Bismillahirrahmanirrahim. Hamdan wa syukran ala ni'matillah. Ashadu alla ilaha illallah. Wahdahu la syarikalah. Lahul mulku walakul hamdu.
Wahwa ala kulli syai. Allahumma inna nas'aluka ilman nafian. Wa rizqun tayyiban wa amalan mutaqobalan.
Rekan-rekan sekalian, Alhamdulillah pada mata kuliah, metodologi dan pengembangan dakwah pada kesempatan ini, kita akan memasuki paradigma dan realitas dakwah. Pembahasan mengenai paradigma dan realitas dakwah ini adalah sebagai bagian dari upaya kita bagaimana memetakan metodologi pengembangan dakwah, terutama pada saat kita membaca seperti apa dinamika, problematika, dan tantangan dakwah. Pembahasan seputar paradigma dan realitas dakwah akan mengerucut pada Bagaimana upaya kita memposisikan dakwah, baik sebagai sebuah aktivitas maupun sebagai sebuah ilmu.
Pertama, saya ingin memulai dulu bahwa yang namanya dakwah itu adalah tujuan hidup. Hal ini berkaitan dengan salah satu peran kita sebagai seorang dakwah. Firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 104 yang disitu mengungkapkan dapat kita maknai bahwa peran sebagai seorang Muslim adalah menjadi seorang da'i di mana pada posisi kita sebagai seorang da'i, dakwah diposisikan sebagai bagian dari tujuan hidup kita. Karena peran manusia sebagai seorang da'i ada kewajiban bagi kita, baik secara teologis maupun secara sosiologis.
Untuk senantiasa menjaga dan mengaktualisasikan spirit amarmak ruknahi munkar. Yakni menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari segala sesuatu yang bersifat kemunkaran. Makanya disini ada tujuan utama dari dakwah itu sendiri.
Kalau dakwah diposisikan sebagai bagian dari tujuan hidup. Maka firman Allah dalam surah An-Nahl ayat 125 disitu diungkapkan bahwa Jalan Allah atau Sabiri Rabbi sebagai kebenaran yang sifatnya mutlak atau al-haq dan kebaikan yang bersifat al-khair, universal. Maka pada posisi ini kita bisa menyatakan bahwa dakwah itu sebagai tujuan hidup yang akan mengantarkan kita untuk terus merawat dan mengaktualisasikan spirit amar makhluk dan naik munkar.
Sehingga kita bisa sampai atau menuju dari jalan Allah itu sendiri. Dimana jalan Allah sebagai bagian dari al-haqq dan al-qair Yang sifatnya kebenaran dan kebaikan Yang kedua, secara implisit kita bisa menyatakan Bahwa kebutuhan terhadap sesuatu yang berkaitan dengan kebaikan Amar ma'ruf dan nahi munkar Yang dalam kacamata sosiologi dikenal dengan istilah Social order, tertib sosial Maka itu adalah bagian dari kebutuhan yang tidak bisa dilepaskan dalam aktivitas kehidupan masyarakat atau manusia. Baik dalam konteks personal maupun dalam konteks komunal kemasyarakat. Maka dalam hal ini kita bisa menyatakan bahwa dakwah itu adalah bagian dari kebutuhan umat manusia. Dimana fungsi da'i dalam konteks ini secara sosiologis adalah sebagai penyelamat umat.
Penyelamat umat untuk apa? Yang tadi, amar maruk danahi munkar. Sementara dalam konteks teologis, dakwah menjadi sebuah kebutuhan karena yang namanya mencapai kehidupan yang mutakein atau lingkup level kehidupan sosial yang bersifat baldatun toji batun warobun gofur. Secara teologis, dakwah dapat kita katakan sebagai Penguat keimanan dan ketakwaan kita. Siapa yang tidak butuh untuk menjadi orang yang beriman dan bertakwa?
Maka pada konteks teologis, dakwah dianggap sebagai sebuah kebutuhan karena pelaksanaan dakwah sebagai penguat keimanan dan ketakwaan kita. Termasuk lingkungan sosial kita. Dan yang ketiga, dakwah itu berorientasi pada kesadaran kolektif keumatan. Ini dapat kita tinjau.
Baik pada konteks psikosoial maupun sosial. Artinya tidak ada dakwah yang tidak berkaitan dengan orang lain. Sebab dakwah itu bersifat di jaring kolaborasi. Setiap orang dengan profesinya melaksanakan dakwah, maka pada saat itu dakwah berorientasi pada kesadaran kolektif keumatan. Inilah yang kita maksud sebagai dakwah sebagai sebuah kebutuhan.
