Transcript for:
Sejarah Kerajaan Majapahit dan Raden Wijaya

Sejarah Berdirinya Majapahit Majapahit adalah kerajaan yang terakhir dan sekaligus yang terbesar di antara kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara, didahului oleh kerajaan Sriwijaya yang beribu kotakan di Palembang di Pulau Sumatera. Kerajaan ini dirintis oleh Raden Wijaya, yang merupakan keturunan keempat dari Ken Arok dan Ken Dedes. Sebelum Kerajaan Majapahit lahir, telah berdiri terlebih dahulu pada tahun 1222 Masehi Kerajaan Singosari, yang pendirinya adalah Ken Arok yang berpusat di Malang, Tumabel. Penelusuran terhadap lahirnya Kerajaan Majapahit tidak terlepas dari keberadaan Kerajaan Singosari Tumabel. Begitupun kalau kita menelusuri awal bersatunya Nusantara, tidak bisa terlepas dari kiprah Majapahit. Artinya keberadaan Singosari, Majapahit, dan Nusantara adalah sesuatu yang bersifat integral dan tidak terpisahkan satu sama lain. Dalam sejarah bangsa Indonesia, Majapahit memanglah hanya satu di antara banyak kerajaan yang pernah berkembang di dalam tubuh bangsa persatuan yang kini disebut Indonesia ini. Walaupun demikian, sejarahnya patut disimak dengan cermat karena kelebihannya, cakupan teritorialnya yang paling ekstensif, durasinya yang cukup panjang, serta pencapaian-pencapaian budayanya yang cukup bermakna. Diawali dengan rintisan di masa Singasari, yaitu masa Pramacapahit yang mempunyai kesinambungan dinastik dengan masa Macapahit. Perluasan wilayah dilanjutkan dengan mencakup daerah-daerah yang lebih luas. Pada masa Singasari, negara-negara yang disatukan di bawah koordinasi kewenangan Singasari adalah Madura, Lamajang, Kadiri, Urawan, Morono, Hering, dan Luar. Semua mengacu pada daerah-daerah di Pulau Jawa Timur dan Madura. Untuk lebih jelasnya, sebelum mengerti sejarah Majapahit akan diorekan terlebih dahulu sejarah berdirinya Kerajaan Singasari, yang merupakan jikal bakal berdirinya Kerajaan Majapahit. Sejarah berdirinya Majapahit dimulai dari perintah dari Raja Singasari. yaitu kertanegara yang memerintahkan Raden Wijaya untuk menghalau serangan tentara Kadiri di Desa Memeling. Raden Wijaya di Desa Memeling berhasil menumpas musuh. Candi Waringin Lawang diperkirakan sebagai Gapura Majapahit. Dengan puas tentara Singosari kembali menuju ibu kota, betapa terkejutnya mereka. Ketika sampai di perbatasan sorak-sore tentara musuh yang telah berhasil merusak keraton Singasari, Raja Serikerta Negara Gugur, Kerajaan Singasari berada di bawah kekuasaan Raja Jayakatwang dari Kadiri, Raden Wijaya berusaha menyelamatkan apa yang masih mungkin bisa diselamatkan. Mereka dengan gagah berani menyerbu ke dalam istana, namun karena jumlah tentara kediri yang begitu banyak, maka usaha tersebut tidak berhasil. Raden Wijaya kemudian dikepung oleh Patidaha Kebumundarang, sehingga akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri. Raden Wijaya dengan pengikutnya Lembu Sora gajah pakun, medang dangli, malu sawah gal, nambi, banyak kapu, kepu, kapat tengan, wirota, wiragati, dan paman dana lari melintas sawah yang baru habis dibajak. Ketika hampir terlambat, Pertangkap oleh Patih Mundarang, Raden Wijaya memancar tanah bajakan, sehingga jatuh di dada dan dahi pipatih. Raden Wijaya pun berhasil lolos dari kejaran musuh. Setelah beristirahat sejenak, Raden Wijaya kemudian membagi-bagikan celana gringsing kepada pengikut-pengikutnya tiap orang sahli dan diperintahkan ngamuk. Pada waktu menjelang malam ketika tentara Kediri sedang berpesta pora, Raden Wijaya dan para pengikutnya kembali lagi masuk ke dalam keraton Singasari. Putri Kertanegara yang pungsu yaitu Kayatri ditawan oleh Muduh dan dibawa ke Kediri, sedangkan putri yang sulung yaitu Tribuwa Naiswari berhasil diselamatkan oleh Raden Wijaya. Atas nasihat Lembu Sora, Raden Wijaya bersama putri dan para pengikutnya kemudian mundur keluar kota, menuju arah utara karena tidak ada gunanya melanjutkan perang, yang pasti akan membawa kekalahan karena jumlah tentara kediri jauh lebih besar. Masih ada kira-kira 600 orang pengikut Raden Wijaya. Paginya ia bertemu lagi dengan musuh, banyak prajurit yang putus asa dan meninggalkannya, hingga pengikutnya tinggal sedikit. Maka Wijaya bermaksud meneruskan perjalanan menuju ke Terung untuk meminta bantuan kepada Agawu Terung, Wuru Ag Raja yang diangkat sebagai Agawu oleh Mendiang Sri Kertanegara. Dengan harapan memperoleh bantuan untuk mengumpulkan orang di sebelah timur dan timur Laut Terung, maka pengikut Wijaya menjadi gembira dan pada malam harinya mereka berangkat ke barat melalui kulawan yang telah dijadikan benteng oleh musuh, di mana ia menjumpai musuh yang besar jumlahnya. Raden Wijaya dikejar oleh musuh dan lari ke utara menuju kembang sari atau bang sri, di mana ia berjumpa lagi dengan musuh, hingga ia terpaksa bergegas menjabur ke pengawan dan menyeberanginya. Di sungai ini, banyak prajuritnya yang tewas terkena tumbak musuh, banyak yang lari mencari hidup sendiri-sendiri. Sesampainya di seberang sungai, pengikut Wijaya tinggal 12 orang. Pada pagi hari rombongan Wijaya diketemukan oleh rakyat