Oke. Tapi ada satu data yang menarik banget nih. Ini kan berhubungan kita tinggal di Indonesia. Oke. Survei kepuasan untuk Bapak Prabowo dan Bapak Gibran tuh 80 persen.
Tinggi banget. Iya. Kok bisa?
Itu kan diomongin terus sama mereka. Tapi di zaman Jokowi kan juga banyak kan, tinggi kan? Iya bener.
Bahkan terakhir kali berapa? 80 persen? Harusnya kita gak usah kabur dong, kalau setinggi itu ya. Iya. Makanya harusnya hashtagnya bukan kabur aja dulu.
Apa tuh? Misuh aja dulu. Jadi. Ini adalah hal yang sangat nyata.
Menurut gue, kabur aja dulu. Karena kan dibanding survei itu, ada survei independen. Yang mayoritas secara kualitatif bilang mereka tuh nggak happy sama Indonesia. Dan gue pun menganggap untuk kabur.
Tapi bukan gara-gara gue nggak bisa cari kesempatan. Gara-gara terlalu vokal dan sering diancam. Oke. Lu berapa kali diancam? Penjara pernah.
Penjara pernah? Dikirimin orang. Orang apaan itu? Dikirim ke pokoknya, kamu jangan...
nanti ada yang nge-talk pintu kamu. Tapi belum di... Hai lama jadi staf susen terakhir tapi fenomena kabur awalnya gua sedikit berpikir sama bapak menteri bilang awalnya ya tapi makin kesini makin Indonesia ini pengen tahu dari yang ya Yang sudah biasa kabur ya? Sudah biasa, harusnya kabur nih.
Tapi kenapa tetap di Indonesia? Oke, aku kasih tau dulu ya. Lu tau gak sih sindrom orang sering pergi ke luar negeri? Sindrom orang yang sering ke luar negeri, biasanya pas balik, kayak aku, misu.
Maka aku bilang misu dulu aja. Karena kenapa? Karena contoh ya, misalnya ya, aku sering pergi ke Turki.
Turki tuh bukan negara bagus loh, bukan negara berkembang banget loh. Misalnya kayak apa ya, kayak misalnya Amerika, atau misalnya kayak Eropa, dan segala macem. Dia kan gak sampai seberkembang itu kan ya. Turki kan baru-baru aja berkembang.
Tapi kalau kita lihat, contohnya yang kita rasakan sehari-hari, kita nggak usah bicara tentang idealitas lah, kita sehari-hari jalan. Jalan di sana kalau sudah nggak Istanbul ya, Istanbul ya memang kota termasuk termacet di dunia. Ketika keluar dari Istanbul, itu bener-bener jalan enak banget.
Bener-bener yang namanya truk sebelah kiri, dan nggak ada yang loadnya banyak. Mereka jalan aja. Terus kemudian apa lagi yang kita lihat misalnya?
Kayak penataan pedestrian. Itu kan yang nyata-nyata kita hadapin setiap hari ya. Itu aja kadang-kadang kita pulang, kok nggak kayak di situ sih? Kok nggak kayak di situ sih? Lu kebayang gak sih?
Lu pergi ke Jepang, lu pulang ke Indonesia, misunya kayak apa? Makin pengen kabur dong. Iya kan?
Lu pergi ke Eropa, lu misunya kayak apa? Dan yang paling parah adalah, menurutku adalah, itu sekedar daily life activities yang kita rasain. Tapi ada satu lagi yang lebih penting.
Keadilan. Itu yang sebenarnya orang mau gak mau dia akan kabur juga. Kan 80% kepuasan.
Nah, kepuasan itu adalah data. Tapi yang sehari-hari dilihat oleh orang, itu kan netizen di sosial media itu. Awalnya inget gak?
Lu kan yang terkenal tuh, Garuda Biru. Iya. Iya kan? Lu termasuk kan?
Termasuk. Udah sampe dibilang mesin propaganda lah apalah. Nah, di saat itu lu tau, Jokowi ngadain semacam kayak popularity test. Dan dapetnya di atas 80 kalau gak salah.
Iya kan? Coba deh cek datanya. Artinya emang bener kemudian kejadian seperti itu?
Ya aku gak tau lah, tapi faktanya ada orang yang protes. Artinya gini, masalah keadilan ini menurutku adalah isu yang paling parah. Contoh ya.
261 triliun Merugikan negara Dihukum cuma berapa? 6 tahun kalau nggak salah ya? Udah naik Udah naik 20 tahun ya?
Udah naik 20 tahun Dan kita nggak tau ya seperti apa ya? Tapi ada nenek-nenek yang nyuri 6 batang kayu itu Yang dihukumnya berapa? 5 tahun ya?
