Transcript for:
Perjalanan Anggia Kharisma di Visinema

Halo teman-teman, aku Astrobek. Salam hangat. Hari ini kita kedatangan sahabat saya, Bapak Gita Wirjawan. Bapak Gita, silakan diceritakan nama Bapak Gita siapa, tanggal lahir, bebas saja. Kok ada Astrobek. Pak Gita, kenalkan ini teman baru kita dari Taman Domikado, namanya Astrobek. - Halo. - Halo, Pak Gita. Mbak Anggia, Astrobek menunggu teman-teman, tapi nggak datang-datang. Jadinya Astrobek menemani Pak Gita dulu di sini. Atau jangan-jangan mereka ada di Taman Domikado. Sebentar, kalau gitu, Astrobek cari dulu, teman-teman, ya. Pak Gita, tolong acara Endgame-nya diambil alih dulu ya. GITA WIRJAWAN: Tema-teman, ini agak beda hari ini, dan saya kedatangan teman dekat saya, Anggia Kharisma selaku Chief Content Officer untuk Visinema Studios. ANGGIA KHARISMA: Iya nih Pak. Apa kabar, Pak Gita? Baik. Terima kasih banget bisa datang. Senang banget, Pak, aku bisa datang jadi teman ngobrol di Endgame hari ini. Kita mau ngobrol mengenai Domikado. Tapi seperti biasa ceritain deh perjalanan hidup Anda. Lahir tanggal 3 November, sama dengan tanggal lahir anak. Iya, betul Pak. Sama dengan tanggal lahir anak saya, Angkasa Rigel. Dan suatu momen yang sangat magical waktu aku datang ke obgyn di seminggu sebelum melahirkan, tiba-tiba dokternya bilang, "Kayaknya Bu, ini harus dilahirkan di tanggal 3 November, karena memang air ketubannya sudah mulai menipis." "Wow! Sama dong, Dok, sama tanggal lahir saya." "Bagus Bu, kalau gitu." Terus kayak sebuah karunia terindah, Pak, karena untuk perjalanan prosesnya juga nggak sebentar, jadi memang cukup panjang untuk mendapatkan Rigel. Jadi pas tahu dia hadir sebagai buah hati kamu itu kayak "Wow! Sesuatu yang sangat berharga banget. Dan itulah kami di rumah, ada dua Scorpio dan satu Capricorn. - Kasihan si Angga. - Iya Pak. Ceritain deh, sekolah di mana, terus bisa sampai ke Visinema. Yang pasti, aku lahir di Bandung. Terus yang menarik dari perjalanan aku, maksudnya, selama aku hidup 39 tahun ini adalah berproses dengan dinamikanya bersama orang tua. Maksudnya, pelajaran yang paling mendasar yang aku dapatkan dari kedua orang tua aku (adalah) mereka selalu mengedepankan bukan hanya akademis tapi non-akademis, itu aku apresiasi banget. Dan memang dari dulu aku dimasukin sama ayah dan bunda di sekolah Katolik. Waktu aku SMA, aku sekolah di Labschool Rawamangun, Pak. Dan ternyata nyambung sama apa yang dimaksud sama ayah dan bunda. Waktu itu kan ada Pak Arif Rahman, Pak Arif Rahman juga selalu percaya bahwa akademis itu penting, tapi kalau kamu punya keahlian di non-akademis, itu juga jadi sangat penting untuk menunjang karier kamu, dan salah satu menurutku penting adalah apa yang dikasih sama ayah dan bunda, mereka selalu bilang, "Nggi, aku nggak punya apa pun buat kamu, tapi yang ayah sama bunda punya itu adalah kasih kamu modal dengan pendidikan dasar. Buat Ayah, pendidikan dasar itu bisa kamu capai di bangku sekolah. Tapi ada life skills yang kamu juga harus bisa dapatkan yaitu kamu berproses dengan cara kamu selalu berusaha dan bertanggung jawab karena setiap yang akan kamu jalani nanti itu selalu ada risikonya." Itu yang ayah selalu ingetin sama aku. Makanya dari kecil, aku selalu dibawa ayah kerja ke mana-mana, ikut dia meeting. Jadi aku melihat "Oh gini ya cara menjadi orang dewasa dan menjadi bapak yang memang berusaha meluangkan waktunya untuk anak." Dari umur berapa diajak? Dari umur 4 tahun sudah diajak ayah kerja. Ayah ngajak kerja saat akhir pekan. Jadi kalau misalkan akhir pekan, kita selalu dibawa ke tempat dia kerja. Bahkan salah satu support system yang menurutku kuat juga adalah bunda. Jadi, kita nggak punya driver, Pak Gita, jadi driver-nya itu bunda, jadi ke mana-mana, bunda tugas paginya adalah sama ayah antar kita sekolah, terus antar ayah kerja, dan bunda jemput kita, terus pulang sore, itu kita jemput Ayah kerja. Profesi ayah apa? Ayah itu, kalau sekarang, dia masih jadi dosen, pengajar. Dan memang dulu ayah sempat kerja di kontraktor, terus ayah juga pengajar, karena basic pendidikan ayah adalah engineer, sama kebetulan dia ambil MBA juga, Pak, di USC. Terus dari situ, dia selalu tertarik sama pengajaran. Makanya dia merasa hidupnya dia itu tepat kalau dia bisa membagikan ilmunya. Nah dari situ, aku belajar hal-hal yang menurutku sangat dasar dan penting untuk jadi modal dasar aku sendiri. Nah itu yang terjadi. Jadi memang masa kecil kita itu banyak dibagikan dengan pergi bersama ke sekolah, antar-jemput ayah, bahkan bikin PR saja di mobil, sambil nungguin ayah. Waktu itu ayah ngajar di Pertamina. Jadi kalau di Pertamina Simprug, kita nongkrong di kantinnya, terus kerjain PR bareng-bareng sama adik aku. Nah, itu kegiatan yang aku ingat sampai sekarang. Bahkan sampai akhirnya aku memilih bangku kuliah pun mereka sebenarnya membebaskan, Pak. Dari dulunya ayah selalu percaya bahwa, "Kamu berpikirnya adalah ilmu itu sesuatu yang bisa berubah, tapi yang pasti itu, Nggi, ilmu dasar, jadi kalau bisa kamu masuknya IPA ya." Caranya gitu, bukan, "Kamu harus masuk IPA." Tapi aku diajarin sama ayah, "Yuk pikir lagi deh, nanti ketika kamu sudah selesai dari situ, kamu mau ambil apa pun bebas. Rasional dan persuasif. Iya, caranya dia selalu seperti itu. Jadi dia selalu, intinya tadi deh, "Kamu punya rencana sama hidup kamu apa, apa pun rencanamu, tapi ini dasarnya ya." Terus aku dikasih kebebasan, Pak. Ketika aku dikasih kebebasan, aku memilihnya adalah desainer grafis. Harapannya aku keterima. Makanya aku taruh nomor satu (jurusan) Kedokteran Gigi. Pas pengumuman, ternyata keterima Kedokteran Gigi. Aduh, pas bunda bilang, "Alhamdulillah, Nak, kamu masuk Kedokteran Gigi." Wah ini 'point of no return', aku harus masuk Kedokteran Gigi. "Ya sudah deh, Bunda." Akhirnya kita negosiasi. Aku bilang sama ayah dan bunda, "Tapi aku juga punya cita-cita yang terpendam," aku bilang. "Aku pingin banget jadi penyiar. Tapi mungkinkah aku bisa menjalani ini keduanya, sekolah Kedokteran Gigi, tapi juga jadi penyiar." Terus kata ayah, "Harusnya kamu bisa kalau kamu bisa bagi waktunya." Jadi aku masuk juga sekolah di Kedokteran Gigi, tapi sambil aku juga jadi penyiar. Jadi memang dari awal kuliah aku sudah bekerja, Pak, dari semester 1. - Penyiar di mana? - Di Prambors. - Wow! - Aku jadi penyiar di Prambors, terus aku sempat di sana sekitar 5 tahun, terus aku sempat off, karena aku juga harus fokus untuk menyelesaikan Kedokteran Gigi. Terus aku siaran lagi di OZ Jakarta. Jadi pertama kali OZ Jakarta, sampai sini di Jakarta, aku ditawarin jadi penyiar di sana. Ada unsur terpaksa nggak waktu ambil kelas Kedokteran Gigi? Pada akhirnya nggak, Pak. Karena ternyata aku melihatnya dari kacamata yang berbeda, dasar ilmunya itu justru yang membangun cara berpikirnya kita. Bukan cuma 5W 1H-nya, tapi proses kita bisa menganamnesiskan sesuatu. Oke, terus dari situ aku juga belajar, ternyata kalau kita bisa mendiagnosis penyakit, tentunya harus ada diagnosa bandingnya, kan. Nah, itu yang bikin aku juga jadi mulai sadar ketika aku menjalani proses aku yang sekarang, sampai akhirnya kita bisa paham sekali ketika kita mulai mengobati pasien, apakah prognosisnya akan baik atau tidak. Jadi dasar daripada pemahaman atau pola pikirnya aku jadikan dasar untuk aku menjalani profesi aku yang sekarang. Dan troubleshooting juga kan, bisa dipakai untuk apa pun yang dilakukan. Bisa dipakai banget, Pak, ke semuanya. Jadi aku bersyukur banget akhirnya aku mengikuti apa yang ayah sama bunda sempat bilang bahwa, "Nggak apa, kamu harus coba, kalau nggak suka kasih tahu saja." Walaupun di dalam halangannya banyak banget ya Pak. Tapi ilmunya luar biasa terpakai, Pak. Dan aku sadar, dulu aku pingin banget jadi spesialis orthodontist, pas aku jalani, ternyata ada ilmu lain yang menarik, ada namanya ilmu Konservasi Gigi. Tapi akhirnya setelah aku jalani, makin ke sini, terus aku juga mulai menata hidup, dan bilang sama ayah dan bunda, "Kayaknya aku beneran mau serius deh menjalani profesi di luar bidang kedokteran gigi." Tapi Bunda bilang, "Coba dulu saja." Aku