Hai so mama anak nikah sama ada janda punya anak perempuan janda punya anak perempuan ini perempuan ini anak nikah sama anaknya habis angkat nikah belum ada apa-apain kalau hanya sekedar cium atau ini enggak masalah ya enggak masalah ujung kemaluan itu sudah menempel hai hai Maka haram menikahi ibunya. Tapi kalau selama belum nempel begitu, ya main pusar sampai ini lah. Pusar sampai kepala. Itu cerai.
Itu perempuan gak ada idah. Ini bisa menikahi ibunya Itu kalau mau ke fikihnya Nah ini kan yang kita bahas Tasawuf Perkataan Tasawuf Jadi pilih salah satu Mau menikahi anaknya atau mau menikahi ibunya Menikahi anaknya berarti meninggalkan ibunya Menikahi ibunya berarti meninggalkan anaknya Nah dunia ini anak Akhirat ibunya Persoalan Habib terus saja muncul dan meresahkan. Banyak pernyataan Habib yang bermasalah, bahkan sesat dan menyesatkan.
Misalnya, ada Habib yang mengatakan, belajar pada satu Habib lebih baik daripada belajar pada 70 Kiai. Atau pernyataan, jangan ganggu Habib yang bermaksiat karena dia itu ahli sorga. Pernyataan meresahkan semacam ini banyak beredar, tapi tidak ada proses hukum.
Karena Habib dianggap memiliki posisi istimewa di tengah masyarakat. Mereka dianggap paham agama sejak lahir. Punya sifat linuih karena mengaku sebagai keturunan Habib Muhammad. Belum lama ini, Bahar bin Smith, Habib berambut pirang itu kembali membuat pernyataan yang mengebohkan.
Ini ada hubungannya dengan soal pernikahan. Kata Bahar, jika seseorang menikahi anak seorang janda tapi belum bersetubuh atau dukhul, maka jika dia bercerai dengan anak tadi, dia boleh menikahi ibunya. Bahkan Bahar menjelaskan batasan dari bersetubuh itu. Tindakan di luar itu tidak dianggap melewatinya. Misalnya pegang-pegang atau bercumbu.
Pernyataan bahar ini keliru dan menyesatkan. Oleh sebab itu, sebuah akun medsos generasi muda NU membuat bantahan atas fatwa bahar itu. Pernyataan yang benar adalah status mertua atau ibu dari istri itu menjadi mahrum muabbat atau muhrim selamanya adalah sebab terjadinya akan nikah bukan bersutubu. Artinya, Ketika pernikahan telah dilakukan, maka otomatis si mertua selamanya menjadi mahrum alias tidak boleh dinikahi. Generasi muda NU kemudian mengutip Syekh Ibn Qasim Al-Izzi, salah satu ahli fikir bermadhab syafi'i yang telah menyatakan فَالْعَجُّ عَلَى الْبَنَاتِ يُحَرِّمُ الْأُمَّاتِ وَأَمَّا الْبَنَاتُ فَلَا تُحَرَّمُ إِلَّا بِالْدَرْا Artinya akad nikah dengan anak perempuan itu mengharamkan seseorang untuk menikahi ibunya.
Sedangkan pernikahan dengan anak perempuan itu tidak haram dilakukan kecuali setelah bergaul suami istri dengan ibunya. Sebenarnya dalam pernyataan Syekh Ibn Qasim itu memang membolehkan pernikahan yang dilakukan dengan ibu. dan anak dirinya secara bergantian.
Dengan catatan, dia menikahi ibunya lebih dulu dan belum melakukan persetubuhan dengan ibunya itu. Baru setelah cerai dengan ibunya dalam kondisi belum berhubungan badan, maka ia boleh menikahi anaknya. Posisi sang ibu saat pernikahan itu bukan mertua, tapi seorang istri. Hukum Vicky memang memberikan celah itu. bisa menikahi anak perempuan dari istri tadi selama belum berhubungan badan dengan ibunya.
Memang hal ini agak sulit diterima dalam nalar tradisi kita, tapi kejadian itu ada dalam tradisi Arab. Karena anak tersebut adalah orang lain dalam pandangan fikih, selama belum berhubungan badan dengan ibunya. Tapi ketika sudah berhubungan badan, maka pernikahan dengan anak tersebut Haram hukumnya.
Pernyataan bahar itu jelas bermasalah. Karena itu bertentangan dengan ketentuan dalam fikih tadi. Mestinya Bahar segera meralat pernyataannya itu dan meminta maaf kepada publik.
Karena pernyataannya bisa membuat seseorang berzina dengan ibu mertuanya. Dan yang paling penting untuk dilakukan Bahar adalah belajar agama secara serius. Jangan mengaku-ngaku sebagai ulama tapi ternyata tidak paham soal...
ilmu agama. Apalagi persoalan fikir ini tidak bisa dibuat main-main. Dampaknya sangat luas dan bisa merugikan banyak orang.
Masalahnya di Indonesia ini kalau seseorang itu habib, anak kiai, atau ustaz terkenal, langsung dianggap paham agama. Padahal itu belum tentu. Pemahaman agama seseorang berkaitan dengan proses belajarnya. Tidak ada kaitannya dengan nasabnya. Yang lebih memprihatinkan lagi, para habib dari Yamad itu sebenarnya diragukan ketersambungan nasabnya ke Habib Muhammad.
Karena leluhur mereka yang bernama Alwi bukan anak dari Ahmad bin Isa. Klaim mereka itu terbatalkan dengan adanya studi nasab dalam kitab klasif sebelum abad ke-9. Keturunan Ba'alawi baru membuat keterangan sendiri mengenai eksistensi leluhurnya itu pada abad ke-9. Padahal leluhurnya kemungkinan hidup pada abad ke-3 atau ke-4.
Artinya sulit diterima nalar jika pada abad-abad sebelumnya tidak ada satupun kitab eksternal yang mencatat keberadaan orang besar itu di zamannya. Kemudian kemajuan teknologi melalui tes DNA juga mementahkan klaim para Habib itu karena DNA mereka menyimpang jauh dari keturunan Habib yang lain yang sudah terverifikasi kebenarannya. Pendek kata, semua bukti ilmiah itu menunjukkan bahwa mereka bukan keturunan Habib Muhammad.
Pemerintah memang harus segera membuat batasan pada orang yang berhak mengaku sebagai ulama. Bahkan, kalau perlu, harus dibuat peraturan yang tidak boleh menggunakan nasab untuk keuntungan pribadi. Seperti supaya diundang ceramah di mana-mana dan mendapatkan honor orang pamer kehabibannya.
Karena kerusakan yang ditimbulkannya ya sangat besar sekali. Masyarakat kita juga perlu disadarkan bahwa tidak semua orang boleh membahas kajian agama seenaknya. Hanya orang yang ahli dan pakar agama yang boleh.
membahas kajiannya. Tugas orang awam itu ya bertanya atau diskusi dengan orang lain yang dianggap paham agama. Jangan sampai orang-orang bodoh seperti Bahar bin Smith itu dianggap ulama padahal dia itu nggak ngerti baca kitab kuning.
Ngaku Habib tapi nggak ngerti bahasa Arab. Aneh sekali kan? Dan orang seperti itu punya pesantren, dianggap ulama, punya banyak pengikut.
Bodoh itu sebenarnya normal saja, banyak temennya. Tapi bodoh lalu mengaku-ngaku ulama itu sungguh-sungguh bikin cilaka.