Assalamualaikum, selamat datang di Kisah Malam Kalian. Di sebuah desa kecil di Jawa Tengah, tahun 2011, menjadi awal sebuah kisah yang penuh perjuangan dan semangat tak kenal lelah bagi Bu Sari dan keluarganya. Saat itu, Bu Sari menjalani hari-harinya sebagai ibu rumah tangga dengan tiga orang anak yang memiliki kepribadian dan kebutuhan masing-masing.
Anak sulungnya, seorang remaja laki-laki yang tengah duduk di kelas 3 SMP. Anak kedua, yang juga laki-laki, masih duduk di bangku SD dengan semangat khas anak-anak yang selalu aktif dan penuh rasa ingin tahu. Sementara itu, si Bungsu... Seorang anak perempuan yang ceria dan mengemaskan, belum memasuki usia sekolah. Sehingga sebagian besar waktunya masih dihabiskan bermain di sekitar rumah.
Kehidupan mereka sederhana, namun penuh kehangatan keluarga. Suami Busari bekerja sebagai pedagang keliling. Profesi yang menuntutnya sering meninggalkan rumah untuk mencari nafkah. Meski penghasilannya tidak besar, Suaminya selalu berusaha memenuhi kebutuhan keluarga dengan tekat yang kuat. Di sisi lain, Bu Sari merasa tugasnya mengurus rumah dan anak-anak.
Meski penting, masih belum cukup untuk mengisi hari-harinya. Dengan anak-anak yang sudah mulai mandiri, ia seringkali dilanda kegelisahan. Ia merasa ada ruang dalam dirinya yang ingin berkontribusi lebih, baik untuk keluarga, Maupun untuk dirinya sendiri, hanya duduk di rumah itu rasanya seperti ada yang kurang pikirnya dalam hati. Nganya terasa gatal untuk kembali produktif, terutama karena ia masih memiliki keterampilan yang dulu pernah ia banggakan.
Setelah melalui banyak pertimbangan, Busari akhirnya memutuskan untuk membuka kembali warung gorengan yang telah lama ia tinggalkan. Warung itu dulunya dikelola bersama ibunya, sebuah usaha kecil yang menjadi andalan keluarga mereka di masa lalu. Namun, ketika ibunya merasa lelah dan memutuskan untuk pensiun, warung itu ikut berhenti beroperasi. Sekarang, saat keadaan ekonomi keluarga membutuhkan tambahan penghasilan, Bu Sari merasa bahwa inilah waktu yang tepat untuk menghidupkan kembali warung tersebut.
Pada suatu sore, Bu Sari berbicara kepada ibunya tentang rencananya. Bulu warungnya ramai, Bu. Banyak yang suka sama gorengan kita, katanya dengan nada penuh harapan. Saya ingin coba buka lagi.
Siapa tahu bisa bantu ekonomi keluarga. Ibunya menatapnya sejenak, lalu mengangguk perlahan. Boleh saja, ujarnya lembut. Tapi ingat... Dagang itu butuh kesabaran, apalagi kalau mulai dari nol lagi.
Jangan menyerah kalau hasilnya belum sesuai harapan. Berbekal dukungan dari ibunya, Bu Sari mulai merenovasi warung yang terletak di samping rumah keluarga mereka. Bangunannya sederhana, hanya sebuah ruangan kecil dengan atap seng yang menempel pada rumah tua mereka.
Setelah bertahun-tahun tak digunakan, Warung itu membutuhkan banyak perbaikan. Kayu-kayu yang lapuk diperbaiki oleh suaminya. Meja-meja dibersihkan dan dilapisi ulang.
Sementara lantai yang retak dan berdebu dipoles agar lebih layak. Proses itu memakan waktu. Namun Bu Sari melakukannya dengan semangat. Membayangkan warung kecil itu kembali menjadi tempat orang-orang berkumpul untuk menikmati gorengan hangat di sore hari.
Ketika warung itu akhirnya siap, Bu Sari mulai mempersiapkan segala sesuatunya dengan teliti. Ia membuat daftar bahan baku, menyempurnakan resep gorengan yang diwariskan oleh ibunya, dan memastikan peralatan memasaknya dalam kondisi baik. Menu yang ia tawarkan sederhana namun menggugah selera.
