Hai ada seorang Ustadz dari pesantren Sarang guru disana seorang Ustadz di pesantren Sarang ini mas Maimon Nafis dengan apa namanya itu berapi-api ya kayaknya itu menahan amarah hahaha memang apa namanya Mas Riefie saya apa pernah menjawab tentang Gus Najih ya tentang ini mungkin ini mas Memo Nafis ingin menyatakan bahwa saya muridnya Gus Najih bisa menjawab karena saya waktu itu telah menjawab dari proposisi-proposisi Gus Najih yang memang beliau bukan tidak alim, beliau alim tetapi dalam masalah nasab ini memang memerlukan kejelian tersendiri itu saya kira dan mas Memo Nafis ini secara garis besar bagus juga bagus juga ya dalam penyampaian hujah-hujah. Karena memang demikianlah santren NU mendidik santri-santrinya Mas Sifki. Mantap-mantap.
Tetapi dia juga mengaku sebagai lembaga Basul Masail. Lembaga Basul Masail mungkin di tingkat keupatan atau provinsi. Dan sekarang ini dari tingkat PBNU akan menjawabnya. Ini anggota Basul Masail PBNU akan menjawab. Anggota Bakso Masail di Jateng atau di Rembang gitu ya, Mas Maimon Nafis atau tingkat tersantrenya.
Ini sama-sama anak NU. Mas Maimon Nafis mengatakan bahwa Nasab Ba'alawi sudah diisbat 180 kitab. Ini sama dengan Mas Hanif Alatas tadi ya, 150 kitab atau 180 kitab.
Ya saya katakan lagi, Mas Maimon Nafis serah 1000 atau 2000, 1 juta kitab yang... mensahihkan Nasrul Badawi, itu akan mentok ke abad 9 kepada kitab Al-Burqa Al-Musiqah dan kitab Al-Jawhar Shafat karena memang itu muaranya disitu dimulainya dari situ bendungannya disitu kemudian dialirkan kemana-mana bisa tidak sebelum dari bendungan Al-Jawhar Shafat dan Al-Burqa itu pengisbatan itu melaju sampai ke Ahmad Bin Nisa tidak ada Mas Mahmud Nafis Nasa Balawi dipabrikasi, dibangun pada abad ke-9. Ulama-ulama itu ulama yang siqoh adalah dan sebagainya.
Kita tidak meragukan kesikohan orang ulama. Kita tidak meragukan keadalahan orang ulama. Tetapi kita harus sadar bahwa ulama itu tidak maksum. Ulama itu tidaklah...
dijaga oleh Allah seperti Nabi Muhammad dijaga para ambiya dijaga dari kesalahan kalau kita mengatakan ulama pasti benar maka akan banyak orang-orang yang apa namanya harus kita benarkan ketika salah satu berbeda dengan yang lainnya kita akan bingung semuanya ma'asum kok ini tidak begitu agama ini agama dalil siapa yang punya dalil maka dialah yang harus diikuti waladzakfum alaih salakadihi ilm Itu, Mas Memun, jangan kau ikuti apa yang tidak punya dalil. Ibnu Hajar dan lain sebagainya, itu tidaklah berniat berdusta, tidak. Dia mendapatkan dari kitab Al-Juzul Latif. Dia tidak bertemu dengan Al-Idrus.
Dia yang membaca kitabnya, Al-Juzul Latif. Dia husnudan, dia tulis saja itu. Kitab Al-Juzul Latif yang menerangkan silsilah dirinya sampai Rasulullah.
Kemudian Ibnu Hajar mengutip, dia mengutip saja. Ibn Hajar kan ulama besar, masa dia ini tidak teliti? Ulama itu, kalau dalam masalah fakih, kan Ibn Hajar ulama fakih.
Kalau Ibn Hajar bicara masalah fakih, mungkin dia akan betul-betul tersabut dan terhakuk. Tetapi ketika hanya bicara tentang silsilah, sanad yang hanya untuk tabarruhkan, ya nggak perlu dia, beliau itu mentah sabut dan mentah hakuk. Akan banyak waktu terbuang.
