mahkamah Konstitusi. Itu apa namanya, pengajuan permintaan DPR hanya dapat dilakukan dengan 2 per 3 jumlah anggota DPR yang hadir dan 2 per 3 dari jumlah yang hadir dan kurum adalah 2 per 3 dari jumlah kursi di DPR.
Sesudah itu Mahkamah Konstitusi berwajib memeriksa, sesudah Mahkamah Konstitusi berwajib memeriksa, kalau iya lalu dibawa ke MPR, di MPR kemudian diadili, ditentukan. Apakah memang betul harus dilakukan pemberhentian. Jadi hukumannya cuma pemberhentian di impeachment proses, baik di Amerika maupun di sini. Hanya saja di konstitusi kita tidak disebutkan.
Bahwa setelah pemberhentian, pemberian itu bisa diikuti dengan proses hukum biasa. Proses hukum kriminal atau yang lain-lain. Ya kriminal biasanya. Jadi kalau sudah diberhentikan, kesalahannya kemana? Kesalahannya akan masuk ke pengadaan biasa.
Di sini tidak dikatakan begitu. Di sini hanya berhenti atau tidak berhenti si presiden tersebut. Kerumitan yang menurut saya ada tadi adalah tahapan-tahapan tersebut.
Kalau saudara anggap itu tidak rumit ya tidak apa-apa juga. Itu saja. Ada lagi pertanyaan? Silakan.
Ini batasnya berapa? Tiga? Terima kasih Pak Marsilam. Kita tahu bahwa tujuan demokrasi dan tujuan pemilihan umum adalah memilih pemimpin yang memiliki kapasitas dalam menjalankan sebuah pemerintahan.
Tanpa terpilihnya... orang-orang yang memiliki kapasitas dalam menjalankan semua pemerintahan, maka demokrasi dan bahkan negara tidak akan lagi memiliki makna. Sehingga bukankah akan lebih baik dan lebih efisien bagi kita jika kita menganut sistem pemerintahan presiden.
dimana eksekutif memiliki kewenangan yang lebih dominan dalam pembuatan undang-undang dan anggaran dikarenakan akan sangat lebih mudah bagi kita memilih satu orang yang baik dibanding memilih 500 orang yang baik. Sambing itu akan lebih mudah bagi kita menilai kinerja eksekutif daripada kinerja legislatif. Karena menurut saya kinerja eksekutif itu lebih konkret dan lebih mudah dinilai daripada kinerja legislatif.
yang bersifat abstrak. Sebagai contoh, saya kira kita lebih bisa menilai kinerja esgotif, wali kota, gubernur dibanding menilai kinerja DPRD dan DPR. Dan saya yakin di sini semua kita juga kita mungkin gak akan ingat siapa caleg yang pernah kita pilih kemarin. Dan kita juga gak akan tahu kinerja caleg itu apa. Saya sendiri terserah juga gak ingat kinerja caleg yang saya pilih siapa dan kinerjanya apa.
Jadi menurut saya sih itu pak, kira-kira benar apa enggak pak? Terima kasih. Karena mau praktis dan mempunyai kepercayaan yang Katakanlah tanpa reserve kepada yang saudara sudah pilih, maka saudara prefer menganggap bahwa sekali kita milih seorang eksekutif, seorang presiden, Lebih baik kita berikan kewenangan yang cukup bagi dia untuk menjalankan segala sesuatunya dan tidak diganggu-ganggu oleh pengawasan atau imbangan dari yang lain.
Sayangnya, saudara, hal tersebut tidak pernah dijadikan pegangan lagi di zaman modern ini. Di zaman dulu ya, tapi zaman dulu dengan alasan yang lain. rasanya ya konkret, kalau dia salah kelihatan salah.
Kalau Daman Lulu enggak. Dia baik, dia akan berbuat baik, dia akan selalu benar, karena dia turunan dari kayangan sana. Betul, itu... mendapat memerintah monarki absolut dari dulu, yang pertama-tama selalu mengklaim mendapat wahyu atau ditunjuk oleh yang menguasai alam.
Dan orang percaya itu. Yang terakhir tahun 1945, Penjajah Jepang itu dipimpin oleh Tenohaika yang adalah keturunan dari Amaterasu Omikami dan sebagainya. Itu begitu.
Indonesia juga sedikit percaya kepada itu bahwa kalau saya pinjam kata-kata salah seorang pembuat undang-undang dasar. Kepala keluarga itu pasti memikirkan yang baik untuk anggota keluarganya. Tidak mungkin dia berbuat jelek.