Pada saat kita memposisikan dakwah, baik dakwah itu sebagai tujuan hidup maupun sebagai sebuah kebutuhan, maka ada cita-cita. Bagaimana pelaksanaan aktivitas dakwah itu sendiri dapat mengantarkan kita untuk membentuk satu ekosistem yang disebut dengan ekosistem kebaikan. Apa itu ekosistem kebaikan?
Dimana pada saat kita dakwah, dakwah itu sendiri adalah tanda bagi orang yang Dimana dakwah juga berupaya berbasis pada kebutuhan masyarakat untuk menjawab problematika keumatan, sehingga dakwah direncanakan, dipetakan, dianalisis, merujuk pada kondisi, kebutuhan, dan kekuatan kolektif. Yang pada akhirnya ekosistem dakwah itu sendiri tidak hanya sebatas merencanakan, tidak hanya sebatas menyampaikan narasi-narasi kebaikan, tapi juga mampu menyentuh titik kesadaran keumatan, dan padahalnya... bisa membangun partisipasi yang memberdayakan.
Itu yang dimaksud dengan ekosistem kebaikan. Maka bagaimana paradigma dakwah itu sendiri? Tidaknya saya mengambil dari beberapa pendapat yang ahli di bidangnya. Misalkan yang pertama bahwa paradigma dakwah itu, kalau merujuk pada ungkapan Ismail Roji Al-Farouki, beliau menyatakan dakwah itu salah satunya universalisme. Universalisme itu bagian dari upaya bagaimana kita bisa mewujudkan konsep Islam sebagai rahmatan lil'alamin, tetapi juga ada indikator-indikator yang hal ini.
Baik pada sisi intelektualitas, moralitas, maupun spiritualitas. Sementara yang kedua, menurut Syed Qutub, yang namanya dakwah itu harus menjadi bagian dari upaya. Untuk apa perwujudannya? Sistem ajaran Islam. Sebab muara dari dakwah itu sendiri adalah tidak hanya sebatas memberikan pemahaman secara kognitif, tapi juga mampu menggerakkan setiap umat yang ada di dalamnya agar berperilaku sesuai dengan ajaran Islam.
Apalagi dalam konteks kelembagaan. Artinya bagaimana ajaran Islam itu sendiri menyujud menjadi sebuah sistem yang sistem ini mengikat bagi siapapun yang Sementara menurut Ibn Taymiyah, yang namanya dakwah itu ada tiga kata kunci utama. Dakwah itu kelembutan, dakwah harus berbasis pada keilmuan, dan pada saat dakwah sudah dilaksanakan, hasilnya. Hasilnya itu adalah takdir dari Allah.
Artinya urusan Allah. Memberikan hidayah itu urusan Allah. Tidak ada yang mampu untuk memberikan hidayah keagamaan selain Allah SWT. Maka kata Ibn Taymiyyah dalam konteks itu, dakwah juga membutuhkan kesabaran.
Kesabaran pada saat kita merencanakan, pada saat kita menyampaikan, pun kesabaran pada saat hasil yang kita harapkan tidak sesuai. Kita belajar dari seorang Nabi Nuh AS, justru keluarganya sendiri yang padahalnya tidak menerima dakwah beliau. Tapi apa Nabi Nuh AS?
Atau kita belajar dari seorang Nabi Muhammad SAW. Pada saat Nabi Muhammad berupaya bagaimana agar supaya siapa? Abu Talib, pamannya sendiri, yang senantiasa mendukung, melindungi dakwahnya, tapi tetap saja di akhir hayatnya tidak melafalkan kalimat syahadat.
Maka pada titik itu, dakwah membutuhkan kesempatan. Itu ya, itu paradigma dakwah. Dalam konteks universalisme, perujudan sistem ajaran Islam, ataupun yang tadi berkaitan dengan paradigma dakwah tadi, maka aktualisasi dakwah harus dilaksanakan dengan memperhatikan beberapa hal.
Pertama, dari sisi proses sendiri, dakwah itu dimulai dari mentransmisikan pesan-pesan kebaikan, kemudian ada proses difusi dalam konteks sosial, bagaimana seorang daik itu dianggap bagian dari... masyarakat itu sendiri, kemudian ada upaya internalisasi baik pada skala, pada level yang sifatnya personal, maupun level yang sifatnya komunal Sampai kemudian dakwah itu harus berwujud menjadi sebuah transformasi kehidupan kemasyarakatan yang berbasis kepada ajaran-ajaran Islam. Itu proses dakwah itu sendiri. Maka dalam konteks ilmu dakwah kita mengenal ada istilah tablik, ada istilah irsyad, ada istilah tamkin, ada istilah tadbir, dan lain sebagainya.