Tempe goreng yang gurih, tahu isi dengan isian yang melimpah, bakwan yang renyah, dan pisang goreng manis yang menjadi favorit banyak orang. Namun, Untuk pisang goreng, Bu Sari punya aturan khusus. Pisangnya harus yang bagus, matang, dan manis.
Kalau tidak, saya tidak mau buat. saat memilih pisang di pasar. Suaminya, yang meski sibuk dengan pekerjaannya, memberikan dukungan penuh.
Bu, jualannya sore aja ya, biar tidak terlalu capek. Katanya suatu malam, saran itu diterima Bu Sari. Ia memutuskan untuk membuka warung mulai pukul 4 sore hingga sekitar 9 malam, atau sampai dagangannya habis. Jadwal itu memberi keseimbangan antara waktu untuk berdagang dan mengurus anak-anak di rumah.
Sebelum membuka warung, Bu Sari berbicara kepada para tetangganya, memberitahu bahwa warung gorengan yang dulu mereka kenal akan kembali beroperasi. Respon mereka sangat hangat dan mengembirakan. Wah, akhirnya ya, warungnya buka lagi.
Gorengan dulu enak banget, saya ingat. Ujar seorang tetangga dengan penuh antusias. Yang lain ikut menyuarakan dukungan, mengingat masa lalu saat gorengan Bu Sari selalu menjadi incaran.
Bahkan oleh orang-orang dari desa tetangga, Bu Sari merasa hatinya semakin mantap, menghidupkan kembali kenangan manis yang pernah ia rasakan bersama ibunya. Pada hari pertama pembukaan warung, Bu Sari tidak menyangka sambutan warga akan begitu meriah dan penuh antusiasme. Pukul 4 sore.
Ia mulai menggoreng adonan pertama, menciptakan aroma harum yang menguar ke seluruh penjuru desa. Suasana sore yang biasanya tenang perlahan berubah riuh ketika satu persatu tetangga berdatangan, bahkan sebelum ia selesai menata semua dagangan di meja. Pukul 5 sore, pembeli mulai memadati warung kecilnya.
Beberapa datang membawa senyum, mengobrol sambil menunggu giliran. Sementara yang lain sudah tidak sabar ingin mencicipi gorengan yang mereka rindukan. Tidak butuh waktu lama, sekitar pukul tujuh malam, semua dagangannya habis terjual.
Malam itu, Bu Sari tersenyum puas saat menghitung uang hasil jualannya. Alhamdulillah, laku keras pak, katanya dengan penuh rasa syukur kepada suaminya yang saat itu baru saja pulang dari pekerjaannya. Matanya berbinar penuh harapan, semoga terus seperti ini, tambahnya dengan semangat. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Setelah dua minggu berjalan, sesuatu yang ganjil mulai terasa.
Penjualan yang awalnya laris manis perlahan menurun. Gorengan yang biasanya habis terjual setiap malam, kini sering tersisa. Bahkan hingga setengah dari total dagangan. Pada beberapa malam... Pembeli terlihat jauh lebih sedikit dibandingkan biasanya.
Dan Bu Sari hanya bisa menghela napas sambil menatap loyang gorengannya yang masih penuh. Yang lebih membuat Bu Sari heran adalah kondisi dagangannya. Gorengan yang baru saja selesai digoreng seringkali terasa basi hanya dalam waktu satu jam.
Tempe goreng mulai berbau tidak enak. Bakwan yang biasanya renyah berubah menjadi asam. dan tahu isi kehilangan rasa kasnya. Situasi itu membuat Bu Sari gelisah. Ia mencoba mencari tahu apa yang salah.
Pak, ini rasanya kok tidak kayak biasanya ya? Ujarnya kepada suaminya suatu malam, sambil menatap gorengan yang tersisa. Bahan-bahannya masih sama, resepnya juga tidak berubah.
Tapi kenapa sekarang begini? Suaminya mencoba memberi jawaban logis. Mungkin orang-orang sudah bosan, Bu.
Namanya juga gorengan. Tiap hari kan nggak mungkin terus laris. Namun jawaban itu tidak memuaskan hati Bu Sari.