Atau 6 tahun? Aku nggak tau Nah maka keadilan itu yang membuat orang Kemudian nggak merasa percaya Apalagi Kasus tanah lu tau Surat tanah mau didigitalisasi Terakhir Kortex Lu bahas Gue lihat tuh Kortex triliun Buatnya aplikasinya hancur. Hancur banget. Dan lu sebagai dunia digital gimana ngeliat kayak gitu?
Gue masalahnya pernah bikin ERP buat klien. Jadi gue tau betul itu tuh parah lah, itu parah banget. Parah banget kan? Parah banget. Kasus kemarin yang inget gak?
Bank yang down itu loh, yang data-datanya hilang semua. Itu juga sama kan ya? Dan betapa lemahnya kemudian keadilan tuh bisa didapatkan orang.
Sama kayak digitalisasi surat tanah. Orang berpikir dong, lah berarti ini bisa dong. Tiba-tiba kasus, orang nggak digital aja tiba-tiba bisa ada 3 atau 4 surat tanah, apalagi kalau digital.
Ini yang problematikan nih. Nah, keadilan itu yang membuat orang merasa, gue nggak bisa di sini nih. Keadilan atau quality of life?
Keadilan menurutku. Kalau quality of life, orang masih bisa tahan. Tapi kalau keadilan, itu bener-bener orang nggak bisa tahan. Soalnya kalau kebanyakan narasi kabur aja dulu, itu nyambung sama...
Quality of life? Bahwa kita dibunuh demografi. Banyaknya lagi lulus, banyaknya lagi produk.
produktif, tapi nggak bisa nyari kerjaan, mau nyari kerjaan aja disusahin, lapangan kerjaan nggak bisa nyerep, gitu. Sebenarnya kan salah satu premisnya adalah quality of life secara individu. Emang salah kalau misalnya sekarang kita, anggap ini lulus di Indonesia, kita cari peruntungan di luar negeri.
Karena, tanda kutip ya, orang kan mengasah kayak carut-marut banget di Indonesia gitu. Terus ada satu orang bilang itu nggak nasionalis. Iya, betul. Ada beneran nggak pas dia bilang itu nggak nasionalis? Nah, kalau soalan itu...
Ini mohon maaf ya, ini pasti agak sedikit kontroversial nih. Aku ada nonton meme, yang aku ketawa banget sampai aku bilang sama istriku. Ini kontroversi banget, apalagi kalau aku yang ngomong.
Jadi gini, kalau kata-kata ini, jangan lihat apa yang negara berikan kepada kamu. Tapi liatlah apa yang kamu berikan kepada negara. Nah ini aku lihat ya, aku lihat ada memenya.
Ini serius nih, bukan aku yang ngarang ya. Kata-katanya begini, aku nggak tahu lu udah nonton atau belum. Dia bilang gini, dia baca tulisan ini termasuk tadi. Ada menteri yang bilang nasionalisme tadi diragukan dia bilang gini. Mohon maaf ya, aku cuma ngutip.
Setahitahinya ucapan adalah ucapan kayak gini Dan dia jelasin kenapa dia punya statement seperti itu Dia bilang gini, sekarang saya mau nanya balik Apa yang sudah diberikan oleh pejabat-pejabat yang ngomong kayak gini Untuk negara mereka Mereka dapat Nobel Mereka kemudian mesejahitanakan orang Mereka kemudian menyelesaikan permasalahan Indonesia Nggak toh, gitu kan ya Nah, jadi jangan ngomong kayak gitu Dan kalaupun kamu melakukan itu, itu memang tugasmu karena kamu dibayar untuk itu Bener Dan malah, sebaliknya, dia bilang, apa yang kita lakukan untuk negara? Loh, semua kita lakukan untuk negara kok. Lu bayar pajak nggak? Bayar, walaupun sekarang nggak bisa karena korteks. Gue termasuk bayar pajak yang tahan.
Nanti kita kerja, bayangin penulis itu ya. Ya Allah, Tereli itu udah berapa kali nulis tentang masalah penulis dengan pajak. Penulis itu ya, kertasnya pajak.
Lalu kemudian nyetaknya pajak, jualnya pajak, sampai kemudian ke penghasilan kena PPH lagi kan itu kan ya. Semuanya pajak. Dan kita kasih pada siapa? Kita kasih pada negara.
Ya, exactly. Nah, itu alasan ya. Pas mau kasih pun nggak bisa.
Nah, pas mau kasih pun nggak bisa. Maka dia bilang tadi, ya aku kutip, setahitainya ucapan adalah yang tadi itu. Itu kacau sih. Soalnya gini, fenomena brain drain, apa benar kita ada andilnya?
Kalau misalnya gini, orang-orang terbaik dari Indonesia yang harusnya nih. Ya. Secara potensial itu bisa berkontribusi dan membuat Indonesia lebih baik. Tapi gara-gara situasinya kayak gini, kita arahkan mereka untuk keluar aja dulu semuanya. Biar mereka bisa menghidupi diri sendiri dulu.