Kudadu. Di sana Raden Wijaya diterima dan dijamu ketua desa yang bernama Macan Kuping dengan kelapa muda dan nasi putih. Raden Wijaya sangat terharu atas semputan tersebut. Gajah Pakun yang menderita luka cukup parah di pahannya akhirnya ditinggal di dusun pandak, disembunyikan di tengah ladang. Raden Wijaya kemudian melanjutkan perjalanan ke Pulau Madura, di Antar sampai di daerah Rembang. Dalam pararaton dusun pandak tidak disebut yang disebut ialah datar. Lempengan tembaga yang terdapat di Gunung Buta di daerah Mojokerto yang dikeluarkan oleh Raden Wijaya setelah menjadi Raja Majapahit, terkenal dengan Biagam Kudadu, sebagai ungkapan terima kasih Raden Wijaya kepada Ketua Dusun Kudadu, yang pernah menerimanya dengan ramah sebelum melanjutkan perjalanan ke Madura. Berkat pertolongan Kepala Desa Kudadu, rombongan Raden Wijaya dapat menyeberangi laut menuju Madura untuk meminta perlindungan dari Arya Wiraraja, seorang Bupati Singasari yang ditempatkan di daerah tersebut. Raden Wijaya tiba di Madura. Setibanya di Bolo Madura, Raden Wijaya dan pengikutnya segera menemui Arya Wiraraja. Sikap Arya Wiraraja sebagai Bupati Singasari tidak berubah, meskipun tahu kerajaan Singasari telah runtuh. Sambutan yang demikian membuat Raden Wijaya terharu, sehingga menjanjikan, apabila berhasil mengembalikan kekuasaan yang telah direbut jayakat uang, maka wilayah kerajaan setengahnya akan diberikan kepada Arya Wiraraja. Raja Aryawira Raja sangat senang mendengar janji Raden Wijaya dan akan berupaya mengerahkan segala kekuatan yang dimilikinya untuk mewujudkan keinginan Raden Wijaya tersebut Aryawira Raja juga memberi nasihat agar Raden Wijaya menyerah dan mengabdi kepada Prabu Jayakat uang dikediri dan selama tinggal di istana Raden Wijaya diminta menyelidiki sampai di mana kekuatan tentara kekiri. Setelah itu, Raden Wijaya diminta mengajukan permohonan kepada Prabu Jaya Katwang untuk membuka hutan dan tanah tandus di daerah Tarik dan Aryawira Raja akan mengirimkan orang-orang Madura untuk membantunya. Konon buah maja ditemukan pada saat Raden Wijaya diizinkan membuka hutan tari. Demikianlah Aryawira Raja kemudian mengirimkan utusan ke Kadiri untuk menyampaikan bahwa Raden Wijaya menyerah dan bermaksud untuk mengabdi kepada Prabu Jayakatwang. Permohonan tersebut disetujui oleh Prabu Jayakatwang. Raden Wijaya kemudian berangkat ke Kadiri dengan diantar oleh Aryawira Raja, sampai di daerah Terung, dan Raden Wijaya kemudian dijemput oleh Patih Kadiri, yaitu Sakarawinotan dan Yangkung Angelo di daerah Jungbiru. Ada pun tribuan Aneswari yang turut serta dalam perjalanan Raden Wijaya ke Madura diditipkan kepada Arya Wiraraja. Kedatangan Raden Wijaya dan para pengikutnya di Kadiri bertepatan dengan perayaan Hari Raya Galungan. Setelah cukup lama mengabdi di Kadiri, Raden Wijaya kemudian mengusulkan untuk membuka daerah tarik, daerah Sidoarjo, menjadi hutan perburuan bagi Prabu Jayakatwang yang suka berburu. Usul tersebut segera disetujui tanpa curiga, daerah tari terletak di tepi sungai Brantas dekat pelabuhan Canggu yang sekarang terletak di sebelah timur Mojokerto. Raden Wijaya segera mengirim Mirondaya ke Sumeneb, Madura untuk melaporkan persetujuan tersebut kepada Bupati Madura Aryawira Raja. Arya Wiraraja kemudian mengerahkan orang Madura untuk membuka hutan tarik. Dalam waktu singkat, hutan tarik berhasil dibuka, dan orang Madura yang membantu pembukaan hutan tersebut kemudian menetap di daerah tersebut. Daerah tersebut kemudian dinamakan Majapahit atau Wilwatikta, konon pada saat itu. Seorang tentara yang haus mencoba memakan buah maja yang banyak terdapat pada tempat itu dan menemukan bahwa ternyata rasanya pahit, sehingga daerah itu dinamai demikian. Wilwa artinya buah maja, tiktak artinya pahit. Setelah hutan tarik berhasil dibuka, Raden Wijaya kemudian minta izin kepada Prabu Jaya Katwang untuk menengok daerah tersebut. Prabu Jayakatwang mengizinkan asal tidak lama tinggal di daerah tersebut. Demikianlah akhirnya Raden Wijaya berangkat bersama pengiringnya pada hari Mertamasa. Pada hari ketujuh Raden Wijaya akhirnya sampai di daerah Tari dan tinggal di pesanggerahan yang terbuat dari bambu yang dikelilingi kolam. Panji Wijaya Krama memberikan urean yang sangat jelas tentang keberadaan daerah Majapahit sebagai berikut. Kota yang dibangun menghadap ke sungai yang besar, yaitu sungai berantas yang mengalir dari Kediri sampai ke laut. Sungai kecil yang mengalir dari selatan, yaitu Kalimas yang pada zaman tersebut disebut Kalikansana. Perahudagan Hilir Mudik Silih berganti dikemudikan oleh orang Madura. Orang Madura mengalir tak putus-putusnya ke Macapahit. Mereka menetap di Macapahit bagian utara yang dinamakan Wirasaba. Di sebelah tenggara kota, adalah jembatan daerah yang dibuka sebagian besar berupa sawah dan berkebunan yang ditanami bunga pucang binang kelapa dan pisang telah tersedia tahta dari batu putih tempat duduk Raden Wijaya yang dinamakan Wijil Bindo yang artinya pintu kedua Raden Wijaya Pandey mengambil hati rakyat Majapahit yang baru saja menetap di daerah Tari. Orang-orang dari Daha