sempat praktik juga, Pak. - Berapa lama? - Aku sempat praktik sekitar 2 tahun. Waktu itu praktik di Kemang sama di Pondok Indah. Jadi aku praktik bareng senior aku. Aku berhenti praktik itu ketika aku mulai "Filosofi Kopi" yang kedua diproduksi. Jadi waktu "Cahaya dari Timur: Beta Maluku", - itu aku masih praktik, Pak Gita. - Masya Allah. Saya nggak tahu, jujur. Saya pikir Anda sudah full-time, tapi ternyata part-time, ya, kiri-kanan. Terus, apa yang membuahkan finalitas untuk pengambilan keputusan. Akhirnya ketemu sama sebuah pivotal changing, maksudnya, aku pacaran sama Angga lama banget ya Pak. - Berapa lama? - 8 tahun, Pak, pacaran sama dia dari awal, dan aku nggak tahu, ketika aku ketemu sama Angga, - aku percaya dia punya sesuatu. - Yin dan Yang. Terus dari situ, aku sempat kerja bareng dari awal, mungkin Pak Gita sempat dengar juga awal-awal kondisi apa sih yang dikerjain sama Angga, kita ngerjain video aerobik untuk pertama kalinya. - Apa saja, pokoknya dikerjakan. - Apa saja kita kerjakan. Dan Angga dukung aku untuk menyelesaikan Kedokteran Gigi, aku juga berusaha dukung dia untuk tahu bahwa ini jalanmu. Dan memang dari awal dia percaya bahwa filmmaking adalah sesuatu yang dia kejar. Tapi akhirnya menarik sekali bahwa kita jadi partner kolaborasi. Angga sempat banyak ngobrol, "Sebenarnya apa yang pingin kamu pilih? Apakah kamu siap untuk ini?? Di Visinema kita akan kayak apa?" Karena Visinema harus juga bertumbuh, kan. Di situ akhirnya aku bilang bahwa kayaknya aku juga harus mulai fokus menentukan apa yang aku pilih. Jadi, oke, aku memilih untuk fokus menjadi produser. Tapi untuk langkah sebelum menjadi produser, Angga juga banyak kasih tantangan, dari aku jadi wardrobe stylist, jadi makeup artist. Dari situ dia melihat ada potensi dalam kreativitas, dan akhirnya kita dapat proses ngerjain "Cahaya Dari Timur" berdua. Dan di situ proses pertama kalinya juga aku merangkap, Pak, jadi wardrobe stylist, juga jadi produser untuk "Cahaya Dari Timur". Terus kayaknya aku jatuh cinta banget sama proyek yang sebenarnya basic-nya adalah storytelling. Nah di situ akhirnya aku merasa, "Oke harus fokus nih, Nggi. Ketika Lo fokus, kamu pasti akan tahu apa yang kamu hasilkan nantinya." Yang penting adalah percaya bahwa yang kita lakukan itu juga nggak sia-sia, apa pun pilihannya. Dan itu yang aku juga akhirnya menangkap apa yang ayah sama bunda maksud. Jadi, apa pun latar belakang pelajaran, sekolah, yang kamu punya, itu sangat dasar. Jadi itu yang diambil karena itu adalah legacy yang diturunin sama mereka ke kita, anak-anaknya. Dan aku bersyukur, Pak, maksudnya, aku hidup di keluarga yang ternyata sangat demokratis. Maksudnya, aku terbiasa mengemukakan apa yang aku pingin omongin, ayah juga sama bunda gitu. Dan dari awalnya, mereka jarang banget belikan saya mainan, saya itu suka iri gitu, Pak, kalau ketemu anak lain, "Duh kok punya Barbie baru ya, gue nggak punya." - Tapi yang ayah kasih ke aku adalah ... - Ide. Iya. Sesuatu yang sampai detik ini aku ingat (adalah), pulang, dia bawa buku dari pasar loak Senen, yang buku-bukunya pun aku sebenarnya nggak ngerti, Pak, isinya apa, karena bahasa Jepang. Terus akhirnya dari situ aku merasa kenapa akhirnya aku suka jadi seorang storyteller karena dengan buku-buku yang aku nggak paham itu, dengan banyak visualnya, akhirnya aku bikin cerita sendiri. Dan itu kita selalu duduk sama-sama di sebuah sore, yang pakai alkohol 70%, kita bersihin debu-debunya, di kertasnya, di cover bukunya dan itu sangat berkesan. Dan akhirnya aku merasa semuanya itu terhubung. Dari dulu ayah selalu kasih aku tape buat aku belajar rekaman. Nah, dari situ juga mungkin aku terinspirasi buat jadi penyiar, latihannya juga di depan kipas angin, supaya suaranya gaung. Dan dia sangat apresiasi apa yang anak-anaknya rasain dan pingin kembangin. Jadi memang itu dia, Pak, yang bikin aku merasa, "Iya ya." Maksudnya, ingatan utama daripada masa kecil anak itu penting untuk tumbuh kembang anak itu sendiri. Waktu profesi dokter gigi itu dilepas, kedengarannya kayak nggak ada penyesalan sama sekali? - Pada akhirnya enggak. - Itu merupakan closure. Iya, akhirnya aku sudah kelar, karena aku sudah menyelesaikan sesuatu yang memang aku harus selesaikan sebagai tugas utama aku bukan cuma sebagai anak, tapi sebagai Anggia; aku sudah coba. Bukan aku nggak suka, tapi aku harus memilih. Tapi yang mungkin bikin banyak orang nanya, profesi dokter gigi itu mulia sekali, dan secara komersial juga nilainya nggak kecil. - Iya kan? - Iya. Terus Anda beralih ke profesi kreatif yang bisa dibilang ketidakpastiannya juga nggak kecil. Iya kan? - Ini keberanian. - Iya. ‘No guts, no glory’, Pak. Jadi sebenarnya balik lagi ke nilai dasar yang diajarin sama orang tua saya, resiliensi itu sendiri. Jadi aku balik lagi, kalau kamu pilih A, kamu harus tanggung jawab tapi kamu juga atasi risikonya. Jadi dari awal, ayah sudah mencekoki aku dengan itu. Jadi begitu aku fokus di bidang entertainment, terus di situ aku kayak, "Iya sih kita bisa berkontribusi dengan cara yang berbeda." Dan aku tahu kita butuh orang yang lebih bertanggung jawab untuk mengeluarkan konten yang baik untuk dinikmati oleh penonton Indonesia itu sendiri. - Jadi, ayo lakukan sesuatu. - Apakah segalanya untuk Anda itu kepentingan untuk membuahkan storytelling ataupun storyteller sampai segalanya Anda lepaskan hanya untuk kepentingan itu. - Bulat gitu loh. - Bulatnya karena aku duduk barengan sama Angga, kita melihat visi dan peluangnya akan ke mana. Dan di situ kita bentuk dengan cara yang berbeda untuk melakukan sebuah pendekatan bagaimana mengembangkan Visinema dengan cara yang berbeda. Dan saya percaya dengan kekuatan tersebut yang bukan hanya keberanian saja, tapi mungkin para inovator yang kita juga bilang 'the dreamers with a deadline,' dan itu jadi sesuatu yang penting. Nah, dasarnya itu yang akhirnya mendasari aku percaya bahwa "Iya, ini akan baik-baik saja, Anggia, karena memang ketika kamu percaya, apa pun jalannya, pasti juga, jalannya mungkin memang semestanya ngaturnya juga kayak gitu. Kita ngobrol mengenai Visinema ke depan, khusus untuk konten-konten untuk anak-anak. Ini kan nggak beda dengan playbook yang kita sudah lihat apakah itu di Disney/Pixar, dll. Apakah gambaran seperti itu menjadi inspirasi atau dorongan untuk kalian? Salah satunya iya. Buat saya, mungkin dari kecil juga saya hidup dengan karya-karyanya - Walt Disney ... - Ya, kita semua. Dan saya percaya mereka membawa keajaiban dan makin ke sini terutama di era pandemi, Pak, kenapa akhirnya ada divisi Visinema Studios yang berfokus terhadap konten anak dan keluarga itu jadi harus ada dan jadi penting. Kenapa itu jadi penting karena kita melihat bukan cuma konten anak dan keluarga yang kurang di Indonesia dan kita bisa mengisi ruang itu, tapi juga saya sebagai Anggia yang juga ibu dan orang tua merasa golden moment atau golden age dari anak-anak kita yang di usia dini itu habis masanya. Dan apa yang kita bisa ciptakan untuk setidaknya memberikan konten yang tepat untuk mereka. Maka Visinema Studios hadir. Kita meluaskan banyak sektor di dalamnya karena output yang kita hasilkan itu live action, juga animasi. Dan gimana caranya kita bisa menggaet teknologi yang juga lagi tren di sebelah sana. Jadi kita berharap kita bisa jadi 'nomor satu' yang menghadirkan konten untuk kids & family dengan cara-cara dan output yang menyenangkan. Dan core-nya juga, saya percaya banget apa yang dipercaya oleh Disney, apa yang dipercaya sama Pixar, juga ternyata sesuatu yang sangat nyambung, karena mereka selalu bilang, “The story is the king itself.” Tapi gimana caranya ketika kita memilih cerita yang juga sesuai sama fondasinya dan kita juga bisa tahu bahwa akan ada relevansi dan resonansi bukan cuma di dalam cerita tapi karakter itu sendiri juga jadi penting. Di situlah saya rasa Visinema Studios tepat hadir untuk mengisi gap dari kurangnya konten anak dan keluarga di Indonesia. Saya nggak lupa waktu Pixar melakukan renegosiasi dengan Disney untuk film-film berikutnya. Nah, itu kan waktu itu Pixar mungkin