Bisa mereka naikin taraf pendidikan yang mereka ada dulu. Iya, kalau suatu hari mereka balik. Kalau mereka nggak balik, salah nggak? Nah, ini yang kemudian menjadi satu yang... Dari dulu aku bahas juga tentang brain drain.
Pertanyaannya gini. Pertanyaannya adalah, kalau aku orang pintar, kalau aku orang pintar ya, Gimana caranya aku bisa berkontribusi pada Indonesia? Itu pertanyaannya tuh. Gimana caranya?
Pertanyaannya bukan gimana caranya, tapi bisa atau nggak bisa? Ini dulu nih yang harus kita jawab nih. Nah, kalau pemerintah bisa jawab ini, mungkin kita bisa bahas tentang brand-brand.
Itu salah atau nggak salah. Tapi kalau misalnya negara tidak memberikan sebuah solusi untuk itu, aku pikir, ya ini bukan choice lagi. Kalau bukan choice, maka nggak ada pertanggung jawaban dong. Benar. Ya kan ya?
Contoh kayak gini ya. Kita udah sediain tempatnya nih. Kalau kalian mau balik ke sini, lalu kemudian kalian beraktivitas di sini, kalian milih di luar, barulah dia bisa bilang kalian gak nasionalis. Tapi kalau misalnya dia tidak ngasih pilihan ini, maka pilihan apa yang mereka punya?
Pilihan apa yang mereka punya? Mereka tidak punya alternatif, maka gak ada pertanggung jawaban dong. Karena gak ada alternatif.
Contoh kayak gini deh. Kita tidak pernah memilih bahwasannya kita punya orang tua yang mana. Karena itu kita tidak punya pertanggung jawaban dong. Kenapa orang tua...
Gak ada yang nanya gini, Lik kenapa orang tuamu yang ini? Gak ada yang nanya. Karena aku gak punya choice gitu kan ya.
Berarti kasus brain drain-nya menurutku orang-orang itu gak punya pilihan. Dan kalau aku ya secara pribadi, aku gak bisa bilang setuju atau gak setuju. Karena kalau aku bilang setuju, aku juga gak mau orang-orang ini bener-bener beraktifitas di luar negeri.
Dan itu nyambung dengan pertanyaan lu yang tadi. Kenapa aku tetap disini? Kalau aku, aku punya alasan.
Alasan ku apa? Alasan ku sederhana. Allah milihin tempatku disini.
Berarti tempat dakwahku disini. Kayak Gotham. Kayak Gotham.
Sebenarnya Bruce Wayne kan bisa aja keluar. Betul. Bisa aja, happy-happy aja.
Bisa aja cari masalah gitu. Prince of Darkness. Prince of Darkness. Tapi dia milih di situ.
Kenapa lu milih di sini? Kalau kita, menurut gue ya, gue udah dikasih privilege. Oke.
Ada yang sebenarnya gue bisa, gue ada pilihan untuk bisa melakukan sesuatu. Betul. Karena kita punya suara.
Betul. Suara itu bisa jadi katalis untuk membuat perubahan. Katalis toh, tapi. Oke.
Tapi gak punya power untuk actually membuat perubahan where it matters. Oke. Jadi gue ngerti kalo orang sehari-hari, ini baru temen gue, dia di Indonesia tuh sangat well connected, sangat kaya, sangat kenal semua orang, orang kuat dan lain-lain.
Tapi? Dia kalo kumpulin semua aset-asetnya buat dia manage, itu triliunan. Oh, ngeri dong. Tapi dia pilih untuk Singapura. Berarti dia termasuk kabur aja dulu?
Dia termasuk kabur aja dulu. Alasannya kenapa? Waktu itu gue bilang gini, lu bisa di Indonesia, lu udah kayak raja gitu. Kenapa lu pindah keluar? Kalo gue gak keluar...
Otak gue minus. In a way kayak gitu. Iya. Gue bandingin sama Singapura, walaupun di Indonesia dengan semua privilege-nya, I need to level up. Oke.
Dan Indonesia tidak menyediakan platform untuk level up. Ruang. Ruang.
Jangan gabungkan orang-orang mediocre dengan orang-orang outlier. Kalau outlier digabung mediocre, jadinya mediocre. Benar.
Tapi kalau outlier gabung dengan outlier, kuadratik. Benar. Nah berarti masalahnya adalah kualitas hidup kan gitu kan ya. Tapi menurutku kualitas hidup tuh hanyalah bagian daripada keadilan tadi.
