Transcript for:
Pemikiran Tan Malaka dan Madilog

Bayangkan tahun 1943, dunia sedang bergolak dalam Perang Dunia Kedua. Indonesia berada di bawah cengkeraman fasisme Jepang, sementara bayang-bayang kolonialisme Belanda belum sepenuhnya pudar. Di sebuah tempat pengasingan yang sunyi di Batavia, seorang pria kurus dengan kacamata tebal menulis dalam keheningan. Tangannya tak hanya mencengkeram pena, tapi juga menggenggam api revolusi.

Dialah Tan Malaka, sang legenda yang hilang, bukan senjata atau strategi perang yang ia susun. melainkan senjata paling berbahaya. Cara berpikir, inilah Madilog, akronim dari materialisme, dialektika, logika. Sebuah buku yang ingin membongkar belenggu feudalisme dan kebodohan yang membius rakyat Indonesia selama berabad-abad. Tapi apa sebenarnya yang Tan Malaka lakukan?

Ia menantang nalar kita. Ia seolah berteriak, berhenti percaya pada mitos. Hancurkan mental kebo di cucuk hidung yang membuat kita hanya bisa menurut.

Bagi Tan, revolusi fisik tanpa revolusi pikiran adalah sia-sia. Madilok adalah pisau bedah untuk mengeluarkan tumor feudalisme dari otak bangsa. Ia tak mau rakyat jadi kerbau yang hanya bisa dicocok hidungnya oleh penjajah, tuan tanah, atau dukun palsu. Di halaman-halamannya, Tan Malaka membeberkan tiga senjata.

Materialisme, berpikir berdasarkan fakta, bukan mimpi kosong. Dialektika, cara memahami pertentangan untuk melahirkan kemajuan. Dan logika, senjata untuk membedakan mana akal sehat, mana omong kosong. Tapi ini bukan buku untuk dibaca sambil lalu.

Ini adalah ledakan yang sengaja ia kubur sebagai bom waktu bagi generasi mendatang. Pertanyaannya, mengapa pemikiran sebrilian ini nyaris tenggelam? Mengapa kita lebih hafal nama pahlawan berseragam, tapi lupa pada sang pemikir yang menggagas republik bahkan sebelum Indonesia merdeka? Dan yang paling kritis, di era hoax, konsumerisme, dan mentalitas instan, bisakah Madilok menjadi penawar racun bagi bangsa yang masih terjebak antara mitos dan realitas?

Inilah kisah tentang buku yang ditakuti penguasa, digagumi aktivis, tapi terlupakan oleh sejarah. Sebelum kita menyelam ke dalam isinya, ingatlah, Madilok bukan sekadar kumpulan teori. Ini adalah peringatan, bahwa selama kita masih berpikir dengan logika kebun binatang, selama itu pula kemerdekaan sejati hanyalah ilusi. Mari kita mundur ke tahun 1943. Indonesia berada sepenuhnya dalam cengkraman militer Jepang yang datang dengan topeng saudara tua, sementara bayang-bayang kolonial Belanda masih melekat dalam sistem dan pikiran.

Di tengah bayang-bayang perang dan tekanan penjajahan, Tan Malaka, sang buronan lintas rezim, bersembunyi di pelosok Batavia. Bukan untuk mengatur pemberontakan bersenjata, tapi untuk menulis sebuah buku yang ia sebut obat radikal bagi penyakit bangsa, Madilong. Bayangkan situasi ini, rakyat Indonesia terjepit di satu sisi, Jepang menjanjikan kemerdekaan palsu sambil menyiksa Romusha. Di sisi lain, feudalisme lokal masih membelenggu. Rakyat kecil dianggap kibu dicucuk hidung hanya bisa nurut pada priayi dan penguasa.

Tan Malaka melihat ini bukan sekadar penjajahan fisik, tapi penjajahan pikiran. Mental kebun binatang, katanya mental budak yang rela dikandang asal diberi makan. Di tengah kepungan inilah Madilok lahir. Buku ini ditulis dengan darah dan amarah.

bukan dari perpustakaan mewah, melainkan dari ruang pengasingan yang sunyi, di tengah bayang-bayang kekuasaan militer Jepang. Tapi kenapa Tan Malaka justru memilih menulis, bukan mengangkat senjata? Jawabannya ada di kata pertama Madilong, materialisme.