dan Tumapel kemudian banyak yang menetap di daerah Majapahit. Di desa ini, Raden Wijaya kemudian memimpin dan menghimpun kekuatan, khususnya rakyat yang loyal terhadap mendiang Prabu Kartanegara yang berasal dari daerah Daha dan Tumapel. Aryawira Raja sendiri menyiapkan pasukannya di Madura untuk membantu Raden Wijaya, dila saatnya diperlukan. Rupanya ia pun kurang menyukai Raja Jayakadwang. Banyak kapu dan mahisabawagali yang dikutus oleh Raden Wijaya ke Sumedep Madura telah sampai. Semua pesan Raden Wijaya telah disampaikan kepada Aryawira Raja. Ketika mereka akan kembali, putra Aryawira Raja yang bertempa di Dusun Tanjung di sebelah barat Madura dikirim ke Majapahit, membawa pesan ayahnya bahwa Aryawira Raja belum bisa datang ke Majapahit, dan Aryawira Raja akan secepatnya mengirim kutusan ke Tiongkok untuk minta bantuan tentara Tartar. Banyak kapu dan wahisa pawakal, akhirnya... pulang ke Majapahit mengiringi putri-putri Buwan Aniswari dan putra Aryawira Raja yaitu Ranggalawi nama Ranggalawi adalah pemberian Raden Wijaya kepada putra Aryawira Raja tersebut karena ketekasan tindak tanduknya pada saat pertama kali bertemu Raden Wijaya lawi artinya penang atau menang Karena dia diberikan wewenang untuk memerintah seluruh rakyat Madura dan diberi pangkat Rangga. Keesokan harinya, Aradhan Wijaya bersama Ranggalawi, Gensora, dan para wereda menteri lainnya menyusun siasat untuk menyerang kerajaan Kediri. Namun sebelum penyerangan dilaksanakan, Ranggalawe minta izin pulang ke Madura untuk mengambil kuda ayahnya yang berasal dari daerah Bima dan kuda-kuda lainnya untuk tungkangan para panglima pasukan. Usul tersebut disetujui. Akhirnya Ranggalawe pulang ke Madura. Raden Wijaya telah lama meninggalkan ke diri. Akhirnya pada bulan Waisaka datang utusan dari Prabu Jaya Katuang yang bernama Sekarawinotan yang meminta kepada Raden Wijaya untuk balik ke Kediri karena Prabu Jaya Katwang akan melaksanakan perburuan di daerah baru tersebut. Pada saat Sekarawinotan ada di Majapahit, datanglah Rangkalawih dengan kuda-kuda perangnya dari Madura. Kuda-kuda tersebut kemudian diturunkan dari atas kapal. Sekarang Winotan terheran-heran melihatnya, untuk menghindari kecelakaan dari utusan ke diri tersebut, Raden Wijaya kemudian menjelaskan bahwa kuda-kuda tersebut akan dipergunakan untuk persiapan berburu Prabu Jayakabwang. Sekarawinotan percaya akan maksud baik Raden Wijaya dan ingin segera melihat sepak terjang orang-orang Madura dalam melaksanakan perburuan. Namun perkataan Sekarawinotan tanpa disadari telah menyinggung hati Ranggalawe, sehingga menyahut apa bedanya tindak tanduk petani Madura dengan orang Daha. Segera engkau akan mengetahui kemampuan orang Madura. Raden Wijaya terkejut mendengar teriakan lantang Ranggalawi. Kalau hal tersebut dibiarkan, maka akan terjadi perselisihan di antara kedua orang tersebut, dan apa yang telah dirahasiakan selama ini akan terbongkar. Untuk menenangkan suasana, Gensora kemudian mengajak Ranggalawi untuk mengawasi penurunan kuda-kuda dari kapal. Sekarang Winotan yang terkejut dengan teriakan Ranggalawi segera menanyakan, siapakah kerangan orang tersebut? Raden Wijaya menjelaskan bahwa orang tersebut adalah kemenakan Gensora dari Tanjung sebelah Barat Madura. Ucapannya kasar karena dia adalah petani bentil. Karena itu janganlah terlalu diambil hati. Sekarawinotan kemudian kembali ke Daha. Kuda yang dibawa oleh Ranggalawidari Madura berjumlah 27 ekor. Kemudian dibagikan kepada para pemimpin pasukan. Sekarawinotan telah kembali ke kerajaan Kediri. Kemudian melaporkan kehadapan Prabu Jayakatwang. Persiapan berburu yang telah dilakukan oleh Raden Wijaya tanpa mengetahui keadaan yang sebenarnya. Maklumlah selama di daerah tarik, segara winotan hanya diterima di daerah warasaba dan tidak diberi kesempatan untuk melihat keadaan kota. Raden Wijaya sangat bintar untuk menerima tamunya sedemikian rupa. sehingga Sekarawinotan tidak mengetahui persiapan perang yang sedang direncanakan oleh Raden Wijaya. Aryawira Raja telah bersiap-siap untuk berangkat ke Majapahit, diiringi bala tentaranya dari Madura, kedatangannya dengan perahu sampai dicangkut-sambut oleh Raden Wijaya, dan ditempatkan di pesanggerahan yang telah dipersiapkan untuknya. Aryawira Raja minta maaf kepada Raden Wijaya karena telah mengambil keputusan tanpa persetujuan dari Raden Wijaya yang menjanjikan dua orang putri dari Tumapel akan diserahkan kepada Kaisar Tartar bila mampu menendukkan kerajaan ke diri di bawah pimpinan Prabu Jayakartang. Kaisar Tartar berjanji bahwa pasukan Tartar akan datang pada bulan Waisaka. Dalam menyusun siasat untuk menyerang kerajaan Kediri, Ranggalawe mengusulkan agar pasukan Majapahit dipecah menjadi dua yak. Aryawira Raja memimpin pasukan yang bergerak melalui Jalan Raja lewat Lingkasana. Raden Wijaya memimpin pasukan yang melalui Singasari. Ranggalawi akan ikut dalam pasukan pimpinan Raden Wijaya. Kedua pasukan akan bertemu di daerah Barebek. Dalam Kidung Harsawijaya Bubuh 4 diurekan tentang peperangan Macapahit dengan Kerajaan Kediri. Ranggalawe berpendapat tidaklah