Aku ingat pertama kali melihatmu, kau masuk ke dalam hidupku tanpa permisi, berputar bagai gasing di dalam pikiranku. Entah kau milik siapa, hatiku keras kepala. Ceritakanlah tentang harimu, berbincanglah sampai salah satu dari kita tertidur. Aku tidak akan bosan dengan semua yang kau ketik.
Betapa sering aku menduga-duga, adakah kode yang tersirat dalam kolom chat kita? Aku tidak mau berdrama, tapi aku tidak bisa mengeluarkanmu dari kepala. Aku tergila-gila, hingga tak tahu lagi mesti berbuat apa. Ini semacam hasrat purba yang lebih tua dari manusia. Jika kau percaya akan jodoh, mungkin ini adalah contohnya.
Dan aku tidak berbicara perihal parasmu, atau apa yang kau punya. Ada sesuatu tentangmu yang membuatku merasa baik-baik saja. Entah apa, kau selalu mampu membuatku jujur mengenai segala hal, kecuali satu, perasaanku. Andai saja aku mampu memberitahumu. Tapi aku terlalu takut akan reaksimu yang tidak sesuai dengan imajinasiku selama ini.
Bukankah fiksi lebih menina bobokan dibandingkan kenyataan? Bukankah kita adalah dua orang yang terlanjur menikmati berkubang dalam zona pertemanan? Tubuh kita berlumur harapan palsu.
Tanganku menggapai-gapai mencari jalan keluar, sementara tanganmu mencegahku kemana-mana. Tunggu sebentar. Izinkan aku keluar dari zona pertemanan kita untuk sejenak. Akanku tunjukkan padamu sebuah gerbang menuju dunia paralel.
Mari, ikut aku ke sana. Di dunia paralel, aku tidak perlu lagi repot-repot menyatakan apapun. Kau akan setuju untuk bersanding denganku tanpa perlu ada serentetan peristiwa yang membuat kita semakin pelik. Aku akan menjadi bumi untuk mentarimu, lirik untuk lagumu, hujan untuk bungamu. Di dunia paralel, keadaannya akan jauh berbeda.
Walau begitu, kau tahu aku akan tetap menjadi orang yang sama, yang merindukanmu dengan sederhana, mengejarmu dengan wajar, menyayangimu dengan luar biasa, dan menyakitimu dengan mustahil. Hmm, apakah tangis masih menghiasi pelupuk matamu? Apakah lara masih menaungi keseharianmu?
Aku harap kau belajar lagi berbahagia. Jangan khawatir mengenai kabarku. Aku masih mencoba untuk baik-baik saja.
Memamerkan senyum palsu untuk seorang badut sepertiku adalah hal biasa. Mana berani aku menjatuhkan hati di sebelahmu? Aku, yang hanya bertugas menghibur negeri dongeng ini, sudah cukup bersyukur dengan apa yang kita punya. Meski hanya sejenak, sebelum akhirnya sesosok sempurna dengan kuda putihnya membawamu pergi lagi dan lagi. Betapa kau riang setiap kali aku menghiburmu dengan hidung tomat dan wajah bercat putihku.
Tawamu lepas, mata coklatmu berbinar. Hah, sial. Beruntung sekali dirinya bisa sewaktu-waktu menatap mata yang seakan tercipta untuknya itu. Ketidattegasan adalah sesuatu yang ada di antara kau dan aku. Kurang ajarkah jika hatiku berharap lebih setiap kali kau menyandarkan kepala lelahmu di bahuku?
Kau memang mahir menuai harapan di hatiku. Menaruh harapan padamu seakan menggenggam duri-duri di batang mawar, membuatku berdarah. Tapi aku tak kunjung pergi.
Bak orang dungu, aku bisikan lagi kata-kata rindu. Menitipkannya di ketiak malam. Sebelum rindu itu terlampir pagi hari di depan pintu kamarmu. Kau tersipu. Membalas rinduku dengan senyuman.
Ya, sebatas senyuman. Aku tidak pernah tahu di mana sebenar-benarnya perasaanmu bermukim. Menyayangimu adalah soal keikhlasan. Bukan keikhlasan untuk terus-terusan diberi harapan semu, melainkan keikhlasan untuk menyadari bahwa memang seharusnya kau berhak bahagia. Urus Apakah aku yang membuatmu bahagia atau bukan, itu tak jadi soal.
Aku harap hari ini kau baik-baik saja. Aku harap kau mengerti arti diamku. Jangan risau. Aku sudah dan akan selalu bisa berpura-pura tersenyum.
Tugasku menghibur dunia, tidak kurang dan tidak lebih. Aku hanya sedikit kecewa. Kau tidak bisa menjadi seseorang yang membuat seorang badut sepertiku tersenyum sungguhan. Ku dengar seseorang berhasil menghancurkan hatimu. Hampir saja aku yang terbiasa bertepuk sebelah tangan ini, bertepuk tangan sambil memuji-muji karma.