Bagi Tan, revolusi fisik akan gagal, jika mental bangsa masih dijajah mitos dan takayul. Ia meyakini, kita bisa usir Belanda, tapi selama pikiran kita masih dijajah dongeng feodal, kita tetap budak di negeri sendiri. Madilok adalah perlawanan paling subversif, serangan ke jantung cara berpikir yang mandul. Tan Malaka mengejek kaum terpelajar zaman itu yang hanya pintar ngomong Belanda, tapi tak mampu berpikir untuk rakyat. Ia juga menohok feodalisme Jawa yang dianggapnya penyakit turun-temurun.

Dalam sindirannya yang pedas, ia menyampaikan, Bangsaku lebih takut pada hantu gunung daripada penjajah yang merampas tanahnya. Tapi ini bukan sekadar kritik, Madilok adalah blueprint revolusi mental. Tan Malaka ingin mengganti logika mistis dengan logika ilmiah. Baginya, kemerdekaan sejati harus dimulai dari otak, bukan sekadar upacara pengibaran bendera.

Di sini, di tengah kegelapan Perang Dunia Kedua, seorang diri ia menantang arus zaman. Ia percaya, selama cara berpikir rakyat masih dijajah oleh tahayul dan feudalisme, kemerdekaan hanyalah topeng dari perbudakan baru. Pertanyaannya, mengapa buku sepenting ini justru ditulis dalam situasi paling mencekam Mungkin karena Tan Malaka tahu perang akan berakhir Tapi pertempuran melawan kebodohan abadi Dan disitulah letak kecerdikannya Madilok bukan untuk dibaca tahun 1943 Tapi untuk Indonesia masa depan yang ia impikan Madilok bukan mantra, tapi senjata Di tangan Tan Malaka, tiga kata ini Materialisme, Dialektika, Logika dijadikan peluru untuk menembus tembok kebodohan. Mari kita bedah satu persatu. Pertama, materialisme.

Bagi Tan Malaka, ini bukan sekadar filsafat Karl Marx yang seram. Materialisme versinya sederhana. Berdirilah di atas bumi, bukan di atas awan. Artinya, berpikirlah berdasarkan fakta, bukan dongeng. Contohnya, jika rakyat kelaparan, jangan cari solusi di ritual tolak bala.

Lihatlah tanah yang dikuasai Tuan Feodal. Hitung hasil panen yang dirampas Jepang. Materialisme adalah kacamata untuk melihat dunia nyata Bukan dunia yang dibayangkan para dukun atau penjilat penguasa Kedua, Dialektika Ini adalah ilmu tentang pertentangan Tentang bagaimana perubahan lahir dari konflik Tan malaka terinspirasi dari Hegel Yang percaya bahwa sejarah bergerak lewat benturan gagasan Tapi Tan tidak ingin kita sekadar jadi penonton akademis Ia ingin kita mengerti Kolonialisme, tesis, melahirkan perlawanan rakyat, antitesis Dari pertarungan itulah lahir kemerdekaan Sintesis, tapi kemerdekaan sejati Hanya lahir jika mental kita juga merdeka Jika tidak, maka sintesis itu Hanyalah ilusi yang dibungkus bendera Ketiga, logika Disinilah Tan Malaka paling beringas Ia menyerang cara berpikir ala dukun Jika mandi tujuh kembang, maka rezeki lancar Bagi Tan, logika ilmiah Seharusnya berbunyi Jika tanah subur dan dikelola adil, maka rakyat makmur Logika Madilok adalah pisau bedah Untuk membedakan fakta dan omong kosong Ia percaya Kebodohan tidak berasal dari kurangnya teknologi, tapi dari cara berpikir yang sudah lama sakit dan tidak diobati. Tapi kejeniusan Madilok terletak pada integrasi ketiganya.