Ia merasa ada yang tidak wajar. Pak, waktu dulu saya bantu ibu, gorengan ini selalu laku bertahun-tahun, meskipun orang-orang membelinya hampir setiap hari. Tapi kenapa sekarang berbeda?
Katanya dengan nada gusar. Suaminya hanya mengangguk sambil menghela napas. mampu memberikan solusi lain. Di tengah kebingungannya, suaminya memberi saran untuk menutup warung sementara waktu. Kalau begitu, coba tutup dulu warungnya beberapa hari, biar orang-orang kangen.
Setelah itu kita buka lagi, mungkin pembelinya akan kembali. Musari, meskipun masih merasa ragu, akhirnya setuju. Ia memutuskan menutup warungnya selama dua hari untuk istirahat. Malam itu terasa aneh baginya, tanpa aktivitas di warung yang biasa membuatnya sibuk. Namun, ia mencoba menikmati waktu luang itu dengan keluarga, meski rasa gelisah.
masih mengganjal pikirannya. Pada malam kedua setelah warung ditutup, suasana rumah terasa sangat sepi. Anak-anak sudah tidur lebih awal, sementara Bu Sari masih terjaga, karena anak bungsunya tiba-tiba terbangun dan meminta dibuatkan mie instan. Bu, aku lapar.
Rengeksi kecil sambil menggosok matanya yang mengantuk. Suaranya pelan, namun cukup untuk membuat Bu Sari segera beranjak. Bu Sari tersenyum tipis dan mengangguk. Sebentar nak, ibu masakin ya.
Ia berjalan ke dapur dan mulai memanaskan air di atas kompor. Namun, saat hendak mengambil centong kesayangannya, ia menyadari bahwa alat itu tertinggal di warung. Centong itu bukan sembarang alat baginya. Ukurannya pas, dan bu Sari terbiasa menggunakannya untuk berbagai keperluan memasak.
Sebentar ya nak, ibu ambil dulu centongnya di warung. Katanya lembut sambil mengenakan sandal. Ia melangkah pelan keluar rumah, menyusuri jalan setapak menuju warung yang hanya berjarak beberapa meter dari rumah.
Udara malam itu terasa dingin dan sunyi, hanya ditemani suara jangkrik yang samar-samar terdengar. Setibanya di warung, warung itu gelap gulita, hanya diterangi remang-remang cahaya bulan yang menembus celah atap seng. Bu Sari melangkah perlahan ke dalam, merasakan hawa dingin yang menusuk. Berbeda dari biasanya, meskipun suasana terasa aneh, ia tetap yakin bahwa centong kesayangannya ada di meja kecil tempat ia biasa menyimpan alat masak. Dengan hati-hati, tangannya mulai meraba-raba dalam gelap, menyusuri meja yang dingin dan sedikit berdebu.
Namun, saat mencari, tangannya menyentuh sesuatu yang tidak ia kenali. Benda itu terasa seperti kain, namun anehnya kaku dan berat. Awalnya ia mengira itu kantong tepung yang tertinggal, atau mungkin kain lap yang sudah kering. Tapi semakin lama ia meraba, semakin jelas bahwa benda itu berbeda.
Kain itu terasa berbau menyengat, seperti sesuatu yang telah lama tertinggal di tempat lembab. Ini apa ya? Gumam busari dalam hati, setengah berbisik. Ia mencoba menarik kain itu perlahan, namun terasa berat.
Seperti ada sesuatu yang menahannya, ia mendekatkan tubuhnya untuk melihat lebih jelas, berharap matanya bisa menyesuaikan diri dengan kegelapan. Tapi sebelum sempat berpikir lebih jauh, tubuhnya mendadak membeku. Dari balik meja, kain itu tiba-tiba bangkit. Sosok itu berdiri perlahan, tinggi menjulang melebihi tubuh busari, dengan kain putih kusam melilit seluruh tubuhnya.
Kain itu penuh bercak kotor dan bau anjir menyengat tiba-tiba memenuhi ruangan, membuat busari hampir muntah. Sosok itu bergerak kaku, memancarkan aura dingin yang membuat tubuh busari seakan terkunci di tempat. Matanya atau apapun yang berada di balik kain yang melilit wajahnya, menatap kosong ke arahnya.