Tapi mana mungkin aku tega melihatmu berduka. Orang bodoh macam apa yang membiarkanmu terluka? Hah? Kau yang kuyakin tercipta saat Tuhan sedang gembira, sebenar-benarnya pantas mendapatkan yang terbaik. Atau jika tidak, izinkanlah aku mencoba memberikan yang terbaik.
Kau menangis deras. Katamu, ia pergi meninggalkanmu kedinginan di ujung bumi. Bahkan di saat seperti ini, kau masih berusaha tegar. Kita sama, entah terlalu pintar menyembunyikan perasaan, atau terlalu bodoh untuk menyatakannya.
Hah, sudahlah. Sesekali tak apa menjadi manusia biasa. Wajar untuk terluka, untuk membutuhkan tempat bersandar, untuk tidak baik-baik saja.
Bahkan orang terkuat di muka bumi pun pernah berkabut. Sambung, sembuh itu butuh waktu, bukan paksaan. Saat semua tidak berjalan semestinya, kita bisa mengangkat tangan untuk menyerah atau mengangkat tangan untuk berdoa.
Kuharap kau memilih yang kedua. Ayolah, hentikan isakanmu. Apa harus memprioritaskan orang yang hanya menjadikanmu pilihan?
Hei, kau bukan pilihan ganda. Dia bukan jawaban. Dan hidup kalian bukan kertas ujian.
Bukan rejeki dia. Tapi rejekimu untuk kelak dapat seseorang yang bisa memprioritaskanmu. Yang tidak punya hati jangan dimasukkan dalam hati.
Yang tidak punya perasaan, jangan dibawa perasaan. Yang main-main tidak perlu dianggap serius. Kalau kau sedang rapuh, simpan sejenak hatimu. Biarkan proses dalam waktu menyembuhkan. Perasaan memang tidak bisa diburu-buru.
Tapi juga jangan berlama-lama meratapi seseorang yang tidak bisa menghargaimu. Dekatkan dirimu pada orang-orang yang membuatmu bahagia. Mereka lah yang harus kau jaga. Yang lainnya hanya menumpang lewat.
Jadi, sebelum menoleh lagi ke belakang, pastikan kau lihat seseorang yang menantimu di depan. Mengenang masa lalu bukan berarti harus mengulang. Kalau dia tidak bisa menghargai kesempatan baik yang kau beri, beri dirimu sendiri kesempatan untuk mendapatkan kisah yang lebih baik.
Karena yang benar-benar peduli akan menghentikan air matamu jatuh, bukan membuat air matamu jatuh. Ketahuilah, beberapa tangan melepaskan genggamannya saat hidupmu bertambah sulit agar tanganmu kosong dan bisa digenggam oleh seseorang yang takkan pernah melepaskanmu. Aku selalu menganggap rela menunggu seseorang itu tidak berarti bodoh.
Itu hanya berarti teguh pendirian. Karena sekuat apapun kita menyangkal sesuatu yang dikatakan oleh hati, sekuat itu pula hati akan berusaha mendesak. Mungkin karena itulah aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian. Meski dengan biadabnya, kau bertingkah seolah aku adalah buku harian yang cuma kau isi dengan keluh kesahmu tanpa perlu kau tanyakan bagaimana perasaanku.
Kemudian kau mencari penghilang rasa sakit untuk meredakan hari-harimu yang suram. Aku pun dengan suka rela menjadi pemeran pengganti untuk meredakan malam-malammu yang muram. Aku yang mendengarkanmu hingga jam 1 pagi adalah aku yang kau nafikan lagi dan lagi.
Kau yang masih tenggelam dalam kenangan adalah apa yang ingin ku selamatkan. Celakanya, aku malah ikut terbenam dalam skenario yang kau citakan. Dan kita menjadi teman. terbiasa untuk pura-pura tertawa.
Padahal, kau dan aku tahu, aku mendambakanmu yang mendambakannya. Sampai kapan kita harus begini? Sampai nyali ku terkumpul untuk kau empaskan?
Atau, sampai kau terbang lagi menuju pelukan yang lainnya? Sampai kapan kita harus begini? Ternyata menjadi juara kedua itu sama saja dengan berpacaran dengan seseorang yang tidak pernah ada secara nyata.
Kalau kau benar-benar menyayangiku, kau tak akan menjadikanku juara kedua dari sejak awal. Menyebalkan. Aku ingin kau rindukan. Aku ingin kau kejar. Aku ingin kau buatkan puisi.
Lalu, aku akan bertingkah tak peduli. Agar kau tahu rasanya jadi aku.