Transcript for:
Pendidikan Lanjut untuk Karir Dokter

Mungkin ini akan menjadi kuliah tersingkat. Jawabannya saya gampang. Pertanyaan kurang menantang dari teman-teman Malaka. Saya pikir kalau saya ke podcast ini pertanya kelas kelas pakar tu agak menantang rata. Soo saja. Pertanyaannya adalah saya sudah punya toko, sudah punya susen care, udah dokter, sudah ngurus klinik. Kenapa seorang dokter Tita harus S2 lagi? Alasannya apa? Gelar. Ada yang nuduh, Dokter Tita mau nyalon ya jadi stafus. Jawabannya adalah memperbaiki pola pikir. Kamu boleh S2? Kalau kamu tujuannya memperbaiki pola pikir tak breakdown nih ya. Dalam sebuah yang namanya pendidikan. Ketika kita siklus pendidikan kita lahir, kita lahir mak ceprot entah caesar atau pervaginal. Red, orang tua kita happy. Insyaallah mungkin orang tua kita hidup semua. Tujuan kita sekolah TK atau play group itu bermain, mengenal lingkungan, mengenal yang namanya sosial interaksi. Bahwa seorang anak kecil itu tidak hidup sendiri. Itu tujuan mereka di TK dan play group. Mereka enggak diajari aneh-aneh. Mereka diajari dengan interaksi. Di SD mereka dikeja diajari mengenai basic untuk perkembangan lobus di frontalis. Mengenai logik hitung-hitungan. Jadi kemampuan yang diajari di SD itu tiga. Kemampuan menghafal, kemampuan berhitung, dan kemampuan linguistik atau bahasa. Di sini area werik di SMP dia akan berpikir mengenai benar dan salah. Mengenal dirinya adalah siapa. Mengenal buruk dan baik itu siapa. Moral itu mulai diajari di SMP secara tegas. Mungkin di kelas 4. Iya. Di SMA dia akan mulai segmentasi mengenal dia mau cita-cita apa, mengenal fisika itu apa, mengenal gimana cara dunia bekerja. Itu SMA di kuliah kalian akan diajari gimana cara menghasilkan uang itu kuliah. Kalau kalian sudah diajari di STM maka kalian bisa langsung kerja. Setelah itu kalian bekerja di S2 tujuannya itu pola pikir. Ketika kalian sudah mendapatkan uang atau ketika mendapatkan ilmu, tapi kalian mentok pola pikirnya. Jadi S2 itu tujuannya memperbaiki pola pikir. Loh, Dok, saya pola pikir tidak perlu diperbaiki loh. Tidak ada yang mengharuskan. S2 tuh hanya pertanyaan pada diri kita sendiri. Sejauh mana pola pikir kita perlu di-upgrade? Apakah harus di-upgrade dengan soft course? Kalau memang di-upgrade dengan soft close penting kayak kita ikut belajar lagi HQA itu kalian kalian nonton Malaka sudah cukup. Oke. Ada orang di luar sana yang merasa enggak cukup dengan hanya belajar dari YouTube dan buku. Mereka perlu diajarin maka mereka daftar S2. Terus kenapa orang daftar S3? Karena mereka merasa ada masalah di people. Orang-orang yang daftar S3 secara beneran itu ada dua arti. Orang yang pengin haus jabatan. Karena di Indonesia itu kalau mau dianggap pejabat keren harus punya gelar doktor. Makanya banyak jurnal predator. Yang kedua pengin ngajar. Makanya syarat S3 itu adalah menulis. Jadi kalau kalian S1 pengin daftar S2, pilihan kalian cuma tiga. Kalau kalian berdedikasi penuh dengan akademik, langsung aja dari S1 ke S2 endingnya menjadi pengajar, teacher, lecturer. Kalian udah cukup. Kalau kalian pengin menjadi praktisi atau pekerja, kalian kerja dulu dari S1 PR graduate, kerja berbisnis your choice baru kuliah lagi S2 dan S2 enggak ada batasan umur. Dua ini penting. Dan yang saya