Sebuah ikatan di bagian atas kepala sosok itu mulai mengendur. memperlihatkan sesuatu yang menyeramkan di balik. Busari tidak sempat berteriak.
Mulutnya seperti terkunci dan kakinya tak bisa digerakkan. Hanya rasa takut yang menguasai seluruh tubuhnya. Napasnya memburuk, tapi tubuhnya terasa semakin lemah.
Hingga akhirnya gelap menguasai pandangannya. Ia jatuh pingsan di lantai. Tergeletak tanpa daya di tengah warung yang kini terasa lebih menyeramkan dari sebelumnya.
Di dalam rumah, suami Bu Sari mulai merasa gelisah. Waktu terus berlalu, tetapi istrinya tak juga kembali. Ia melihat anak bungsu mereka yang masih merengek, kelaparan dan bingung.
Ibu kok lama banget ya? Tidak biasanya begini. Gumamnya sambil bangkit dari tempat duduknya. Ia mengenakan sandal.
Ambil senter kecil yang biasa ia gunakan, lalu berjalan menuju warung. Langkahnya cepat namun hati-hati, ditemani suara angin malam yang berhem sesampainya di warung. Ia melihat pintu belakang sedikit terbuka, rasa cemas semakin menguasainya. Suaminya pun memanggil-manggil busari, suaranya bergema di keheningan malam.
Tidak ada jawaban. Suasana sunyi di sekitar warung membuat bulu kuduknya mermang. Dengan perlahan, ia mendorong pintu dan masuk ke dalam, menyenter setiap sudut ruangan yang tampak.
Saat cahayanya jatuh ke lantai, jantungnya hampir berhenti. Di sana, tergeletak tubuh istrinya. Wajah Bu Sari pucat pasi, matanya terpejam, dan tubuhnya penuh debu.
Dia terlihat seperti kehilangan seluruh energinya. Seolah-olah baru saja menghadapi sesuatu yang sangat mengerikan. Astagfirullah, Bu.
Kamu ngapain di sini? Serunya dengan suara panik, sambil mengguncang tubuh istrinya yang lemas. Namun, Bu Sari tidak merespons. Ia mengarahkan senter ke sekitar warung, memastikan tidak ada siapapun di sana.
Tetapi hanya ada keheningan yang mencekam. Setelah beberapa saat, Bu Sari mulai bergerak perlahan. Matanya terbuka sedikit, tapi tatapannya kosong. Seperti orang yang baru terbangun dari mimpi buruk. Bu, kamu kenapa?
Tanya suaminya dengan nada cemas. Membantunya duduk dan menyeka wajahnya yang penuh debu. Dengan susah payah, ia membantu Bu Sari berdiri.
Tubuh istrinya masih lemas, tapi perlahan ia mulai sadar. Tanpa banyak bicara, suaminya memapah Bu Sari keluar dari warung dan membawanya pulang. Setelah sampai di rumah, tubuh Bu Sari yang lemas segera didudukkan di ruang tengah.
Ibunya, yang sudah lanjut usia, tampak cemas. Sementara anak-anak mereka berkumpul di sekitarnya, dengan wajah penuh kekhawatiran. Lampu ruang tengah menerangi wajah Bu Sari yang masih pucat.
Dengan rambut yang sedikit berantakan dan pakaian penuh debu, suaminya duduk di samping, memegangi bahunya seolah berusaha menyalurkan ketenangan. Sari, kamu dari mana? Kok bajunya kotor begitu?
Tanya ibunya dengan nada cemas. Matanya tajam memerhatikan raut wajah putrinya yang terlihat berbeda. Namun, Busari hanya terdiam, nafasnya masih tersengal. Seolah mencoba merangkai kejadian yang baru saja ia alami di warung. Bayangan sosok tinggi dengan kain kusam itu terus berputar di pikirannya.
Membuat tubuhnya merinding setiap kali ia mencoba mengingat. Setelah beberapa saat hening, Ia akhirnya membuka suara. Mas, aku tadi lihat pocong di warung.