Untuk seorang Ibn Hajar yang ahli pokih, kalau untuk mengisbat nasabahlawi atau meneliti nasabahlawi satu persatu. Contohnya saya, saya ini dua tahun ini nguprak-nguprak nasabahlawi, banyak tulisan saya, kitab-kitab saya belum selesai. Dalam bahasa Indonesia, saya punya kitab buku Indok Viki Islam Nusantara, baru jilid satu dicetak.
Lihat itu di perpustakaan-perpustakaan universitas-universitas Islam di Indonesia. Di UIN-UIN itu ada itu, buku Indok PKI Islam Nusantara, baru satu jilid, jilid keduanya sampai sekarang belum selesai. Kenapa? Mikirin nasabnya Mbah Lawi ini.
Kemudian kitab Al-Muqtafi Fi Syarhi Nihayat Zain Karya Syekh Nawawi Atenar al-Bentani Itu saya baru sarahin satu juz ya Satu juz dari puluhan juz yang saya rencanakan Itu bisa dilihat di dalam internet, di arsi.com, di maktabanur dan lain sebagainya Al-Muqtafi Fi Syarhi Nihayat Zain Itu karena ada nasab balaw ini, saya belum bisa untuk meneruskan Jadi membutuhkan waktu yang banyak Dan waktu itu tidak dianggap urgen Oleh apa Ibn Hajar untuk meneliti nasab-nasab itu. Kenapa? Karena yang ditemui orang-orang soleh.
Yang beliau tahu ini nasab tidak mencurigakan. Ya hari ini yang kita temui kan model-model begitu. Yang mencurigakan itu kan.
Akhirnya kita meneliti dan setelah diteliti haplogrupnya G. Setelah diteliti nasabnya nggak nyambung. Ya kan?
550 tahun. Di kitab sejarah tidak ada nama-namanya. Apalagi nanti kan.
Kemudian, Mas Maimunafis, Sajara Mubarakah ini penisbatan pada imam Pak Roroji-nya diragukan. Ya, boleh saja orang meragukan, kan? Itu namanya hak pribadi masing-masing sesuai kepentingannya masing-masing. Yang jelas, bukti materialnya itu loh, Mas Maimunafis. Ini ada kitab, namanya Manuskrip Sajara Al-Mubarakah, ditemukan oleh Al-Mura'asi dari Iran.
Kemudian ditasebut oleh Syekh Mahdi Rojai, diteliti oleh Syekh Mahdi Rojai, oh ada mereknya, ini karangan Al-Pahru Rozi, 614 Hijriah. Kemudian nama kitabnya As-Sajaroh Al-Mubarokah, penyalinnya ada, namanya Wahid bin Samsuddin. Tahun penyalinnya ada, 820 Hijriah. Tempatnya di mana?
Di Turki, di perpustakaan Sultan Ahmad As-Salih. Semuanya lengkap alamatnya. Lalu dicetaklah.
Kemudian kitab itu menjadi referensi para halina sab hari ini. Tiba-tiba ketika diteliti dalam kitab apa saja Mubarakah itu. Menyebutkan Ahmad bin Isa anaknya tiga. Diragukan nih sama Mas Rumel Abbas, Mas Maimunapis. Wah ini penisbatannya nggak jelas.
Ini nggak jelas dari mana. Jelas itu penisbatannya. Cara kita meneliti. Seorang peneliti manuskrip itu meneliti.
Itu satu meneliti. Pertama itu dari bukti material manusia itu sendiri. Benarkah dia ini karangan daripada Imam Pak Rudin Arazi? Oh jelas, namanya itu jelas Imam Pak Rudin Arazi.
Mas Lomel ini ngotak-ngatik dalam buku Menakar itu, ini Arazi banyak, iya Arazi banyak, tapi kan sudah ada namanya itu, Umar Arazi. Jelas itu Imam Pak Rudin Arazi. Oh ini katanya, itu apa namanya ya, falasi. Bukan falasi, kesengajaan bervalasi itu namanya. Atau pura-pura bego namanya itu Mas Rifki.
Lainnya sudah di pas kitabnya, ada manuskipnya, ada. Ketika mencetak tidak ada kepentingan pribadi dari Syed Mahdi Rojai. Dia juga tidak menyangka itu di dalamnya itu membatalkan Balawi. Kan dia kan temannya Balawi.