pilih karena saya kekurangan pola pikir, karena saya saat itu terlalu arogan. Sampai sekarang masih arogan, tapi aroganya enggak kayak dulu. Jadi bisa dijawab yang membuat dokter Tirtara Bupting menjadi hitam itu yang pertama adalah live event, yang kedua adalah pembelajaran, yang ketiga adalah experience. Kedua ini saya belajar dari guru-guru saya di ITB dan ngebuat saya penting bahwa ternyata kemampuan berpikir rasionalitas itu penting diajari dan harus ketemu orang yang lebih pintar lagi. Makanya ketika kita ngaji, saya mualaf baru 2013 dan saya ketemu guru saya adalah K. H. di Sumroni. Beliau itu adalah ustaz di Masjid Gemawang Monjali. Saya masih ingat orang yang mengislamkan saya. Dia selalu bilang, beliau selalu bilang, "Jika Anda ngaji, belajarlah dengan guru. Jangan belajar sendiri." Karena ketika Anda belajar sendiri, Anda bisa berasumsi. Ketika kita tahu cara dunia bekerja, yaitu di SMA dan kita tahu cara uang bekerja itu di kuliah dan Anda tahu misterinya, Anda butuh S2 untuk mengendalikan itu semua. Itu namanya perbaikan pola pikir. Di S2, Anda akan berpikir bahwa orang pintar yang bisa cari uang itu bukan Anda doang. Jadi ego Anda akan menurun. Yang menghancurkan manusia itu hanya tiga menurut saya. Harta, tanah, wanita. Bukan itu jawabannya. Yang menghancurkan manusia yang pertama adalah ego. Ego tinggi sekali. Maka di gym ada yang namanya ego lifting. Kalau di dunia hidup egonya besar sekali. Dia butuh pembuktian kepada kalayak bahwa dia itu sukses, bahwa dia adalah orang pintar. Maka dia akan melakukan segalanya supaya dia terlihat publik itu keren, terlihat pintar. Itu ego. Orang sudah termakan ego akan dibutakan apapun. Doter Tita pernah mengalami itu di 2018, 19 20 21. Ego saya runtuh ketika saya gues dan ego saya runtuh ketemu dosen. Yang kedua yang menghancurkan manusia adalah ketika ambisinya lebih besar daripada dirinya maka dia akan dibutakan sama ambisi tersebut. Dan akhirnya dia hidup dari ambisi. Manusia diperbudak sama ambisi sampai enggak ada endingnya dan akhirnya mati dan menjadi tanah dari ambisinya. Dan ketika dia tua dia sadar bahwa dia sudah tua. Dia umur 60 dan dia tidak telat untuk mengulang waktunya karena dia tidak berbudak ambisi. Ambisi itu sangat bahaya bro. Dan manusia tuh hancur ego ambisi. Yang ketiga apa? Ego ambisi. Dan yang ketiga adalah hancur karena mimpinya. Mimpi itu kadang akan gimana ya? Ini agak beda sama statementnya Feri dan Choki. Kayaknya manusia hidup dari mimpi enggak? Hm. Mimpi itu angan-angannya enggak bisa dicapai, Pak. angan-angan yang bisa dicapai itu namanya cita-cita. Goal. Mimpi itu hope. Hope itu unlimited dan enggak bisa dicapai. Mimpi kalau bisa dicapai itu namanya cita-cita, Pak. Dan cita-cita tuh bisa diukur dan akhirnya menjadi ambisi, Pak. Dan ambisi berbudakmu menjadi ego, Pak. Dan itulah tujuan kalian belajar supaya kalian bisa membedakan mana ego, mana ambisi, dan mana mimpi. Loh, Dok, tapi bermimpi itu penting. Betul. Bermimpi itu penting sampai kalian tahu bahwa kalian tua dan bentar laki mati dan kalian enggak bisa memenuhi mimpi itu. Jadi, kalian hidup dari penyesalan, coy. Itu yang sebenarnya membedakan kita. Nah, kenapa saya bisa S2? Karena saya tahu mimpi saya enggak bisa dicapai semua at all. Contoh saya itu pada