bisa dibilang dirugikan karena pendapatan atau profit sharing-nya kecil sekali. Tapi yang meyakinkan orang-orang di Pixar yang disampaikan oleh Steve Jobs waktu itu - adalah "It's all about the pipeline." - Tentu. Itu waktu saya baca buku "The Ride of a Lifetime" yang ditulis oleh Robert Iger, sulit untuk saya mengerti. Tapi begitu saya pikirin, ujung-ujungnya, kapasitas Pixar untuk melakukan renegosiasi dengan Disney yang akhirnya 50:50, tadinya cuma 5%, karena Pixar itu bisa membuahkan pipeline yang banyak sekali, dan bukan cerita di satu film saja, tapi kuantitas. Itu yang mungkin berkelanjutan, Pak, menurutku. Dan yang kita coba sediakan dan kita pelajari selama ini bukan cuma pipeline saja tapi timeline itu sendiri. Dan sebenarnya yang menarik adalah bagaimana kita ciptakan IP dengan pertanyaan "Apakah ini bertahan?" Menjaga umurnya kan nggak gampang. Dari situ kita merasa kita nggak bisa bertumbuh dengan satu IP saja. Harus ada banyak IP yang kita tahu di situlah proses kita untuk belajar bertahan. Dan yang menarik adalah ketika kita menelurkan sebuah IP itu harus keluar 2 pertanyaan "What if" dan "Why not." Itu jadi penting buat kita. Makanya ada banyak sekali yang menurutku kalau banyak yang bilang sebuah ide itu tidak terukur, tapi ketika aku bekerja dengan tim yang tepat, sebuah ide itu ternyata sangat terukur. Ketika kita tahu fundamental-fundamentalnya. Dan selalu aku bilang sama tim aku seperti yang juga aku baca di buku itu, yang saya percaya itu tim saya, karena tim yang bekerja dengan aku adalah tim yang bukan percaya sama mimpinya, tapi menjaga impiannya. Dan waktu kita berusaha menjaga impian, kebetulan aku ketemu tim yang juga beresonansi, Kita semua memiliki rasa ingin tahu, dan itu yang sulit dijaga. Dan Visinema Studios itu memang bukan tempat yang mudah ketika kita bisa menciptakan sesuatu, lagi-lagi kita ngomong target market, Pak. Target market, audiensnya juga harus tepat sasar, dan untuk menciptakan itu semua sebenarnya yang dibutuhin dari kita adalah meracik segala sesuatu yang sangat delicate, tapi jadi masuk akal. Padahal yang kita keluarin itu adalah cerita-cerita yang embracing kayak kehidupan yang sulit untuk diterjemahkan untuk anak-anak dan ini sangat menantang untuk Visinema Studios. Tapi dengan ketepatan fondasi dasar tadi untuk menyatukan semua ideation, kita akhirnya merasa apa pun yang kita perjuangkan pada akhirnya nggak akan sia-sia, dan kita melihat apa yang dibutuhkan oleh market-nya. Makanya sering banget tim kita melakukan sebuah riset studi juga, Pak. Jadi banyak banget hal yang kita lakukan sebelum kita menciptakan IP dengan riset pasar terlebih dahulu. Dari situ kita tahu apa sebenarnya masalah yang dihadapi oleh anak dan keluarga di Indonesia. Dan ketika produknya jadi, kita harusnya bisa menguji produk IP juga ke market-nya dan itu jadi penting, dan aku selalu bilang sama tim aku bahwa apa yang kita buat memang belum tentu diterima karena kita memang bukan manusia yang harus bisa menyenangkan banyak orang, tapi yang kita buat itu penting. Dan aku selalu bilang sama teman-teman ada 3F yang aku selalu percaya dan kasih ke teman-teman; Fokus, yang kedua adalah Freedom (kebebasan), dan yang terakhir adalah Fun (menyenangkan) karena kita mengeluarkan produk untuk anak dan keluarga, tiga hal itu harusnya bisa jadi pegangan buat kita melakukan atau menelurkan ide-ide tersebut. Kalau fokus, karena kita tahu yang dituju apa. Freedom dalam artian meleburkan ide itu butuh banyak kolaborator dan tantangannya diri kita, ego kita. Tapi itu juga harus diuji dengan tadi, banyak studi, banyak riset pasar, ketemu sama si calon penontonnya langsung, dan yang terakhir, kita lakukan dengan cara yang menyenangkan, karena kalau kita nggak lakukan dengan cara yang menyenangkan, akan membosankan juga kalau dikerjain. Nyari keseimbangan antara sesuatu yang edukatif dan sesuatu yang itu gimana? Karena gini loh, saya coba bungkus ini dalam konteks kekhawatiran saya dan mungkin banyak teman mengenai konten-konten yang dilihat oleh anak-anak kita di TikTok, di Instagram, yang tidak tereditorialisasi. Saya melihat lebih besar justru kepentingan kita untuk menyajikan konten yang bisa menyeimbangkan, syukur-syukur bisa menimpangkan agar ini lebih kaya ke depan, gimana tuh? Kalau dari kemarin, lagi-lagi, sebelum aku mulai salah satu produk yang baru judulnya Domikado. Sebelum Domikado itu keluar, itu kan sebenarnya proses yang lahir karena kegelisahan kami di era pandemi yang, "Iya ya, kurang sekali konten anak dan keluarga itu." Maka akhirnya Angga menantang kita lewat sebuah email di sebuah malam, dini hari. Aku didatangkan email yang kita perlu konten anak dan keluarga, apa yang akan kalian bikin? Terus aku putuskan ideation sama kreatornya, Ryan Adriandhy. Terus aku bilang sama Ryan, "satu hal yang aku impikan diri zaman dulu, aku pingin banget, Ryan, punya puppet shows. Dan Ryan menangkap ide itu dengan sukacita, dan dia bilang "Iya Teh, yuk kita bikin." Tapi pertama, apa ya namanya, supaya orang bisa sekali nyebut langsung nempel di pikiran mereka. Dan yang kita ingat adalah, di ingatan kita, dulu kita main sebuah permainan namanya Domikado. Menurut saya, banyak dari teman-teman yang sekarang sudah menjadi orang tua juga nyambung sama permainan Domikado dan malah mengajarkan ke anaknya. Dan ide itu keluar. Tapi lagi-lagi kita gali lagi, core apa yang mau kita kasih. Sementara yang kita percaya di Visinema Studios ada 3 core yang kita ingin bagikan ke penonton Indonesia. Satu adalah resiliensi itu sendiri, kedua adalah diversity (keragaman), yang terakhir adalah inklusivitas. Tiga itu yang jadi model kita untuk menyeimbangkan edukasi dan entertainment-nya. Maka kita bilang edutainment. Kadang memang lupa tuh Pak, kadar edutainment yang lebih tinggi, tapi kadar edukasinya lebih rendah, atau sebaliknya. Tapi akhirnya kita percaya, yang mau kita sasar apa sih? Yang mau kita sasar sebenarnya bukan cuma keterampilan kognitifnya tapi juga motorik sensorik, dan juga yang paling mendasar waktu kita menelurkan ini adalah menumbuhkan empati, karena itu yang paling hilang rasa-rasanya di masa sekarang dan itulah yang paling penting menurut kami. Sementara emotional wellbeing itu jadi penting di sini. Emotional wellbeing itu yang pada akhirnya bisa mencerminkan kesuksesan seseorang ke depan. Enggak bisa juga kita pintar tapi kita nggak punya emotional cohesion yang juga seimbang. Jadi bagaimana mengaturnya kita duduk sama-sama, kita coba jelaskan, terus akhirnya kita juga ketemu sama tim yang meriset modul apa yang akan kita pakai. Modul itulah yang mendasari bagaimana mengedepankan cara belajar tapi dengan cara bermain yang seru. Karena sepertiga dari aktivitas harian yang dialami oleh anak usia PAUD sampai dengan usia 8 tahun pada umumnya, sepertiganya itu sebenarnya main, Pak. Terus akhirnya yang paling penting itu adalah ketika kita berkumpul sama tim, ini bumbu paling penting menurutku sama teman-teman adalah jangan pernah lupa kita juga pernah jadi anak-anak. Kadang kita lupa karena kita terlalu serius menghadapinya kita merasa yang kita punya sekarang itu lebih penting dibandingin masalahnya anak-anak. Tapi yang anak-anak juga tahu dan rasakan adalah "Aku juga penting. Masalahku juga penting." Jadi hal itu yang kita coba saring, kita coba bikin segala sesuatu yang lebih seimbang supaya nggak edukasinya lebih tinggi atau hiburan yang lebih tinggi. Makanya kita mengeluarkan karakter puppets tersebut, Pak. Dan karakter puppets itu lahir ada 15, tapi aku mengenalkan kepada audiens sekarang baru 6. Dan kenapa kita memilih karakter- karakternya juga humanoid, dari karakter-karakter hewan yang waktu itu aku selalu percayanya sama Ryan, segala sesuatu itu harus mulai dengan yang dekat dulu, nggak bisa mulai dari sesuatu yang jauh dan akhirnya jadi berjarak. Kenapa akhirnya ada karakter yang namanya Bea, Beo, itu sesederhana karena kita bangun pagi, kita selalu dengar suara burung. Oke berarti karakter Bea, Beo adalah burung. Tapi burung apa, kita coba tentukan yang satu burung gereja dan yang