mungkin terjadinya perang tanpa ada penyebabnya, karena hal tersebut akan menimbulkan tuduhan bahwa Raden Wijaya tidak tahu berterima kasih akan kebaikan Prabu Jayakatwang yang telah menerima Raden Wijaya dan pengikutnya dengan baik selama mengabdi di kerajaan kediri. Oleh karena itu, Langgalawi mengusulkan Agaraden Wijaya mengirimkan utusan ke Prabu Jayakatwang untuk meminta Putri Buspawati dan Gayatri, yaitu Putri Prabu Kertanegara yang ditawan oleh Kerajaan Kadiri. Jika pemintaan tersebut tidak dikabulkan, maka alasan tersebutlah yang akan dipakai dasar untuk menyerang Kerajaan Kadiri. Kensora, Gacah Pagon, dan Lembu Peteng lebih cenderung untuk memberontak begitu saja, karena bukan tidak mungkin Prabu Jayakatwang akan meluluskan permintaan Raden Wijaya tersebut. Nambi mengusulkan agar tentara Majapahit berusaha memikat menteri-menteri Kerajaan Daha, sehingga ikut membantu pemberontakan terhadap pemerintahan Prabu Jayakatwang. Usul tersebut ditolak oleh podang yang mendapat dukungan dari Panji Amarajaya, Jaranwaha, Kebubungalang, dan Ranggalawi. Karena pendapat yang berbeda-beda tersebut, akhirnya mereka semua minta pendapat dari Aryawira Raja, karena telah terbukti. Arya Wiraraja pandai memberi nasihat kepada Raden Wijaya. Arya Wiraraja memberi nasihat agar Raden Wijaya bersabar menunggu kedatangan pasukan dari Tartar sebulan lagi. Akhirnya pada tanggal 1 Maret 1293, 20.000 pasukan Mongol mendarat di Jawa, di sebelah barat Canggu dan langsung membuat benteng pertahanan di Lembah Janggala. Disebutkan bahwa utusan yang dikirim ke Jawa terdiri dari tiga orang pejabat tinggi kerajaan, yaitu Sihbi, Ikemese, dan Khao Sing. Hanya Gao Hsing yang berdarah Cina, sedangkan dua lainnya adalah orang Mongol. Mereka diperangkatkan dari Fujian membawa 20.000 pasukan dan 1.000 kapal. Kupelekan membekali pasukan ini untuk pelayaran selama satu tahun, serta biaya sebesar 40.000 patangan perak. Sihbi dan Ikemesih mengumpulkan pasukan dari tiga provinsi, Fukian, Kiyangsi, dan Hukuang, sedangkan Kausing bertanggung jawab untuk menyiapkan perbekalan dan kapal. Pasukan besar ini berangkat dari pelabuhan Chuan Chow dan tiba di Pulau Pelitung sekitar bulan Januari tahun 1293. Di sini mereka mempersiapkan penyerangan ke Jawa selama lebih kurang satu bulan. Kekuatan Satuan Tugas Ekspedisi Tartar. Untuk mendapatkan gambaran betapa besar kekuatan Satuan Tugas Ekspedisi Tartar ke Jawa, kami mencoba membuat analisa data yang disebut dalam buku WB Kronevel. Analisa ini juga untuk mendapatkan gambaran susunan dari Satuan Tugas ini. Armada tugas berkekuatan seribu kapal dengan berbekalan cukup untuk satu tahun. Gubernur Fukien diperintahkan oleh Kupilekan untuk menghimpun pasukan berkekuatan 20 ribu dari provinsi-provinsi Fukien, Kiangsi, dan Huguang. Tiga provinsi ini berada di China Selatan. Fukien berbatasan dengan Laut Selat Taiwan. Pasukan ini dikumpulkan di pelabuhan Provinsi Fujian bernama Juantau dari mana armada diperangkatkan. Jadi pasukan yang dikumpulkan dari tiga provinsi adalah terdiri dari orang Cina. Sebagai pemimpin umum ditunjuk Sihbi dan Ikemese dan Kao Sing sebagai pembantu-pembantunya. Dari namanya dapat diperkirakan. Sihpi dan Ikemese adalah berasal dari Mongolia, Tartar asli, sedangkan Kausing adalah Cina, pasukan Tartar yang menyerbuka Eropa terkenal karena pasukan kudanya. Jadi dapat diperkirakan pasukan kavaleri yang ikut ke Jawa ini terdiri atas orang-orang Tartar. Selain dari tiga provinsi di atas, disebut pula adanya beberapa kesatuan yang dikumpulkan di Jingyuan. Sekarang Ninggu di sebelah selatan Shanghai. Sihbi dan Ikemese lewat daratan dengan pasukan itu berjalan dari sini menuju Juan Chau. Sedangkan Khausing mengangkut berbekalan dengan kapal. Jadi diperkirakan pasukan yang berkumpul di Nengbo ini adalah kesatuan-kesatuan berkuda atau kavaleri yang disebut dalam laporan Sihpi berkekuatan 5.000 orang, kiranya terdiri dari orang-orang tartar. Maka dapat diperkirakan, ekspedisi yang berkekuatan 20.000 orang ini terbagi dalam infanteri 15.000 orang. Dalam kronik Cina itu tidak disebut berapa besar jumlah awak kapal yang seribu buah itu. Kalau tiap kapal berawak kapal 10 orang, maka seluruhnya akan berjumlah 10.000 orang pelaut. Jadi seluruh ekspedisi ini berkekuatan seribu kapal, kira-kira 30.000 prajurit dan 5.000 kuda. Sesampainya dituban ekspedisi tersebut, seperdua dari kekuatan tempur didaratkan di sini dan menuju Pacekan lewat darat. Bagian yang lewat darat ini dibimpin oleh kausing terdiri atas kavaleri dan infanteri, sedang seorang komander of Tentosan atau Pangleksa memimpin pasukan pelopor. Sihpi dengan sepedua bagian lainnya menuju ujung galuh lewat laut, membawa perbekalan armada dibimpin oleh Ikemesi. Kiranya bagian yang dengan kapal ini adalah kesatuan-kesatuan bantuan dan senjata bantuan, kesatuan perbekalan dan kesatuan senjata perat, pelempar peluru atau batu. Mengingat keadaan medan di Jawa diperkirakan banyak terdiri dari rawa-rawa, maka senjata perat ini akan selalu disiapkan di kapal saja. Bagian terbesar dari ekspedisi ini adalah kesatuan infanteri. Maka