waktu saya mau jadi dokter umum, saya pengin jadi dokter bedah ya. Nilai bedah saya itu cepek. Yang ngajar saya adalah almarhum dr. Sunoko, spesialis BTKV. Saya nilai OSK-nya itu 100. Saya suka banget kegawai dauratan. Suatu ketika 2017 ada pasien korban kelitih datang ke AR Sugem dengan luka bacok. Saya garap. Saya suka banget. Bukan saya suka gor, saya suka banget kondisi kegawa doratan yang ada darahnya. Anak saya kemarin bocor kepalanya, saya lihat robek santai, nak jahit suka. Tapi ternyata saya sadar bahwa mimpi saya itu enggak bisa kejadian, Bos. Kenapa? In fact, kembali ke topik tadi yang fresh graduate sebelum ini, saya memiliki satu kelemahan. Tabungan Bapak saya bakal habis kalau saya spesialis. Tahu berapa lama saya recover bahwa saya enggak bisa jadi dokter spesialis? Hah? Setahun, 2 tahun lebih, coy. Baru 2022 saya sekolah lagi S2. Dan saya kubur tuh mimpi dokter bedah. Dokter bedah tuh sangat menyenangkan dari skapel Anda bisa jahit, ya kan? Orang lihat darah panik, kita lihat darah santai banget, Bor. Saya paling takut sama anak kecil soalnya saya lihat pasien anak kecil pernah pingsan saya. Karena pasien anak kecil itu pasien paling ruet. Dia senang nangis, dia sedih nangis, dia marah nangis. Kalau enggak nangis itu artinya pingsan, mumet saya. Jadi mimpi saya itu hancur pertama kali ketika saya tahu bahwa saya enggak mau jadi dorbedah. Ya kan? Kalau saya terjebak dalam kekecewaan mimpi itu selesai masalah. Dan akhirnya saya baru sadar, saya terjebak dalam realitas yang bahwa ternyata ambisi saya besar sekali. Itu yang menjadikan dokter Tirta rambut pink. Dokter Tirta rambut pink adalah dokter yang terkontrol sama ego yang tidak bisa mengendalikan ambisinya. Lupa bahwa kapasitas dirinya segini. Akhirnya ketemu learning from experience, adult people experience. Sampai akhirnya kepentok kayaknya kurang nih experience. Kita belajar dari S2. Nah, ini lucunya ketika kita S2 ini ada unic accident atau unic event yang terjadi hanya mungkin di era sekarang. S2 zaman sekarang itu didominasi Genzet usia 23 tahun, Pak. Aku enggak bohong. Jadi, buat kalian milenial, trust me, Genzet itu mayoritas orangnya itu haus untuk belajar loh. Tapi ada yang lemot. Iya, itu yang dikenal di TikTok dan medsos doang. Tapi some of them itu datang ke kuliah S2 lebih cepat kerja setengah tahun langsung S2. Ini yang dangerous. Ambisi mereka gede dan mereka sadar mereka harus apa. Kenapa teknologi? Di situlah saya baru ngerti pola pikir Genzet seperti apa. Karena ketika saya S2, saya baru sadar ternyata 90% teman kuliah saya tuh kelahiran 2000, Pak. Cocol cuk. Wis tuek tenan aku cuk. Padahal aku tuh kelahiran 91 dan aku sudah menjadi mahasiswa tertua ketiga ikut S2 saat itu. Jadi akhirnya aku berusaha memahami pola pikir Genzet gara-gara kuliah. Nah, kalau saya tidak kuliah S2 saya tidak bisa memahami itu. Itu kenapa saya ikut MBA. Sama halnya dengan MKES. Mm. Tujuan kita belajar tuh adaptasi dengan ilmu dan memperbaiki pola pikir. Waduh, kalau cuma memperbaiki pola pikir mah bla bla bla bla bla bla bla bla bla bla bla bla bla bla bla bla bla. sama dedak expertise biasa yang kar-kar paling kencang biasanya dia enggak tahu apa-apa dan akhirnya memang tidak semua orang menjadi capable di S2. Kenapa ya mulut cuman satu, mata