Yang kedua pada konteks sasaran itu sendiri, kita menilai bahwa aktualisasi dakwah dilakukan. Baik pada level individual, artinya bagaimana kita menyentuh kesadaran secara proses. Yang padahalnya kesadaran pada level individual ini untuk membangun atau untuk mengaktualisasikan dakwah pada level komunitas. Kemudian bagaimana level komunitas atau dalam skala kecil ini disebutnya keluarga, bisa jadi modal untuk membangun dakwah pada level sosial, masyarakat umum, dan lain sebagainya.
Sampai kemudian dakwah itu bisa memetakan kerangka dakwah pada level kenegaraan seperti apa sebagai ruang dakwah yang bersifat strategis. Nah sasaran ini dilakukan baik dalam bentuk ahsanul kaul, dakwah dengan ucapan yang terbaik, maupun ahsanul amal, dakwah dengan tindakan yang terbaik. Yang tujuannya untuk apa? Dimulai dari menanamkan tawhid, mu'min mutaqil.
Menjamin kehidupan islami, bagaimana membangun komunitas. Sampai kemudian tujuan dari dakwah ini untuk mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Hasana fi'ad dunia wal akhirat. Ini yang disebut dengan aktualisasi dakwah.
Sementara pada sisi lain, aktualisasi dakwah juga harus memperhatikan tantangan dan peluang dakwah. Setidaknya kita bisa metakan ada tiga tantangan dan peluang dakwa. Pertama, dalam kacamata sosiologi, salah satu tantangan yang hari ini menemukan adalah bagaimana adanya satu transisi dari masyarakat yang tadinya masyarakat industri, masyarakat informasi, menjadi masyarakat layar dan masyarakat jaringan, atau GSTEL dan Network Society.
Hal ini merupakan salah satu implikasi dari kehadiran teknologi informasi komunikasi seperti internet yang pada akhirnya memunculkan struktur interaksi sosial yang baru atau dengan cara baru. Kemudian juga melahirkan apa yang disebut dengan relasi sosial yang baru, yang disebut relasi sosial. Tapi pada titik ini, tantangan masyarakat menjadi masyarakat yang Bersifat layar dan jaringan menghadirkan peluang.
Peluangnya apa? Bagaimana pada hari ini kita memunculkan metode dakwah yang simpul kreatif. Tidak hanya sebatas dakwah konvensional dengan bertatap muka, tapi juga hari ini sudah mulai bermigrasi bagaimana dakwah dilakukan tidak hanya menggunakan media masa semacam televisi, radio, dan sebagainya, tapi juga menggunakan media.
Berikut dengan berbagai perangkat-perangkat kecandian yang ada di dalam media sosial, menggunakan email, menggunakan website, kemudian mempertahankan desain, grafis, image, meme, dan sebagainya. Yang kedua, pada kacamata teknologis. Bahwa arus globalisasi ini berdampak terhadap berbagai leading sector kehidupan.
Termasuk pada kacamata media itu sendiri. Kita mengenal ada istilah media morphosis. Metamorfosa media yang tadinya media komunikasi itu bersifat tulisan dan tulisan, maka hari ini sudah menggunakan sistem digital. Dan pada akhirnya ketika ditemukan kecanggihan media morphosis dalam bentuk digitalisasi ini, padanya melahirkan apa yang disebut dengan connective action.
Connective action itu. Bagaimana kita berkoneksi dalam satu ruang maya antara tapi mampu memobilisasi berbagai kebutuhan, kepentingan secara nyata. Maka di sini peluang dakwanya adalah bagaimana kehadiran media-media yang tadi menjadi salah satu modal bagi kita untuk memetakan seperti apa media dakwah yang sesuai dengan kebutuhan atau untuk menjawab tantangan dakwah hari ini. Yang ketiga ada tantangan yang bersifat psikologis. Hari ini kita mengenal ada istilah era post-truth, ada istilah quarter life crisis, yang padahalnya nanti berdampak pada kesejatian diri.
Realitas virtual itu sesuatu yang bersifat semu. Makanya kadang-kadang, secara psikologis yang menjadi tantangan adalah bagaimana kita mampu tidak membangun identitas diri yang jelas di media sosial. Sebagai seorang da'i.