Kemudian Syed Wahid Samsuddinnya, beliau ini tidak ada permusuhan dengan Balawi. Kalau dia ini menulis naskah dari Imam Fahruddin Ar-Razi itu, sudah diketahui dia ini musuh Baalawi, kemudian tidak memasukkan nama Abdullah, baru patut dicurigai. Ini tidak ada. Wahid bin Samsuddin Imam Fahruddin Ar-Razi tidak ada berita dia bermusuhan dengan Baalawi.
Kitab itu, sebuah manusia perlu dicurigai kalau ada interes pribadi. Misal, ada kitab tentang nasab Baalawi, ini. manuskrip karya Murtadha Az-Zabidi tapi ditemukannya oleh keluarga Balawi ini perlu dicurigai nih betul tidak itu kitab Murtadha Az-Zabidi ulama abad ke-13 awal setelah diteliti ternyata bukan kitabnya itu ditulis oleh Hasan Muhammad Qasim dari Mesir yang dia itu berkawan dengan Bin Yahya yang ada di Mesir sangat besar kemungkinan bahwa dia menulis itu adalah atas desakan permintaan daripada bin Yahya yang ada di Mesir. Kenapa?
Karena yang mengirimkan kepada Ba'alaw yang ada di Indonesia untuk dicetak itu adalah bin Yahya itu. Bisa jadi itu Hasan Muhammad Qasim yang menulis, bisa jadi yang menulis ini bin Yahya itu sendiri. Yang jelas Hasan Muhammad Qasim telah diteliti oleh para ulama sebagai pemalsu manuskrip.
Manuskrip Azainabad yang ada di Mesir. yang dikatakan itu sebagai karangan al-Ubaidili ternyata karangan dia sendiri untuk mempertahankan masjid al-Zainab yang ada di Mesir ini sudah jelas kalau seperti itu Manuskip-manuskip yang ada interes pribadi dengan penemunya, dengan penulisnya, patut dicurigai. Tapi kalau As-Sajramu Baraka ini tidak ada interes pribadi. Baik satu dari Imam Fakhruddin Al-Razi, tidak ada permusuhan dengan Balawi.
Dengan penyalinnya Muhammad Qasid, tidak ada permusuhan dengan Balawi. Kemudian dengan penemunya Syekh Al-Marasi, bahkan dia ini muridnya Balawi, gurunya ini Balawi. Mahdi Rojai, dia seorang siah yang teman-temannya siah Indonesia dari Balawi.
Ini Mbak Alawi-Mbak Alawi yang siah itu dari Indonesia temannya Mahdi Rojai. Nggak mungkin dia punya interes untuk membatalkan nasabah Alawi dengan penemuannya. Jadi ini sangat psikos sekali.
Mas Memunapis Sajarah Mubaraka untuk dijadikan pegangan Mas Memunapis untuk merenung. Coba lupakan dulu masalah-masalah hubungan pribadi dengan Mbak Alawi. Lupakan dulu hubungan kekerabatan, keguruan itu.
Apa? Kita coba secara ilmiah. Sris! InsyaAllah Mas Maimunapis akan menemukan kebenaran yang hakiki. Ma'ribatu haqiqatis shai'i bilyaqin.
Allah yang akan memberikan itu insyaAllah. Kemudian, kitabnya itu namanya Bahrul Ansab setelah diteliti di dalam manuskrip atau di dalam perpustakaan di Turki. Mas Maimunapis, kitab-kitab Ansab itu disebut secara global itu bahrol ansab jadi orang ngomong kitab nasab itu bahrol ansab nanti judulnya apa beda lagi jadi setiap kitab nasab zaman dulu itu ada istilah disebutnya semuanya bahrol ansab ada pun judul-judulnya itu beda sesuai dengan apa yang ada di manuskrip tetapi di dalam indeksnya dalam indeks yang ada di purpose itu bisa aja imam pahruddin razi bahrol ansab maksudnya itu kitab nasab karena kitab nasab itu disebut dengan istilah bahrol ansab itu ya kemudian ada lagi mas Maimun Nafis ada ideologi syiah di dalam kitab as-sajjala mubarakah tidak mungkin dengan gaya maduranya mas Maimun Nafis katanya saya ini madura asli Gus Wapi itu madura yang tidak masriq ini madura asli nih kalau saya keturunan saja ya Saya juga ada maduranya itu Mas Maimunapis, termasuk Mbah Mun itu, Mbah Mun ada silsilah kemaduranya, itu saya mengetahui silsilah itu.