ada dua. Kenapa mata ditaruh atas? Biar kamu iqra. Tapi kan yang jalan mulutnya terus. Kamu lebih sering sharing, lebih sering bacot tapi enggak mau baca. Setidaknya kalau kamu enggak mau S2, iqra, Bro. Baca, Bro, buku, Bro. Buku dibaca yang banyak sehingga pola pikirmu terbentuk. Dan tujuan terakhir ya dari S2 adalah biar kalau kalau ngobrol tuh enggak kentang basa-basimu jelas. Ini contoh basa-basi yang paling enggak saya enggak suka nih loh. Datang. Halo, Dok. Lagi lari. Lagi lari. Halo, Dok. Ya, lagi lari ya, Dok? Saya lagi lari di GBK. Ada orang datang. Halo, Dok. Ya, lagi lari, Dok. Kau pikir saya ngapain? Hm. Tengah jalan saya lari. Itu lari ngapain? Basa-basi kedua lagi di bandara nunggu pesawat datang di Nyiia. Datang orang, "Dok, foto bareng." Oke. Dokter ngapain di sini? Mau naik, mau ke mana? Dokter ngapain di sini? ngepel ngepel bandara itu dibarding bor. Basa-basi ketiga dan ini real terjadi ketika saya ke Jepang. Saya naik Ana pulang dari Jepang mau ke Indonesia. Ketemu orang Indonesia di pesawatnya. Weh Dok, ke Jepang juga. Itu di bandara Jepang. Nyet. Nah, ini contoh. Kalau kamu kurang membaca, kamu akan kurang basa-basi networking. Pertanyaan ditingkatkan dong, Dok. Ke Jepang bisnis atau liburan? Kan bisa. Dari situ akan termunculkan topik yang baru. Oh, bisnis. Bisnis apa, Dok? Kok menarik? Jauh-jauh ke Jepang sepatu. Woh, menarik tuh, Dok. Terjadilah networking dengan stranger lagi lari, Dok. lari sendiri atau sama teman sendiri nih. Finish mana, Dok? Tak temenin. Masalah selesai, networking jadi ya. Lagi makan sendiri. Saya masih ingat makan soto Boyolali Hajah Fatimah di Jogja. Saya makan soto, Mas. Di depan makan soto Dok. Basa-basi macam apalagi makan soto ditanya, "Makan soto juga, Dok." Terus kau pikir aku tuh enggak makan soto. Hah? Kau pikir aku tuh makan cat food whiskas? Kan kalian bisa tanya, "Wah, dokter tumben di Jogja, bukannya kemarin di Jakarta." Skill membaca itu mempengaruhi skill basa-basi. Nek buasa-buasimu tol, itu bisa dipastikan Anda kurang membaca gitu loh. Orang-orang pintar tuh jago negosiasi. Orang yang jatuh negosiasi kemungkinan dealingnya akan tinggi. Jadi, kalau kamu enggak mau S2 minimal tuh belajar dan iqra. Saya introvert, matamu introvert. Kalau kamu introvert, ekstrovert itu tidak berpengaruh kalau ada berhubungan sama perut, gitu loh. Apalagi pertanyaan kemarin di Twitter ini saya angkat nih. Ya, kemarin HRD bertanya, "Jika Anda terdampar di pulau, sebutkan tiga barang yang akan Anda bawa." Terus saya jawab dong, "Mas, namanya terdampar di pulau tuh enggak bisa milih barang, Mas. Ya sudah hidup aja beruntung loh. Dokter kok jawab kayak gitu? Itu manajer HRD saya, Mas. Dosen saya tuh HRD wakil presiden kemarin wakil presiden, bukan wakil presiden kita ya. Wakil presiden di sebuah perusahaan jadi dosen HR, human capital, human resource di ITB. Terus ngajar ke saya, pertanyaan kayak gitu tuh enggak ditanya lagi, "Mas, jika Anda terdambar di pulau, sebutkan tiga alat yang akan Anda bawa. Jawabannya pasti pisau." Untuk memotong pohon. I kan penampung dan obat-obatan tak jawab bor namanya terdampar tuh enggak membawa apapun. Hah. Mana mungkin kita terdampar pesawat bawa peso. Orang itu sudah kena X-ray. Bawa peso di X-ray dikira teroris, Mas. Anda