Jadi menurutku ya, balik lagi kalau soalnya tadi, Indonesia tuh menurutku problemnya sudah sejak awal masalah keadilan. Keadilan itu nanti berpengaruh pada akses. Akses berpengaruh pada ruang yang nanti diciptakan itu tadi. Nah, bayangin ya, kalau temen lu aja yang sudah punya aset yang... Dia kelola triliunan, udah bisa pensiun di Indonesia dengan happy, dan dia punya kemudian otak yang lebih daripada orang biasanya, itu aja menganggap bahwa dirinya gak punya alternatif, kita bahas tadi ya.
Kira-kira gimana dengan orang-orang yang tadi tuh, yang masih punya pilihan ya, mungkin gak setinggi itu, tapi mungkin di tengah-tengah, middle gitu kan ya. Dia berpikir, yaudahlah kenapa aku gak di luar dulu. Nah aku jadi gak bisa bilang setuju, aku gak bisa bilang juga gak setuju. Karena kalau aku bilang setuju, itu bertentangan dengan apa yang aku yakini. Karena aku memilih itu di Indonesia dan untuk memperbaiki di Indonesia kayak lu.
Tapi kalau aku bilang bahwasannya aku gak setuju, aku juga gak bisa jamin hidup mereka dan gak bisa untuk ngasih solusi pada mereka. It's not fair. Kalau aku bilang gak setuju juga. Apalagi kalau aku bilang, lu gak nasionalis.
Itu ngecap namanya. Itu number one thing yang gue gak setuju. Iya. Karena bisa dilihat dari dua angle lah. Nasionalis itu apa?
Nasionalis itu kan in a way rasa cinta dulu dah. Betul. Bahwa kita pengen berkontribusi gitu.
Iya. Tapi kebanyakan orang itu terlalu mikir jangka pendek bahwa apa yang kita ngelakuin sekarang merepresentasikan apa yang kita bisa kontribusi secara jangka panjang, itu aja udah salah. The fact bahwa sering banget ada program pemerintah. Kita sekolah dulu aja di luar.
Udah tau gak ada ruang di Indonesia buat kita bersaing secara global, karena disitu-situ doang. Ini misguided banget sih. Pas orang bilang gak nasionalis, sebatas cuma ngeliat jangka pendek. Solusi konkretnya harusnya gimana? Solusi konkretnya keadilan dikembalikan, menurutku.
Contoh kayak gini ya, secara gampang. Ada orang tua yang bilang pada anaknya, Nak, belajar nak. Ini bukunya.
Ini sekolahnya. Anaknya main game. Maka wajar kalau orang tua bilang, kamu males.
Ya kan ya? Ini nggak ada bukunya. Sekolah nggak dikasih duit, ya kan? Nggak ada ruang pekerjaan juga.
Malah anggarannya dipotong. Nah itu, itu, itu parah sih. Terus setelah sekolah juga nggak tau di mana, terus dibilang kamu males tiba-tiba. Lah, Ananya bingung dong.
Aku mau. Cuma nggak bisa, jadi ada perbedaan antara mau dan, sorry, antara bisa dan mau. Itu ada perbedaannya.
Ada orang mau tapi nggak bisa, ada orang bisa tapi nggak mau. Nah Indonesia bagian mana nih? Bagian menurutku adalah bagian kebisaan, bukan kemauan.
Ada orang bilang, orang Indonesia males-males. Bro, kita itu bangun lebih pagi daripada rest of the world. Itu bener.
Kita bangun jam 5 sendiri untuk sholat subuh Atau misalnya jam 6 lah orang-orang bangun pagi Sebenarnya yang lain-lain Aku lihat ketika aku pergi ke Roma Aku pergi ke Eropa Orang-orang bangun siang tuh Gak ada yang bangun sepagi kita Artinya kita tuh gak males Cuman kita tuh dibatasin Nah keterbatasan ini Namanya kalau problem di kapitalis Bukan kapitalis sih Problem ekonomi umum Inequality Inequality itu adalah problem akses Aset dan authority Nah berarti untuk mudan 3 ini Bisa mudan untuk diakses oleh semua orang Otoritas juga harus orang-orang yang mampu aja dan akses aset itu dibagi rata. Itu harus ada kesetaraan namanya. Nah equality itu masalah keadilan tadi aku bilang. Makanya menarik gini, coba lihat ya. Di negara-negara lama, atau sorry bukan negara-negara lama, di peradaban-peradaban lama yang paling dijunjung tinggi adalah keadilan.
Semua orang punya equal rights. Mereka tahu kalau mereka berbuat ini maka akan jadi apa. Kalau mereka kesini maka akan begini.