satu adalah beo Nias. Terus kita cari lagi karakter apa yang selalu juga ada di sekitar kita; kucing. Kucing itu selalu lalu lalang di depan rumah. Jadi karakter Cis-Cis itu adalah kucing. Dan kenapa akhirnya ada karakter Astrobek, kita percaya bahwa setiap kita berteman, pasti ada teman kita yang selalu jadi semacam narasumber atas semua informasi, tapi karakter Astrobek kita buat sebagai karakter yang suka sekali terhadap sains dan matematika. - Dia suka sekali dengan engineering. - Penting. Ya. Kayak kita percaya ada STEM. Dan dia sangat percaya lagi sama jagat raya. Karena ceritanya, background story Astrobek itu pernah kelempar ke bulan, tapi nggak ada yang percaya kalau dia pernah dilempar ke galaksi, terus dia balik lagi, terus dia kasih penjelasan itu ke teman-temannya. Makanya dia tuh Astronot Bebek, kita singkat jadi Astrobek. Terus yang terakhir adalah Cricket itu karakter Anjing Shih-Tzu yang sangat positif dan bahagia. Dan memang Cricket jadi sangat personal buat saya pribadi, karena memang itu nama dari Anjing saya yang memang hilang dan memang jadi logonya Visinema, Pak. - Anjing apa? - Shih-Tzu. Kayak punya Pak Gita. - Hmm. Wow. - Itu dia karena aku ngerasain bahwa kalau kita ketemu sama karakter-karakter yang dekat, lalu kita mengemasnya dengan bentuk yang dikreasikan oleh imajinya saya dan Ryan karena Ryan juga adalah kreator daripada karakter, harusnya bisa jadi sesuatu yang bisa menjadi sahabat dan ikon baru lagi buat anak dan keluarga di Indonesia. Karena kita percaya, pada akhirnya Domikado sendiri itu mengedepankan readiness terhadap anak-anak. Anak-anak tidak bisa diajarkan sesuatu dalam posisi yang dipaksa dan setiap tahap daripada umurnya ada tahapannya. Dan itu yang kami percaya bahwa menghadirkan karakter tersebut jadi tepat untuk Domikado itu sendiri, ditambah kita juga mengenalkan narator di setiap episodenya bentuknya itu awan, animasi 3D namanya Odi. Dan diisi suaranya oleh Putri Sa'ud. Dan memang tidak mudah, Pak. Yang kita percaya adalah setiap kita bikin harus punya post mortem, jadi, begitu dia jadi, kita balikin lagi ke target audiens-nya, kita bikin riset pasar lagi, terus kita tanya ke penonton yang bukan cuma anak dan keluarga, tapi kita juga tanya ke para pengajar, kita juga tanya ke psikolog anak, dan mereka yang peduli terhadap parenting. Dan puji Tuhan, kita dapat wawasan yang luar biasa menarik dan akhirnya di situ kita terus mengembangkan Domikado, sampai akhirnya untuk musim ini ada 24 episode dengan bermacam-macam dari animation style, baik 2D maupun 3D, terus juga ada bintang tamunya, Pak, yang akan jadi kakak penolong untuk teman-teman di Taman Domikado tersebut. Dan banyak sekali tema-tema yang kita angkat, salah satunya adalah, ini mungkin sulit buat banyak dari kita, gimana cara ngajarin anak nyanyi, di situ kita punya satu episode dengan judul "Lagu Tangga Nada". Dan teman-teman di sana ngajarin teman-temannya untuk nyanyi yang benar itu kayak gimana. Pertama, kita harus kenal dengan nada-nada dasarnya. Dan itu menarik banget. Dan ada satu hal yang menarik, dan kita coba jabarin yaitu tentang body boundaries. Itu salah satu yang menurutku kadang kita lupa untuk menjelaskan untuk mereka bisa menghargai dirinya mereka. Mungkin ini jadi kebudayaan yang sangat mendasar, bisa setuju bisa tidak, tapi aku melihat berdasarkan pengalamanku bersama anakku. Kadang aku suka gemes, Pak, kalau mau lebaran atau Natal, kita disuruh salim, dari kecil, disuruh peluk, tapi pernah nggak orang tua nanya, "Kamu nyaman nggak ya kalau harus salim, kalau harus peluk. Kalau misalkan digelitik, kamu boleh lo bilang enggak." Dan akhirnya itu juga jadi salah satu tema yang kita taruh di Domikado. Tapi ya lagi-lagi, kita masukin masalahnya ke teman-teman Domikado supaya mereka mengerti cara penyelesaian masalahnya. Jadi ada nilai-nilai yang memang kita pingin sampaikan, yang terlihat sulit, tapi dengan cara-cara yang sangat sederhana. Dan hal yang paling mendasari Domikado kita pingin teman-teman atau orang tua terlibat aktif ketika menonton untuk bisa menjadikannya itu ke dalam ruang diskusi di keluarganya. Sebenarnya durasinya juga nggak terlalu panjang, setiap episode itu 8-10 menit. Tapi aku harap setelahnya jadi pemicu untuk keluarga bisa berbicara bersama dengan mindfull, Pak, karena sering kali, kita kalau di posisi sekarang, ngobrol sama anak sambil pegang handphone, itu terjadi juga di saya. Itu saya bingung banget kenapa anak-anak sekarang megang handphone bisa 10 jam. Dan mungkin sedikit ini deh, mungkin titipan, karena kalau kita lihat pembentukan otak, itu sebelum umur 9. Kalau sudah lewat umur 9, - kayak saya itu sudah lewat, telat. - Saya juga, Pak. Tapi justru saya melihat apa yang Anda kreasikan itu nyambung dengan kepentingan kita untuk memperkaya isi otak anak-anak muda di Indonesia. Mungkin 2 poin yang saya mau sampaikan. Yang pertama, melihat skor PISA untuk anak-anak umur 15 tahun. Indonesia itu skornya kurang berkenan. Jadinya rata-rata dunia itu kalau nggak salah, 420, kita itu 382, kalau nggak salah. Beberapa negara di Asia Tenggara itu di bawah rata-rata dunia. Dan dari 78 negara yang diukur, Indonesia itu nomor 71. Dan itu mengukur kemahiran anak-anak muda umur 15 tahun terkait bahasa dan STEM. Singapura nomor 2 di dunia, Tiongkok nomor 1. Tentunya kita sudah menyadari, program pendidikan ini sudah ditingkatkan untuk ... tapi konten yang disaksikan lewat HP, iPad, dll., ini juga harus didesain untuk gimana nih supaya skor kayak begini. Ini yang pertama ya, kalau menurut saya, observasi yang harus disikapi. Yang kedua ini, Anda ini bukan hanya di bisnis storytelling - tapi menelurkan storytellers. - Ya. Pernah nggak kebayang kalau ada 100 juta orang Indonesia bisa bahasa asing, apakah itu bahasa Mandarin, Bahasa Inggris, dsb. Saya melihat orang Indonesia itu nggak kekurangan ide. - Betul. - Tapi begitu mereka keluar negeri, nggak tahu gimana, mereka agak-agak malu. Yang paling berani ngomong itu orang India. Dan kalau saya lihat "Parasites", nggak ada alasan kalau Visinema nggak bisa bikin film yang superior. Tapi mungkin Korea secara holistik itu bisa melakukan storytelling dari hulu sampai hilir. Ini dua, kalau bisa observasi atau pesan yang gimana bisa disambung. Iya, dijahit ya Pak. Kita coba, Pak. Dan saya percaya bahwa ketika saya dikasih kesempatan buat fokus di Visinema Studios, kayaknya core terpentingnya itu justru dari si generasi awal dengan menghadirkan konten yang tepat untuk anak-anak usia dini. Kalau dari sisi itu memang saya melihatnya nggak banyak, Pak, yang dapat kesempatan atau privilese untuk bisa mendapatkan pendidikan dari tingkat dasarnya. Tapi dibutuhkan juga kolaborasi yang proaktif juga terhadap orang tua atau care taker-nya. Nah, mungkin dengan adanya Visinema Studios yang bisa membuat dan menghasilkan konten-konten yang baik, yang nyaman untuk bisa diterima dengan mereka tapi juga menarik buat audiens secara umum, saya rasa itu bisa menjawab 2 poin yang Pak Gita pertanyakan tadi. Karena yang aku percaya adalah menjaga wellness being anak itu juga jadi penting. Bagaimana kita memberikan core memory yang baik ke mereka juga jadi sesuatu yang penting untuk mereka berkembang walaupun mereka nanti punya idealisme dan integritasnya sendiri. Dan itu jadi sesuatu yang penting. Dan Visinema Studios percaya bukan cuma memberikan core value yang tadi saya sebutkan, tapi juga yang paling penting adalah membuat pemikiran kritis dan kreatif di anak usia dini. Jadinya menarik ketika kita punya pandangan yang berbeda melihat konten yang seperti apa sih yang lahir. Kalau dibilang tepat harus seimbang, pasti harus melakukan banyak riset. Dan itu yang coba kita kedepankan dan semoga dua poin dari observasi Pak Gita bisa terjawab dengan konten-konten yang kita akan keluarkan ke depannya, karena butuh banyak orang dewasa serius untuk menghasilkan konten untuk anak usia dini. Karena memang yang menjadi masalahnya adalah durasi mereka melihat, tapi kalau kita bisa melihat dengan cara yang berbeda, kenapa nggak kita isi dengan sesuatu yang