tuh enggak mikir HR Anda suruh resign kalau kayak gitu. Anda mending enggak usah daftar situ. HR kalau kau ketemu HR gitu, Jab HR macam apa kau ngasih pertanyaan kayak gitu? nguh langsung keluar perusahaan disebut itu namanya apa? Keluar dengan hormat. Pertanyaan macam apa itu? Kau kuliah di mana kau? Kata Tirta itu kata Tirta Peng bem pertanyaan kayak gini ini basi. Apa hubungannya pulau terdampar sama posisi kerja kau? Enggak ada si makanya tanya yang benar gitu. Kula lagi kau terjebak kau sama masa lalu kau diam tuh masi setidaknya kena mental resign besok dia. Jadi pertanyaan kayak gitu tuh sudah enggak relate dan relevan. Relevansi itu berhubungan sama teknologi update. Kalau kalian enggak bisa update, kalian terjebak di masa lalu. Contoh fans Arsenal. Mereka terjebak dengan Piala Invisible. Lupa bahwa mereka 21 tahun tuh sudah enggak nyentuh IPL. Sama kayak Liverpool, defend mekanismennya sama. Apakah salah? Tidak. Tapi mereka tuh terjebak di pola pikir 2004 aku punya invisible. Itu sama kayak Liverpool. Kami 19, sekarang 19 tinggal satu lagi 20. Tahun ini 20. Jadi kalau kalian tidak update ilmu, kalian akan terjebak di suatu masa lalu. Terjebak ego, terjebak ambisi, terjebak mimpi. Manusia terjebak ego aja sudah toksik, apalagi terjebak ambisi tak terjebak mimpi. Jadi dia pecinta mimpi. Sampai mimpi itu yang mematikan dia sampai tua. Akhirnya ketika tua dia tua rendah, lumpuh di sini dan menjadi sosok lansia yang marah-marah karena mimpinya belum kecapai semua. dan menjadi lansia toxic yang menyalahkan semua anak muda karena dia terjebak dalam mimpinya yang tidak pernah tercapai. Jadi pilihan kalian mulai dari sekarang iqra bacalah cuk bacalah. Sebelum kalian keluar-keluar tanyakan pada diri Anda. Anda sudah cukup membaca belum? Belum baca. Anda kurang baca buku, Anda baca jurnal. Anda kurang jurnal Anda baca artikel. Anda kurang artikel, Anda kuliah lagi. Kurang kuliah, soft course fellowship, kuliah, kuliah, kuliah, kuliah. Punya uang itu buat upgrade otak. Sehingga setidaknya kalau punya anak, Anda yang ngajarin. Ngerti? Maka alasan saya di Indonesia itu adalah yang harus diperbaiki. Pertama adalah akses untuk pendidikan tuh dipermudah biar orang bisa gampang sekolah, biar orang bisa gampang S2. Bisa dipahami kanka-kawan. Dan kalau mau lebih lanjut mendengar kelas pakar ini, ini kan gratisan, Bos. Aku datang ke sini yang dapat adsense tuh mereka. Jadi lebih baik ya Anda itu datang ke kuliah saya ya saya nilai pasti kumlot minimal B perc ngulang ya. Jadi enggak apa-apa ini bentuk bahwa pendidikan itu gak bisa diil pakai uang kalau orangnya sudah punya privilege kayak saya. Jadi setidaknya bodoh tuh enggak apa-apa. Ya, ini statement closing. Bodoh itu enggak apa-apa. Bodoh itu enggak apa-apa asal memiliki keinginan untuk belajar. Entah itu belajar dari experience-mu, orang lain, kegagalanmu, atau belajar dari buku. Yang bahaya itu kalau kamu merasa pintar dan kamu enggak mau belajar. Karena di situ ya laku akan lost, berakhir. Kegagalan itu hanya milik orang yang mau struggle. Ya, tapi ketololan itu hanya milik orang pintar yang tidak mau belajar. So, bodoh dan tolol itu beda, Bos. Itu kalau dari saya lebih kurang saya minta maaf. Jangan lupa subscribe YouTube-nya Tirta Pengpeng bukan Malaka.