Kita jangan pakai stem-steman, voting gitu, untuk menguasai, eh sorry, mengendalikan yang kita angkat menjadi pemimpin. Nah, ini... Adanya DPR yang menjengkelkan itu, cara-caranya, di negeri lain lebih banyak lho Pak menjengkelkan, cuma kita nggak baca aja, nggak mengalami.
Itu adalah bagian dari tadi yang saya sebut checks and balances. Jadi orang yang diberi wenang atau diberi kekuasaan selalu tidak... menjamin bahwa kekuasaannya akan dijalankan dengan sebaik-baiknya. Jaminan adalah kepada kendali, kepada kontrol.
Nah, kontrol itu siapa yang mengontrol? Yang mengontrol saudara, kita. Oh, saya nggak mengontrol, saudara katakan.
Lebih baik saya mengontrol. Mengontrol presiden itu secara langsung? Tidak. Saudara mengontrol presiden lewat parlemen, makanya tadi saya sebut demokrasi representatif. Jadi secara bertingkat kita memilih orang yang kita percayakan untuk mengawasi presiden.
Persoalannya menjadi saya gak tahu siapa yang saya pilih. Dia bukan salah siapa-siapa, salah saudara sendiri. Tapi tapi saya ingin berpihak pada saudara, sebetulnya kalau kita boleh menyalahkan itu apa yang saudara keluhkan ya, itu kesalahan pada sistem pemilihan umum.
Sistem pemilihan umum kita bukan sistem distrik namanya. Kalau sistem distrik, saudara tinggal di satu tempat, katakanlah kecamatan, maka satu kecamatan itu satu wakilnya. Dan orang bersaing untuk mewakili kecamatan itu, mewakili daerah pemilihan dia. Nah, saudara jadi konstituen dari si wakil tersebut. Wakil-wakil ini dipilih langsung oleh orangnya walaupun dia anggota partai.
Tapi dikenal oleh konstituennya. Itu andai kata dia tidak melakukan apa yang saudara harapkan, maka dia tidak akan saudara pilih kembali. Itu caranya bertingkat tadi. Di Amerika Serikat, saudara, anggota parlemen itu dipilih dua tahun sekali.
Bukan lima tahun sekali, dua tahun sekali. Anggota senat memang enam tahun sekali. Jadi tiap-tiap kali kalau dia tidak melakukan apa yang dikehendaki oleh para pemilihnya, dia tidak akan terpilih dua tahun kemudian. Gitu ya.
Jadi... Saya kira, saya menganggap bahwa saya tidak ingin mengorbankan kemungkinan penyalahgunaan wewenang kalau sekali berkuasa. Kan saya males untuk mengulangi ini, power tends to corrupt absolutely. Nah, sebetulnya...
atau untuk menyalahgunakan itu di cek, di kendalikan. Cek artinya dibatasi oleh orang-orang yang kita pilih untuk membatasinya, yaitu anggota parlemen dalam Indonesia. Bahwa anggota parlemennya...
Mulut saya mau ngomong kasar ini, tapi ya enggak memenuhi kehendak saudara ya mesti pilih yang baik lah gitu. Yang bagus, yang enggak ada pilih yang bagus enggak usah milih kayak saya. Nah-nah saya main-main ya, dihapus saja. Jadi ya begitu Pak. Tapi kalau...
Mengatakan bahwa lebih baik kita milih gubernur atau wali kota, dan kalau salah kita bisa perbaiki. Dari mana saudara mau memperbaikinya? Oh iya, jadi ini masalah informasi ya. Jadi ini makanya saya tidak mau masuk ke dalam ilmu politik. Ini masalah informasi yang saudara punya atau komunikasi politik yang ada di dalam suatu sisi.
informasinya kurang dan saudara membuat keputusan berdasarkan informasi yang minim, memang celaka sekali kalau kita bikin pilihan ya Kan ada caveat emptor, buyers beware, kalau sebelum beli, teliti sebelum membeli gitu ya. Ya, bagaimana saudara mau meneliti tuh anggota DPR ternyata bintang film ini, bintang film itu yang... Oh, betul, betul, betul. Tapi itu kan artinya sistem informasi di dalam masyarakat kita yang tidak memberikan informasi yang cukup. Dan sebaliknya, soal informasi, supply informasi itu juga tergantung dari demand informasi.
Ini memang enggak tanya-tanya orang. Betul, Pak. Orang. Sebetulnya ya, kalau saudara mau salahkan lagi, tadi saya anjurkan bahwa itu bukan anjurkan.