Nah, dan Mas Maimunapis perlu ketahui bahwa ketika tahun 2019 ada orang berani menghina Mbah Mun, saya dan Santi saya demo untuk mengecam orang yang berani menghina Mbah Mun, itu perlu dicatat. Kemudian, Tadi ya masih masalah apa ada ideologi siah ya. Ideologi siah ya.
Ya, apa ciri-cirinya? Kata Mas Memunafis ciri-ciri ada ideologi siah adalah ada merek Sohibu Zaman untuk Imam Mahdi yang menyebut Sohibu Zaman untuk Imam Mahdi itu orang siah. Ini saya katakan Mas Memunafis yang apa namanya Anda permasalahkan itu justru menguatkan kitab As-Sajra'al-Mubarakah sebagai karangan dan Imam Fahruddin Al-Razi. Kenapa saya katakan demikian? Karena lihat di dalam kitab Imam Fahruddin Al-Razi yang lain.
Namanya kitab Maratib wal-Almaratib al-Aliyah. Kitabnya namanya bukan Al-Maratib. Al-Matalib al-Aliyah.
Al-Matalib al-Aliyah, Juz 8, halaman 106. Imam Fahruddin Al-Razi selalu menyebut nama Imam Mahdi dengan sahibuz zaman. Dan coba telitilah. para pakar-pakar sejarah Islam ini memang mengkaitkan imam kita ini Imam Fahroddin Ar-Razi yang dikenal dengan ahli sunnah wal jamaah atau kuali sunnah tetapi dalam beberapa hal beliau ini memang terindikasi juga apa namanya bukan dia menganut si A tetapi setuju dengan pendapat si A diantaranya adalah tentang Imam Mahdi jadi Imam Fahroddin Ar-Razi di dalam masalah Imam Mahdi ini setuju dengan si A jadi konsistensi Penyebutan Imam Fahruddin Ar-Razi tentang Imam Mahdi mengindikasikan kuat bahwa sejarah mubarakah Mas Maimun adalah betul-betul karangan Imam Fahruddin Ar-Razi. Jadi apa yang dikatakan oleh Mas Maimun itu, bahwa karena ini sejarah mubarakah ini diragukan, maka seluruh profisi Imam Fahruddin itu batal.
Nah itu levelnya Basul Masail tingkat keupatan itu. Nah ini tingkat PBNU begini, bahwa di dalam kita cara mencari tentang Apakah sebuah ibarat ini adalah bisa dinisbatkan kepada seorang pengarang? Maka kita lihat apa ibarat-ibarat yang sama dengan apa kitab-kitab lain yang ditulis oleh penulis yang sama. Ibarat yang sama dengan penulis yang sama. Dan ini konsisten penyebutan Imam Pahruddin Ar-Razi terhadap Imam Mahdi itu adalah sohibus zaman.
Nah terus tentang hal yang... apa namanya itu kawahidah kawahid ya, jumlah ismiah tidak, jumlah ismiah yang ada di Imam Fahroddin Al-Razi ini tidak konsisten dalam As-Sajal Al-Mubarakah contohnya kata Mas Maimun Nafis anak Ahmad As-Sakroni ada tiga, tapi dalam Tadibul Ansab kok ada empat, dalam Al-Masri bahkan ada delapan, jadi kan ada Tadibul Ansab Mas Rifi itu di abad kelima, ada Al-Masri di abad kelima, delapan kan... Di abad kelima, Tadi Blansa menyebut anaknya Ahmad As-Sorani itu empat.
Kemudian di dalam kitab Al-Masih disebut delapan. Di dalam kitab As-Sajah Mubarakah disebut enam. Eh, disebut berapa?
Disebut tiga. Tiga, ya. Di dalam As-Sajah Mubarakah disebut tiga. Berarti ini tidak konsisten, kata Mas Maimun Nafis.
