Transcript for:
Perbedaan Sastra Indonesia dan Nusantara

Masa membedakan sastra Nusantara dan sastra Indonesia. Kalau sastra Indonesia kita batasi saja pada sastra-sastra yang membedakan bahasa Indonesia. Status sastra Indonesia ini tidak hilang ketika ada sastra-sastra lain kita cekakan ke dalam. Bahasa Indonesia berdiadaptasi dalam bahasa Indonesia. Kalau disitu sastra-sastra itu selalu berkenaan dengan sastra-sastra yang menggunakan alat, menggunakan bahan, menggunakan saluran bahasa-bahasa daerah. Dari sini saja kita sudah mendapat banyaknya sastra-sastra itu. Nah kita juga membatasi saja sastra nusantara ini supaya selaras dengan sastra Indonesia. Kita batasi sastra nusantara itu pada sastra tulisnya saja. Sebab sastra nusantara karena mereka berinduk atau beribadah bahasa-bahasa daerah. Bahasa daerah kita itu ada bahasa yang semata-mata lisan, ada yang lisan kemudian memiliki tulisan, ada yang tidak ada yang pada mulanya tulis saja. Sastra Indonesia itu sastra yang sebatang karang, sastra yang nyatir piatu karena tidak memiliki sastra lisanya. Jadi sastra nyatir piatu, sastra yang tidak dilahirkan oleh pelisah. Itu ya sastra Indonesia, meskipun kemudian nanti juga melahirkan sastra Lisanya setelah dipaca di musikalisasi dan seterusnya. Tapi berbeda dengan sastra Indonesia, sastra Nusantara pada umumnya berakar pada sastra Lisa, pada kelisana, pada dunia Lisa, pada tradisi Lisa. Jadi dari sini kita mendapatkan betapa karyanya sastra Lisa. Tidak semua wilayah-wilayah Indonesia, sastra nusantara ini otomatis memiliki sastra buddhist. Ada sastra nusantara yang bisa jadi. Tapi polisat sedangkan bisa karena... Terwarjai tersalurkan, disalurkan, atau menggunakan alat berasal riset. Dari sekitar hampir seribu bahasa daerah Jepis, itu tidak lebih hanya 45-49 yang memiliki riset, memiliki aksara. Jadi terbatas. Di antara 45-49 aksara itu paling yang masih hidup. Hidup sehat itu tidak lebih dari tiga atau empat. Yang hidup sehat tapi terlalu banyak adalah sastra jawa, sastra juga, atau juga dari mungkin bugis, bugis batasan. Selebihnya aksara data, sastra data itu yang sudah mati suri lah. Disuruhi atau kalau tidak, pingsan tentang alaman tidak syukur. Ada juga yang tidak jelas antara ada dan tidak ada, seperti Rima Ujawai, itu misalnya Sastra Lampung, karena Aksara Lampung itu pernah dikenal luar biasa. Tapi sekarang setelah lulusan krakato, kita lihat-lihat. Sastra Minang, jadi telah lebih banyak masalah. Ini batasan-batasan yang perlu kita sadari sejak awal. Jadi kita memilih sebenarnya saja sastra Nusantara yang mulis saja. Jadi yang bisa dibilang apa. Supaya memiliki, kita bisa melihat juga tipe baliknya secara serasi dengan sastra Indonesia. Berbeda juga antara sastra Indonesia dengan sastra Nusantara. Kali kita telisin juga awal mula apa yang disebut sastra. Karena kalau di dalam bahasa Jawa atau bahasa Indonesia sastra, sas adalah pengetahuan. Trawel itu, trowel itu sastra, trowel itu pengetahuan. Sasnya itu mendalam, trowel, karena itu ada istilah yang terada, artinya pengetahuan. Jadi sebenarnya sastra adalah seiburan pengetahuan yang terpandai, tersangurkan, terekspresi menggunakan alat merasai. Kalau kita melihat banyak istilahnya sastra, lalu kemudian timbul istilah susastra, berarti itu sudah dipersempit menjadi yang indah saja. Pada mulanya sastra tidak hanya yang indah, sastra itu adalah yang api, yang bergoral, yang baik. Sastra itu bisa dalam arti inggah moral, inggah hak. tapi elok, ekipenik, atau yang sebenarnya disebut estetis. Tapi kemudian dilekati susastra, artinya indah. Susastra ini kalau di dalam bahasa Latin, saya kira, para Latin dan bahasa-bahasa Eropa yang mengkira bahasa Latin itu menjadi sekandan dengan literatur. Literatur, literat itu artinya tulisan, biletris. Jadi, kita bisa mengatakan bahwa Sastra modern Eropa selalu berakar, bertumpu, bermula pada tulisan, pada dunia tulis, pada tradisi tulis. Tetapi sastra-sastra Nusantara dengan sedemikian sastra variasi antar daerah namanya, itu justru berakar pada tulisan, pada dunia tulisan, pada tradisi tulisan. Mereka itu lebih luas pengertiannya. Karena lebih luas pengertiannya, maka