Intro Ku beri nama pedang ini Naga Puspa Selamatkan dia. Jangan sampai jatuh ke tangan pendekar berwatak jahat. Kakam Kamandano.
Kau masih juga tidak percaya bahwa aku mencintaimu? Maisin, maafkan Tutur Tinula Sebuah sandiwara radio serial, produksi Sanggar Cerita dan teater Sanggar PraTV. Sebuah kisah dengan latar belakang sejarah runtuhnya Singa Sari dan berdirinya...
Kerajaan Majapahit. Sandiwara ini didukung oleh pemain-pemain radio yang sudah ternama. Ferry Fadli, Yvonne Rose, dan Eli Ermawati. Jangan lupa like, share, dan subscribe channel ini untuk dapat info terbaru dari kami.
Cerita ini ditulis dan disusun oleh S.Tijab. Teknik dan mentase dikerjakan oleh Rudy Tinangon dan Joko SP. Sutradara EWS Yuwono.
Kali ini mengetengahkan episode pertama dengan judul Pelangi di Atas Kurawang. Dalam seri yang ke-11 ini didukung oleh para pemain Ferry Fadli sebagai Arya Kamandanu M. Abud sebagai Arya Dwi Pangga Marlon sebagai Dangdi Eli Panca sebagai Nyi Rongkot Asdi Suhastra sebagai Empu Ranubaya Hari Aki sebagai Empu Hanggareks Lili Nur Indasari sebagai Narirate. Nusri pembawa cerita.
Selamat menikmati. Arya Kamandanu sama sekali belum menangkap apa sebenarnya yang dimaksudkan Dangdi. Dia malah mencurigai anak kepala desa Manguntur itu mau berbuat curang dengan memancingnya datang ke Candiwal Landit. Dangdi, kau ingin aku pergi ke Candiwal Landit? Aku bukan orang yang terlalu bodoh untuk bisa kau jebak dengan cara semudah itu.
Kau mengira aku menjebakmu, kawan Danu? Buat apa? Banyak orang yang telah mengenal kelicikanmu, Dangdi.
Dan orang-orang itu telah menyampaikannya padaku. Ya, terserah Kamandanu. Mau percaya atau tidak bukan urusanku.
Tapi kalau kau ingin tahu tentang diri pacarmu itu, nah, sebaiknya kau turuti apa yang kukatakan. Pergilah berkuda ke Candi Walandit. Kalau aku ingin menemui Narirati, aku akan ke Manguntur, kapan saja aku mau. Bukan ke tempat dimana kau pernah akan memperkosa gadis itu.
Nah, Dangdeh. Apa katamu sekarang? Kasian sekali kau, Kamandano. Kasian Arya Kamandano. Ada seekor serigala tidur bersamanya dan telah menerkam daging pahanya tapi dia tidak merasa.
Kasian. Apa maksud kata-kata Dangdi itu? Ada seekor serigala telah tidur bersamaku dan telah menerkam daging pahaku. Tapi aku tidak tahu. Apa maksudnya?
Huh, masa bodoh. Orang seperti Dangdi memang banyak akalnya untuk mencelakakan lawannya. Kalau tidak waspada, aku bisa terjebak.
Sampai menjelang senja, Arya Kaman Danu berada di tepi padang ilalang. Matahari mulai kemerah-merahan ketika pemuda itu menyentakan tali kudanya. Dan sebentar kemudian, hewan berkasa itu telah berlari bagaikan terbang. Aku berkelana mencari cinta ke desa-desa yang jauh.
Akhirnya di Candi Walandit, kupuaskan dahagaku. Apa maksudnya kakang Dewi Pangga menuliskan syair ini? Candi Walandit. Apa ada hubungannya dengan kata-kata Dangdi?
Malam itu Arya Kamandanu tak bisa tidur. Pikirannya terganggu oleh bunyi syair kakaknya yang ditemukannya di halaman rumahnya. Pagi harinya, dia mencoba membicarakan masalah itu dengan Arya Dwi Pangga. Aku menemukan sobekan daun rontal ini di halaman. Barangkali tertiup angin yang menerpa daun jendela kamarmu, Kakang.