Saya jawab begini, Mas Maimun harus mengerti cara para ahli Nasa di dalam menulis kitab Nasa. Ada ibarah ketika menyebutkan anak dan keturunan. Ada dengan kalimat fa'awlada, ada dengan fa'aqobah. Fa'aqobah itu artinya dia punya anak. Kalau fa'aqobah dia berketurunan dari.
Itu beda. Kalau fa'aqobah dia punya anaknya berapa, itu mau yang keturunan, tidak berketurunan, disebutin semua. Kemudian kalau fa'aqobah yang disebutkan hanya yang berketurunan. Itu yang pertama. Yang kedua, kitab yang lebih tua.
Itu menyebutkan lebih banyak, fa'akibuhu min arbatin misalnya, yang berketurunan ada empat. Kemudian di kitab yang lebih muda, setelah seratus tahun kemudian, disebutkan yang berketurunan ada tiga oleh Sejarah Mubarakah. Kenapa bisa begitu? Itu berarti kitab Sejarah Mubarakah pengarangnya itu tahakkuk.
Dia meneliti, oh dulu ada empat anak yang berketurunan, sekarang tapi si dia itu sudah meninggal. dan anaknya juga meninggal jadi dari garis dia ini sudah tidak ada lagi maka karena apa namanya itu Imam Fahruddin Al-Razi mengetahui dengan tahap uqwad tersebut bahwa dari jalur satu ini yang dikatakan empat oleh tahdibul ansab tapi yang satu ini hari ini sudah tidak punya keturunan maka tidak perlu untuk ditulis kembali kenapa? karena ilmu nasab, kitab nasab dicatat untuk silaturahmi orang-orang yang masih hidup yang punya keturunan agar mengetahui sepubuhnya masing-masing kalau orang yang 100 tahun lalu itu sudah tidak ada punya keturunan yang hari ini tidak ada keturunannya buat apa dicatat lagi? tetapi kadang-kadang memang ada ulama orang yang tidak berketurunan yang tulis nanti inkorodo yaitu cara-cara ulama di dalam menulis kitab nasab berbeda-beda ada yang tahakuk ada yang tasabut Ada yang hanya mengutip dari ulama sebelumnya, jadi dia tidak up to date. Kayak Ibn Inabah, Ibn Inabah di abad 9, dia ini menyebutkan Ahmad bin Isa.
Tapi yang dia sebutkan persis sama dengan tahdibul ansab yang ada di abad kelima. Ini berarti Ibn Inabah di dalam nasab Ahmad bin Isa, dia tidak tahakuk. Dia tidak apa namanya itu, sengaja meneliti.
Di nasab lain dia meneliti, tapi nasab ini nggak usah lah. Ini kayaknya nggak penting misalnya. Itu diabaikan menelitinya. Hanya dia mengutip dari ulama sebelumnya. Ada yang seperti itu.
Dan juga apa yang dipermasalahkan oleh Mas Memo Napis, bahwa jumlah ismiah itu apa namanya tidak konsisten. Dengan tidak konsistennya ini berarti, bahwa dalil saya yang mengatakan bahwa anak Ahmad bin Isa itu hanya tiga berdasarkan kitab. Hai eh eh saja alamu barokah ini gugur kata masmemun hafiz ya ternyata seperti itu itu bukan gugur tapi masmemun belum tep belum mengerti cara ulama ahli nasab menulis sebuah kitab nasab kalau mengerti tidak mungkin masrumel udah ngerti itu karena udah pernah debat dengan saya seperti ini masalah kenapa dalam tahribul ansab pada empat di dalam aja al-majdi ada delapan kosaja barokah ada tiga itu Mas Lumel udah paham, maka dia tidak sebutin lagi dalam kitab menakarnya itu masih ada begitu tapi sekarang mungkin dia tidak lagi jadi cuma ismiah itu jangan dikira Dikatakan begini juga tadi Mas Maimun Nafis, bahwa yang mengatakan jumlah ismiah itu haser itu, yaitu Sehmadirojai, dia itu sudah membantah katanya Imaduddin sendiri. Bagaimana Imaduddin lebih tahu dari penulisnya?
Mas Maimun, jumlah ismiah sebagai haser itu bukan kalimat dari Sehmadirojai. Jumlah ismiah itu adalah kaidah para pakar nasab, bukan hanya Sehmadirojai. Coba, dalam kitab...