di dalam suku ketidaknya. sastra Indonesia, sastra Nusantara, tetapi juga sastra-sastra sekitar seperti pun yang mengharminya pada umumnya yang pengetahuan yang ke dalam. Dan kalau kemudian diberi sastra pengetahuan yang ke dalam yang tidak, nah ini lebih spesial, khusus lagi, lebih khusus. Ini saya kira belum dibahas, karena itu begitu menyebut sastra, apalagi sastralisan, bahkan sastra tulis, itu pengertiannya menjadi sangat luas. Kalau sastralisan biasanya pengarangnya tidak dikenal, pengarangnya anodin. Sebenarnya bukan anodin, tidak ada nama, tapi anodin biasanya enak. Artinya pengarangnya tidak diketahui. Kenapa pengarang tidak diketahui? Karena kehidupan masyarakat itu individu itu tidak penting. Kedirian itu tidak penting. Kebersamaan yang penting. Oleh karena itu, siapa yang mengarang, itu punyaku, itu punyaku, ini hadirkan, itu tidak penting. Pada masa itu. Jadi, banyak kita memiliki Cerita-cerita lisan itu yang cerita rakyat misalnya, tidak ada pengarangnya yang komunitas itu, kelompok masyarakat itu. Sekali lagi, karena individu harus duduk pada kebutuhan, pribadi harus menjadi bagian, menjadi kebersamaan. Nah, oleh karena itulah, maka pertama-tama sastra itu. di dalam masyarakat, sebenarnya merupakan bentuk permainan jajan. Di berbagai negara, di berbagai bangsa, permainan terdua itu juga sesuai, Wisi, karena itu adalah istilah di sana, Womodens, makhluk yang bercerita. Manusia itu makhluk yang bercerita. Manusia itu makhluk bercerita yang disebut Womodens. Yang disebut makhluk yang berpikir, umuh sapian itu ya, akhir-akhir ini setelah manusia merasa terhormat dan merasa agung saja. Tapi pada mulanya manusia itu menyebutnya makhluk pencerita saja, makhluk yang bercerita. Nah, cerita-cerita ini, umuh ludus itu makhluk yang bermain, tapi bermain dengan cerita. Jadi, umuh ludus dan umuh fabulus. Jadi dua itu yang pertama ada, sehingga yang namanya kerja itu juga tidak sesetra sekarang. Belajar itu tidak sesetra sekarang. Yang belajar, bekerja itu yang bermain dan berceritain. Itulah sebabnya sastra puisi itu bentuk permainan tertua. Itu bisa dibaca dalam bentuk yang isinya Bukodonja. Kita juga masih sering melihat misalnya tentang Tuhan Tuhan, kemudian ada taktuk penan, sebenarnya Tuhan Tuhan Tuhan. Nah, kita kalau dulu, mungkin saya masih menikmati, Tuhan pencang, penyambit rumput, pengembala, itu yang pasti bersastra, puisi. Namanya berpacang-pacang, tapi sekarang tidak hilang. Nah, oleh karena itu, sastra itu bukan sebuah keistimewaan. Sastra itu bukan sebuah keakungan, sastra itu bukan diciptakan oleh orang yang dengan gaya tertentu, cara hidup tertentu. Sastra, penulis sastra, pembuat sastra, pencipta sastra adalah masyarakat, bukan masyarakat tertentu, biasa saja. Tidak lebih, tidak lebih. Jadi masyarakat tidak... Memberi tanda-tanda khusus untuk masa berikut ini kita sangat jauh. Itulah sebabnya kita melihat ketika masa-masa itu sudah bernama, nama itu mulai dikenal, sastra itu juga tidak dikutus oleh orang yang namanya sastrama. Ternyata tidak. Lebih seperti hanya bentuk-bentuk. untuk kesenian tradisional lainnya, seperti udruh dan seterusnya. Pemain udruh itu ya bisa jadi kurdi basah, bisa jadi sama. Di berbagai tempat penulis sastra, pencipta cerita, itu juga masyarakat biasa yang selalu... Jadi akan sehari-hari pekerjaannya bisa berbagas. Nah, tidak menggerakkan ini kemudian, jangan pakai drama saja. Misalnya di Jepang, nomor pertama itu dikemas oleh seorang petani. Jadi petani saja pekerjaan. Tidak lebih, tidak kurang. Jadi bukan orang-orang yang kuyak khusus, khusus buah, juta. Di bagian sebenarnya Jakarta ada yang khusus buah, tidak juga. Biasa. Nah, Ramayana Mahabharata itu di dunia sudah. Kalpiki itu malah tidak pernah menyebut sebagai penulis. Ia penceritaan saja. Kalau menurut kisah, dulu ada tradisi, apa yang kisah, setengah kisah, itu ada tradisi bahwa penulis atau pencerita itu selalu meminta maaf. Itu etikanya, itu bagian estetika, itu bagian dari keindahan. Keindahan seorang penulis pertama-tama itu harus meminta maaf, berendah hati, dan tidak boleh mengperan. Inilah cerita. Inilah waktu lidah. Halmi Ibu, pencerita