Kemukakan bahwa apa yang saudara keluhkan itu bisa diatasi dengan sistem distrik. Tapi tadi berangkali saudara tidak menganggap itu penting padahal saya memberi tekanan. Dan peserta pemilihan umum itu bukan anggota parpol, Pak.
orang dalam konstitusi kita begitu gobloknya konstitusi kita ini bilang bahwa pemilu itu diikuti oleh parpol Tidak anggota parpol, tapi yang bikin konstitusi siapa? Ya parpol, ya makanya jadi begitu. Dan jangan tanya kepada saya bagaimana kalau konstitusinya tidak memuaskan, tidak ada cara yang bisa sudah dilakukan, kecuali huruf R besar itu.
Tau itu apa? Hah? Nah, bagus.
Pasti ada di dalam kosa kata. Tapi gak bisa dilakukan, Pak. Sama sekali. Gak bisa. Dipikirkan aja caranya gak bisa.
Disebut bisa, tapi caranya gimana? Ini yang saudara ini... ini mau revolusi dari dulu bikin banyak orang ketawa aja tapi udah ya satu lagi terakhir ya ini terima kasih atas kesempatannya saya Adnan sangat mencerahkan dapat kuliah hukum saya karena anak hukum jadi tahu betul nih kalau hukum gini-gini cuman saya berharap lebih menyenangkan sekali kalau misalkan sebagai seorang tokoh senior, sebagai tokoh sejarah Pak Marsila bisa bercerita banyak tentang sejarah karena tadi kan Pak Marsila bilang Bapak tidak begitu nyaman bercerita tentang politik ataupun menjelaskan tentang politik terutama kalau saya lihat apalagi judulnya tentang sistem politik pasti kalau dari dimensi aktor, partai politik inevitable. Walaupun kita tidak menginginkan bahwa harus partai politik semua. Tapi sebuah kenyataan, partai politik bagian dari sistem politik hari ini.
Sebagai anak muda yang lahir pada hari ini, yang mungkin tidak bisa melihat sejarah pada masa lalu, pada orde baru dan orde lama, so-called itu apa, bagaimana Pak Marsila melihat perbedaan antara partai politik hari ini dengan partai politik masa lalu? ketika zaman-zaman dulu Pak bagaimana, apa kekurangannya apakah hari ini lebih baik atau bahkan lebih buruk atau gimana saya rasa saya dan orang-orang di ruangan ini lebih senang mendengar cerita-cerita sejarah Bapak ya gitu Pak, terima kasih sempat ini Dari permulaan, tadi saya sebut sebetulnya namanya Maklumat X November 1945. Ingat ya, pada waktu itu Indonesia diproklamirkan merdeka. Tadi saya sindir sebetulnya kepada orang-orang yang menghendaki partai sedikit atau kalau bisa dua partai. Saya sindir dengan mengatakan, eh pada permulaan Indonesia diproklamirkan, maka pikiran orang-orang itu mengatakan lebih baik supaya tidak terpecah-pecah, ada satu partai, partai negara, state party. Itu sekretarisnya Sayuti Melik waktu itu.
Kemudian negara yang baru berdiri yang diproklamirkan ini dengan konstitusi yang menganut sistem presidensial dengan sistem satu partai ini mendapat Kecaman atau mendapat semacam catatan kekhawatiran dari pihak pemenang Perang Dunia II, yaitu sekutu, bahwa negara ini adalah negara boneka Jepang. Oleh karena itu, Soekarno diyakinkan oleh Muhammad Hatta dan Syahrir, kalau kita pakai sistem yang seperti ini, kita disangka bikinan Jepang. Nah karena itu Soekarno setuju diubah. Lalu KNIP Komite Nasional Indonesia Pusat dianggap sebagai DPR karena itu ada dalam aturan peralihan undang-undang dasar. Dan kemudian Syahrir menjadi formatur kabinet pertama.
Lalu kabinet itu bertanggung jawab pada KNIP. Dan banyak partai-partai pada saat itu. Partai-partai yang besar, ya saudara tahu, pada saat itu tentu partai agama, Masyumi. NU belum ada, NU ikut dengan Masyumi. Lalu dengan sendirinya partai yang pernah didirikan Bung Karno, PNI.
Lalu beberapa partai lain, partai sosialis, ada. Apalagi partai Indonesia Raya. Parindra, bukan Gerindra, Parindra, macam-macam kecil-kecil.
Nah semua partai-partai itu kemudian juga mempunyai ada PSII, Partai Sarekat Islam Indonesia. Itu semua partai-partai itu juga mempunyai wakil-wakil di KNEB. Dan kabinet yang didirikan selalu koalisi juga pada saat itu. Dan kabinet itu umurnya gak lama-lama, yang paling lama saya lupa satu tahun atau satu setengah tahun. Dan partai-partai itu berkembang pada tahun 50 sampai 59 katakanlah.
Sehingga dunia politik Indonesia dikuasai oleh partai-partai. Dengan pemilihan umum yang pertama tahun 55. Dengan hasil nomor satu. Masyumi atau PNI?