Tapi kalau di Indonesia itu... Gak jelas Nah kalau gak jelasnya tetap ada Aku gak bisa ngasih solusi sih Nah itu kan lebih ke di luar kontrol Untuk mayoritas orang Kita, yang kita sekarang ya Even kita pun di luar kontrol Nah untuk orang-orang yang mau Tapi gak bisa karena keadaan Dan mereka gak ada opsi untuk kabur aja dulu Dan ini sering di Twitter Mereka mau Mereka mau pendidikan lebih tinggi Mereka mau bekerja Tapi mereka tidak ada opsi Even buat kabur aja Terima kasih Itu lebih bikin mereka stuck, udah nggak tau mesti apain lagi gitu kan. Cuma mereka pake kabur aja dulu sebagai cara untuk menyampaikan aspirasi.
Apakah itu bakat tersampaikan? Kita nggak tau. Kemungkinan besar mungkin katalis tapi nggak mungkin bikin perubahan yang konkret. Dan nasib mereka gimana?
Aku tau. Mungkin inilah saatnya Raymond yang mengkoordinir. Loh gini loh.
Satu orang yang voiceless, ditambah dua orang yang voiceless, dan ketiga orang yang voiceless. Itu menjadi punya voice kan? Karena di Indonesia, kalau nggak viral, nggak jalan.
No viral, no justice. Betul. Berarti sebenarnya, kayak dulu masalah Garuda. Kalau Garuda cuma satu orang yang ngomong bahwa Indonesia ada problem.
Nggak bakal. Maka orang denger bilang, itu kan cuma dia doang. Tapi kalau misalnya ini di koordinir, dan ini disampaikan, setidaknya kita tahu, kita bukan pengen sesuatu yang buruk.
Kita pengen agar ini, hashtag ini, berubah menjadi sesuatu yang positif. Seperti kata lu tadi, ada orang-orang yang kabur aja dulu dan bisa kabur. Ada orang yang...
Bisa kabur tapi gak mau kayak kita. Karena kita punya tugas disini. Kita tau kita punya tugas disini.
Artinya apapun kita akan lakukan tetep aja disini gitu maksudnya. Nah tapi ada orang-orang yang tadi yang di tengah-tengah ini. Nah bisa gak sih justru Raymond ngasih solusi gitu. Nah itu aja kenapa gue sendiri mau kabur aja dulu. Lu mau kabur?
Let's say kayak gini. Kabur itu dalam konteks. Bisa gak gue ngelakuin apa yang gue lakuin tapi gak di Indonesia.
Oke. Seandainya ada yang mau nangkep gue. Ada yang nakal nih mau nangkep sesuatu di mobil gue.
Ada yang mau ketok pintu gue, gitu loh. Itu aja gue nge-consider untuk kabur aja dulu. Dan gue siapin beberapa falas.
Ini real. Iya, pasport. Udah ada, udah lekat.
Gue pun siapin itu. Tapi dengan harapan bahwa gue bisa membuat perubahan, cuma nggak tahu kalau misalnya, kalau dinir nih. Betul, betul. Udah mulai kena mereka. Tinggal dibunuh aja.
Betul, itu betul. Ada dua pendekatan ulama ketika lagi ada masalah. Satu, kabur aja dulu. Dua, bertahan di situ. Gue pernah cerita belum sih?
Pernah tapi high level. Waktu itu di perspektifnya Nabi Muhammad kan? Yang pasti tiba-tiba juga story-nya ada kayak gitu.
Ada ya? Nah oke, kalau gitu aku cerita lagi deh. Dulu pernah ada fitnah. Intinya fitnahnya begini.
Quran itu dikatakan sebagai makhluk. Gampangnya gitu. Padahal Quran bukan makhluk. Nah, ulama ini mau bantah, tapi ancamannya adalah nyawa. Persis kayak lu kan?
Nih, gue kasih tau nih. Ada dua tipe nih. Yang satu kabur aja dulu, namanya Imam Syafi'i, yang sekarang dipakai di Indonesia mazhabnya.
Dia kabur dari Baghdad, pergi ke Cairo. Alasannya adalah, dia perlu untuk membangun dengan sesuatu yang lebih baik untuk memperbaiki masa depan. Syaratnya, dia punya kemampuan, dia punya konsep yang sudah jelas, dan dia bisa eksekusi.
Itu adalah, ada ulama yang bilang, enggak aku tetap di sini, walaupun aku harus mati. Kenapa? Karena namanya Imam Ahmad bin Hambal nih. Karena dia bilang gini, Nggak apa-apa Ahmad itu tidak selamat, tapi orang nggak tersesat. Kalau orang masih tersesat?
Kalau orang masih tersesat, setidaknya dia sudah mencoba melakukan tugas beban peradaban. Itu seru. Tapi lu yakin nggak sih bahwasannya kita semua telahir punya beban peradaban? Benar, benar.
Nah artinya gini, Imam Ahmad itu ketika ditanya, kenapa kamu nggak ikut aja, pergi keluar, setidaknya kamu lolos dulu dari sini. Dia bilang gini, kalau aku selamat, yang lain sesat, maka aku nggak menjalankan tugasku. Gambarnya begitu. Tapi Imam Syafi'i ketika dia keluar, kabur aja dulu, brain drain dalam tanda kutip pada saat itu.