ramaiana itu juga mengaku sebagai pencerita. Setelah mendapat cerita dari seorang resi di sebuah rumah, dia menceritakan kembali saja. Padahal mungkin juga tidak. Tapi itulah yang namanya ugabu, yang tingkat, yang tetap ramai. Dan itu bagian dari keindahan. Sampai kemudian, ini diserap oleh sastra-sastra setengah kubis. Sastra-sastra Jawa abad 16, 17, 18 itu pasti. Komisnya masih tetap merendahkan diri, merendahkan hati, merendahkan hati. Nah ini pada mulanya begitu masyarakat. Tapi kemudian sebagai bentuk permainan, ini bergeser, bergembang, menjadi ritual. Karena itu ritual, ritual spiritual, ritual keagaman orang-orang. Itu menggunakan sastra. Doa bukan sastra. Karena itu ada istilah sutra dan sutra. Nah ini saya kira fungsi-fungsi apa. Nah fungsi sebagai, itu kedua. Fungsi sebagai ketiga, ini doa itu baru. Fungsi rekaan, rekaan dan doa. Nah saya kira itulah. Fungsi yang awal dasar sebagai ritual tentu bermacam-macam. Nah karena itu dari bagian masyarakat. Ketika fungsi ritual itu sudah menjadi penting, maka sastra itu dianggap penting juga. Bahkan kemudian sastra itu dianggap pilar ketiga dari papanan negara atau masyarakat. Tegak, tegak, runtuhnya negara itu juga memerlukan pilar sastra seni, lebih luas lagi seni, lebih luas lagi. Itu selalu. Nah, sebelum abad-abad modern dan sebelum sastra Indonesia ada, biasanya fungsi ini cukup dominan. Fungsi ini cukup dominan. Fungsi sebagai fungsi sosial-politis sebenarnya ya fungsi ritual kemasyarakatan. Fungsi ritual itu bisa ritual kemasyarakatan, bisa ritual ya sebabnya kenegaraan atau politik. Nah, itu semua. Kalau di Indonesia itu sampai abad 17-18. Masih cerita kita tidak usah melihatlah itu yang seram-seram ya, ceritanya Yerorok Idul itu baru ada abad 18. Jauh sebelum itu tidak ada. Jadi ceritanya Yerorok Idul, kanjeng Ratu Idul itu baru ada ketika Mataram berdiri. Artinya apa? Ketika demak berdiri, ketika demak berjaya, ketika pajak berjaya, ceritanya Yerorok Idul itu tidak ada. Dalam babat demak tidak pernah diceritakan ada mitos ceritanya Yerorok Idul. Nah, itu baru ada zaman Mataram. Kalau kita baca babat demak, juga tidak ada namanya Uga Uguing Bos. Bahasa Jawa ngubu, kelomo itu juga tidak ada. Semuanya ngubu. Kalau kita baca dalam Bapak Demah, dialog antara Arya Penangsa yang menantang Sultan Tenggono, raja Sultan Tenggono itu, berlangsung dalam bahasa Jawa ngubu. Salah satunya sama-sama menyapa di sana. Jadi pertengkaran itu saling usahakan di sana. Misalnya itu kan sama saja dua sama alamnya, pohon. Pohon itu sesama, meskipun itu raja dan panjang-panjang juga masih keturunan. Panjang baik juga, terangnya juga. Nah setelah panjang itu kan, kemudian dikudeta oleh para petani. Sebenarnya panembacana-panjansurusnya ini para petani biasa. Yang kemudian mengkudeta. Terah-terah dari demak macam lain itu, disitulah perlunya menjaga jarak. Supaya dianggap sakti, bernibawah, menguasai dunia gaib, itulah maka dicetakan mitos, dicetakan cerita Nyai Roro Widur, Kanjeng Ratu Widur, Penguasa Ratu Selatan itu saja menjadi istrinya Raja Mataram. Sehingga diharapkan ada jarak dan orang tidak berani macam-macam. Nah ini... Ceritanya, ya itu sebenarnya diikuti juga sampai kita punya Presiden Pak Hartawa, itu kan sebenarnya ya petani biasa, tapi kemudian lo dirangkir-anggir cerita, itu hal yang lumrah. Di dalam masa-masa yang lalu memang sastra salah satu fungsinya untuk melukukkan tantangan negara. Nah oleh karena itu sastra, itu juga mengandung cerita sejarah dan seterusnya, saya nanti kapan-kapan lah kita bercerita, tapi itu lah. Fungsi-fungsi yang sastra. Nah, ketika sastra itu beradaptasi dengan tulisan, wujudnya tulisan, itu maka sastra juga kemudian beradaptasi tulisan. Tulisan itu ada dua. Tulisan yang memang dibaca secara hending. Secara hending di dalam ruang sepi, di ruang yang terbatas. Dan tulisan yang harus dibacakan di dalam panggung. Sebenarnya sastra-sastra Nusantara itu sastra yang tertulis tetapi harus dipecahkan, harus dipertunjukkan, harus dirisakan di dalam pak. Karena itu kadang disebut manuskrip, bukan sastra tulis penuh. Karena tetap harus dibacakan. Ya, dopat, wawancari sudah. Kemudian