dapat diperkirakan seluruh kekuatan ekspedisi terbagi atas kesatuan kavaleri 5.000 orang, kesatuan infanteri kira-kira 10.000 orang, dan kesatuan bantuan kira-kira 5.000 orang yang dapat dipakai sebagai bantuan cadangan. Perjalanan menuju pulau Belitung yang memakan waktu beberapa minggu melemahkan bala tentara Mongol, karena harus melewati laut dengan ombak yang cukup besar. Banyak prajurit yang sakit karena tidak terbiasa melakukan pelayaran. Di Belitung mereka menebang pohon dan membuat perahu atau put berukuran lebih kecil. untuk masuk ke sungai-sungai di Jawa yang sempit sambil memperbaiki kapal-kapal mereka yang telah berlayar mengarungi laut cukup jauh. Penyerangan kerajaan ke diri pada bulan kedua tahun itu, Ike Mese bersama pejabat yang menangani wilayah Jawa dan 500 orang menggunakan 10 kapal berangkat menuju ke Jawa untuk membuka jalan bagi bala tentara Mongol yang dibimbing oleh Syih. ketika berada di Tuban mereka mendengar bahwa Raja Kartanegara telah tewas dibunuh oleh Jayakat Wang yang kemudian mengangkat dirinya sebagai Raja Singasari oleh karena perintah kubilikan adalah menundukkan Jawa dan memaksa raja dan memaksa Raja Singasari siapapun orangnya untuk mengakui kekuasaan bangsa Mongol Maka rencana menjatuhkan Jawa tetap dilaksanakan. Sebelum menyusul ke Tuban, orang-orang Mongol kembali berhenti di Pulau Kalimun Jawa untuk bersiap-siap memasuki wilayah Singasari. Setelah berkumpul kembali di Tuban dengan bala tentara Mongol, Ike Mesih mengetahui kalau kerta negara memiliki ahli waris bernama Raden Wijaya. Ia pun mengirim utusan menemui Raden Wijaya yang berkampung di Majapahit. Raden Wijaya bersedia menyerah dan tunduk kepada Mongol, asalkan terlebih dahulu dibantu mengalahkan Jayakat Uang Raja Kadiri. Ike Mese kemudian diundang ke desa Majapahit. Hai diputuskan bahwa Ike Mese akan membawa setengah dari pasukan kira-kira sebanyak 10.000 orang berjalan kaki menuju Singasari selebihnya tetap di kapal dan melakukan perjalanan menggunakan sungai sebagai jalan masuk ke tempat yang sama sebagai seorang pelaut yang berpengalaman Ikemese yang sebenarnya adalah suku Uyghur dari pedalaman Cina, bukannya bangsa Mongol, mendahului untuk membina kerja sama dengan penguasa-penguasa lokal yang tidak setia kepada jayakat wang. Kisah serangan Mongol terhadap Jawa tersebut tercantum dalam catatan Sejarah Dinasti Yuan yang telah diterjemahkan oleh W.V. Greenville dalam bukunya Notice on the Malay. Arsipelago en Malaka, Gombeville from Jinneskors. Menurut cerita para raton, permohonan Aryawira Raja kepada Kaisar Tiongkok untuk memperoleh bantuan dalam usahanya menyerang kerajaan Kediri dengan janji dua orang putri dari Tumapel dan seorang putri dari kerajaan Kediri, yaitu Ratna Kesari, pada hakikatnya adalah bumbu romantis dari pengiriman. tentara tersebut tanpa permohonan bantuan dan janji tersebut tentara tartar pasti datang ke Jawa untuk menuntut balas atas penghinaan utusannya yang bernama menggigit oleh Prabu Kartanegara di muka telah diurekan bagaimana watak Kaisar kubilekan yang sangat ambisius untuk memperluas daerah kekuasaannya Namun hal tersebut berbenturan dengan Prabu Kertanegara yang sadar akan keakungannya sebagai raja yang berdaulat, sehingga tidak mau tunduk begitu saja akan keinginan Kaisar Pubilekan. Armada kapal kerajaan Mongon selebihnya dibimbing langsung oleh Sihbi, memasuki Jawa dari arah Sungai Sedayu dan Kalimas. Setelah mendarat di Jawa, ia menugaskan Ikemece dan Kausing untuk memimpin pasukan darat. Kubilekan Beberapa panglima pasukan 10 ribuan turut mendampingi mereka. Sebelumnya, tiga orang pejabat tinggi diperangkatkan menggunakan kapal cepat menuju ke Majapahit untuk mempermudah gerakan bala tentara asing itu. Raden Wijaya memberi kebebasan untuk menggunakan pelabuhan-pelabuhan yang ada di bawah kekuasaannya dan bahkan memberikan panduan untuk mencapai Daha, ibu kota Singasari. Ia juga memberikan peta wilayah Singasari kepada Sihbi yang sangat bermanfaat dalam menyusun strategi perang menghancurkan Jayakatwang, selain Majapahit. Beberapa kerajaan kecil turut bergabung dengan orang-orang Mongol, sehingga menambah besar kekuatan militer sudah sangat kuat ketika berangkat dari China. Persekongkolan ini terwujud sebagai ungkapan rasa tidak suka mereka terhadap Raja Jayakatwang yang telah membunuh kereta negara melalui sebuah kudeta yang kecil. Berita pendaratan pasukan dari Tartar telah tersiar sampai di Kerajaan Kediri. Berita pendaratan tersebut ditambah dengan pemberontakan rakyat Majapahit dan penduduk di sebelah timur dekal Bobotsari, dibimpin oleh Aryawira Raja. Berita tersebut menimbulkan keributan antara rakyat dan tentara Kediri. Sekarang Winotan dituduh berhianat kepada Raja. karena memberikan laporan yang tidak sebenarnya. Segala kesalahan ditumpahkan kepadanya. Puncak keributan tersebut berupa penghunusan keris oleh keburubuh yang siap ditikamkan kepada Sekarawinotan. Tetapi dengan cepat berhasil dicegah oleh Prabu Jayakatwang. Pada saat itu datang aku dituban yang memberikan laporan bahwa tentara tartar telah mendarat di daerah tersebut. Mereka