Dia tidak brain drain, tapi dia mau membangun dari luar untuk memperbaiki. Dan ternyata kombinasi dua ini akhirnya membenahi kemudian peradaban ke depan. Ada nggak opsi tiga?
Apa tuh? Kemarin tuh gue sambil, karena ada satu kejadian yang bikin gue lebih berhati-hati. Gue lagi siapin failsafe. Failsafe? Failsafe-nya kalau seandainya kenapa-napa, gue harus double make sure gue jadi martir.
Dan ada yang bisa ngelanjutin. Dan efeknya bakal lebih dasyat dibanding when I was here. Sebenernya itu yang lagi disiapin.
Tau gak aku bilang sama orang-orang apa? Kita selalu pasti ada pengorbanan kan ya? Dalam hal apapun dong. Bahkan lu berkeluarga aja lu ada pengorbanan kan? Bener.
Lu gak berkeluarga juga lu ada pengorbanan kan? Aku bilang gini, kalau memang waktunya yang harus jadi korban adalah kita, aku make sure yang bikin itu jauh lebih sakit. Nah itu, failsafe kalau kita gini-gini. Failsafe maksudnya adalah sesuatu yang kalau terjadi apapun, ya kita pastiin bahwasannya mereka lebih sakit.
Itu ada di dalam Al-Quran tuh. Oh iya? Loh, serius. Jadi gini, di dalam Al-Quran ada 3 jenis kemenangan.
Satu, kemenangan pribadi atas pribadi yang lain. Contoh, ketika kita debat sama orang, kita menang. Itu kemenangan pribadi. Itu nggak begitu bagus.
Yang kedua, kemenangan atas opini. Itu yang kedua. Jadi yang lu barusan bilang failsafe itu, itu kemenangan atas opini tuh. Jadi kalau perlu harus selesai.
Lu memastikan ada sesuatu yang besar yang terjadi Nah itu adalah kemenangan opini Yang ketiga kemenangan penerapan aturan secara utuh Islam Nah aku cerita yang kedua ya Nih bagus nih Dulu ceritanya di dalam Al-Quran itu Ada seorang pemuda yang dia itu beriman Di tengah-tengah kondisi yang gak beriman Akhirnya dia dimarahin padahal dia keluarga bangsawan nih Dia mau dibunuh Pas dia dibunuh dia bilang begini Aku gak percaya ada satupun kekuatan selain Allah yang bisa bunuh aku Ternyata dia diapain pun gak bisa mati Hmm Diterjunin ke laut gak mati, dilempar dari kejauhan gak mati, ditembak apa, dipanah gak mati, ini serius nih ada ceritanya. Oke, setelah itu dia bilang gini, Raja mau bunuh aku? Raja bilang, iya, karena kamu mengganggu keterliban, gak banyak gitu. Terus dia bilang gini, boleh, tapi kalau kamu mau bunuh, saya sarankan di sebuah perayaan hari raya.
Orang-orang pada ngumpul semua, dia ditaruh di sebuah pohon di tengah-tengah, orang nontonin semua nih, Raja atau dia yang menang. Dipanah gak berhasil-berhasil. Akhirnya kemudian dia bilang, Raja mau bunuh aku gak? Boleh, disaksikan semua orang nih.
Makanya dia bilang gini, kamu mau bunuh aku? Bilang begini, Bismillah, dengan nama Tuhan. yang punya nyawa anak ini, aku menyebut nama Tuhan yang punya nyawa anak ini, aku mau bunuh dia.
Dia ngomong itu, terus dilepasin panahnya, mati Tuhan. Tapi apa yang terjadi pada crowd? Crowd percaya bahwa dia beriman. Crowd beriman semua. Dua Musa.
Musa di dalam Al-Quran bilang gini, kalau kamu mau debat sama aku, Fir'aun mau debat sama Musa, Musa bilang, boleh. Tapi jangan sekarang. Harus pas hari orang-orang ngumpul. Soalnya kan kalo orang yang udah percaya ya, mereka tuh bukan takut mati. Betul.
Tapi takut mati sia-sia. Betul. Dan itu yang sebenernya kalo di sistem yang kacau banget, it still can happen.
Ya. Dan itu yang sebenernya worries a lot selama sistemnya masih kayak gini gitu loh. Itu yang jadi kayak, apa gue kabur aja dulu gitu.
Tapi gue punya pertanyaan yang lain buat lu nih. Pertanyaannya begini, kalo lu tinggal. Atau lu dilahirkan di negara yang lebih bagus daripada Indonesia?
Apakah itu lebih baik? Enggak kan? Karena disini kita bisa membuat impact yang lebih besar.