Um Dato'Talib Ibnu Inaba halaman 340 itu persis sama ibarahnya Mas Maimun Nafis bahwa jumlah ismiah itu apabila ditulis dalam kitab nasab itu artinya haser, hanya tiga tadi Mas Maimun juga buktinya ada kitab yang lebih tua kemudian malah lebih banyak daripada kitab seluruhnya itu saya katakan tadi ada ulama nasab yang males meneliti dia hanya mengutip Dari ulama nasab yang masa lalu, seperti Ibn Inabah, ketika mencatat nama anak Ahmad bin Isa di abad 9, dia persis sama, hanya menyebutkan Muhammad dengan apa yang ditulis oleh kitab Tahlibul Ansab di abad ke-5. Itu yang demikian, itu namanya para penulis nasab karena dianggap ini tidak terlalu penting atau memang di luar jangkauannya, akhirnya dibiarkan dia hanya mengutip kitab-kitab sebelumnya. Kemudian, Ada lagi yang disebutkan oleh Mas Maimun Nafis Begini, mengenai tadi kitab-kitab nasab jumlah isminya Tapi kok berbeda-beda, ada 4, ada 3, ada 8 Disebutkan kan nama-namanya Ini Mas Maimun Nafis, kitab-kitab nasab dari tahadibul ansab Menyebut hanya 4, kemudian al-Masdi 8 Namanya disebutkan semua kan Kemudian As-Sajarah Mubarakah menyebut tiga. Ketika tidak disebutkan pun oleh Kitab As-Sajarah Mubarakah, nama-nama yang empat itu, yang ada di Al-Masjid, itu disebutin. Jadi memang sosoknya ada gitu di abad kelima.
Tetapi Ubed tidak begitu. Dia sudah tidak disebutkan di As-Sajarah Mubarakah, di Tahtibul Ansar pun tidak ada, di Kitab Al-Masjid pun tidak ada, di Al-Muntakilatutalibiyah pun tidak ada. Dalam kitab Al-Asili tidak ada, dalam Al-Fahri tidak ada, dalam Ashabatul Mus'an tidak ada, dalam kitab Umdatut Talib tidak ada, di dalam kitab An-Nafah Al-Ambariyah tidak ada. Nah ini bedanya itu dengan apa yang tadi dipermasalkan oleh Mas Maimunabdus. Apa-apa yang tidak disebutkan di dalam Sajal Mubarakah, tapi disebutkan di dalam kitab Tahtibul Ansab, ini membuktikan bahwa sosoknya pernah ada di abad kelima walaupun tidak disebutkan di abad ke-6.
Tetapi untuk Ubaidillah sudah dia tidak disebutkan di Sajamu Baraka sebelumnya pun tidak disebutkan tidak ada. Abad kelima ada kitab tiga yang bisa diakses yang berkaitan dengan kitab apa namanya nama Ahmad Bin Isha sama sekali tidak ada nama Ubaid. Kemudian abad-abad setelahnya itu sampai abad sembilan sampai abad itu diciptakan pada abad sembilan tidak ada.
Ini yang saya katakan yang disebutkan oleh Mas Memo Nafis itu memeluhatkan saya sebenarnya. Kemudian bikin faidah, Mas Ripki. Ini Mas Mayunafis ini bikin faidah. Kata dia, As-sukut alan nasab, wa adamu dikri, la yu'tabar fi ilmin nasab, li anna saqita, yahtamilu fi amrihi aljahalatu, aw akhada anil jahili, awil ikhtisaru. Maknanya begini, diam terhadap nasab, dan tidak menyebut itu, tidak bisa dijadikan patoka dalam ilmu nasab.
karena orang yang diam itu mungkin saja dia tidak tahu atau mengambil dari orang yang tidak tahu atau dia niatnya meringkes saya baru mendengar ini ada kaedah begini mas Rifi berarti sebelumnya belum ada kaedah itu ya? iya kayaknya ini, kayaknya dibikin sendiri ini berarti itu bisa dipertanyakan ya iya itu kaedah dari mana? harusnya tadi mas Mabdi Dikara sebagai apa namanya itu moderator ya yang dari Institut Ilmu Al-Quran IIKI Jakarta itu mempertanyakan ini kaida dari mana gitu?