merusak kota Tuban, rakyat banyak yang lari mengungsi, Prabu Jayakatwang menyadari bahwa negara benar-benar berubah. Benar dalam keadaan terancam, pasukan harus segera dipersiapkan untuk menghadapi musuh yang akan datang. Untuk membendung tentara tartar dan majapahit, akhirnya diputuskan tentara kediri akan dibegi dalam tiga pertahanan. Mahisa Antaka dan Bowong memimpin pertahanan di bagian utara. Prabu Jayakatwang ikut dalam pertahanan di sini. Sekarawino Tandan, Senopati Ranggajanur memimpin pertahanan di bagian timur. Kepu Mundarang dan Senopati Pangelet memimpin pertahanan bagian selatan. Prabu Jayakatwang sangat marah kepada Raden Wijaya, sehingga memutuskan menyerang musuh yang sedang bergerak. Tentara Kadiri menyerang Macapahit dari tiga jurusan, yaitu Front Utara dibimbing oleh para Adipati dan Anjuru, Front Selatan dibimbing oleh Menteri Araraman, dan Front Timur dibimbing oleh prajurit yang langsung berhadapan dengan pasukan dari Macapahit. Namun semuanya dapat dibukul mundur oleh pasukan Majapahit dan Mongol. Pada bulan ketiga tahun 1293, setelah seluruh pasukan berkumpul di mulut Sungai Kalimas, penyerbuan kekerajaan Kediri mulai dilancarkan. Kekuatan kerajaan Kediri di sungai tersebut dapat dilumpuhkan. Lebih dari seratus kapal berdekorasi kepala raksasa dapat disita. Karena seluruh prajurit dan pejabat yang mempertahankannya melarikan diri untuk bergabung dengan pasukan induknya. Peperangan besar baru terjadi pada hari ke-15, bila dihitung semenjak pasukan Mongol mendarat dan membangun kekuatan di Muara Kalimas, di mana bala tentara gabungan Mongol dengan Raden Wijaya berhasil mengalahkan pasukan Kediri. Kekalahan ini menyebabkan sisa pasukan kembali melarikan diri untuk berkumpul di Daha Ibu Kota Kadiri. Pasukan Ikemese, Kausing, dan Raden Wijaya melakukan pengejaran dan berhasil memasuki Daha beberapa hari kemudian. Pada hari ke-19 terjadi peperangan yang sangat menentukan bagi kerajaan Kadiri. Ikemese menyerang dari timur dan Kausing dari barat. Sihpi menyusuri sungai, sedangkan pasukan Raden Wijaya sebagai barisan belakang. Perang meletus tanggal 20 Maret 1293 pagi, kota Daha dikempur tiga kali, meskipun sudah dijaga 100.000 orang prajurit. Gabungan pasukan Cina dan Raden Wijaya berhasil membinasakan 5.000 tentara Daha. Dalam Kidung Panji Wijaya Krama Bubuh 7, Sekarawinotan berhadapan dengan Ranggalawe di pertahanan bagian timur. Ranggalawe mengendarai kuda Andawesi, berhasil melompat ke dalam kereta Sekarawinotan. Dalam pertempuran di atas kereta tersebut, Rangkalawet berhasil memotong leher Sekarawinotan sampai tewas di bagian selatan. Gensora berhasil menangkap Kebumundarang di lurah Trinipanti. Kebumundarang yang sudah tidak berdaya berjanji untuk menyerahkan anak perempuannya kepada Gensora, namun Gensora tidak sudi mendengarnya. Dalam peperangan ini dikatakan bahwa pasukan Mongol menggunakan meriam yang pada zaman itu masih terkolong langka di dunia. Terjadi tiga kali pertempuran besar antara kedua kekuatan yang berseteru ini di keempat arah kota dan dimenangkan oleh pihak para penyerbu. Pasukan Kediri terpecah dua, sebagian menuju sungai dan tenggelam di sana. karena dihadang oleh orang-orang Mongol, sedangkan sebagian lagi sebanyak lebih kurang 5.000 dalam keadaan panik, akhirnya terbunuh setelah bertempur dengan tentara kebungan Mongol Majapahit. Salah seorang anak jaya katuang yang melarikan diri ke perbukitan di sekitar ibu kota dapat ditangkap dan ditawan oleh pasukan kausing berkekuatan seribu orang. dengan kekuatan yang tinggal setelah Jaya Katwang mundur untuk berlindung di dalam benteng. Sore hari, menyadari bahwa ia tidak mungkin mempertahankan lagi di daha, Jaya Katwang keluar dari benteng dan menyerahkan diri untuk kemudian ditawan di benteng pertahanan ujung galuh. Menurut para raton dan gedung Harsawijaya, Jaya Katuang meninggal dunia di dalam penjara ujung galuh setelah menyelesaikan sebuah karya sastra berjudul Kidung Wukir Polaman. Setelah Raja Jaya Katuang kalah, Arad dan Wijaya mohon diri kembali ke Majapahit untuk menyiapkan obati bagi Kaisar Kubilekan. Kerajaan Kediri telah jatuh, Putri Kayatri kemudian diboyong kembali ke Majapahit. Agaknya timbul perselisihan antara Panglima Cina ini dengan Panglima-Panglima Tartar, Sihpi dan Ikemese, karena kedua orang Panglima ini telah mengizinkan Wijaya kembali ke Majapahit. Khaosing tidak mempercayai Wijaya, maka ia mengejar dan meninggalkan ke diri dengan divisi dan pasukan pelopor yang di bawah pimpinannya. Macapahit menghalau tentara Tartar Sebelum dimulai orean tentang kerakan-kerakan operasi militer oleh Raden Wijaya terhadap kesatuan-kesatuan Tartar, lebih dahulu kita berusaha mendapatkan gambaran mengenai keadaan, yaitu medan di mana kesatuan-kesatuan baik dari Macapahit maupun dari Tartar. Keuntungan Macapahit adalah Bahwa prajurit Majapahit lebih mengenal keadaan Medan yang bagi orang Tartar masih sangat asing. Medan berbukit-bukit dan sebagian besar tersusun oleh tanah keras atau bongkah-bongkah karang. Di sebelah timur sungai diperkirakan keadaan tanahnya masih lunak. Bahkan