Karena tantangan yang hari ini muncul adalah anomali identitas. Bingung. Bahkan sebagian besar madu kita di media sosial atau di ruang-ruang virtual itu merasa bingung.
Untuk menegaskan seperti apa identitas dirinya. Belum lagi misalkan tantangan yang lain dengan kehadiran pesan-pesan yang bernada sumbang, hoax, hate speech, cybercrime, cyberbullying, dan lain sebagainya. Masih banyak hari ini.
Maka hari ini secara psikologis itu sendiri adalah bagaimana mampu tidak kita memetakan substansi dakwah itu sendiri dengan tetap memperhatikan pendekatan kemanusiaan dan kesadaran. Ini yang disebut dengan hoax. Nah, sementara pada sisi yang lain, kita melihat bahwa hari ini realitas dakwah yang terjadi dalam konteks keindonesiaan, kita bisa memetakan pada beberapa hal.
Pertama, dari sisi literasi dakwah itu sendiri. Mau tidak mau hari ini, dakwah yang bersifat oral itu mendominasi dibandingkan dakwah yang bersifat tulisan. Yang ukurannya misalkan berapa eksemplar buku di Indonesia.
Kalau kita lebih spesifikasikan, berkaitan dengan dakwah yang dicetak. Apakah lebih banyak buku yang dicetak atau seperti apa. Belum lagi literasi dakwah yang bersifat oral ini ditandai bahwa dengan adanya tradisi tutur tinular, bertutur kata. Yang memang ini menjadi salah satu tanda, salah satu indikator atau ciri atau karakteristik masyarakat Indonesia yang lagi senang mengedepan.
dibandingkan sesuatu yang bersifat verbalistik oral, dibandingkan sesuatu yang bersifat verbalistik tulisan. Mau tidak mau literasi dakwah kita itu salah satu realitas dakwah yang hari ini harus dipikirkan. Yang kedua dari sisi moderasi berdakwah, tidak sedikit hari ini kita melihat, bahkan mungkin menerima narasi-narasi yang Lebih mengedepankan perbedaan dibandingkan dengan nilai toleransi dan perdamaian. Ini satu hal yang perlu dipikirkan juga berkaitan dengan moderasi dakwah kita hari ini.
Bagaimana dakwah berbasis moderasi beragama ini menjadi salah satu alternatif agar apa? Agar kita mampu mewujudkan, mengaktualisasikan konsep Islam sebagai rahmatan lil'alat. Dan yang terakhir, realitas dakwah itu bisa diukur dari komodifikasi dakwah.
Komodifikasi itu kan komoditas modifikasi. Artinya bagaimana nilai citra, image, kemasan lebih dominan dibandingkan nilai guna. Jadi lebih mengedepankan simbol dibandingkan apa yang menjadi upaya untuk pembangunan realitas itu sendiri. Makanya hari ini komodifikasi dawah itu berpengaruh juga terhadap tingkat kehampaan. Jadi kita mengalami apa yang disebut dengan hampa nilai.
Kalau kita merujuk pada data World Christian Encyclopedia, di situ ada satu data yang berkaitan dengan peningkatan manusia yang tidak beragama. Dari abad ke-19, tahun 1900-an itu hanya 0,2% saja yang menyatakan tidak beragama. Tahun 1970 itu meningkat jadi 15%. Tahun 1980 16,4%.
Dan mendekati hari ini, tahun 2000-an sudah 17,1%. yang menyatakan secara tegas tidak beragam. Salah satu faktornya adalah karena tadi kehampaan nilai. Menganggap bahwa nilai citra yang disampaikan oleh pesan-pesan keagaman itu lebih dominan dibandingkan daripada substansi itu sendiri.
Makanya hari ini realitas dawah itu juga dapat kita petakan berdasarkan bagaimana gelombang globalisasi 1.0 dan 2.0 melahirkan satu apa namanya... Era gitu ya, berikut juga dengan gelombang globalisasi 3.0. Misalkan gelombang globalisasi 1.0 dan 2.0, ini kita mengenal dengan istilah imperialisme. Makanya dulu pada masa ini kita mengenal ada slogan 3G, gold, gospel, dan glory. Sementara pada gelombang globalisasi 3.0, kita mengenal ada istilah guazul fikri, perang pemikiran.
Makanya di sini kita mengenal ada istilah 3F, food, fun, dan passion. Bahwa ini bagian dari atribut-atribut kebudayaan yang dijadikan sebagai salah satu upaya untuk menjauhkan nilai-nilai keislaman. Apa saja, ini nih teman-teman bisa lihat, yang disebut dengan Gozul Pikri itu kan perang pemikiran. Artinya penyerangan terhadap pemikiran umat Islam, baik melalui pikiran, tulisan, ide-ide, teori, argumentasi, maupun propaganda yang lain.