Katanya pelan, dengan suara bergetar. Matanya menatap ke arah suaminya. Berharap ia bisa percaya pada apa yang baru saja ia alami.
Suaminya mengernyitkan dahi. Pocong, jangan-jangan kamu salah lihat. Warung itu gelap.
Mungkin itu cuma bayangan atau sesuatu yang kebetulan ada di sana. Busari menggeleng lemah. Memaksa dirinya menjelaskan lebih lanjut.
Tidak mas, ini bukan salah lihat. Aku tadi mau ambil centong. Eh tiba-tiba tanganku menyentuh kain aneh.
Pas aku tarik, kain itu malah bangkit. Berdiri tegak, tinggi sekali. Aku lihat jelas mas, itu pocong.
Aku nggak bohong. Aku mendengar penuturan bu Sari. Ibunya yang duduk di dekatnya tiba-tiba angkat bicara. Nada suaranya terdengar serius.
menambah ketegangan dalam ruangan. Oh, pantesan. Dari kemarin ibu rasanya nggak enak, gerah terus, tidur juga nggak nyenyak.
Mungkin ini ada hubungannya sama warung itu. Hubungannya bagaimana, Bu? Tanya suami Bu Sari dengan raut wajah yang mulai menunjukkan kecemasan. Meskipun ia tetap berusaha berpikir logis.
Ibu tidak tahu pasti. Jawab ibunya sambil menarik napas dalam. Tapi kalau gorengan basi terus, terus sekarang sari lihat pocong, bisa jadi ini bukan hal biasa. Mungkin ada yang tidak suka sama kalian dagang.
Kadang-kadang orang iri bisa bikin hal-hal begitu. Suaminya terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata itu. Ia bukan tipe orang yang mudah percaya pada hal-hal mistis. Namun kejadian malam ini membuat pikirannya terganggu.
Ia akhirnya berujar, ya sudah. Kita jangan langsung berpikir aneh-aneh dulu. Nanti aku coba tanya teman. Siapa tahu ada yang bisa bantu cari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Percakapan itu membuat suasana malam semakin tegang.
Udara dingin terasa menyelusup ke dalam rumah, seolah menambah beban pikiran mereka. Meski mata mereka mengantuk, tidak ada yang benar-benar bisa tidur. Anak-anak yang tadinya ketakutan mulai sibuk menikmati mie instan. Namun situasi menjadi lebih mencekam saat anak Bung Subusari tiba-tiba menangis keras. Pak, ada pocong pak.
Ritnya sambil menunjuk ke arah dapur dengan mata yang basah oleh air mata. Tubuhnya menggigil dan tangannya yang kecil gemetar. Semua orang langsung menoleh ke arah yang ditunjuk oleh anak bungsu Busari.
Meskipun lampu dapur tidak sepenuhnya dimatikan, sudut ruangan itu tampak lebih gelap dan suram dibandingkan ruang tengah. Ketegangan menggantung di udara. Busari Yang matanya masih mencoba menyesuaikan diri dengan kegelapan, tiba-tiba melihat sesuatu.
Sebuah kepala dengan kain putih yang melilit, ikatannya mengendur di bagian atas, muncul perlahan dari balik pintu dapur. Sosok itu hanya terlihat sekilas sebelum bergerak mundur dengan cepat, seolah menghilang kembali ke kegelapan. Itu mas! Itu pocongnya mas! Jerit Bu Sari dengan panik.
Memeluk anak bungsunya erat-erat, tangannya gemetar, dan napasnya terengah-engah. Anak-anak yang lain langsung bergerak mendekat ke ibunya, mencari perlindungan di balik pelukan hangat yang kini terasa rapuh. Sementara itu, ibunya yang lanjut usia tampak semakin ketakutan, duduk bersandar di dinding dengan wajah yang penuh kekhawatiran. Melihat situasi yang semakin tegang, suami busari langsung bangkit dari duduknya. Wajahnya mencoba menyembunyikan rasa takut, namun nada suaranya tetap tegas.
Sudah, masuk semua ke kamar, kunci pintu, biar aku yang cek ke belakang. Tapi pak, Dusari mencoba menahan suaminya. Wajahnya penuh kecemasan, takut kehilangan suaminya yang bersih keras menghadapi sesuatu yang mereka tidak pahami.