kata Mas Maimun, dari saya nah, diam terhadap nasab dan tiap tidak menyebut itu tidak dapat dijadikan patokan dalam ilmu nasab karena orang yang diam, penulis nasab misalnya Mungkin saja dia tidak tahu atau mengambil dari orang yang tidak tahu atau niat meringkas. Ini koidah apa namanya ini. Kita bisa uji juga secara metodologis ya, orang diam terhadap nasab, tidak menyebutkan dia tidak bisa dihitung dalam ilmu nasab, apalagi yang menyebutkan. Orang menyebutkan nasab, ini anaknya tiga, ini harusnya yang dihitung kan, tidak menyebut tidak bisa jadi patokan, tapi yang menyebut juga harus jadi patokan. Jadi yang menyebut itu yang harus jadi patokan, tidak menyebut itu jangan jadikan patokan, betul.
Kalau maksudnya dia kan mungkin tidak menyebut nama Ubedillah, jangan dijadikan patokan bahwa Ubedillah tidak ada. Maksudnya begitu dia. Tetapi ibaratnya kurang sempurna.
Karena orang yang diam itu mungkin saja dia tidak tahu. Ya betul, orang yang diam itu mungkin tidak tahu. Berarti tidak tahu kan?
Iya, berarti tidak tahu. Kalau tidak tahu yaudah. Berarti tidak tahu itu bisa jadi karena memang tidak ada orang itu. Makanya dia tidak tahu kan?
Karena memang... objek apa ilmunya tidak ada atau dia mengambil orang yang dari tidak tahu tentang sesuatu yang tidak ada itu atau dia niat meringkas ini niat meringkas ini apa masrumel pernah saya kuliahi gratis tentang istisor ini apa makna muhtasor dalam ilmu nasyad mungkin mas Maimon Hai nanti sini bisa bertanya pada masrumel tuh ya tentang Bagaimana kuliah daripada Aiman Tutin Usman tentang kitab Muqtasar. Kemudian seharusnya yang dijadikan oleh Mas Maymun Hafiz sebagai kuaidah, ini kitab apa yang akan saya sebutkan jelas, kuaidahnya jelas, ada di kitab jelas. Silahkan Mas Maymun Hafiz buka kitab Al-Wajiz Fi Idhahi Qawa'idil Fiqhi, karya Muhammad Siddiq, halaman 205. As-sukut fi ma'radil hajati bayanun.
As-sukut fi ma'radil hajati bayan. Diam ketika dibutuhkan itu menjelaskan sesuatu. Orang diam ketika dibutuhkan itu menjelaskan sesuatu.
Apa sesuatu itu? Memang sesuatu itu tidak ada. Dia diam terhadap anak Ahmad bin Isa yang bernama Ubed.
Itu adalah bayan. Menjelaskan bahwa Ubad ini bukan anak daripada Ahmad bin Isa. Kemudian pakai kaedah lagi. Tidak mesti tidak adanya dalil, itu tidak adanya madlul. Betul.
Tetapi ada kaedah lagi. Bahwa kalau kita sudah mengetahui tidak ada dalilnya, maka itu adalah Petunjuk biadamil madlul bahwa madlulnya tidak ada. Saya sudah mencari.
Benar-benar mencari. Benar-benar mencari. Adakah dalil tentang ubet?
Tidak ada. Kita cari dalam kitab abad keempat. Te'ayat.
Dalam kitab abad kelima. Te'ayat. Dalam kitab abad keenem.
Orono. Dalam kitab abad ketujuh. Germawjit.
Dalam kitab. abad ke-8 nating dalam kitab abad ke-9 kitab nasab pokoknya usorono pokoknya nah ini kita sudah mengetahui tidak adanya dalil berarti ini menunjukkan tidak adanya madlul memang tidak ada ini orang ahli nasab mengatakan bahwa Ubed adalah anak Ahmad bin Nisa tidak ada jadi kok lah layal zamu min Adam id dalil Adamul madlul Ini jangan dipakai, yang dipakai adalah ilmu biadamid dalili dalilun ala adamil madlul Itu Mas Rifi yang bisa saya sampaikan