Iya, ini memang syairku. Terima kasih, Adhika Mandanu. Syairmu itu bagus.
Aneh sekali. Bukankah kau tidak menyukai syair? Mengapa tiba-tiba kau memuji syairku?
Maaf, kalau Kakang di panggak keberatan mendengar pujianku. Ada yang ingin kau ketahui tentang syair ini? Ada yang ingin kau ceritakan tentang syair itu?
Ah, syair ini tidak istimewa, hanya mengisahkan dua insan yang sedang mabuk asmara. Setiap orang mengalaminya, tidak ada yang istimewa. Kalau kau mengatakan bagus, barangkali ada alasan tertentu. Sudahlah, untuk apa kita bicara soal syair? Syair tidak untuk dibicarakan, tapi untuk dinikmati.
Kakang Dewi Pangga, kata-katamu terlalu angkuh. Seolah-olah kau mampu menelan seluruh isi bumi ini dengan syairmu. Adikamandanu.
Mungkin kau tidak akan percaya kalau kukatakan bahwa aku bahkan sanggup menelan matahari dengan baik-baik syairku. Memang, sejak peristiwa beberapa waktu yang lalu, yang menyangkut diri Nari Ratih, dua bersaudara itu nampak tidak rukun lagi. Hubungan mereka tidak selaras lagi. Nyi Rongkot yang tahu dua momongannya, sering terlalu berbicara.
Terlibat ketegangan, tak mampu berbuat apa-apa, kecuali mengelus dada. Ger, Kamandano, mau kemana? Aku mau pergi, bibi.
Bibi jaga rumah. Jangan kemana-mana dulu sebelum aku kembali. Wah, wah, wah. Kau semuanya pergi.
Angger Dwi Pangga sudah sejak pagi tadi. Pergi belum kembali. Sekarang Angger Kamandanu juga mau pergi. Ha, Semuanya pada senang pergi, biarlah, biar aku saja yang sudah tua ini di rumah saja.
Apakah ada hubungannya antara syair yang ditulis Kakang Dwi Pangga dengan apa yang dikatakan Dangdi? Kuperhatikan akhir-akhir ini, memang dia jarang di rumah. Sering pergi dan tidak meninggalkan pesan apa-apa pada Bikrongkot. Aku jadi penasaran.
Barangkali jawabannya ada di Candiwalandit. Aku harus ke sana sekarang juga. sebaiknya kuda ini kutinggal disini saja aku akan jalan kaki ke Candiwalandit aku akan masuk dari arah Gapura bagian belakang Hatiku mendadak berdebar-debar Jangan-jangan peristiwa yang bakal ku alami Adalah peristiwa yang menyakitkan Persetan Mengapa kau menangis, Rati? Tidak ada yang perlu kau tangisi lagi. Tangisku adalah tangis bahagia, kakang.
Seorang wanita juga akan menangis kalau hatinya sedang tertimpa kebahagiaan yang tiada tarahnya. Coba kau pejamkan matamu barang sejenak. Nanti aku jatuh tertidur. Kalau kau tidur, aku akan terbaring menunggu di sampingmu.
Nah, sudah aku pejamkan mataku. Sekarang, apa yang mau kau lakukan, kakang? Awas, jangan nakal.
Kalau aku nakal? Aku akan menjerit. Tidak ada seorang pun yang akan mendengar kau menjerit.
Ada! Aku yang akan mendengar dia menjerit! Kamandanu!
Apa yang kau lakukan di situ? Turunlah! Mau apa kau datang ke Mahrikamandhanu?
Mau mendengarkan syair-syairmu tentang wanita? Pedebak! Jangan, kakang. Jangan bertengkar.
Kau anak tidak tahu sopan santun. Apa kau tidak mempunyai pekerjaan lain selain mengintip orang? Rupanya benar apa yang dikatakan Dangdi.
Aku telah tinggal serumah dengan seekor serigala. Dan sekarang serigala itu sudah menerkam daging pahaku sendiri. Kalau aku serigala, maka kau adalah seekor kledai. Kau kledai yang paling dungu. Bagaimana kau sampai tidak...
Kau tidak tahu daging pahamu kuterkam. Kakang Dewi Pangga, sekarang baru aku tahu siapa dirimu yang sesungguhnya. Berpuluh tahun kita hidup satu atap sebagai saudara. Tapi baru sekarang aku melihat Arya Dewi Pangga yang sesungguhnya pencuri maling. Hei, Kamandano, peliharlah kata-katamu.
Ini ada seorang wanita, berlakulah sedikit sopan. Jangan berpura-pura suci, Hai Serigala. Kedokmu sudah tersingkap.
Belangmu sudah terungkap. Mau apa kau sekarang, ha? Mau mungkir?
Tidak kuduga. Dengan alasan menolongku, dengan berpura-pura baik padaku. Rupanya kau seorang pencuri paling tengik Kamandanu Ingat Aku adalah saudara tuamu Aku tidak punya saudara tua seperti kau Bagus Sekarang kau mau apa? Aku mau ini Jangan! Hentikan semua ini!
Narirati, minggirlah kau. Tidak! Jangan, kakang Kamandhanu.
Jangan bertengkar dengan saudaramu sendiri. Aku tidak mempunyai saudara seekor serigala. Minggir!
Sudahlah, kakang. Akulah yang bersalah. Bukan kau yang bersalah, Narirati.
Dia itulah yang menerkam dari belakang. Dia memang licik seperti serigala. Aku yang bersalah, kakang.
Nari Rati yang bersalah, bukan kakang Dwi Pangga. Kau mau minggir atau tidak, Nari Rati? Minggirlah dan lihatlah.
Bagaimana pisau ini akan menguliti Serigala Jahanam itu? Tidak. Minggir! Tidak!
Lebih baik bunuhlah aku, kakang. Akulah yang bersalah. Bunuhlah Nari Rati.
Nari Rati. Kakang Dwi Pangga tidak bersalah. Akulah yang bersalah. Kalau kau mau membunuhnya, bunuhlah aku lebih dulu. Jahannam!
Semua jahannam! Semua pencuri! Pencuri busuk! Tidak kusangka, kalian berdua mengkhianati aku.
Kalian mencuri busuk, manusia comberan. Aku muak melihat kalian. Kakong duit bangka, apa yang akan kita lakukan sekarang?
Aku merasa berdosa pada adikmu, kakak Mandano. Tenanglah, Rati. Bukankah ini sudah menjadi tekad kita berdua? Sudahlah, hentikan tangismu. Semua ini akan berlalu.
Berlalu seperti angin yang menerpa rambutmu ini. Arya Kemandanu merasa sangat terpukul melihat Nari Ratih yang rupanya sudah terjerat oleh permainan asmara Arya Dwi Pangga kakaknya sendiri. Malamnya, dia tidak pulang ke rumahnya, melainkan terus berkuda dan tak tentu arah dan tujuannya.
Di suatu saat, ketika bulan mulai tersembul di balik punggung bukit kurawan, Arya Kamandanu melompat dari atas kudanya. Semuanya jahannam. Maya pada ini penuh setan-setan.
Tak ada yang beres. Semuanya palsu. Apa gunanya semua ini?
Apa artinya semua ini? Bacikan, kesatriaan, kepahlawanan, pekerti luhur yang diajarkan para dewa. Apa artinya?
Hai dewa-dewa yang bersemayam di atas langit, turunlah dari atas tahtamu dan jawablah pertanyaanku ini. Apa maksudmu dengan semua ini? Mengapa kau bungkam?
Mengapa kau membisu? Ayo, jawablah pertanyaan Arya Kemandalu! Siapa kau?
Aku bukan dewa. Tapi akulah yang akan menjawab pertanyaanmu itu, anak muda. Aku tidak membutuhkan kau. Aku mau dewa yang datang.
Anak muda, kau tidak pantas bertanya seperti itu. Tidak sopan, bahkan kurang wajar. Apa pedulimu? Berani kau membukulku seenak perutmu.
Mengapa tidak berani? Memukul anak muda seperti kau, sama mudanya dengan mengembuk anjing. Sudahlah, tak ada gunanya kau menyerang.
Kecuali kau ingin kubuat babak belur. Siapa kau ini? Kau pasti orang jahat Karena kau tidak berani memperlihatkan wajahmu Di balik cadar hitamu itu Mungkin aku Tapi paling tidak, aku bukanlah manusia kelas kambing seperti kau.
Kau mengenalku? Pemuda seperti kau ini banyak berceceran di pinggir jalan. Pemuda kusut, pemuda berjiwa bekicot, tidak tahan bantingan. Kalau aku mempunyai anak seperti kau, sudah aku lempar ke dasar jurang biar menjadi makanan burung gagak. Iya, kau benar.
Aku memang pemuda berjiwa bekicot. Aku pemuda tak berguna. Maka lebih baik aku mati saja. Bunuhlah aku! Bunuhlah aku, hai setan malam!
Hehehe, rugi tanganku membunuh pemuda seperti kau. Lebih baik membunuh sekor babi hutan, bisa dipanggang untuk makan malam. Hei, mau kemana kau?
Aku tak ada waktu bicara dengan orang seperti kau, eh, tapi sebelum pergi ingin ku nasihatkan padamu. Jadilah pemuda yang tegar, penuh semangat, eh, kau tidak bisa merengek pada... Siapa pun untuk memperbaiki nasibmu juga tidak bisa menyalahkan keadaan.
Apalagi memakimaki dewa yang menguasai jagad raya ini. Nah, ingat-ingatlah kata-kataku ini. Hewan nafsumu jangan sampai memporok-porodakan akal sehatmu. Siapa orang itu? Ilmu kenuragannya hebat.
Dua kali kepalan tangannya menyambar tengkuku. Tapi, siapapun dia, aku harus berterima kasih padanya. Arya Kamandanu merasa malu sekali.
Kata-kata manusia bercadar hitam itu telah menyentuh ujung harga dirinya sebagai laki-laki. Karena itu, buru-buru dia menata kembali pikirannya yang sedang kalut. Sebelum kemudian, melompat ke atas kuda dan pulang ke rumahnya.
Ayah, ayah sudah kembali? Dari mana saja kau, Kamandano? Dari rumah seorang kawan ayah. Kawan perempuan? Kau bisu sekarang?
Tidak, ayah. Kawan laki-laki. Mukamu kuyuh.
Rambutmu acak-acakan. Pakaianmu kumal. Kau ini anak manusia atau anak demit?
Duduk. Iya, ayah. Kamandhanu dan Kodwipanda. Iya, ayah. Kalian berdua ini seperti anak-anak setan.
Kalian telah membuat aku malu. Kalian telah mencembarkan nama baikku, nama baik Hanggareksa, ayahmu. Baru saja aku masuk perbatasan Kurawan, dan orang-orang sudah menyambutku dengan omong-omongan yang menyakitkan telingaku.
Dwi Pangga, apa yang telah kau lakukan dengan Parwati, anak gadiski di Pangkaradasa? Hah? Jawab! Kau mempunyai lidah untuk menjawab, Dwi Pangga?
Maafkan saya, ayah. Saya mengaku bersalah. Daniko Kamandano. Dulu kau pendiam, kau penurut, dan aku bangga karena aku pikir kau mewarisi darah seorang puh. Kau punya bakat mencipta barang-barang pusaka.
Tapi sekarang aku kecewa kau sudah terjrumus bermain perempuan seperti kakakmu itu. Apa yang kau lakukan terhadap anak gadis Rekianwuru? Dan apa yang kau lakukan terhadap Dangdi, anak kepala desa Manguntur itu?
Hayo jawab! Arya Kemen Danu tidak segera menjawab pertanyaan Empu Hangga Reksa ayahnya. Dalam hati, dia bimbang.
Jawaban apa yang harus diberikan? Nah, para pendengar sekalian, silakan mengikuti kelanjutan kisah ini dalam seri berikutnya. Sampai jumpa.