Materialisme memberi dasar fakta, dialektika merancang gerakan perubahan, logika menjadi filter kebenaran, tanpa malah kepaham. Semangat tanpa strategi hanya menghasilkan kegagalan heroik. Dalam konteks perjuangan, kita tak cukup hanya dengan bambu runcing. Kita butuh industri dan data, materialisme, taktik yang memahami konflik kekuasaan, dialektika, dan keputusan yang berbasis analisis rasional, logika.

Tan tidak hanya ingin kita berjuang, ia ingin kita menang secara berpikir. Di titik ini, Madilok melampaui zamannya. Tan Malaka bukan hanya menggugat penjajah, tapi juga cara berpikir kita yang nerimo.

Ia membayangkan rakyat yang berani bertanya, mengapa harga kopi di pasar Amsterdam lebih mahal daripada upah kulik kebun di Jawa? Atau, mengapa seorang buruh harus sungkem pada majikan yang tak bayar upah? Tapi inilah paradoks Madilong, buku yang ditulis untuk rakyat jelata justru membutuhkan keberanian luar biasa untuk dicerna. Sebab, menerima materialisme berarti mengakui kemiskinan kita bukan kutukan, tapi hasil eksploitasi.

Memahami dialektika artinya siap berkonflik dengan status quo. dan berpegang pada logika berarti meruntuhkan mitos-mitos yang selama ini jadi selimut nyaman. Bayangkan dua dunia yang bertarung. Di satu sisi, logika feodal yang mengakar sejak era kerajaan, di mana rakyat hanya kacang yang rela digiprek oleh ningrat.

Di sisi lain, madilok yang membawa gergaji untuk memotong rantai itu, tan malaka tak main-main. Ia menyerang dua musuh bebuyutan, feodalisme yang membius dan mistisisme yang membodohi. Pertama, Feodalisme.

Di Jawa abad ke-20, priayi masih dianggap darah biru, sementara rakyat jelata diajari sembah sungkem sejak lahir. Tan Malaka menyebut ini penyakit turun-temurun. Ia menulis dengan getir bahwa bangsanya lebih sering bangga menjadi pelayan kekuasaan ketimbang menjadi tuan atas dirinya sendiri. Contoh nyata, saat Jepang datang, para bupati justru jadi perpanjangan tangan penjajah, memeras rakyat demi upeti untuk gusti baru. Bagi Tan, feodalisme adalah racun yang membuat rakyat legawa dijajah, asal para priayi tetap bisa duduk di kursi empuk.

Kedua, mistisisme. Tan malaka murka melihat dukun lebih dipercaya daripada dokter. Ia menyindir betapa tragisnya saat seorang petani yang kehilangan tanah justru lari ke jurukunci makam keramat, meminta jampi-jampi demi panen selamat. Ini bukan tradisi mulia, tulisnya dalam semangat tajam, melainkan kemalasan berpikir.

Dalam Madilog, ia mencibir praktik pesugihan dan takhayul yang menjanjikan kekayaan instan, sementara ketimpangan ekonomi dibiarkan tanpa gugatan. Alih-alih menyembah genderuwo di gunung, mengapa tidak protes pada tuan tanah yang memonopoli harga pasar? Tapi serangan paling tajam Madilok justru diarahkan ke cara berpikir enrimu. Tan Malaka menyindir budaya yang terlalu mudah pasrah pada nasib, pada sistem, pada adat.

Ia mencontohkan betapa banyak rakyat yang memilih diam, dengan dalih alon-alon asal kelakon. Padahal yang terjadi adalah kemalasan untuk berinovasi. Ia membayangkan petani yang berpikir secara madilogian. Jika pupuk kimia mahal, mengapa tak membuat kompos sendiri?

Jika lahan sempit, mengapa tidak berpikir vertikal? Bagi Tan, mental pasrah adalah musuh kemajuan. Lebih berbahaya dari senapan mesin, karena ia membunuh tanpa suara. Respon penguasa, madilog dibenci hampir semua pihak.

Bagi Belanda, ini karya subversif yang berbau komunis. Jepang, yang sedang mempropagandakan diri sebagai saudara tua. tentu tak suka dengan tulisannya. Membangkitkan nalar kritis, bahkan kaum pria hijaua marah karena tradisi Kaulagusti dianggap penyakit.

Tapi justru disinilah kecerdikan Tan Malaka. Ia tak hanya melawan penjajah asing, tapi juga penjajah dalam jas, para elit lokal yang hidup dari kebodohan rakyat. Lalu, apa hubungannya dengan kita hari ini? Di era Gojek dan TikTok, feudalisme tak hilang, ia bermetamorfosis. Lihatlah gaya hidup sultan anak pejabat yang pamer mobil mewah, sementara buruh dipaksa sungkem pada bos yang tak bayar THR.

Mistisisme? Masih ada. Dari jimat politik powerbank, hingga ritual tolak bala pejabat korup yang sedang tersangka.

Tan Malaka mungkin tidak pernah menyaksikan sinetron atau influencer, tapi ia pasti mengenali gejalanya. Penjajahan modern yang tak butuh tentara, cukup lewat mimpi palsu dan logika yang dibungkam. Pertanyaannya, ketika kita lebih mudah percaya pada ujaran viral ketimbang data, atau masih menganggap kritik pada atasan sebagai durhaka, apakah kita belum sepenuhnya lepas dari logika kebun binatang yang ditertawakan Madilok 82 tahun silam?

Lalu, di mana jejak Madilok hari ini? Apakah gagasan Tan Malaka hanya menjadi debu di rak buku usang, atau justru diam-diam hidup dalam gerakan anak muda yang menuntut keadilan? Pertama, Madilok dan Aktivisme. Di era 1960, buku ini dibaca luas oleh kaum kiri, sebelum akhirnya dilarang total oleh Orde Baru. Tapi Madilok bukan milik eksklusif kaum Marxis.

Lihatlah gerakan buruh tahun 1998, yang menuntut UMR adil, mereka secara tak sadar menerapkan logika materialisme. Upah harus sesuai fakta kebutuhan hidup, bukan janji manis pemilik pabrik. Kedua, Madilok versus era digital. Tapi tantangan zaman kini lebih licin. Dulu musuhnya feudalisme, sekarang algoritma.

Tan Malaka mungkin akan tertawa pahit melihat kita. Sibuk clickbait judul provokatif, tapi malas verifikasi fakta. Hoax itu gejala klasik logika mistis yang ia kecam, percaya pada bumi itu datar dan nasa bohong, tanpa mikir. Ini sains, satir, atau cuma sensasi yang sengaja dibikin buat membodohi. Konsumerisme, itu feudalisme versi baru.

Kita rela jadi budak cicilan gadget demi gaya hidup sultan di media sosial. Tapi ada secerca harapan. Lihatlah anak muda yang kritis tanya, mengapa listrik mahal di Papua?

Atau bagaimana data kita dijual korporasi? Itu madilok dalam bentuk modern. Materialisme yang memaksa kita melihat ketimpangan.

Dialektika yang menolak status quo. Logika yang membedakan fakta dan ilusi. Ketua Ketua Ketiga, kritik yang tak bungkam. Tapi Madilok bukan kitab sempurna. Banyak yang menuding.

Tan Malaka terlalu mengagungkan akal. Melupakan spiritualitas sebagai jiwa bangsa. Ada benarnya. Saat nelayan Lama Lera berburu paus dengan doa dan tradisi. Apakah logika Madilok harus meruntuhkan itu?

Atau di Bali, di mana subak dan ritual jadi penjaga ekosistem. Bukankah itu dialektika yang harmonis dengan alam? Pertarungan ini masih berlangsung.

Di kampus-kampus, mahasiswa berdebat, haruskah kita menolak semua tradisi atau memilahnya dengan pisau bedah Madilok, pertahankan yang membebaskan, buang yang membelenggu. Seperti semangatan Malaka, revolusi bukan membakar sejarah, tapi menyulingnya. Lalu, bagaimana dengan pendidikan kita?