banyak yang merupakan rawa-rawa dan di dekat desa di sana-sini berupa tanah persawahan. Kalau ada jalan, tentu jalan-jalan ini tidak dikeraskan dengan diberi dasar batu. Baik di barat maupun di timur sungai, masih terdapat banyak hutan-hutan lebat. Betapa sukarnya daerah ini dilalui, apalagi oleh suatu kesatuan militer yang besar, dapat kita perkirakan dari waktu yang diperlukan untuk menempuh jarak antara pacekan sampai ke diri. Dalam kronik Cina laporan, Sihbi menyebut, ia harus bertempur sepanjang kurang lebih 300 li dari Kediri sampai ke kapal-kapalnya. Memang jarak antara Surabaya dan Kediri adalah kira-kira 130 km lewat jalan berbelak-belok. Kalau ditarik garis lempeng dari Surabaya sampai Kediri, kira-kira jarak itu adalah kurang lebih 100 km. Jarak Majapahit Kediri yang kira-kira 70 km itu oleh kesatuan tartar ditembuh dalam waktu 4 hari, tanggal 15-19 berjalan. Jadi tiap harinya hanya dapat menyelesaikan jarak kira-kira 17 km. Kalau sehari selama 2 hari masih terang, mereka dapat berjalan kira-kira 9 jam, maka tiap jam... kiranya dapat diselesaikan 2 km. Maka dari sini kita dapat membuat perkiraan betapa beratnya keadaan Medan pada waktu itu. Kronik Cina menyebut, Wijaya pada hari kedua bulan keempat diizinkan kembali ke Majapahit dengan pasukannya, disertai oleh 2 orang perwira tartar dan 200 orang prajurit. untuk menyiapkan persembahan bagi Kaisar Tartar. Jadi 13 hari setelah Kediri menyerah, tanggal 9 Mei ia berangkat sampai di Macapahit tanggal 13 Mei dengan diam-diam Wijaya menyiapkan pasukan dan rakyatnya. Dalam kronik Cina disebutkan bahwa Gao Xing yang sejak tanggal dikalahkannya Kediri mengejar seorang pangeran yang lari ke pegunungan. Sekembalinya ke Kediri baru mengetahui bahwa Wijaya telah berangkat. Dengan izin Sihbi dan Ikemece, tindakan rekan-rekannya ini tidak disetujui oleh Khausing. Agaknya timbulah perselisihan antara para pembesar ini. Diperkirakan Khausing berada di pegunungan selama 2 minggu lebih. Kita buat 16 hari, maka ia diperkirakan kembali pada tanggal 14 Mei. Setelah mengumpulkan divisinya, ia segera mengejar Wijaya yang telah sempat menyiapkan pasukan di tempat-tempat pengadangan. Di dalam Istana Majapahit, sekarang timbul kesulitan yang harus dihadapi Majapahit terhadap pasukan Tartar. Dalam Kidung Widaya Kerama dikisahkan, bagaimana sikap yang harus diambil jika tentara Tartar menagih janji dua orang putri Tumapel sebagai hadiah kepada Kaisar Tartar. Ketika Arya Wiraraja menanyakan hal tersebut, semuanya terdiam. Tidak berani menjawab, Gensora mengemukakan pendapat bahwa tidak baik memungkiri janji yang telah disepakati. Kemudian Ranggalawi bersuara lantang sesuai dengan wataknya. Jangan takut sang Prabu, itu hanyalah soal kecil. Jika kita harus melawan, kami bersedia mati sebagai pahlawan. Jika paduka takut berperang, tidaklah masih layak hidup di dunia. Ucapan Ranggalawi yang lantang tersebut membangkitkan semangat dan tekat semua yang hadir. semua setuju dan bersedia mati untuk sang raja akhirnya utusan tartar telah datang dengan 200 orang pengiring lengkap dengan senjata dan menyerahkan surat untuk menagih janji setelah surat dibaca Gensora memberitahukan bahwa orang Majapahit tidak akan mengingkari janji yang telah disepakati tersebut Namun demikian putri Singasari tersebut sangat miris kalau melihat senjata, karenanya putri bisa pingsan. Oleh karena itu simpanlah baik-baik senjata kalian dalam bilik yang terkunci, dan beritahukan kepada pasukan pengawal yang akan menjemput tuan putri untuk tidak membawa senjata. Utusan kemudian kembali membawa pesan Gensora kepada kepala pasukan. 300 orang tartar kemudian datang menjemput Tuan Putri. Para pengawal dibawa masuk ke balai panjang untuk dicamu. Para wanitanya dibawa oleh Arya Wiraraja ke dalam istana. Ketika mereka sedang berbesta dengan serta-merta pasukan Majapahit menyerang mereka, banyak di antara mereka yang terbunuh, yang selamat kemudian ditawan. Pada tanggal 19 April 1293, Raden Wijaya kemudian menyerang tentara Mongol yang sedang berbesta di Daha dan Canggu. Penyerangan tersebut dari arah utara dan selatan. Kota Kediri telah dikepung, sambil menangki serangan dari arah selatan mereka bergerak menuju arah utara mendekati pantai tempat armadanya, namun dari arah utara pun diserang juga, sehingga tentara tartar yang terdesak kemudian berbelok ke arah barat. Pasukan tartar yang masih tersisa tidak menyadari bahwa Raden Wijaya akan bertindak demikian. Ikew Mese memutuskan mundur setelah kehilangan 3.000 orang tentaranya. Betapa hebatnya serangan Wijaya ini dapat kita perkirakan dari laporan lain yang menyebutkan bahwa Sihbi sampai terputus dari pasukan yang lain. Ini berarti bahwa daerah sepanjang jalan antara Kediri dan Ujung Kalu benar-benar dikuasai oleh pasukan dan rakyat desa Majapahit. Sihpi yang meninggalkan ke diri beberapa hari kemudian dan terputus dari pasukan yang lain, terpaksa harus dengan bertempur membuka jalan menuju Pacekan dan ujung Kaluh, yang dicapainya dengan susah payah. Untuk mencapai kapal-kapalnya di muara sungai, ia harus bertempur sepanjang jalan kira-kira 300 li, kira-kira 100 km. Ia kehilangan lebih dari 3.000 orang tewas dalam pertempuran ini. Ini dapat dibayangkan bagaimana jalan pertempuran dan mengapa Sihpi terpaksa harus menelan kekalahan. Kalau Khaosing yang memimpin divisi infanteri dengan pasukan perintisnya yang terlatih dapat mematahkan serangan Wijaya, maka pasukan berkuda tartar yang berada dalam divisi Sihpi merupakan makanan empuk bagi pasukan panah Majapahit. Belum lagi kalau kuda-kuda ini dipancing masuk rawa-rawa, maka orang-orang di atas kuda ini merupakan sasaran yang baik bagi anak panah Majapahit. 