Saya kira Masyumi, nomor 2 PNI, nomor 3 NU barangkali, nomor 4 PKI. PSI enggak ada nomor. Jadi ada macam-macam.
Kemudian orang mengeluhkan pada saat itu bahwa partai-partai itu didirikan atas dasar persamaan aliran atau ada... Sentimen primordial katakan. Jadi orang yang punya agama Islam dengan cara tertentu masuk masyumi, yang ahlul sunnah wal jamaah masuk NU dan sebagainya. Dan kemudian... yang kira-kiranya sedikit konservatif dan ikut Bung Karno tetap bergabung di PNI.
Ada partai agama lain kecil-kecil, Parti Indo, Partai Katolik, Partai Muruban, dan sebagainya. Nah sistem keparteian ini masih berjalan terus Pak. Sampai dekret presiden 5 Juli tahun 1959. Presiden Soekarno sudah kebelet berevolusi pada waktu itu. Oh berevolusi.
Dan kemudian tadi saya katakan... Presiden Soekarno mengumumkan, mendekretkan kita kembali ke Undang-Undang 45, tapi Undang-Undang 45 melarang eksplisit Presiden membubarkan DPR. Tapi beliau bubarkan juga.
dulu dia. Siapa yang mau lawan? Ini enggak ada. Tentara ada di belakang beliau. Tentara dapat tempat dengan Undang-Undang 45 melalui jalur apa yang disebut utusan golongan.
Karena tentara adalah golongan fungsional pada saat itu. Nah, partai-partai kemudian didisiplinkan. Partai-partai harus mau menjadi partai progresif revolusioner, antara lain mengakui Pancasila dan mengakui Nasakom. Sebelumnya, Mas Yumi dan PSI dibubarkan. Ada usaha-usaha untuk mengkoreksi, masuk dalam Liga Demokrasi pada saat itu.
Tapi nggak bisa dibubarkan juga itu oleh Soekarno. Jadi semuanya itu dengan kekuatan negara, dalam hal ini kekuatan militer, itu diatur, diaturlah satu pemimpin sehingga saudara, siapa namanya? Saudara namanya siapa?
Agung. Saudara Agus mungkin senang hidup di jaman 59-66. Jelas Soekarno sendiri pemimpinnya.
Saudara boleh, sudah kenal. Dan dia sudah akan kenal betul siapa dia, karena dia tiap hari memperkenalkan diri. Dan tapi saudara tidak bisa apa-apa mengkoreksi itu.
Kalau saudara tanya kepada saya, saya saking kenalnya, memperkenalkan diri terus-menerus, saya enggak bisa hidup tentram dengan slogan-slogannya zaman waktu itu. Semua dislogankan. Nah, partai-partai ini kemudian dipilih.
Saya sebut tadi terseleksi. Kalau enggak salah cuma ada sembilan partai yang mau ikut di dalam kerangka dan Ajaran-ajaran pemimpin besar revolusi Soekarno. Mungkin saudara nggak ingat dan saya nggak tahu apa itu perlu diingat apa nggak. Saya berkesimpulan, berasumsi bahwa banyak di antara kita yang tidak mengingatnya, tapi ya nggak apa-apa bisa survive, bisa selalu ke kafe, bisa selalu apa, macam-macam, tanpa tahu mengenai. Bahkan zaman Orde Baru aja gak tau gak apa-apa juga.
Kayaknya sudah dilupakan. Dan itu betul sesuatu yang secara empiris terjadi. Saudara umurnya berapa misalnya? 21. Jadi 14 tahun yang lalu, saudara umur berapa?
16 tahun yang lalu umur 5 tahun. Waktu saudara yang di belakang itu semua pada reformasi, pada apa? Ya memang susah. Kenapa?
Ya oke. Jadi memang saya juga suka kaget-kaget kalau orang gak tahu tapi ya gak apa-apalah gak tahu juga. Jadi bahwa kalau orang Inggris bilang you take it for granted apa yang ada sekarang ini sebagai sesuatu yang sudah ada demikian.
Dan as long as you can survive gitu. bisa melakukan apa saja tanpa tahu siapa-siapa dan apa dan sebagainya. Cuma yang tadi pembahasan saya itu truth.
Terutama memang saya tidak simpulkan tapi kalau saya boleh katakan sekarang terutama untuk menanggapi, merespons pada kekhawatiran sistem presidensialisme dengan multi partai dan partai minoritas bisa sama sekali tidak efektif untuk memerintah. Menurut saya tidak perlu, bisa. Dasarnya cuma itu saja. Cukup sekian saya. Saya kira saudara-saudara terima kasih atas perhatian.