Sudah, tidak apa-apa, doakan saja. Jawab suaminya cepat, sambil mengambil senter dari meja. Ia melangkah menuju dapur dengan langkah hati-hati. Sementara Bu Sari dan anak-anaknya segera masuk ke kamar, seperti yang diperintahkan.
Setelah memastikan pintu kamar terkunci rapat, suami Bu Sari keluar rumah. Ia tahu bahwa situasi ini tidak bisa ia hadapi sendirian. Sosok yang muncul malam ini bukanlah sesuatu yang biasa. Ia segera menuju rumah temannya, Mas Ilman, yang dikenal memiliki kemampuan dalam menangani hal-hal gaib. Rumah Mas Ilman tidak terlalu jauh, hanya berjarak sekitar 15 menit berjalan kaki.
Selama perjalanan, suami Bu Sari berusaha menenangkan pikirannya, meskipun kecemasan terus menghantui. Setibanya di rumah Mas Ilman, ia langsung menceritakan apa yang telah terjadi. Tadi istri saya bilang melihat pocong di warung, Mas.
Anak saya juga bilang, melihat pocong di dapur. Saya bingung harus bagaimana. Katanya dengan nada terburu-buru. Mencoba meredam kekhawatiran yang memuncak.
Mas Ilman mengangguk perlahan, wajahnya tenang, namun penuh kewaspadaan. Tenang, kita cek dulu. Kalau memang ada sesuatu, saya coba usahakan untuk menangani.
Tapi keluarga jangan panik ya, setelah mempersiapkan beberapa peralatan sederhana seperti korek gas dan segenggam garam, Mas Ilman segera berangkat bersama suami Busari menuju rumah. Sepanjang perjalanan, suasana terasa semakin mencekam. Malam yang dingin kini terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah-olah desa kecil itu menahan napas menghadapi kehadiran sesuatu yang tidak terlihat. Sesampainya di rumah. Suasana semakin tegang, lampu ruang tengah telah dimatikan untuk menghemat listrik, menyisakan hanya cahaya remang dari kamar keluarga Busari.
Mas Ilman meminta mereka semua tetap berada di kamar, menutup pintu rapat-rapat, dan tidak keluar apapun yang terjadi. Di ruang tengah, Mas Ilman memulai ritual sederhana. Ia menyalakan korek gas, membiarkan nyala api kecil menari di kegelapan.
Dengan tenang, Ia mematikan api itu, lalu menyalakannya lagi, berulang-ulang sebanyak tujuh kali. Setiap kali api menyala, Mas Ilman melafalkan doa dan kalimat yang tidak dipahami oleh keluarga yang mengintip dari balik pintu kamar. Namun, pada nyala yang ketujuh, sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Dari sudut gelap ruang tengah, perlahan muncul sosok yang selama ini hanya menjadi ketakutan busari. Sosok pocong itu berdiri diam, tubuhnya terbungkus kain putih yang kusam dengan bercak kotor. Bau anjir yang tajam dan menusuk segera memenuhi ruang. Membuat udara terasa berat. Mas Ilman tetap berdiri tenang di ruang tengah.
Meski suasana semakin mencekam. Di dalam kamar, keluarga Busari mulai gemetar ketakutan. Tangisan anak bungsu terdengar pelan, sementara Busari memeluk mereka erat-erat.
Wajahnya pucat, matanya penuh kecemasan. Mas, itu pocongnya. Dia masih ada di sana.
Bis. Isik busari kepada suaminya yang berdiri di dekat pintu, mendengarkan setiap suara dari luar. Sudah, tutup pintunya. Jangan lihat, biarkan Mas Ilman yang urus. Ujar suaminya dengan tegas, mencoba menenangkan istrinya yang ketakutan.
Mereka pun segera menutup pintu kamar rapat-rapat. Meninggalkan Mas Ilman sendirian menghadapi sosok menyeramkan itu. Di ruang tengah, Mas Ilman tetap berdiri tegak.