3.000 orang yang tewas ini kira-kira sebagian besar adalah dari kavaleri. Sihpi rupa-rupanya dengan tergesa-gesa masuk kapal, karena ia dikejar oleh pasukan Wijaya sampai dekat Pacekan, di Tegal, Pobot, Sari. Dari sini ia berlayar selama 68 hari kembali ke China dan mendarat di Chuan Chau. Kekalahan pala tentara Mongol oleh orang-orang Jawa hingga kini tetap dikenang dalam sejarah China. Sebelumnya mereka nyaris tidak pernah kalah di dalam peperangan melawan bangsa manapun di dunia. Selain di Jawa, pasukan Kupelekan juga pernah hancur saat akan menyerbu daratan Jepang. Akan tetapi kehancuran ini bukan disebabkan oleh kekuatan militer bangsa Jepang, melainkan oleh terpakan badai sangat kencang yang memporak-porandakan armada kapal kerajaan dan membunuh hampir seluruh prajudik di atasnya. Ekspedisi Tartar meninggalkan Pulau Jawa. Setelah para panglima kembali berkumpul di ujung galuh, Maka dalam perundingan diputuskan untuk kembali saja, karena tugas menghukum Raja Jawa telah selesai dan tidak ada gunanya untuk meneruskan pertempuran, karena mereka tak mengenal keadaan Medan. Mereka dapat terpancing masuk rawa-rawa, di mana mereka tak bisa bergerak dan dengan mudah diserang oleh orang-orang Majapahit. Kiranya selain itu mereka juga memperhitungkan keadaan angin yang pada akhir bulan Mei biasanya sudah mulai meniup ke barat angin timur dengan tetap. Selama kira-kira 3 bulan untuk bisa cepat sampai di China, mereka harus segera berangkat kalau mereka tidak ingin mencumpai rintangan berupa typhoon atau angin yang tidak menentu. Maka mereka dapat sampai di Chuang Chau setelah 68 hari meninggalkan Jawa. Juga kemungkinan kejangkitan wabah mereka perhitungkan kalau mereka lebih lama berada di rawa-rawa di muara sungai ini. Dikuatirkan akan bertambahnya korban disebabkan oleh malaria dan penyakit lain. Maka dibutuhkan lebih baik kembali daripada menderita lebih banyak kerugian untuk menghindari kegagalan total, karena tidak mengenal medan, penyakit dan kehancuran oleh tifun di laut. Menjelang akhir bulan Maret, yaitu di hari ke-24, seluruh pasukan Mongol kembali ke negara asalnya dengan membawa tawanan para bangsawan Singasari ke Cina beserta ribuan hadiah. bagi Kaisar sebelum berangkat mereka menghukum mati jayakat uang dan anaknya sebagai ungkapan rasa kesal atas pemberontakan Raden Wijaya kita para raton memberikan keterangan yang kontradiktif disebutkan bahwa jayakat uang bukan mati dibunuh orang-orang Mongol melainkan oleh Raden Wijaya Tidak lama setelah Ibu Kota Kerajaan Kediri berhasil dihancurkan, demikianlah tentara Tartar tidak sempat mengatur siasat dan kehilangan begitu banyak tentaranya, akhirnya meninggalkan Jawa tanggal 24 April 1293 dengan membawa pulang lebih dari 100 orang tawanan. Beta Daftar Penduduk surat bertulis emas dari Bali dan barang berharga lainnya yang bernilai sekitar 500 ribuan tahil perak ternyata kegagalan Sihbi menundukkan Jawa harus dibayar mahal olehnya Ia menerima 17 kali campukan atas perintah Kupilekan. Seluruh harta bendanya dirampas oleh kerajaan sebagai kompensasi atas peristiwa yang meredupkan kebesaran nama bangsa Mongol tersebut. Ia dipersalahkan atas tewasnya 3.000 lebih prajuli dalam ekspedisi menghukum Jawa tersebut. Selain itu, peristiwa ini mencoreng wajah Kupilekan. karena untuk kedua kalinya dipermalukan orang-orang Jawa setelah Raja Kartanegara melukai wajah Meng Ji namun sebagai raja yang tahu menghargai kesatriaan tiga tahun kemudian nama baik Sih Bidi rehabilitasi dan harta bendanya dikembalikan ia diberi hadiah jabatan tinggi dalam hirarki kerajaan dinasti Yuan yang dinikmatinya sampai meninggal Dalam usia 86 tahun, tentara Tartar meninggalkan Jawa setelah diserang oleh tentara Majapahit. Setelah kekalahan tentara Mongol di Jawa karena siasat Raden Wijaya, Kupilekan tidak mengirimkan pasukan lagi ke Asia Tenggara. Hal tersebut dikarenakan dinasti Yuan sedang konsentrasi di dalam negeri, termasuk membangun Ibu Kotak. Balik pembangunan ibukutakan balik ini yang membuat Mongol menjadi berubah ada yang mengatakan menjadi lemah karena asalnya Mongol adalah suku pengembara pada tahun 1297 Raden Wijaya mengirim utusan ke Beijing untuk berdamai kupilihkan senang dan tidak lagi menuntut Raja Jawa datang ke Beijing Akhirnya cita-cita Raden Wijaya untuk menjatuhkan daha dan membalas sakit hatinya kepada Jayakatwang dapat diwujudkan dengan memanfaatkan tentara tartar. Raden Wijaya kemudian memproklamirkan berdirinya sebuah kerajaan baru yang dinamakan Majapahit. Rahayu,