Betul. Karena ingat gak obrol-obrolan kita? Kita bukan naif ya, tapi Echiles itu diingat orang karena ada musuhnya.
Hercules itu jadi cerita karena dia lewat adventure. Dan adventure macam apa kalau gak ada? Nggak ada hambatan.
Artinya kalau aku hidup di Eropa ya, hidup di tempat yang benar-benar nyaman bagi aku ya, ya mungkin kita jadi kayak, atau di Jepang mungkin, aku mungkin cuma sekedar om-om penikmat komik yang datang ketika AKB48 lagi latihan. Sama, mungkin gue jadi programmer yang tiap hari kerjaannya main game. Nah itu dia.
Happy gue, happy. Artinya kita memang dibentuk untuk di sini. Nah itu namanya beban peradaban. Artinya juga, artinya ya...
ada-ada problem seperti ini yang akhirnya membuat kita berpikir mau kabur atau enggak dan menghadapin, justru itu menandakan kualitas kita kan sebenarnya kan. Nah, kalau gitu topik terakhir nih. Terus gimana orang-orang let's say adalah segelintir orang yang bahkan bilang kabur aja dulu kalau pun mereka mau, kali ini dia bisa.
Apa mereka punya moral obligation kalau mereka bisa nih untuk stay, would you want them to stay? Kalau aku ditanya pribadi, of course. Aku prefer mereka untuk tetap. Terus kita sama-sama, ya berbeda kalau bisa. Cuman harus ada yang koordinir.
Itu tadi. Karena kalau nggak ada yang koordinir nih, balik lagi. Aku tuh hanya bisa untuk meminta komitmen orang kalau aku menyediakan ruang untuk itu.
Tapi kalau aku meminta komitmen mereka tanpa menyediakan ruang atau alternatif buat mereka atau opsi buat mereka, itu nggak fair menurut gue bagi mereka. Dan mungkin nggak fair juga bagi aku karena aku kayak Om Do kan gitu kan ya. Nah, maka kalau aku dikatakan prefer, Jelas aku prefer mereka untuk stay Tapi untuk mereka stay itu Kita harus kasih, oh ini loh yang harus kita lakukan Nah setidaknya itu yang aku buat di dalam dakwah Gini loh Indonesia ini adalah sebuah negeri tempat amanah Allah buat kita Nah maka kalau misalnya mau berdawa Ayo bareng-bareng, ini caranya Nah berarti untuk brain drain Lu punya beban lebih besar Daripada Felix Yau Oke gini, terkoordinir kan Kita kebagi ke 3 segmen Oke Oke Realitanya di Indonesia orang jahat jauh lebih terkoordinir. Mereka lebih berkumpul.
Sebenarnya, ya. Iya kan? Orang baik terlalu terpecah-pecah. Oke.
Tapi yang lebih banyak di Indonesia itu orang netral. Ya. Bukan, netral itu satu hal. Tapi kalau apatis, yang paling susah sebenarnya kumpulin orang baik buat terkoordinir bareng-bareng buat membahas mian jahat, itu udah susah.
Ya. Yang kedua, gimana cara mengkoordinir orang-orang netral ini. Oke, swing voters.
Dan swing voters ini tuh mayoritas Bukan karena mereka mau netral, bukan mau... Karena mereka udah ada nihilisme, mereka udah apatis, mereka udah to the point. Yaudah gue gini aja deh.
Gue udah gak ada opsi keluar, gue gak bisa gitu ngapain gitu loh. Itu challenge paling gedenya. Oke, jadi gini. Aku pernah baca penelitian apa ya, kalau gak salah Pew, Pew Research. Tentang masalah tentang swing voters.
Itu berkaitan dengan tema apapun sama. Jadi contoh ya, berkaitan dengan komitmen mereka terhadap agama. Ternyata yang komit terhadap agama cuma sekitar 15-16 persen.
Yang tidak komit terhadap agama atau yang memusuhi agama sekitar 15-16%. Sisanya swing voters. Angka itu persis sama riset yang gue nemuin tentang positif negatif di apapun. Oh gitu ya?
60% swing voters? Mirip. Oke. Hampir semua. Kita mau riset apa, pasti 15-15, tanggalnya segitu sisanya.
Oke, berarti swing voters ini kan yang banyak. Nah, kemudian aku berpikir, kenapa sih mereka jadi swing voters? Menurutku sih, yang paling besar bukan karena mereka malas atau mereka kemudian apatis. Tapi menurutku... Mereka nggak teredukasi.
Nah itu, itu benar. Menurutku. Nah artinya, sejauh mana kita bisa kemudian untuk penetrasi edukasi pada mereka, maka ini menentukan swing voters ini bakal kemana nih.
Nah problemnya adalah, orang-orang yang sudah terorganisasi secara keburukan ini, mereka menghalangi agar edukasi ini nggak terjadi. Itu benar. Dan lebih terkoordinir.