di Madura, kemudian di Bali, tetap saja. Kalau di Bali, cara membacakan, melisankan sastra, atau sekarang disebut mungkin gramatisasi atau diplomasi, maklum bahasan, mausat, macam membaca dan seterusnya, itu adalah gani-gani membaca. Kadang juga menggunakan alat-alat, karena itu dikenal namanya tumpang futur. Tukang kultur itu sebenarnya bagaimana sastra kulis, bisa juga sastralisan yang memang diingat kemudian diceritakan kembali, bisa juga sastra kulis, naskah yang kemudian dikecapkan, bisa juga itu. Tapi kalau tukang kultur, tukang kultur itu lebih dominan sastralisannya, sastralisantaralisan. Jadi kalau misalnya di Sumatera dikenal Syair Abdul Mulo, itu kan diceritakan. Tadi ada musibat yang terbang begitu, ada makyong, kalau kemudian di banjar itu ada sastra banjar itu membawa terbang, terbang kemudian dikitabu sesuai dengan irama itu, irama yang menitukan putus. disebut Madihi dan di Toraja disebut Kadatumina. Itu adalah cara-cara membaca jadi lisat. Tapi ada juga yang sudah memang dibacakan. Kebanyakan begitu sastra-sastra. Nah, ini lumayan banyak. Mungkin lebih dari 40 sastra. Pusatara di Indonesia memiliki tradisi itu. Tetapi ketika tulis dalam arti di tulisan yang ening, dibaca secara ening di ruang tertentu, di ruang sepi, perkus, dan sebagainya, itu tidak raya. Paling yang bisa itu. Itu kan sastra Melayu, Selamat, sastra Sunda, sastra Jawa tentu, sastra Madura sebagainya. Kemudian Bali, kemudian Bugis, Makassar, Lantaran. Kemudian Buton itu tiba-tiba punah. Tata tiba-tiba juga punah dan seterusnya. Jadi tidak banyak yang bisa menyelamatkan diri ketika terjadi perubahan aksara. Bahkan kemudian sebagian besar itu nyaris pingsan. berhenti disitu atau mati suri ketika harus bergerak lagi dari aksara-aksara yang bersutu kata yang visual yang harus ditatap beralih ke aksara yang latih jadi tidak banyak Karena perubahan-perubahan nasara itu. Tapi penumpinnya sebuah sastra di, sastra publis dalam arti naskah di Indonesia itu terlibatnya disebabkan oleh bencana alam. Dan ini umum di dunia. Sastra Bimora itu luar biasa, tapi hilang. Nyaris tak terbekas. Itu akibat letusan Gunung Tanggora, 1829. Habis. Padahal memiliki aksara sendiri, memiliki sastra. Tetapi kemudian digali-digali ya ada sekarang bekas-bekasnya dilantarkan secara sosial dengan orang-orang asing. Ada juga orang lokal. Bersang Haji, kemudian Syahir Bima itu tidak begitu gede. Jadi Bima itu pernah menjadi sebuah pusat kebudayaan, pusat keselesteraan yang luar biasa. Tapi kemudian hancur lembur akibat memusat penumpang. Samawa itu juga pernah menjadi pusat kesusasteraan yang luar biasa, pusat kesusasteraan, tetapi juga hilang tak terbekas. Aksara Munjo itu praktis tidak, tapi sastralisannya masih. Buton itu juga pernah menjadi pusat kesenian, pusat kebudayaan, pusat ekonomi, tapi juga hilang tidak terbekas, bisa saja kejadian. Di dataran itu, kita misalnya di Aksara Lampung, Naskah pertama dan mungkin paling awal ditulis untuk kesaksian peletusnya Bino Krakato, itu kan dalam bentuk karya sastra Panko, dan itu ditulis dalam maksara Lampung. Tapi ya, Aksara Lampung siapa yang tahu sekarang? Ya ada, jejak-jejaknya itu ya ada, tapi tidak ada yang mengejarkan. Nah ini beberapa ilustrasi pendek-pendek sasar-sasar. Nah, kalau dilihat dari tulisannya, Indonesia ini mengenal tulisan relatif baru. Tulisan yang dikenal itu baru akan keempat. Tapi tulisan itu bersuku kata, tidak aksara latin yang huruf, karena huruf Jawa, huruf Arapeton, huruf Bugis, huruf Uju itu punya hurufnya sendiri. Tetapi tertual itu tertual, sekarang sudah tidak ada yang kita subit, yang ada bekasnya. Yang dipakai di perancang sedikit jauh awal itu di Sumatera, kemudian di Jawa itu kan, Jawa, sastra Jawa, muka Jawa itu kan berpulang dari tulisan. Jadi, kisah Aji Soko. Wondon Coroko itu sebenarnya mitos atau etnis, suku-suku yang menaungi sastra-sastra itu, menaungi asal-usulnya, sejarahnya itu dari tulisan. Jadi, kalau sekarang itu yang... Dalam masa yang lebih muda ya, sekarang pada waktu ini saya sebut lebih muda Islam, karena Islam baru punya ukuran 600-an ya, itu kan dimulai dari iklan, bacaan. Semua budaya besar di Indonesia, di