Transcript for:
Strategi Mengatasi Kemiskinan Ekstrim 2024

Pemerintah memperkirakan kemiskinan ekstrim bisa melonjak drastis pada penghujung tahun masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, yaitu tahun 2024. Mengapa demikian? Karena basis perhitungan penduduk miskin yang digunakan secara global berbeda dengan yang digunakan pemerintah selama ini. Kok bisa? Nah lantas, apa sih langkah yang disiapkan pemerintah untuk mengentaskan masalah kemiskinan ekstrim ini melihat tahun 2024 hanya tinggal hitungan bulan saja? Selengkapnya akan kita ulas bersama dalam siap-siap 6,7 juta warga RI miskin ekstrim di 2024. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional atau Kepala Bapak Naswar Somonowarfa mengatakan, selama ini pemerintah menggunakan basis perhitungan masyarakat miskin ekstrim dengan garis kemiskinan sebesar 1,9 dolar AS per hari.

Padahal secara global sudah 2,15 dolar AS. Purchasing Power Parity per hari. Alhasil, dengan basis perhitungan ini, pemerintah harus mengentaskan kemiskinan, mengentaskan 5,8 juta jiwa penduduk miskin hingga mencapai 0% pada 2024. Ini setara dengan 2,9 juta orang per tahunnya. Sementara itu, bila basis perhitungan orang yang bisa disebut dengan miskin ekstrim, dengan perhitungan secara global di 2,15 dolar AS, triple P per hari, maka pemerintah ini harus mengentaskan 6,7 juta orang penurut miskin hingga tahun 2024 atau sekitar 3,35 juta orang per tahunnya. Kita lihat lagi di slide berikutnya.

Jadi ada sekitar 16 dari 34 provinsi yang dihitung. Lebih rinci provinsi yang masuk kategori miskin di Pulau Sumatera antara lain ada Aceh, Bengkulu, Sumatera Selatan dan juga Lampung. Tidak ada provinsi yang miskin di Kalimantan sebab semuanya sudah di bawah rata-rata nasional. Akan tetapi di Jawa masih cukup tinggi, seperti di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan juga Yogyakarta.

Berikutnya di Sulawesi, ini ada Gorontalo, kemudian Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara. Sedangkan pada Pulau Maluku ada Provinsi Maluku Utara, Papua, kemudian NTB hingga NTT. Nah provinsi yang mencapai tingkat kemiskinan tertinggi ada pada wilayah Papua di kisaran 23,5 hingga 24 persen.

Nah, dari data ini saja, mungkin belum mencerminkan ya kondisi di lapangan yang sebenarnya. Lalu bagaimana kalau dicermati lagi melalui data penduduk miskin di tanah air? Kita lihat di slide berikutnya. Jadi, untuk menghindari krisis-krisis di masa depan, pemerintah tampaknya harus menyampaikan situasi yang sesungguhnya.

Dalam hal ini mengenai data kemiskinan di tanah air. Nah, ekonom FEB Universitas Indonesia Yusuf Vibisono menilai Selama ini, data kemiskinan yang dipublikasikan pemerintah secara luas dinilai hanya bertujuan untuk evaluasi pembangunan. Menurutnya, selama ini pemerintah menggunakan data kemiskinan makro yang rutin dikeluarkan badan pusat statistik berdasarkan survei setiap 6 bulan yaitu SUSENAS atau Garis Kemiskinan Nasional.

Terakhir, BPS mencatat bahwa jumlah penduduk miskin per September 2022 ada sebanyak 26,36 juta. atau sekitar 9,57% dari total penduduk Indonesia. Untuk implementasi kebijakan perlindungan sosial dan juga penanggulangan kemiskinan, pemerintah seharusnya menggunakan data kemiskinan mikro, yaitu data terpadu kesejahteraan sosial yang berisi data 40% keluarga miskin.

Angka ini kurang lebih setara dengan 95 juta penduduk, 4 kali lipat dari angka kemiskinan makro. Jadi dengan kata lain, pemerintah sebenarnya tahu bahwa dalam kenyataannya jumlah penduduk yang harus dilindungi dengan bantuan sosial dan dientaskan dari kemiskinan ini jauh lebih banyak dari angka kemiskinan yang resmi atau yang selama ini dipublikasikan. Singkatnya, angka kemiskinan mikro inilah yang harusnya lebih dipublikasikan oleh pemerintah secara luas. Jika penduduk yang berhak menerima bantuan sosial dan juga program penanggulan kemiskinan semakin banyak, maka kondisi kemiskinan Indonesia sesungguhnya semakin memburuk. Jadi wajar apabila Bank Dunia meminta pemerintah Indonesia untuk mengubah garis-batas garis kemiskinan.

Sebab suatu negara memiliki penghitungan berbeda dengan Bank Dunia terkait batas kemiskinan. Tapi ketika Bank Dunia mengajurkan perubahan batas kemiskinan sesuai ukuran Bank Dunia dalam analisis kemiskinan global, nah ukuran yang dipakai yaitu pendekatan paritas daya beli atau purchasing power parity yang tadi di awal disebutkan dalam dolar Amerika Serikat. Pendekatan purchasing power parity ini berbeda dengan nilai tukar falas.

Misalnya pada 2021, 1 dolar Amerika Serikat purchasing power parity itu setara dengan Rp4.758. Jadi ketika Bank Dunia menaikkan batas garis kemiskinan ekstrim dari 1,9 dolar AS menjadi 2,15 dolar AS maka ini setara dengan 10.229 rupiah per orang per hari atau sekitar 306.870 rupiah per bulannya atau naik dari sebelumnya yaitu 9.040 rupiah per orang per hari atau sekitar 271.200 rupiah per bulannya. per bulan.

Nah dengan perubahan garis kemiskinan maka jumlah penduk miskin berubah. Ukuran bank dunia yang sebelumnya tadi 1,9 dolar Amerika Serikat adalah berbasis triple P tahun 2011. Sedangkan yang terbaru yaitu 2,15 dolar Amerika Serikat itu basisnya adalah triple P tahun 2017. Jadi ukuran yang sekarang lebih relevan dan hasilnya jumlah penduk miskin angkanya semakin bertambah. Inilah yang harus menjadi fokus utama pemerintah saat ini dan juga ke depannya untuk menekan angka kemiskinan. Lalu apa saja PR-nya? Kita akan lihat di slide berikutnya.

Pada tahun 2024, pemerintah menargetkan kemiskinan ekstrim dapat turun Ketingkat 0%. Agak sedikit ambisius meskipun Indonesia masih dihadapkan banyak tantangan global. Akan tetapi perlu digarisbawahi ya bahwa upaya pengentasan kemiskinan ekstrim menjadi salah satu fokus pada arah kebijakan fiskal pemerintah dalam rangka mendorong transformasi ekonomi yang inklusif dan juga berkelanjutan.

Sebagai upaya penghapusan kemiskinan ekstrim pada tahun 2024 mendatang, Pemerintah ini telah menyusun tiga strategi utama. Kita lihat, yaitu pengurangan beban pengeluaran kelompok miskin ekstrim, peningkatan pendapatan kelompok miskin ekstrim, dan juga pengurangan kantong-kantong kemiskinan. Jadi, pada intinya, PR pemerintah untuk mengentas kemiskinan ekstrim ini sangat berat ya. Ada konsekuensi anggaran pelindungan sosial yang nilainya bisa dikatakan sangat besar. Jadi mau tidak mau harus disiapkan demi bisa menurunkan angka kemiskinan di Indonesia.