Nah betul. Nah karena itulah, ada cerita yang bagus lagi di dalam Al-Quran. David V.S. Goliath.
Aku orang ingetnya kalau itu Alkitab. Oh iya, oke. Daud Fais Jalud.
Oke. Oke, berarti apa hikmah daripada Daud Fais Jalud? Anda boleh salah pilih lawan, tapi Anda jangan salah pilih senjata. Iya kan?
Eric suka banget yang kayak gini-gini. Oke, jangan salah pilih senjata. Berarti kita secara lawan pasti lebih kuat, lebih terorganisasi, badan mereka lebih besar. Tapi ingat, badan lebih besar berarti lebih lambat. Tapi ingat, Pengalaman lebih lama berarti mereka makin keras, makin nggak fleksibel.
Sedangkan kita, kita bukan siapa-siapa, kita punya pilihan untuk memilih senjata, dan mereka sudah punya senjata yang mereka nggak bisa tukar lagi. Berarti jangan salah pilih senjata. Namanya apa?
Itu! Jadi jangan ikut musuh. Oke, jadi kita nggak boleh kasih topor kalau ada di sini?
Nggak boleh. Karena kalau jalut atau goliat itu pakai pedang besar, kalau kita pakai pedang besar, matilah kita, masa kita mau kemudian lawan mereka pakai pedang besar, maka sekarang kuncinya menurutku sih, kuncinya ada pada teknologi dan kalaupun kita tahu senjatanya ada ketapel, kita jangan kasih tau dia bahwa kita bakal bawa ketapel bukan ketapel sebenarnya, slingers kalau ketapelnya kayak gini nih slinger, aku baca itu bisa eh, mau aku tau gak eh, Anto pasti udah baca kan bukunya Malcolm Gladwell David Vesgolias, itu kan dibahas lengkap banget kan ya nah Itu menurut gue ngeri banget sih, karena pemilihan senjata itu ternyata berhubungan dengan kelemahan musuh. Berarti kelemahan mereka susah bergerak nih. Dan lo liat gak, orang-orang jahat sekarang, metodenya tuh sebenernya itu-itu aja. Hmm, bener.
Artinya kita punya head start sih disitu. Oke. Buktinya adalah, buktinya ya contoh ya, coba bayangin ya.
Lo dibayar gak sama orang? Aku rasa tidak. Enggak, enggak ada. Pertama lo gak dibayar, lo gak disupport sama buzzer-buzzer yang dalam tanda kutip artis-artis dan segala macem, tapi keberadaan lo...
Apa yang terjadi dengan kebenaran lu? Lu didatangin orang. Aku bilang, kalau mereka nggak merasa bahwa lu apa-apa, ngapain sih mereka takut sama Raymond Jean?
Itu kan sama kayak One Piece kan? Kalau Bajak Laut itu bukan apa, kenapa mereka takut sama Bajak Laut? Yang mereka takut bukan Bajak Lautnya, tapi informasi-informasi yang dibawa oleh Bajak Laut itu. Berarti battle of information sih menurutku. Jadi ya sekarang pertanyaannya adalah, bagaimana menemukan senjata yang tepat?
Berarti kalau pesan terakhir nih. Buat semua yang nonton dari awal sampai akhir, awalnya gue plannya mau monolog. Tapi kelihatannya kalau sama Ustadz Felix bakal lebih banyak petua.
Sekalian gue belajar. Buat orang, ini personal ya, gue bukan sebagai pedakwa. Kalau kalian mau cari peruntungan di luar dan bisa, dan bisa di-plan, tapi gue titip, lihat lagi lah Indonesia nanti.
Pas udah lo maju, pas lo udah punya harapan, dan nanti kembalilah dengan catatan lo bakal kembali ke Indonesia. Dan itu tidak ada masalah? Gak ada masalah sama sekali. Karena Imam Syafi pernah begitu. Benar.
Kalau mau hidupnya susah, ayo kita fight bareng diri dulu. Itu Imam Ahmad bin Hambar. Dia mungkin tidak selamat, tapi yang lain tidak sesat.
Oke. Berarti itu konklusinya. Nggak ada konklusi. Thank you, Sat Felix.
Sudah banyak kontrol. Ini fun fact-nya. Ini kan video live setelah gue naikin review 100 hari.
Jadi ini banyak yang berhubungan. Dan stay tune karena pas di bulan suci Ramadan, bakal ada sesuatu. Untuk kalian.
Dan aku juga bisa berharap mudah-mudahan Raymond Chin kuat ya. Habis buat 100 hari. Tiba-tiba lu diangkat jadi status, gak jadi program kita.
Gak jadi program kita. Adanya gue bikin-bikin reals terus. Klarifikasi. Betul, klarifikasi mulu lu. Sampai jumpa di video selanjutnya.