Ia melanjutkan ritualnya, membaca doa-doa tertentu yang terdengar tegas namun menenangkan. Suasana semakin terasa ganjil saat angin dingin tiba-tiba berhembus di dalam rumah, meskipun semua pintu dan jendela tertutup rapat. Suhu ruangan turun drastis, membuat bulu kuduk berdiri. Namun, Mas Ilman tidak terganggu. Ia tetap fokus pada sosok pocong yang berdiri di hadapannya.
Sosok itu masih mematung, dengan kain putih kotor yang melilit tubuhnya. Matanya yang tertutup kain tampak kosong, namun ada aura mengancam yang terasa dari keberadaannya. Mas Ilman melangkah sedikit mendekat, lalu berbicara dengan suara tegas. Aku tahu kau bukan berasal dari sini. Ujarnya sambil menatap tajam ke arah pocong itu.
Siapa yang mengirimmu? Apa tujuanmu? Pocong itu tetap diam, tidak mengeluarkan suara apapun.
Namun, tiba-tiba kepalanya bergerak sedikit, memiringkan diri ke arah dapur, seolah memberi isyarat. Mas Ilman mengikuti arah gerakan itu dengan matanya, lalu mengangguk pelan. Ia segera menyadari bahwa sosok ini bukan bagian dari lingkungan rumah Busari. Ini adalah sesuatu yang sengaja dikirim oleh seseorang.
Mas Ilman menarik napas dalam, menenangkan pikirannya, lalu mengangkat kedua tangannya. Ia membaca doa terakhir, melafalkannya dengan keyakinan penuh, sebelum menutup ritual dengan menepuk tangannya tiga kali ke arah pocong tersebut. Suara tepukan menggema di ruangan, dan seketika itu juga, pocong yang berdiri di hadapannya lenyap. Sosok itu seolah menghilang ke dalam bayangan.
meninggalkan ruangan dalam keheningan yang mencekam. Dengan tenang, Mas Ilman menyalakan kembali lampu ruang tengah. Cahaya kuning hangat kembali menerangi ruangan, mengusir kegelapan yang tadi begitu menguasai suasana. Ia berjalan ke pintu kamar keluarga Busari dan mengetuk pelan. Sudah aman, sekarang kalian bisa keluar, ujarnya dengan nada menenangkan.
Suami Busari membuka pintu. Dan mereka semua keluar perlahan. Anak-anak tampak masih takut, sementara Bu Sari berjalan mendekat ke Mas Ilman dengan wajah penuh rasa penasaran.
Mas, sebenarnya itu apa? Kenapa dia ada di sini? Tanyanya pelan, suaranya bergetar. Mas Ilman menghela napas panjang sebelum menjawab. Itu pocong kiriman, katanya dengan nada serius.
Biasanya ini dilakukan oleh seseorang yang merasa iri atau tidak suka dengan kalian. Kemungkinan besar ada orang yang tidak senang kalian membuka warung lagi. Suami Busari tampak bingung.
Tapi mas, kami tidak punya musuh. Tetangga juga kelihatannya baik-baik saja. Rasanya tidak ada yang punya alasan untuk melakukan hal ini.
Mas Ilman menggeleng pelan. Senyumnya samar, orang yang iri kadang tidak menunjukkan wajahnya. Mereka bisa berpura-pura baik di depan kalian, tapi di balik itu ada rasa dengki. Namun, kalian tidak perlu terlalu memikirkan siapa yang mengirim. Yang penting, saya sudah menangani sosok itu dan mengembalikannya ke pengirimnya.
Busari menunduk, merasa campuran antara lega dan khawatir. Suaminya memandangnya sekilas. mencoba membaca pikirannya sebelum Bu Sari akhirnya bertanya lagi. Jadi, kami boleh buka warung lagi mas?
Tentu saja, jawab Mas Ilman sambil tersenyum. Menyum menenangkan, buka seperti biasa. Jangan biarkan rasa takut mengganggu kehidupan kalian.
Jika kalian takut, justru itulah yang membuat mereka berhasil. Percayalah, insya Allah, semuanya akan kembali normal. Setelah malam yang penuh ketegangan, pagi harinya Busari bangun dengan perasaan lebih tenang.
Matahari pagi menyinari halaman rumahnya, membawa harapan baru setelah pengalaman mencekam semalam. Suaminya sudah lebih dulu bangun, terlihat sedang menyiapkan bahan-bahan untuk warung mereka. Meski kejadian malam itu masih membekas diingatan, mereka sepakat untuk melanjutkan hidup seperti biasa. Sore ini kita buka lagi ya bu? Tanya suaminya sambil mencuci tempe di belakang rumah.
Bu Sari mengangguk pelan. Iya mas, aku rasa kita tidak boleh terlalu takut. Lagi pula mas Ilman sudah bilang semuanya aman. Anak-anak mereka yang semalam begitu ketakutan, kini kembali ceria, bermain di halaman tanpa memikirkan apa yang terjadi sebelumnya. Melihat itu, Busari merasa lebih lega.
Ia tahu, keluarganya membutuhkan keberanian darinya untuk tetap teguh menghadapi hidup. Ketika sore tiba, Busari membuka warungnya kembali. Ia memulai dengan langkah mantap, menggoreng adonan pertama dengan senyum kecil di wajahnya.
Aroma gorengan yang harum kembali menyebar, membawa kenangan masa lalu yang menyenangkan. Tidak butuh waktu lama, warga mulai berdatangan. Beberapa datang dengan penuh semangat, menyapa Bu Sari seperti biasa. Bu Sari, akhirnya buka lagi ya? Gorengannya saya kangenin lho.
Ujar seorang tetangga sambil memilih tahu isi. Wah, terima kasih ya Bu. Semoga cocok, jawab Bu Sari dengan ramah.
Meskipun dalam hatinya ia merasa harum, gorengan yang dijual hari itu terasa normal. Tidak ada lagi rasa basi, bau tidak enak, atau keanehan lainnya. Suasana warung ramai seperti saat pertama kali ia membukanya, penuh tawa dan obrolan ringan dari para pembeli.
Warga desa seakan tidak menyadari apa yang telah terjadi di rumah Busari sebelumnya. Semua berjalan lancar. Seolah kejadian aneh itu tidak pernah ada.
Di malam harinya, setelah menutup warung, Busari dan suaminya duduk bersama di ruang tengah sambil menikmati teh hangat. Pandangan mereka bertemu, dan tanpa kata-kata, keduanya tahu bahwa mereka telah melewati sesuatu yang luar biasa. Kejadian ini jadi pelajaran buat kita ya, Bu. Ujar suaminya sambil menghela nafas. Busari mengangguk pelan.
Ia mati. Kita belajar untuk selalu waspada, tapi juga nggak boleh mudah menyerah. Cobaan itu pasti ada, tapi kalau kita terus berusaha dan berdoa, insya Allah semuanya bisa kita lalui. Malam itu, mereka tidur lebih nyenyak dari sebelumnya. Ketenangan telah kembali ke rumah kecil mereka.
Hingga kini, warung gorengan Busari tetap berdiri di desa kecil itu, melayani warga dengan penuh keramahan. Busari dikenal bukan hanya karena gorengannya yang lezat, tetapi juga karena ketabahannya dalam menghadapi cobaan. Tidak ada lagi gangguan aneh yang menghampiri, dan usaha mereka terus berjalan lancar. Baiklah, sekian dulu kisah kami kali ini. Terima kasih buat Dimas untuk cerita yang dibagikan.
Meski cerita ini tidak sepenuhnya kisah nyata, semoga dengan kisah ini dapat menghibur sahabat semua. Bila mana sahabat kisah malam kalian punya satu kisah mistis, silakan kirim ke alamat email kami. Insya Allah, nanti akan kami ceritakan.
Setiap cerita yang ditayangkan, nantinya akan diberikan apresiasi berupa suvenir yang menarik. Kami ucapkan terima kasih juga untuk sahabat yang telah menonton video ini, dan juga yang telah subscribe, like, dan komen. Dan untuk yang sudah mendukung channel ini, kami mengucapkan terima kasih banyak dan semoga Allah membalas kebaikan sahabat semua.
Akhirnya saya memohon maaf kalau dalam menyampaikan kisah ini terdapat kesalahan dalam berkata-kata dan pengucapan. Dan saya Sandi undur diri sampai jumpa lagi di kisah kami selanjutnya. Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.