baik, gitu Pak. Mereka bisa melihat HP 10 jam, kenapa nggak bisa melihat 8 menit konten yang bermutu. Kalau menurut saya, pendidikan ini tugasnya orang tua, kepala sekolah, guru, RT, RW, Camat, Lurah, dll. Itu penting untuk memberikan edukasi, Pak. Makanya pro aktif orang tua jadi penting di sini terutama care taker. Karena semua punya beban dan caranya masing-masing bahwa kita juga harus melihat bahwa Indonesia sebaran pulaunya banyak dan nggak semuanya juga diberikan secara merata, dan inklusivitas tersebut jadi penting di sini. Jadi memang peran orang tua juga jadi penting untuk ngejagain durasi screen time anak. Dan itu yang sebenarnya kita kampanyekan bersama, menurutku, nggak apa mereka melihat tapi dengan durasi yang tepat. Dan rasanya itu bisa dimulai dari lingkungan paling kecil, yaitu keluarga itu sendiri dengan membuat regulasi di dalam keluarga dengan cara-cara yang disepakati bersama. Karena akan menjadi sangat mudah ketika kita bisa memberikan pengertian tersebut dengan anak-anak di usia dini dibanding ke remaja, karena mereka pasti juga sudah punya self control-nya sendiri, dan itu kan yang paling penting sekarang. Tapi memang tidak jadi PR yang mudah, Pak, dan harus terus diingatkan. Bahkan saya sebagai orang tua juga merasa apa ya cara yang tepat untuk bisa memberikan pengertian terhadap Rigel bahwa ada durasi bermain game, ada durasi di mana kamu juga harus bermain bersama teman-teman seumuran. - Dan itu yang menantang. - Nggak gampang. Ngomong lebih gampang daripada melakukan. Saya juga kalau ngomong begini dipikir gampang, tapi nggak gampang juga untuk mempraktikkan itu. Bahkan mungkin harus dimulai dengan diri kita sendiri untuk lebih menghargai dan memberikan ruang mendengarkan, ketika berbicara, kita harus lepas dari device kita dengan memberi contoh tanpa menggurui rasa-rasanya juga cara yang tepat. Kalau ngobrol, ya kontak mata, kalau ngobrol, ditutup dulu handphone-nya sebentar. Kadang kita kelepasan ya Pak. Kadang-kadang approval, nggak hitung jam, jam berapa malam juga ada approval, dsb. Tapi kayaknya kalau menyangkut anak dan keluarga, kita harus belajar juga meluangkan itu. Lagi-lagi, yang harus belajar ya kita Pak, sebagai orang tua. Kita mengampanyekan banyak bentuk, tapi kalau kita tidak melakukan hal itu juga percuma. Dan itu yang menarik bahwa bagaimana kita bisa mencintai keluarga kita lebih baik, kan juga tantangan ya. Satu lagi juga yang perlu diperhatikan, bagaimana polarisasi percakapan itu berkorelasi dengan depresi, dengan anxiety, bahkan dengan bunuh diri (suicide). Ini empiris di seluruh dunia dikarenakan apa yang mereka baca di HP. Dan saya berkali-kali ngomong bahwa kanker di sosmed itu salah satunya adalah ditemukannya tombol 'like', tombol 'retweet' tombol 'share', yang didesain hanya untuk menciptakan viralitas. Tapi tanpa kesadaran mengenai kepentingan kesehatan mental anak-anak kita. Kalau itu sadari sewaktu kita membuat konten untuk anak-anak muda, kayaknya itu bisa menyeimbangkan. Ya, karena salah satu yang juga diangkat di Domikado bagaimana kita menghargai diri sendiri, karena kita terlahir dengan keunikan kita masing-masing. Ketika itu diberikan di momen yang paling mendasar di usia dini, pengertian, pemahaman terhadap itu, untuk tidak membandingkan, rasa-rasanya jadi sesuatu yang tepat untuk menjadi katalis ketika kita masuk ke dunia sosial media. Bahkan yang mesti di-highlight (adalah) readiness tadi. Seberapa besarnya kita bisa mengenalkan aplikasi-aplikasi tersebut ke anak usia dini, bahkan ada restriction-nya Pak, di TikTok juga ada restriction-nya, di YouTube pun ada restriction-nya, begitu juga di Twitter ada restriction-nya. Terms & conditions yang mereka punya juga harusnya kita pahami sebagai orang tua. Dan rasa-rasanya kita sebagai orang tua, yang berhak untuk memberikan device di anak umur berapa untuk dia bisa memakai itu. Kalau aku, jujur saja, aku memberikan Rigel device, Pak. Dan menurutku jadi penting, karena untuk menggali potensi yang dia punya. Karena dari awal dia selalu gigih pingin jadi engineer dan pingin jadi arsitek. Itulah kenapa sebuah game ini jadi penting di dia, namanya Minecraft. Dan dia bangun negaranya sendiri, dia membuat dunianya sendiri. Dan ketika kita mendekatkan dia dengan sesuatu yang bisa membuat potensinya menjadi lebih berkembang, kenapa tidak. Tapi punya regulasi terhadap kapan kita bisa. Kayaknya konten yang bagus itu banyak banget, tapi yang sampah jauh lebih banyak. Itu kan masalahnya? Masalahnya itu, keseimbangan itu sendiri. Tapi ya itu tadi, butuh kesadaran dari kita konten kreator, atau kita yang peduli untuk menghasilkan konten-konten yang lebih baik, karena memang jarang sekali ya Pak, karena yang dibutuhkan bukan cuma kontennya sendiri tapi kualitas daripada production value-nya ke depannya itu akan seperti apa, maksudnya itu yang aku alami ketika aku percaya sama sebuah ikon kayak Sesame Street, yang aku merasa hidup bersama mereka, itu kan juga luar biasa impaknya. Dan dari konten yang kita punya, kita bisa mulai riset perilaku. Perilaku anak bisa berubah ketika kita memberikan konten yang tepat, kayak memang mengajarkan anak waktu tidur siang juga bukan hal yang mudah, tapi kalau ternyata ada sesuatu yang bisa beresonansi terhadap kebutuhan tidur siangnya dia, aku yakin anak-anak akan menjadi mudah tidur siang. Karena kalau tadi kita bicara Soal perkembangan otak, perkembangan otak itu sendiri berkembang ketika anak usia dini (untuk) tidur siang. Iya kalau kita lihat progresi kognitif anak kecil mulai dari pre-operational terus ke kongkret, terus ke formal dan gimana kita bisa menata perkembangan kognisi anak-anak, tapi juga mental, emotional cohesion, dsb. Iya mental wellness being itu jadi penting, bagaimana mereka akan mengatur perasaan itu sendiri. Makanya di pendidikan usia dini itu selalu ada gimana caranya kita bisa menangkap emosi. Gimana kita bisa kenal sedih, kita bisa mengenal rasa bahagia, dan itu yang bisa diberikan. Dan tumbuh kembang daripada emotional being, menurutku, datang dari kecakapan kita untuk bisa memberikan dan meregulasikan itu - ke mereka. - Atau suruh dengar konten-konten flsuf. Iya kayak Sadhguru. Saya rasa jadi penting, dan banyak sekali dari anak usia pre-teen yang sangat sadar terhadap wellness being, karena beban daripada apa yang dihadapi sekarang juga besar, beda sama eranya saya juga, segala informasi didapat dengan sangat cepat, segala informasi juga bisa disampaikan cepat, tapi belum tentu tepat. Dan aku yakin ... - Tepat tapi belum bijaksana. - Bijaksana juga tidak. Tapi aku yakin mereka punya self-awareness sama self-control, Pak. Dan salah satu yang mungkin juga bisa kita kampanyekan adalah literasi sendiri, bagaimana membuat mereka lebih cinta membaca buku. Mungkin medium-medium tersebut bisa jadi sumber untuk mereka bisa engage, untuk mereka bisa mencari informasi yang lebih tepat guna juga, tapi kecintaan terhadap real books juga penting. Aduh gila. Gimana kita bisa membudayakan budaya baca buku secara masif. Coba deh pikirin gimana supaya anak-anak kita berbudaya baca buku, terus ada 100 juta orang Indonesia bisa bahasa asing, dan mereka akan bercerita mengenai Indonesia ke mana-mana. Kita itu nggak terlalu bisa bercerita ke mana-mana. - Belum ya Pak. - Belum. Tapi saya rasa Anda sudah dan akan terus berperan untuk menyongsong masa kejayaan generasi penerus. Domikado ini evolusinya gimana ke depan dalam waktu dekat, menengah dan panjang? Kalau yang pasti Domikado sendiri ke depannya kita akan banyak sekali mengenalkan karakter dan kontennya secara offline, bukan cuma online, karena kita pingin sebenarnya punya engagement langsung terhadap karakter-karakter tersebut supaya mereka juga merasa bahwa karakter ini hidup dan menghidupi anak dan keluarga Indonesia. Terus rencana jangka besarnya juga adalah kita pingin banget punya, bukan cuma playpark yang nanti akan hadir di mall-mall ibukota, tapi juga kota lainnya. Dan mimpi terbesar kita punya theme park untuk IP-IP Visinema, ke depannya pinginnya gitu Pak. Dan akan ada banyak banget kegiatan yang