Apa yang menjadi sasarannya? Pola pikir, ahlak, dan akhidat. Salah satunya dilakukan melalui bagaimana memunculkan gaya hidup yang baik secara sekuler, liberal, dan lain sebagainya.
Bagaimana metodenya? Ada beberapa metode yang dilakukan dalam konteks dojol fikri ini. Ada tashkik, menimbulkan kelaguan, dan penanggung. Pendangkalan terhadap umat Islam Ada taswih, pengaburan Melalui membangun persepsi buruk terhadap Islam Jadi Islamophobia dan lain sebagainya Ada pagwib Bagaimana pelarutan dan percampuran Ini akulturasi budaya Yang dengan budaya Islam Dan ada istilah Ada istilah pembaratan Atau western Apa saja yang menjadi sarananya Gw jeluh pikir ini pers dan media masa, pendidikan dan keilmuan, hiburan olahraga, organisasi dan institusi agama, bahkan apa yang kita kenal dengan istilah ideological state apparatus. Bagaimana ideologi-ideologi ini disebutkan secara smooth, secara lebut, sehingga kita tidak sadar.
Kita sudah menjadi bagian dari orang yang mempraktekan hal itu. Apa yang menjadi dampaknya? Ya kita tahu, ada perusahaan ahlak, krisis identitas, pemurtadan, kan gitu, dan lain sebagainya. Maka bagaimana solusinya?
Mau tidak mau hari ini, realitas-realitas ini harus dijawab dengan penguatan mind, mentality, self-skill, society, ini yang disebut dengan literasi. Kemudian kita juga mulai memetakan seperti apa strategi yang harus dilakukan, baik dari sisi budaya, pendidikan, politik, dan ekonomi, sehingga pembahasisan dan juga pendalaman nilai-nilai keislaman ini menjadi sesuatu yang penting untuk menghadapi era baru dakwah di gelombang globalisasi 3.0. Nah pada akhirnya, rekan-rekan sekalian, kalau kita merujuk apa yang disampaikan oleh seorang Kuntowi Joyo, bahwa aktivisme dakwah kita harus mengantarkan pada kesadaran profet. Apa itu kesadaran profetik?
Kesadaran profetik itu bagaimana kita memahami pertama bahwa ini atau kita sebagai umat Islam itu adalah the chosen people. Jadi umat yang terbaik, khairul umat. Kita harus memahami seperti apa konsep khairul umat itu.
Salah satunya adalah, Bagaimana kita senantiasa melakukan amar ma'ruf nahi munkar. Yang kedua, aktivisme sejarah dalam konteks umat Islam sebagai sebuah keharusan untuk keterlibatan dengan berbagai kepentingan dan kebutuhan umat. Jadi umat Islam itu harus paham, tidak ahistoris, harus senantiasa sesuai dengan lintasan sejarah yang ada, sehingga setiap aktivitas dakwahnya itu harus sesuai dengan berbasis kepada kepentingan dan kebutuhan umat.
Kemudian, Pentingnya juga membangun kesadaran terhadap nilai-nilai yang maruk. Baik itu nilai-nilai tentang apa itu kamar maruk, apa itu nahi munkat, dan juga bagaimana tu'minu nabilah, meningkatkan keimanan kepada Allah SWT. Dan padahalnya kesadaran profetik ini harus melahirkan etika profetik sebagai manifestasi pelembagaan dari pengalaman, penelitian, dan pengetahuan. Atau apa yang kita kenal dengan istilah liberasi. humanisasi, dan transendensi.
Hal ini diambil berdasarkan dari bagaimana kita mengejawabkan firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 110. Kuntum khairu ummatin ukhrijatlin nasi ta'murun abilhub watan haunanil. Kita ini adalah umat terbaik yang segala gerak trik membangun peradabannya, aktivisme sejarahnya berbasis pada kepentingan dan kebutuhan umat. Sehingga kita sadar untuk terus merawat dan mengaktualisasikan Spirit amar marut naik bukar Dan pada akhirnya dakwah yang kita lakukan Membebaskan, memanusiakan Dan akan mengikat kebutuhan kita Dengan keberadaan Allah SWT Maka itulah yang kemudian dapat saya sampaikan Berkaitan dengan seperti apa Paradigma dakwah dan realitas dakwah kita hari ini Terima kasih Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh