Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Hari ini, mulai hari ini, hingga ke tujuh pertemuan berikutnya, saya akan memenuhi diskusi perkuliahan kita dalam mata kuliah etika pemerintahan. Saya akan mulai pada pertama. Tentang pengantar ke arah studi etika data kelola pemerintahan atau saya ingat saja nanti jadi etika pemerintahan. Ada tiga bagian atau empat bagian.
Pertama adalah isu-isu pemerintahan. Yang kedua adalah korupsi sistemik. Yang ketiga adalah diagnosis. Dan yang keempat adalah basis kompetensi yang saya bayangkan, yang saya inginkan atas setiap perkuliahan yang saya akan sampaikan ini.
Kita akan yang pertama dulu. Nah, menurut studi dari Bank Dunia, terdapat enam ciri kelemahan kinerja pemerintahan di negara-negara berkembang dan negara-negara miskin. Yang pertama adalah...
Kelemahan dalam menerapkan paradigma pemerintahan. Paradigma pemerintahan yang benar adalah bahwa fungsi-fungsi pemerintahan itu memberdayakan melayani kepentingan umum pada tingkat yang atau derajat yang paling ideal. Yang ketiga misalnya bahwa posisinya adalah sebagai pendorong dari kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang bertanggung jawab atau yang dilakukan oleh rakyat.
itu adalah paradigma yang harus dipahami oleh setiap pelaku pemerintahan. Nah, kelemahan di negara-negara berkembang dan miskin tadi itu adalah karena terbalik dengan tujuan-tujuan dari konsep apa yang disebut sebagai paradigma pemerintahan. Paradigma pemerintahan yang terpraktekan di dalamnya di negara miskin dan berkembang tadi itu lebih menyerupa pada... Justru ingin dilayani, bukan melayani.
Itu yang dikonstatasi oleh Bank Dunia. Yang kedua, anggapan bahwa tugas utama pemerintahan itu identik dengan pembangunan fasilitas-fasilitas umum, fisik. Pembangunan-pembangunan yang menekankan pada aspek fisik saja.
Padahal pembangunan itu tidak melulu pada pembangunan fisik saja, tetapi juga... rohani, mentalitas, moralitas masyarakat. Kalau pada masa Orde Baru ada istilah, rumusan kalimatnya sangat baik, misalnya pembangunan yang tidak hanya menitik beratkan pada aspek fisik saja, tetapi juga mental, rohani, jadi imbang.
Antara jiwa dan raga, antara fisik dan non-fisik. Antara lahir dan batin itu selalu sepasang-pasangan gitu. Jadi kalau hanya menekankan pada aspek fisik saja, itu tidak menjangkau pada aspek spirit gitu ya, spiritualitas.
Saya kira itu belum bisa disebut pembangunan. Di zaman Odo Baru terkenal ada istilah, bukan istilah ya, rumusan kalimat yang... Sampai sekarang saya masih ingat bahwa pembangunan manusia Indonesia seutuhnya lahir batin, jiwa dan raga, rohani dan fisik, dunia dan akhirat. Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya utuh, karena manusia itu utuh.
Yang terdiri atas paling tidak dua komponen tadi. yang setangkap-tangkap tadi itu, lahir batin, spiritualitas, mentalitas, jiwa dan raga, lahir dan batin, dunia dan akhirat. Pembangunan manusia ini adalah satunya, dan ini dia yang penting, inklusif pembangunan manusia Indonesia seluruhnya. Itu kalau kemudian pembangunan hanya menitik beratkan pada fisik, Jalan itu pun dipersepit menjadi jalan tol, atau infrastruktur fisik.
Sedangkan infrastruktur itu sebenarnya tidak hanya fisik. Maka itu benar kata Bank Dunia dalam hasil risetnya ini. Yang ketiga, bahwa angkapan tugas-tugas pemerintahan itu hanya untuk menghabiskan anggaran publik saja. Kalau ada kegiatan, ya karena ada uangnya.
Kalau nggak ada kegiatan, ya nggak ada uangnya. Kalau ada uangnya, baru ada kegiatan. Padahal yang namanya pelayanan.
Itu berlaku selama 24 jam. Kalau orang hanya mau datang ketika ada SPPD-nya, ya saya kira itu sudah keluar dari anggapan yang benar. Kalau kegiatan pemerintahan itu tidak hanya menghabiskan angkaran, tetapi justru melayani tanpa angkaran. Soalnya sebenarnya mereka sudah digaji, jadi pelayanannya harus 24 jam.
Yang keempat adalah orientasi kerja hanya untuk meng... menggugurkan kewajiban. Ini agak parah ya, karena tugas-tugas pemerintahan itu wajib dimiliki oleh mereka yang digaji oleh negara. Nah, orientasi kerja tidak hanya karena menggugurkan kewajiban, yang itu sama artinya dengan hanya asal-asalan saja, tetapi harus benar-benar tidak hanya berangkat dari karena perintah. Tugas dari pimpinan atau hanya ingin menggugurkan karena undang-undang menyebut demikian, maka ya cukup saja datang, duduk, pulang, di kantor juga baca-baca media sosial.
Saya rasa itu parah lah. Jadi orientasi kerja jajaran birokrasi, para penyelenggaran negara, itu adalah bukan hanya untuk. Asal mengukurkan kewajiban saja, tapi dari sisi etika harus berangkat dari kedalaman untuk melayani kepada semua orang, kepada semua manusia yang telah membayar pajak, begitu. Ya, bukan hanya asal mengukurkan kewajiban. Yang kelima adalah bahwa pekerja hanya untuk memenuhi laporan, dan bukan proaktif, tetapi reaksioner.
Kalau ada masalah baru diselesaikan. Sedangkan cara supaya tidak timbulkan, tidak adanya masalah dalam urusan-urusan pemerintahan, maka itu tidak dilakukan. Padahal bekerja untuk memenuhi kewajiban sebagai bagian dari amanat negara yang telah mempercayakan kepadanya dan negara telah baik hati menggajinya, maka dalam cara kerja itu ya bukan hanya untuk memenuhi laporan. Laporannya itu rapat.
Tapi laporan itu selalu ada dua, laporan kegiatan dan laporan keuangan. Kalau sudah dijalankan, kalau sudah dipenuhi, maka selesai. Kalau tidak ada perintah atau tidak ada hal lain yang mengharuskan dia untuk bekerja, maka tidak dilakukan. Itu cara kerja yang tidak proaktifitas, tapi proreaktifitas.
Itu yang kurang dan itu dibaca oleh. Doi dan Hargrove dalam penelitian yang dibiayai oleh Bambung itu dalam gambaran dia sebagai hanya untuk memulai laporan dan proaktif tapi reaksioner. Yang berikutnya, yang ke-6 dan yang terakhir bahwa tidak cara kerja birokrasi tidak menambah sumber-sumber pendapatan yang dapat meningkatkan kesehatan rakyat.
Mereka hanya bekerja Untuk menerima sumber-sumber pendapatan baru, kepala pemerintahan yang kreatif di satu daerah misalnya, ketika di wilayahnya ada perbukitan atau pegunungan, karena kebetulan di pinggir gunung, di situ ada sumber mata air yang sangat deras, bahkan dalam volume maupun debit skala yang besar, maka itu kan sebenarnya bisa digunakan dan menjadi potensi ekonomi. Misalnya dengan mengusahakan cari investor untuk supaya dibuat bila perlu bendungan. Di situ ada turbinnya, turbin raksasa, lalu tingkat elektrisitinya masyarakat setempat, yang semula tidak terjangkau oleh listrik PLN misalnya. Ketika kemudian berhasil dibuat, bendungan itu lalu menggerakkan turbin, berapa tenaga daya yang bisa dihasilkan. Tidak berhenti sampai di situ, ketika kemudian dipikir bahwa potensi ini bisa dikembangkan untuk daerah objek wisata.