sebenarnya bisa kita isi terutama untuk komunitas parenting, komunitas edukasi, kita pingin kerja sama juga sama PAUD di Indonesia, salah satunya dengan PAUD-nya Pak Gita juga. Karena memang modul yang kita bikin ini harapan ke depannya, dijadikan bahan ajar buat banyak pengajar di Indonesia, buat banyak guru di Indonesia. Jadi yang sekarang lagi kita jagain adalah purity dan clarity dari konten Domikadonya, itu yang kita perlu jaga. Dan untuk punya konten kayak gini, yang paling penting di dalamnya adalah kita butuh dukungan buat konten ini juga bisa bertahan, dan harapan terbesarnya, harusnya umur Domikado itu lebih panjang dari umur kreatornya. Iya dong, seperti Mickey Mouse, Donald Duck. Kayak Sesame Street, Kayak Blues Clues, bagaimana banyak sekali anak yang merasa ditemani oleh karakter-karakter tersebut. Dan kita sebagai orang tua juga tidak top-down ke mereka. Dan kita tahu bahwa apa yang mereka punya itu jadi sesuatu yang penting untuk dibicarakan, belajar lagi untuk mendengarkan apa mau anak dan keluarga di Indonesia. Dan harusnya nanti Domikado hadir dengan lebih banyak karakter lagi yang bisa jadi teman anak dan keluarga Indonesia. Seperti yang disampaikan Buzz Lightyear "To Infinity and Beyond". Saya juga percaya itu. Ini gimana nih untuk saya bisa kenalan lebih dalam dengan Astrobek, Bea, Beo, Cis Cis, dan Cricket. Kita main ke Taman Domikado, aku akan ngajak Pak Gita kenalan - sama teman-teman baru dari Domikado. - Siap, dengan senang hati. Mari, Pak, kita ke Taman Domikado. Selamat datang, Pak Gita, di taman Domikado. Terima kasih. Kita mau nerusin dikit lagi diskusi yang tadi. Boleh, kita ngobrol lagi. Silakan, Pak Gita. Domikado ini kan untuk kepentingan anak-anak ke depan. Dan nggak bisa dipungkiri bahwa setiap orang termasuk yang dewasa, itu di dalam dirinya ada kekanak-kanakan. Jadi keabadian kekanak-kanakan di setiap orang itu harus diakui. Nah, yang ironis, kalau saya lihat anak-anak muda sekarang itu mereka lebih menggarisbawahi kepentingan kekinian dan kurang melakukan investasi untuk masa depan. Nah, itu gimana untuk merekonsiliasi keabadian kekanak-kanakan yang akan terus-menerus sampai kapan pun, tapi anak-anak justru lebih mementingkan kebutuhan yang terkini, bukan untuk melakukan investasi untuk kepentingan masa depan seperti keramahan lingkungan atau kesenjangan, dsb., ini isu-isu yang berat. Tapi kalau menurut saya, gimana supaya anak-anak muda dan yang kecil itu lebih bisa mempertimbangkan hal-hal yang lebih penting untuk masa depan. Kalau menurut saya pribadi, Pak Gita, hal-hal tersebut butuh dikuatkan dengan banyaknya diskusi di dalam keluarga itu sendiri. Karena nilai kepedulian itu tumbuh ketika kita; orang tua atau care taker-nya bisa mengenalkan hal tersebut. Dan itu bukan hal yang mudah, lagi-lagi selalu jadi tantangan. Memelihara kekanak-kanakan di dalam diri kita itu sama halnya juga dengan kita bisa menjaga dan mengonsentrasikan apa yang kita butuhkan untuk dimanifestasikan ke masa depan. Dan menurut saya, pentingnya peran keluarga untuk mengingatkan kita terhadap hal tersebut harusnya bisa jadi sesuatu yang membantu menyadarkan kita bahwa sebegitu pentingnya masa depan yang ada di depan yang kita akan manifestasikan, kita investasikan, bukan cuma untuk diri kita tapi itu adalah legacy buat anak-anak ke depannya. Ketika mereka bisa memaknai bahwa mereka adalah individu yang bukan hanya sendiri, tapi individu yang terus akan bersosialisasi, aku rasa itu bukan menjadi sesuatu yang berat. Tapi bagaimana membuat mereka sadar akan hal itu, bisa diajari atau dikenalkan dengan hal-hal paling sederhana. Sesederhana bagaimana kami coba mengupas apa yang harusnya dilakukan oleh teman-teman di Domikado. Contoh, kenapa kita nggak boleh buang sampah sembarangan. Hal-hal sederhana itulah yang harusnya bisa membuka mereka lebih lebar, kalau tadi kita ngomong dari sisi pendidikan usia dini untuk menyadarkan menjaga bumi dan lingkungan, itu menjadi penting, menjaga keamanan lingkungan juga menjadi penting. Karena memang menurut saya juga yang menarik dari proses kita belajar menghargai lingkungan itu adalah dengan menghargai diri sendiri. Kalau ternyata itu bisa kita manifestasikan ke generasi yang saya percaya mereka lebih kreatif karena memang sudah terdidik punya pemikiran kreatif dan kritis, saya rasa mereka akan ke sana, Pak. dan banyak sekali perhatian dari anak mudanya. Dan sekarang anak muda sangat kritis. Dan saya yakin mereka bisa sangat memahami itu. Dan kalau Pak Gita bicara bagaimana memelihara sifat kekanakan dalam diri kita, itu upaya untuk menjaga supaya kita tetap tumbuh dan punya empati. Dan menurutku itu yang akhirnya harus kita rangkul sebagai manusia dewasa yang ya tadi, kadang memang lupa kalau pernah jadi anak-anak. Betul. Saya nggak lupa, saya itu pernah jadi anak-anak dan kekanak-kanakan di diri saya itu justru yang bikin saya selalu berpikiran positif. Dan curiosity atau unsur penasaran itu penting. Dan orang suka bingung kenapa saya di usia saya sekarang ini masih saja terus penasaran mengenai banyak hal, itu kalau menurut saya, manifestasi dari kekanak-kanakan saya yang saya bina dan saya pupuk selama ini. Dan semakin kita bisa melakukan pemikiran kritis, semakin kita bisa menunjukkan penasaran atau curiosity, semakin kita lebih berpikir mengenai masa depan, bukan kekinian. Ini ceritain deh karakter-karakter yang ada. Ini kan yang saya dengar Anda sudah keliling dunia untuk cari talenta-talenta, tapi ujung-ujungnya ketemunya di Indonesia. Cerita deh, Anggia. Yang menarik tuh Pak, waktu aku sama Ryan nyari kayak tadi Pak Gita berpikir gimana cara kita bisa menjaga lingkungan, itu yang tumbuh juga dari awal, universe apa sih yang akan kita pakai untuk IP Domikado. Akhirnya kita berpikir 'what if' itu adalah sebuah taman yang terabaikan karena pesatnya pertumbuhan di era sekarang yang semua sudah berkumpulnya, lagi-lagi, di gedung-gedung, tempat tertutup, tapi kayaknya harus ada satu tempat bermain di mana jadi tempat yang menyenangkan. Karena aku sama Ryan selalu suka sama pelajaran di sekolah yaitu pelajaran istirahat. Menurut kami berdua, itu adalah pelajaran yang paling bisa kita maknai untuk punya curiosity, bisa belajar sama banyak hal. Maka kita pakai universe taman, yang akhirnya dipakai sama teman-teman yang nanti aku kenalin sama Pak Gita di Taman Domikado. Dan yang kita percaya, taman ini adalah taman untuk semua teman. Taman yang akhirnya menjadi taman yang sangat inklusif dan terbuka buat semua orang, semua makhluk hidup yang bisa hidup dan belajar, bermain, bersantai, bercerita, bersuka ria, bahkan bisa juga dijadikan taman ketika mereka punya rasa yang tidak nyaman sekali pun. Harapannya taman ini bisa menjadi rumah baru buat banyak anak dan keluarga di Indonesia. Dan yang saya sama Ryan percaya, hadirnya Taman Domikado itu bukan hanya diperuntukkan untuk anak-anak, bukan cuma untuk keluarga Indonesia, tapi juga untuk setiap anak-anak di dalam diri kita. Jadi menurut saya, taman ini jadi sangat penting untuk bisa kita hadirkan jadi taman di mana semua orang bisa berkumpul bersama. - Gitu sih Pak, awalnya. - Oke. Terus, gimana bisa menemukan orang-orang, talenta? Kalau menemukan talenta-talenta itu, aku sempat sama Ryan mempertimbangkan gimana ya kalau bikin puppets karena bukan juga yang bisa kita bikin, ini hal baru, jadi anxiety yang kita dapatkan dalam arti positif itu kayak, "Wah harus ketemu." Kita cek waktu itu, sempat cek di US, sempat cek di UK juga, tapi akhirnya aku sama Ryan merasa kalau kita bikin puppets, yang mesti dijaga juga perawatannya, Pak. Terus, bukan cuma biaya produksi yang kita pikirkan, tapi kualitas dari produksinya juga, QC-nya juga mesti kita pegang. Akhirnya, nggak sengaja Ryan itu sempat mention di Instagram, nanya, "Ada komunitas puppets nggak di Indonesia?" Terus responsnya banyak, salah satu yang disebut adalah Puppetaria. Di situ kita kenalan sama teman-teman dari Puppetaria, kita ngobrol banyak hal, terus ternyata satu visi, karena waktu itu yang kita kedepankan adalah visinya dulu. Kalau mereka nyambung