Sistem yang masih menghafal tanggal perang, tapi abai mengajarkan cara berpikir. Madilok mengingatkan, tak ada gunanya mengisi otak dengan data, jika tak diberi alat untuk mengolahnya. Bayangkan jika anak SMA diajak debat menggunakan dialektika, atau murid SD belajar membedakan iklan dan fakta. Itulah Madilok dalam praktik.

Tapi pertanyaan terbesar tetap menganga. Bisakah kita menerima Madilok tanpa dogma? Tan malakah seolah berbisik, jangan percaya padaku, percayalah pada logikamu. Warisan sejati Madilok bukanlah jawaban, tapi keberanian bertanya. Seperti pemuda di unggahan TikTok yang viral itu.

Katanya Indonesia kayak sumber daya. Tapi mengapa utang kita menumpuk? Dimana salahnya?

Disitulah letak keabadian Madilok Ia bagai cermin yang memantulkan wajah kita Bangsa yang masih gamang antara mitos dan nalar Antara feudalisme lama dan kapitalisme baru Tantangan Tan Malaka masih relevan Berani berpikirkah kita? Atau seperti kata anak zaman sekarang Mikir dulu sebelum share Lebih dari 80 tahun setelah Madilok ditulis Indonesia masih berjibaku dengan pertanyaan yang sama Bagaimana cara berpikir merdeka? Di tengah banjir informasi dan gemerlap kapitalisme, warisan Tan Malaka mengingatkan kita. Musuh terbesar bukanlah penjajah asing, tapi pikiran kita sendiri yang malas, takut, atau terlalu nyaman terjajah.

Madilok bukan kitab mati. Ia adalah cermin yang memantulkan paradoks kita. Bangsa yang bangga menciptakan kris, tapi masih percaya pada pesugihan gunung kembar.

Generasi yang hafal teori Marx di kampus, tapi diam saja saat hak buruh di preteli UU. Kita ahli mengutuk kolonialisme Belanda, tapi tutup mata saat perusahaan asing mengeruk tambang di Papua dengan cara yang sama. Tapi dibalik semua ironi ini, Madilok menawarkan harapan. Setiap kali anak muda mempertanyakan kebijakan pemerintah lewat petisi daring, Itu dialektika.

Setiap kali ibu-ibu di pasar minggu menolak harga sembako fiktif dengan hitungan nyata, itu materialisme. Setiap kali kita verifikasi hoax sebelum share, itu logika. Perlawanan tak harus dengan bambu runcing. Di era digital, mengasah pikiran kritis adalah revolusi. Tan Malaka mungkin akan tersenyum sinis melihat Indonesia hari ini.

Tapi ia juga akan bangga pada segelintir orang yang tak mau jadi kerbau. Pada guru yang mengajak muridnya berdebat. Pada jurnalis yang menelusuri data hingga ke lobby korporasi.

pada kita yang tak lagi mau dicekoki mitos asal bapak senang. Penutup ini bukan akhir. Seperti sintesis dalam dialektika, madilok harus terus diperbarui. Tantangannya jelas.

Bisakah kita memadukan logika ilmiah dengan kearifan lokal? Menerapkan materialisme tanpa kehilangan empati? Berdialektika tanpa kebencian? Sebagai penutup, mari kita bayangkan seandainya Tan Malaka bisa berbicara langsung kepada kita hari ini. Ia akan berkata, jangan kau kira kemerdekaan ada di ujung pistol atau pidato.

Kemerdekaan ada di sini, di belantara pikiranmu yang berani menyangkal, mempertanyakan, dan membayangkan dunia lebih adil. Kini, pertanyaan kembali ke tangan kita. Maukah kita mewarisi Madilok bukan sebagai dokumen sejarah, tapi sebagai senjata hidup?

Atau kita biarkan buku ini tetap jadi bom waktu yang tak pernah meledak karena kita lebih memilih tunduk pada algoritma dan likes daripada berpikir merdeka? Salam Merdeka, untuk pikiranmu.