Nusantara ini sebenarnya mulai dari iklan juga, dari tradisi. Mari kita ambil contoh yang paling besar, misalnya yang sangat khas Jawa itu dimulai dari Manojoroko. Dan selanjutnya kisah tentang itu. Jadi mitologi eksara di Jawa itu mitologi Manojoroko. Nah ini bisa menjadi modern di Melayu juga, hanya Melayu kan. lebih tegak sekali. Nah ini saya kira sastra. Oleh karena itu sangat luas apa yang kita sebut sastra Nusantara itu. Karena bisa mencakup berbagai bahasa, mencakup lain. Nah, tidak semua daerah di Indonesia memiliki Kantong-kantong atau istilah sekarang komunitas sastra yang luar biasa. Mari kita sebut beberapa sajaran. Nah tentu yang pertama Melayu. Melayu, komunitas kantong. tradisi yang luar biasa. Selain selain lisanya, juga tulisnya menjadi luar biasa. Nah, Melayu inilah yang kemudian menjadi titik pangkal tonggal munculnya sastra Indonesia. Karena sastra Indonesia itu bermacam-macam bermacam-macam. Teorinya atau pandangannya, tetapi marilah kita melihat Sastra Indonesia itu, tadi yang saya sebut sastra yang yatim pihak Karena tidak memiliki aksara masa lalu, tetapi juga tidak memiliki masa lalu tradisional, tradisinya Sastra Indonesia itu dinyatakan hadir bersamaan dengan apa yang disebut kemodernan Nah kemodernan itu dihubungkan dengan persentuan dengan Eropa Persentuan dengan Eropa berarti juga persentuan dengan kolonialisme. Nah, itu maka, kalau itu yang dijadikan tanda, maka cikal bakal sastra Indonesia itu adalah sastra-sastra abad 18. Terutama kita bisa mengambil, tahu nggak, karya-karya Kadir Munci. Sebenarnya Munci ini ya ahli ta'asa dan ahli sastra. Namanya ya Adil Kadir. Jadi kalau kita itu ahli bahasa atau ahli sastra, namanya munci. Ya kata ahli itu kan juga baru. Ahli bahasa, ahli sastra itu baru. Kalau kita ingin menggunakan istilah yang lebih bertradisi mengangkatnya, hal geni, munci sastra, dan hal geni, ragil, seorang munci, dan sebagainya. Tetapi istilah ini tidak dikenal. Kita lebih mengumut istilah ahli yang... Artinya lebih umum dan lebih gelap. Iya. Kalau kunci jelas hubungannya dengan bahasa dan sastra. Kalau ahli, ahli tidak selalu sarjana juga. Buktinya ya ada ahli gigi. Ahli tambal ban. Ahli tambal ban juga. Tapi itulah zaman. Tapi saya ingin memberi titik. Barisnya, titik terakhir adalah kemudian pertama itu adalah karya-karya ahli-ahli kategori kunci. Jadi Abdullah bin Abdilqadir Munsyi itu karena menulis dengan, dia sudah bersentuhan, kita tidak perlu mengakibatnya apakah dia sebenarnya pembelah kolonialis dari dunia, pembelah kolonial itu tidak. Tetapi dia yang bisa masuk di dalam lingkungan kolonialis, yang kemudian bisa menulis cerita-cerita perjalanan yang bersentuhan dengan kemudian lain. Tetapi tentu tidak hanya itu, yang priu sastra Indonesia tidak hanya itu. Itu yang pertama, jadi tidak ada jalur tunggal. Seperti sebuah muara, sebuah sungai yang mencari muara, yang nanti bernama sastra Indonesia. Sastra Melayu yang dilapor oleh Abdurrahman bin Abdul Qadir Munsyi itu adalah sungai yang pertama. Kita tidak bisa menolak dan meniadakan, menantik, membuang, menumpakan jasa-jasa para... Menulis keturunan Tiongkok, mereka sudah menulis di dalam bahasa Melayu Peranakan, itu awal-awal abad 19. Bahkan karya terakhir, karya balik awal, itu akhir abad 18. Jadi sudah menjelang abad 19. Mereka sudah menulis cerita, mereka sudah kemudian menulis wakil. Meskipun sekali lagi yang dimaksud sastra itu adalah segala pengetahuan dunia alam. Pengetahuan dalam itu pengetahuan filosofis, pengetahuan dari murani dan sebagainya itu secara... ...ulis di dalam bahasa modern, itu tidak bisa kita tolak. Kalau dilihat dari produktivitas, kita biasanya di sekolah dikenalkan ambilio sastra Indonesia itu Balai Pustaka. Kalau kita telek Balai Pustaka, dibanding... Jumlah karyanya itu kalah jauh. Dari pustaka itu karyanya tidak ada sekukujariah karyak-karyak peranakan pion. Karena kalau kita ukur sampai hari ini, mungkin tidak lebih dari seribu. Atau kalau dimulai awal dari pustaka sampai tahun 60-an, itu tidak lebih dari 300-400 biji novel atau cerita. Sementara karya peranakan Tionghoa itu diperkirakan 15.000. Jadi jauh lebih luar biasa. Tapi mungkin karena fakta-fakta politik, ekonomi, dan sebagainya, kita melihat itu terjelang. Tapi luar biasa kan? Apakah mereka ditenggelamkan itu tidak nasionalis? Ketika dari karya sastra awal Indonesia itu gegap-gegap kita merusuk pengetahuan tentang nasionalisme, itu sebenarnya... sastra-sastra Pranaka, Tionghoa itu luar biasa. Pengusung rasionalismenya juga, mengkritik kolonialismenya. Itu yang sungai yang kedua, yang nanti semuanya akan berluara ke dalam sastra Indonesia. Kita lupakan dulu sastra Nusantara. Nah, kemudian yang ketiga, kita praktis melupakan dan mengubur dalam-dalam peranan. Orang-orang yang tidak jelas secara hukum, secara hukum ramai, yaitu anak-anak para buddha dari para kolonialis Belanda. Jadi kan kita tahu apa Belanda itu, sedadu Belanda atau warga Belanda, pokoknya orang Belanda datang ke Indonesia, para buddha-buddha datang ke Indonesia. Rata-rata anak muda, pemuda, rata-rata laki-laki pemuda, perumahannya 30 ribu. Jadi mereka datang ke Indonesia ini dalam arti kerombongan besar, berkelembang, sebagian besar laki-laki. Nah, Gubling itu kan juga dari Belanda karena para pemuda ini lama-kelamaan juga dewasa, membutuhkan istri untuk dipegang-pegang, dipeluk-peluk, tidak ada akhirnya tercipta Gubling. Ya, karena Gubling itu disebut pacar Belanda. Ya, Gubling itu istilah lainnya adalah pacar Belanda. Tapi ternyata selalu bermesraan dengan pacar Belanda juga tidak enak. Lalu mulailah para kolonialis. Belanda itu mencari perempuan-perempuan lokal yang kemudian disebut kudin nyai. Kita mengenali dalam buku manusia nyai otosuara. Tetapi di dalam sastra peranakan piong luar itu cerita pernyanyian dan tergundian itu banyak. nyanyi di Semang, terus dari Cikembang, cerita-cerita perbudian, pernyanyian. Tapi saya tidak ingin bercerita itu dulu, saya ingin bercerita ini. Nah, belanda-belanda yang kemudian kahwin dengan perempuan-perempuan, Perempuan lokal itu memang dari sisi status anak-anak yang dilahirkan itu dianggap warga Eropa, warga Belanda. Tapi si perempuan yang lokal ini tetap tidak jelas. Dia sekedar penguas nafsu saja dan dihidupi secara ekonomis, tapi semuanya harus tahu pada sebagai budak jajanan. Anaknya tetap diakui sebagai warga Belanda secara hukum, karena itu analis kan tetap dianggap Belanda. Tetapi tidak hanya itu, kita memiliki pening apa ya, kita memiliki pening. Sebenarnya menemukan beratus-ratus beribu-ribu keturunan Belanda, keturunan Hidia Belanda. Mungkin berpuluh-puluh ribu. Saya ingin menyebut salah seorang yang sangat tertemukan di bidang kritik sastra Indonesia dan penjaga gawang budaya Indonesia, namanya Degartoko. Degartoko itu anak seorang Belanda. Rangus internet sudah administratur perkebunan, administratur pabrik gula, jati roto. Yang kemudian ayah di Ketokoh berada di Rangus. Ayahnya administratur perkebunan itu berada di Rangus. Mencari perempuan lokal di sekitar Jatiroto itu, kemudian melahirkanlah Jekartopo, salah seorang di antara. Tetapi kita menemukan banyak orang seperti Jekartopo. Dan mereka menulis novel Novelnya unik-unik Saya ingin menyebut satu saja Taman KTKT Taman KTKT Itu salah satu Saya kira salah satu yang salah satu sastra hidia Belanda yang saya senangin, saya senangin, saya senangin. Kemudian ada Suplof yang menulis tentang pertumbuhan dari serdak. Ada kemudian judul Pulikontra, maafkan saya, ya Suplof juga terbiasa. Nah, ada banyak yang lain. Ini sebenarnya yang mengilhami struktur cerita novel ini yang saya ingin saya hidupkan. Belanda tidak banyak menulis wisi, seharusnya ya. Paling tidak data yang saya miliki tidak. Novel-novelnya itu yang tersebut. Nah, cara berceritanya ini kemudian yang memiliki kami sebuah novel, sebuah cerita yang pendulian legendaris di Indonesia, Max Lefran. Max Lefran itu sebenarnya kalau ditelusur dari cerita-cerita yang biasa ditulis oleh Taubidia Belanda, Tidak ada yang tersebut. Tapi orang-orang yang masih kaya, atau takdirnya karena itu merendah ke dunia. Sebenarnya polanya seperti pola-pola penulisan India-Belanda pada umumnya. Jauh seperti itu. Belanda, maksudnya Indonesia ini kan juga selain sebenarnya kan berdagang, kan juga membawa tradisi tulis. Betul-betul tradisi tulis. Karena awal abad 17 itu sudah ada koran. Saya pastinya nanti perlu cek, saya tidak bisa, saya lupa. Tapi awal-awal 2017 itu sudah ada koran, ada sedikit manjara tipis di Rumpaya, karena mereka sudah mulai aksara, mereka sudah masuk di dalam revolusi kutelbang, revolusi cekak-mencekak. Di awal 17 itu sudah ada koran di Semarang kalau tidak salah. Semarang dan Ujjah Kampung. Nah, disitulah kemudian dibuat cerbang-cerbang. Jadi kamu pilih Belanda, turunan Belanda peribu itu juga sudah menceritakan 08.17. Itu saya kira sungai ketiga dari muara yang nanti saya... sastra Indonesia. Itu yang lama jadi agak. Silahkan. Bagaimana sastra Indonesia itu asal-usul sejarahnya dimulai abad 20, kolonialis, atau dimulai dari Melayu, dimulai dari Yahwah. Yahwah jangan, kalau kita baca karya-karya peranakan Tiongkok, itu rasionalisnya luar biasa juga. Rasionalisnya luar biasa. Nah, itu yang... Lalu kita juga melihat sastra-sastra yang jelas India Belanda ini ditulis oleh kaum peranakan India Belanda. bercerita tentang sebagian besar, itu kebimbangan kultural, kalau bisa saya sebut, kebimbangan budaya, atau peranakan itu. Nah, oleh karena itu juga tidak disuai oleh kolonialis. Jadi nasibnya sama, peranakan yoga juga tidak disuai oleh kolonialis. Nah, kemudian... Yang Melayu, ya apa lagi? Nah, karena itu Belanda mencoba melakukan dalam perangkat putri ini, kalau politik-politik penjidatkan, politik pengendalian cerita ini. Di situlah maka dibuatlah Komisi Percayaan Rakyat. Jadi rakyat jangan membaca percayaan-percayaan. Peranakan yang berat, jangan bekerja Melayu, jangan bekerja yang didiam Belanda. Ini harus dikendalikan karena bisa bertahaya. Di situ saya kira awal mula berdirinya Komisi Bacaan Rakyat. Komisi Bacaan Rakyat ini kemudian dari berubah menjadi Balai Mustaka. Nah, Balai Mustaka atau Komisi Bacaan Rakyat ini yang kemudian mengendalikan seluruh bacaan, termasuk bacaan sastra di Indonesia. Nah, akibat politik. Pembelian segala yang sesuai dengan kebijakan Belanda di Indonesia akan diterbitkan pada kustaka atau komisi bacaan rakyat dan itulah yang kemudian disebut disahkan, diaksahkan, dilekalkan, dikuatkan sebagai amal mula sastra Indonesia pada kustaka itu. Tetapi ketika komisi bacaan rakyat ini sudah berdiri dan mulai... mulai berpasa begitu, sesungguhnya ada karya-karya sastra di luar itu yang tetap ditulis dan dicetak, disebarluaskan. Ditulis, dicetak, disebarluaskan. Di antaranya misalnya yang, pokoknya tidak sesuai dengan kebijakan Komisi Bacaan Rakyat dan Balai Pustaka, makanya akan disebut bacaan liar. Bacaan liar. Pada suatu ketika, akhir abad 19, awal abad 20, itu menjadi pusat keselastraan. Pusat tulis-menulis, pusat jurnalistik juga. Bacaan liar itu tumbuh berkembang di medan. Disebut liar semata-mata karena tidak sesuai dengan kebijakan Komisi Bacaan Rakyat atau PNB Spadakati. Isinya. Selain itu kemudian diperdagangkan secara sebut-sebut, dijual secara sebut. Kalau tidak dilarang, kita tidak. Nah, bacaan-bacaan liar ini apakah isinya sepilih atau tidak, silakan sekarang kita cek. Yang jelas isinya tidak kalah dengan karya-karya balik ustada. Nah, di dalam rombongan gerbong bacaan liar itulah ada rombong gerbong yang ada. Itu mungkin tempat. Ada di malam, memang titulis oleh... Pionir-pionir nasionalis Indonesia yang memang berjuang melalui tulisan. Dan tulisan itu yang penting dua saja, bukan karya ilmiah. Tapi karya jurnalistik dan sastra. Nah karena inilah pada awalnya, sastra awal-awal 1920 itu profesinya rata-rata dua. Ya wartawan, ya sastrawan. Ya jurnalis, ya penulis. Nah disitulah saya ingin antaritawan di Suria. Aku jauh. Saya kira mingke di dalam bumi manusia itu adalah prototipe seorang Teta Atisuryo yang telah melibat. Jadi kalau Handung kemudian menganggap itu besar cinta, ya. Ini bukan tanya-tanya cinta. Tapi mingke itu adalah prototipe, metafor dari Teta Atisuryo. Teta Atisuryo adalah jurnalis nasionalis yang awal, generasi awal Indonesia. Selain Tertulis Surya tentu ada yang lain. Dan disitulah karya-karya Ikayat Katirun, Ikayat Katirun, kemudian Skudon Ijo. Semuanya pasti berhubungan dengan