dengan visinya, kita jalan sama-sama. Percaya dulu sama visi dasarnya. Ketika dia percaya sama visi dasarnya, kita pasti percaya akan jadi sesuatu yang punya visi besar. Akhirnya ketemu sama teman-teman, kita ngobrol banyak hal, dan ternyata semuanya bisa dilakukan di Indonesia saja. Dari desainnya Ryan, kita ejawantahkan ke dalam bentuk puppets. Terus hal kemudian yang kita coba cari adalah production designer, production designer-nya itu ada namanya Tante Rini, dia yang juga adalah orang Indonesia, percaya juga sama visi yang kita kasih, dan kita jalan bareng. Producer-nya juga dari Indonesia, ada Novia (Puspasari), senior producer saya di Visinema Studios, ada head of production-nya juga, ada Mas (Chrisnawan Martantio), terus kita juga punya director orang Indonesia juga, namanya Astro Dio, dia banyak belajar di UK waktu itu, tapi dia pulang, karena dia punya karakter yang mirip sekali sama karakter kita, Astrobek. Dia suka sekali sama hal tentang sains, teknologi, dsb. Terus akhirnya kita satukan, kita punya tim creative director yang dipimpin oleh Marcello Hizky. Dan kita juga punya tim development, utamanya gimana cara untuk membuat produk ini lebih dikenal banyak orang, di tim marketing Visinema Studios sendiri. Apa sih kriterianya kalau mau jadi Astrobek? Atau mau jadi Bea, Beo, Cis-Cis, Cricket? Untuk pengisi suara, waktu itu, kita beberapa kali melakukan voice cast, kayak proses casting. IQ-nya diukur nggak? Sebenarnya lebih, kalau saya percayanya bukan cuma IQ yang diukur, tapi kedalaman dia merasa kerasukan karakter-karakter itu jadi penting. Bagaimana dia bisa menghidupi, karena jiwanya dari teman-teman voice cast itu sendiri. Jadi bukan suara saja, tapi penjiwaannya. Penjiwaannya, pendalaman karakternya. Menurutku itu semua jadi penting karena yang aku sama Ryan percaya, karakter ini hidup, bukan karakter yang ... kayak kita percaya bahwa Pinocchio itu hidup sama Pak Geppetto. Jadi aku merasa sama Ryan, kita harus ketemu, kita harus diskusi panjang sama teman-teman di tim produksi. Dan terpilihlah 5 orang yang menurutku tepat sekali. Dan ada satu karakter yang mengisi Odi, si awan baik hati itu. Dan menurutku, akhirnya semua nyambung, dan puji Tuhan dan bersyukur kita merasa ini proyek yang mustahil. Dulu kita punya Si Komo, kita punya Unyil, kita punya ... banyak banget. Tapi sekarang kita nggak punya dan nggak ada. Tapi gimana caranya supaya karya kita itu juga punya relevansi dan tantangannya itu tadi, oke ini buat anak-anak, tapi appealing buat orang dewasa. Apa yang mendisrupsi eksistensi Unyil waktu itu? Waktu itu mungkin memang zamannya berubah, banyak hal yang juga menjadi pilihan untuk hiburan anak dan keluarga, dan akhirnya segala sesuatu yang sifatnya organik pada waktu itu yang saya percaya, akhirnya terkikis oleh waktu dengan perubahan-perubahan cara bercerita, cara menampilkan kebersamaan dalam keluarga diubah lagi dengan konten yang sifatnya tidak interaktif. Nah, Domikado berusaha hadir lagi untuk menciptakan ruang interaksi di antara keluarga itu sendiri. Dan saya percaya, ke depannya, mereka juga bisa bersanding, bertumbuh bersama anak-anak dan keluarga Indonesia, bahkan anak-anak di dalam diri kita pun. Itu yang kita percayai di Domikado. Masing-masing karakter itu ada back up-nya nggak kalau lagi sakit tenggorokan? - Kalau sampai detik ini, belum, Pak. - Belum ada? - Jadi nggak perlu pemain pengganti ya? - Tapi sebenarnya kita perlu punya dan memang masih kita cari, supaya mereka ketemu sama karakter pengganti. Karena kita punya rencana ada banyak event offline. Bahkan kita menduplikasi puppets-nya itu juga. Nggak mungkin cuma berdiri dengan satu puppet dan mereka harus jalan ke banyak tempat. Dan ke depan, kita akan mengenalkan, di musim berikutnya, kita akan mengenalkan beberapa karakter baru lagi, dan itu harus berkembang. Nah, ini nyambung ke penyampaian Anda sebelumnya untuk gimana kita harus berskala. Kalau mau berskala, ada nggak pemikiran atau kepentingan untuk membuahkan ketangkasan? Jadi 1 orang mungkin bisa mengeluarkan 5 - 10 suara untuk 5 - 10 karakter yang berbeda. Atau kita cari 5 - 10 orang yang berbeda. Harapannya pingin banget, Pak. Tapi jarang sekali karakter-karakter yang bisa menggantikan setiap dari suara yang dihasilkan. Maksudnya, kalau kita tahu karakter Elmo pengisi suaranya berganti setelah beberapa tahun. Dan kenapa akhirnya kita pingin pakai suara dewasa karena konsistensinya itu sendiri. Kalau dari awal aku pikir, apa kita pakai suara anak-anak saja. Tapi suara anak-anak itu cenderung bisa pecah. Jadi kita cari sustainability-nya juga di tengah. Dan ketika kita coba mengisi gap-nya, mungkin yang bisa ketemu baru 2 - 3 orang, karena kemampuan untuk dapatkan mereka yang bisa mengisi suara bahkan memainkan puppets-nya itu juga sulit, Pak. - Nggak banyak di Indonesia. - Nggak gampang. Tapi kalau sudah cocok, anggaplah sudah kena banget si Astrobek, terus di evolusi berikutnya, ada karakter yang beda dan baru, bisa nggak orang yang sama diupayakan untuk memainkan karakter yang baru? Agak berat, Pak, kalau mereka harus satu frame. Jadi tetap nantinya kita harus casting lagi untuk si karakter yang berbeda itu. Tapi nggak dilarang, kan, untuk dia upaya lagi? Enggak apa. Cuma, idealnya ketika kita melakukan sebuah proses produksi, ada baiknya setiap karakter diisi oleh 1 orang, untuk memudahkan prosesnya, dll. Atau bahkan penggantinya adalah seperti karakter Odi yang kita bentuk dalam ... output-nya dalam bentuk animasi 3D yang suaranya diisi. Kalau di animasi yang kemarin kita jalani, memang voice over itu di depan. Jadi bentuk mimik mulutnya mengikuti suara voice over-nya. Ada regiment tertentu nggak yang harus dilakukan mereka supaya fit dan konsisten. - Cukup banyak. - Karena kalau ada 20-an episode, - 24 episode, kan, untuk Domikado? - Iya. Konsistensi itu jadi penting. Tapi waktu mereka akhirnya sudah kerasukan sama karakter yang mereka trans, itu jadi konsisten, Pak. Karena mereka menghidupi mereka, kan? Jadi keajaiban selalu terjadi di lokasi syuting. Jadi waktu mereka ketemu sama karakternya, apalagi mereka ketemu sama universe ini kayak di Taman Domikado, sudah saja gitu, Pak, jadi. Konsistensinya yang kita tingkatkan itu nanti lebih daripada gimana cara-cara aktingnya dibenarkan. Perlu ada modul-modul pelatihan lagi untuk memahami karakter dasar, teman-teman juga belajar bernyanyi, karena mereka bukan cuma berbicara tapi juga menyanyi juga, Pak. Jadi memang bentuk-bentuk seperti itu kita upayakan untuk kita bisa berskala. Karena ke depannya juga akan ada tema-tema yang berbeda, bahkan kita pinginnya mereka nggak cuma di studio, Pak, syutingnya. Kita jalan-jalan di taman beneran, belajar cara bikin kopi di kedai kopi, misalkan. Atau belajar memetik biji kopi di kebun kopi, misalkan. Supaya mereka lebih kenal dan dikenal juga dengan universe dan tema-tema yang nanti kita pilih. Di kolam talenta yang ada di Indonesia, cukup nggak untuk bikin 20 seri seperti Domikado? Ini ada 20 Domikado, bukan 20 seri dalam 1 Domikado. - Tapi ada 20 biji. - Sulit. Karena yang paling sulit adalah mencari core daripada IP itu sendiri. Tapi saya harap ke depannya alan ada lebih banyak lagi para kreator yang lebih bisa peduli dan lebih bisa memperhatikan konten yang baik untuk anak dan keluarga di Indonesia. Mungkin sekarang belum banyak pilihannya. Dan besar harapannya Domikado jadi yang pertama lagi untuk bisa jadi konten yang mengedepankan cara belajar yang menyenangkan, cara bermain yang juga sambil belajar, karena kadang kita lupa; sisi edukasinya lebih seru, tapi sisi entertainment enggak. Dan itu yang menurut saya core-nya itu selalu hadir dari kreatornya. Kalau Anda lagi ngopi atau ngobrol sama Ryan, skala yang dibayangkan itu berapa dalam 5 tahun ke depan? Yang pasti mimpi besar kita, Domikado itu bisa hadir dalam banyak bentuk, Pak. Karena bukan hanya sebagai tontonan audio-visual, tapi mereka akan turun dalam bentuk edutoys, gamification. Mereka akan turun lagi dalam merch yang bisa dinikmati bukan cuma sebagai koleksi, tapi jadi medium belajar dan pengerat di dalam keluarga. Karena kebayangnya, yang kita juga lagi ciptakan sekarang, edutoys-nya itu yang harusnya bisa menjadi interaksi di dalam keluarga, jadi bukan cuma asyik dipakai anak, tapi seru dimainkan sama seluruh keluarganya. Aku juga merasa harusnya dalam 5 tahun, kita berjumpa dengan Domikado dalam bentuk yang berbeda di theme park-nya. Dan akan ada banyak sekali anak-anak yang datang ke kita di kotak surat yang ternyata selama ini teman-teman Domikado itu menemani mereka bertumbuh. Dan harusnya bisa menjadi memori baik mereka bertumbuh, Pak. Karena yang kita coba kedepankan di Visinema Studios bukan cuma ceritanya, bukan cuma karakternya, tapi esensi yang pingin kita kasih ini perihal membuat cerita dengan cinta dan harapan, dan harusnya itu yang menghidupi Domikado ke depannya dan karya-karya kita selanjutnya di Visinema Studios bukan cuma animasi, tapi live action pun. Dan nilai-nilai itu yang pingin kita bawa sampai nanti. Kendala yang struktural apa untuk Anda selain talenta? Kendala yang struktural selain talenta sebenarnya produksi karena kita tahu ketika kita menciptakan sebuah karakter, kita menciptakan sebuah bentuk art installation-nya, kita jaga supaya dia bisa tahan lama. Karena kita harus bikin sesuatu yang, itu kan knockdown, ketahanannya itu nggak panjang umurnya, tapi ke depannya kalau aku, Ryan, dan teman-teman Visinema Studios punya studio yang riil, kita bisa mengajak anak-anak datang melihat kita syuting, bisa memahami teknik-teknik pembuatannya dan punya engagement yang lebih dalam lagi sama mereka. Harusnya tahun ini bisa kejadian, Pak, kalau kita punya studio shooting Domikado sendiri. Amin. Oke, di dalam Endgame, kita biasanya ngobrol mengenai Indonesia 2045. Visinema Studios itu 2045 gimana dalam konteks konten anak? Yang pasti saya percaya sama teman-teman di Visinema Studios, kita akan jadi yang terdepan untuk menghadirkan konten yang baik untuk anak dan keluarga bukan cuma dari sisi cerita, tapi dari sisi teknologinya juga. Karena kami mencoba untuk memanfaatkan teknologi baru untuk taman, animasi, atau produksi, tapi juga akhirnya kita bisa mengumpulkan banyak talenta yang selama ini kita rasa kurang. Dan semuanya itu sudah tersedia di Indonesia. Karena dari awal, aku percaya karya anak Indonesia itu banyak banget yang harus kita apresiasi lebih, dan banyak sekali talenta-talenta Indonesia di luar yang menghasilkan animasi-animasi yang luar biasa, cerita-cerita yang luar biasa. Dan 2045 harusnya jadi sebuah proyek ‘labor of love’ buat Visinema Studios. Karena saya percaya apa yang sekarang kita tanam, memang dipetiknya nggak sekarang. - Dan butuh konsistensi dan kerja gila. - Betul. Itu yang tadi yang saya sampaikan gimana kita berpikir untuk masa depan. Dan kekanak-kanakan kita itu penting untuk berpikir mengenai masa depan, bukan hanya yang fun hari ini saja, bukan yang fokus hari ini saja, bukan yang freedom hari ini saja, 3F tadi, kan? Tapi gimana ke depan. Nah, saya kalau melihat salah satu acuannya adalah Pixar. Pixar itu kalau menurut saya amalgamasi antara teknologi dan kreasi. Kalau Anggia itu ke depan akan lebih fokus ke kreasi saja atau ada unsur tech-nya juga? - Keduanya. - Oke. Mana yang lebih berbobot? Saya rasa dua-duanya. Kalau kita ngomongin teknologi tapi kita nggak punya core value-nya dari dalam; dari sisi penceritaan, dari sisi ‘spine of the story’, ‘spine of the character’ itu nggak akan meningkatkan sisi teknologinya, Pak. Makanya yang dilakukan oleh Visinema Studios sekarang adalah dari sekarang, kita coba melakukan sebuah pengembangan terhadap bentuk. Contoh di animasi, di Jumbo itu kita beneran lagi menciptakan ruang vegetasi supaya terlihat nyata di animasi. Mungkin kita memang meningkatkan sisi yang berbeda, dan menurut saya, dua-duanya harusnya berjalan simultan dan seimbang, karena kita jadi punya pandora books, ide-idenya kita saring, dari ide-ide yang kita saring, maka teknologinya yang akan membantu kita merealisasikan ide-ide kita tersebut. Menurutku, dua-duanya jadi sangat penting. Oke, kita sudah cukup berat ini ngomongnya. Tapi saya pingin mendekatkan diri dengan masing-masing karakter. Aku kenalin ya Pak. Aku akan panggil Astrobek. Astrobek ini senang banget sains, Pak Gita. Dia yang paling senang belajar sama baca buku, Pak Gita. Pak Gita, lihat ini temuan baru Astrobek. Apa ini, Astrobek? Astrobek kan suka ilmu pengetahuan dan bereksperimen, Pak Gita. - Pengetahuan apa? - Pengetahuan alam. Ini salah satu temuan Astrobek. Astrobek menciptakan alat bantu nyanyi. - Oh iya. Keren. - Pak Gita bisa nyanyi nggak? Bisa, dulu waktu masih kanak-kanak. Kalau Astrobek nggak bisa nyanyi. Aslinya kalau Astrobek nyanyinya gini "Do re mi fa sol la ti do." Kalau pakai alat bantu nyanyi jadinya begini, Pak Gita, "Do re mi fa sol la ti do." - Wah bagus banget, Astrobek. Top! Keren! Astrobek itu bercita-cita pingin jadi bebek pertama - yang mendarat di bulan, Pak Gita. - Naik apa ke bulan? Naik pesawat ruang angkasa. Cuma sampai saat ini, Astrobek berpikir bagaimana caranya bisa main badminton di bulan. Mungkin Pak Gita punya tips dan saran. Shuttlecock-nya nggak balik-balik tuh. Makanya gimana, apa cock-nya pakai pemberat. Oke, Astrobek, aku mau kenalin teman-teman kamu yang lain ya. - Oke. - Terima kasih, Astrobek. - Sama-sama, Pak Gita. - Sip. Yang ini, Pak, kalaupun kita lihat hobinya tidur, tapi dia yang paling kritis, yang paling punya empati untuk memperhatikan teman-temannya. Aku kenalin ke Pak Gita ya, sama Cis-Cis. Hai Cis-Cis, sudah bangun belum? - Halo, Pak Gita. - Hai, Cis-Cis. Kesukaan Cis-Cis adalah ketenangan di atas bantal sambil menutup mata. - Tapi Pak Gita juga suka, kan? - Suka banget. - Suka meditasi nggak, Cis? - Apa itu meditasi? Bisa dicoba. Yang Cis-Cis lakukan, tidur saja itu juga meditasi, Cis-Cis. Oh begitu. - Cis-Cis, aku coba kenalin yang lain ya. - Baik. - Halo, Bea. Bea mana ya? - Hai, Pak Gita. - Hai, Bea. - Halo, mana ukulelenya, Bea? - Iya, ukulelenya disimpan. - Oh Gitu. - Pak Gita, aku punya koleksi loh. - Apa? Ukuleleku banyak sekali, dan aku menyayangi mereka semua. Bea ini guru nyanyi Astrobek, Pak Gita. Coba Bea nyanyi, Bea. - Itu, Tangga Nada, ya. - Iya coba dikit saja. "Oh yeah ...." - Itu nyanyian Astrobek. - Oke, terima kasih, Bea. - Kependekan, kurang panjang nyanyinya. - Oh gitu. "Pagi ini aku bernyanyi... menyambut embun yang tak turun ..." Itulah Bea, Pak Gita. - Top. Paling santai, apa-apa dibawanya pakai nada dan lagu. Oke, selanjutnya, Pak, aku juga punya teman namanya Cricket. - Halo Cricket... - Halo, Pak Gita, salam kenal. Aku Cricket. Cricket itu yang paling curious, Pak, di taman. Cricket itu yang selalu menjaga Taman Domikado. - Oke. - Aku suka main sepatu roda, Pak Gita. - Di taman? - Iya, aku keliling taman. Sekalian olah raga. Pak Gita suka olah raga? - Suka. - Sukanya olah raga apa? Berenang. Cricket bisa berenang nggak? Kayaknya perlu diajarin Pak Gita dulu. - Oke sekarang yang terakhir, Pak. - Hai Beo. Aku Beo, aku bertugas menjaga kebersihan dan kerapihan Taman Domikado. Jadi kalau ada teman-teman yang tidak disiplin, Beo akan tiup peluit. Jika ada yang berantakan. Sepertinya berantakan sekali ini. Aduh gawat! Harus bersih-bersih ini. Wow! Senang bisa ketemu semuanya. Lain kali main lagi ke Taman Domikado ya Pak Gita. Pasti. Asal diundang, saya pasti datang. Nanti aku akan sambut dengan meriah. Aku akan sambut dengan lagu yang indah. Tapi yang penting, Pak Gita, Pak Gita, pokoknya jangan lupa nonton kanal YouTube Domikado. Setiap hari Jumat, jam 4 sore. Oke, teman-teman yang di rumah juga jangan lupa ya, mampir ke YouTube Domikado. Jangan lupa juga nonton Endgame, ya nggak Cis-Cis? - Kan sekarang kita lagi di Endgame. - Betul. Inilah teman-teman Domikado, Pak Gita. - Keren banget. - Terima kasih banyak, Pak. Anggia, terima kasih banget atas waktunya, dan bisa dikenalin sama teman-temannya. Jangan lupa baca buku ya, teman-teman. - Oh ya. Siap. - Aku paling suka baca buku. Teman-tema, itulah Anggia Kharisma, Chief Content Officer dari Visinema Studios. Terima kasih.