persepuan dengan kemudahan. Tapi bahwa sastra Indonesia apapun yang ditulis oleh akar-akar pun dari original karya-karya Indonesia. Intinya bersentuhan dengan kemoderna, yang kedua kehidupan modern, kemudian bersentuhan dengan menghakimi dalam karya politik, memberikan kritik dan perhatian. hitungan habis-habisan dengan yang disebut tradisi. Ini berbeda dengan lain. Nah ini yang lain. Nah apakah sepenuhnya demikian? Beda juga sebenarnya ada inspirasi-inspirasi lain. Nah di tengah-tengah itu sebenarnya kita memiliki, jangan dikepakainya, kita memiliki hubungan pelayaran atau komunikasi yang lancar dengan berbagai perkembangan. tempat-tempat itu baik Eropa maupun Asia. Karena itu sebenarnya banyak sastra Melayu, banyak sastra Nusantara, bahkan sastra terjemahan awal seiring dengan munculnya Balai Bustaka seperti Anak Sarang, Perawan di Sarang Penyambung, kemudian Siti Nurban dan sebagainya. Itu juga banyak muncul karya-karya. terjemahan. Nah kalau karya-karya terjemahan ini juga kita anggap, mari kita akui sebagai warga sastra Indonesia, itu juga cekal bakal sastra Indonesia. Rasanya kalian itu teori sebab. Sekarang mestinya harus kita arah-aruh sebagai sastra Indonesia. Apabila dengan mempunyai sikap mulai dinaturalisasi, sebentar ya dianggurkan negara Indonesia. Tapi ini sastra tidak. Kenapa sastra tetap dianggap ikandal sudah disandur begitu rupa? Dan itu jumlahnya banyak. Tetapi tidak hanya sastra Eropa. Saya sebut saja sastra Eropa, sastra Asia. Asia Maret dan sastra Asia Ibu itu juga disadar, diterjemahkan di berubah ulang begitu rupa sampai-sampai mungkin kita tidak sadar kalau itu sebenarnya karya perubahan sebenarnya angka banyak melakukan itu panggilannya kapal van der Weest itu mirip manfa negeri, tapi sudah diulas airil anwar juga begitu luar biasa cara mengadaptasinya atau menyadunya sehingga orang tidak pernah tahu kalau banyak puisi kaitan anwar itu juga puisi-puisi akatan 1880 di Belanda itu satu tiba kita tidak usah mengakibatkan, oh pelabiasi dan sebagainya itu kan mainan kita sekarang masa lalu tidak memerlukan itu karena ilmu pengetahuan informasi untuk dibagi bersama-sama demi kehidupan bersama jadi banyak terima kasih bukan dalam sastra Indonesia, sastra Indonesia, sekatakannya sastra Melayu, karena itu terjemahan-terjemahan nuklal-nuklal Perancis abad 19, Inggris, Islandia, Irlandia abad 19, itu banyak di dalam sastra Indonesia. Nah, itulah mungkin yang membuat, mengapa, nasionalis-nasionalis atau perintis-perintis kemerdekaan kita itu punya cipta rasa sastra yang kuat, karena memang kaca hanya bersedia, itu menjadi pembian. Tidak hanya Eropa, tidak hanya Eropa, tentu Asia Barat, yang saya sebut Asia Barat itu tentu kasana-kasana yang menggunakan sebutlah bahasa Arab, banyak sekali. Ini tidak hanya ke dalam bahasa Melayu, bahasa Indonesia, tetapi juga bahasa-bahasa daerah yang menjadi wadah bahasa Nusantara. Di dalam sastra Melayu. Itu tentu saja, selain karya-karya asli dari Hamsa Mansuri, Raja Ali Haji, kita juga melihat sebenarnya karya-karya bahan, sandungan yang sudah. Saya kira hari-hari ini masih diributkan, sedikit diributkan dimensasi ini. Apakah hikayat Dayan Budiman dan cerita Dayan Budiman itu sama-sama? Sama, itu asalnya dari Timur Tengah ke Asia Barat, saya sebut saja Asia Barat. Karena kalau melihat posisinya kan memang Asia Barat. Kita sebut Timur Tengah karena kita raguna, raguna arah. Kita menyebutnya seolah-olah di Eropa. Kalau orang mereka menyebutnya memang Timur Tengah. Tapi kalau kita menyebutnya mestinya Asia Barat. Nah, itu banyak sekali. Nah, Sastra Melayu juga begitu. Greece juga begitu. Terutama Sunda, Jawa, Medura. Itu misalnya tanpa menguranginya, tanpa mengurangi kehebatan, keluargaan, tanpa harus menggoyang sedikit pun kedudukannya yang pokok di dalam dunia sastra, kita bisa menyebut sebagian besar karya Ranggawarsito. Ujaga paling hebat Jawa yang ditakdirkan, sebagian besar karyanya sebenarnya saduran bahan ulang dari karya-karya Al-Bazani. pilih didaya jati yang menjadi kita pegangannya saudara-saudara kita, penganut kejauhan itu 90% 90% lebih itu saduran dari didaya turhidayanya Al-Masjid silahkan nanti