Maka kemudian kan bisa menambah sumber-sumber pendapatan baru, jelas untuk pemerintah, karena disitu nanti ada pembayaran retribusi, listrik yang dijual kepada rakyat dengan harga terjangkau, masyarakat yang berdaya beli lemah sekalipun disitu bisa punya kesempatan listrik, karena dari listrik itu kemudian anak-anak bisa belajar ketika tidak hanya... Mengandalkan pada lampu teplok, tetapi listrik sepanjang hari. Ibu-ibu bisa menambah sumber pendapatan baru terkait dengan misalnya bikin kue yang bisa dipasarkan, yang bisa didrop ke kota-kota, di banyak market-market, supermarket, minimarket yang sekarang pada menjamur itu. Lalu kemudian ada aktivitas.
Dasar bersamaan, dan pada dasar bersamaan, Karena kemudian di situ sebagai situs baru dalam aktivitas ekonomi, maka karadara wisata itu kemudian bisa, misalnya ibu-ibu bisa bekerja, bapak-bapak yang menganggur itu bisa jadi penjaga, dilatih sebagai pemandu wisata, dan seterusnya, sehingga multiplier effect itu didapat. Nah bagi yang tidak kreatif, ya. Tidak menambah sumber pendapatan baru, tetapi satu-satunya adalah menerima pajak. Kalau hanya sekedar menerima pajak, ya nilai tambah pemerintahnya nggak dapat.
Nah itulah yang ditengah oleh Bank Dunia dalam risetnya itu, ada enam isu tentang kelemahan kinerja jajaran pemerintahan di negara berkembang dan negara-negara miskin. Mudah-mudahan kita tidak dalam rangka ke sana, tetapi justru atau bahkan... Memenuhi, menolak terhadap enam ciri kelemahan dari negara berkembang ini, di mana misalnya masyarakatnya justru yang mendukung terhadap apa yang dilakukan oleh aparatnya, sedangkan para pejabatnya jadi kebanggaan buat masyarakatnya.
Satu, dua, tiga, empat. 5 dan 6 ini mereka harus jadi kebanggaan buat rakyatnya. Sehingga 6 tengara dari bangunan ini, hasil riset ini tidak terbukti di Indonesia atau di daerah Anda.
Sebenarnya kita mengharapkan itu karena memang kita harus melakukan perbaikan di banyak hal supaya kita itu makin yakin bahwa Ada nilai tambah yang bisa dilakukan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Nah ini saya akan sampaikan mengenai permasalahan-permasalahan di negara-negara yang menempuh masa transisi dari negara otoritarian ke negara ke arah yang negara demokrasi. Ada masalah-masalah yang agak lazim di banyak negara setelah reformasi.
setelah melamboi masa retoritarian. Yang pertama adalah memang pemilu telah terlembaga dengan baik, terinstitusionalisasi dengan baik, namun tidak menghasilkan pemimpin bahkan kepemimpinan politik yang kuat. Rezim-rezim yang dihasilkan adalah rezim-rezim yang tidak lebih baik daripada rezim yang digantikan.
Ini yang juga terjadi di Indonesia juga mungkin ya. Lalu yang kedua, kekuatan lama masih bercokol di tubuh kekuasaan yang anti perubahan atau setengah perubahan, setengah mau berubah. Sedangkan para aktor politik baru kalah di dalam memengaruhi kebijakan-kebijakan yang lebih strategis. Hardliners sama softliners disini.
Dalam istilah Larry Diamond itu, hardliners dan softliners. Kekuatan lama bercokol, sedangkan kekuatan baru tidak dominan di dalam pengambilan keputusan yang bersebut perubahan. Itu juga terjadi. Nah yang ketiga, sistem politik dan partai politik dikuasai oleh para aktor politik berbasis klientelism dan oligarki.
Kekuatan baru relatif tidak berdaya karena selain pengaruhnya yang di bawah. dibawah kekuatan mereka yang dominan, maka ya itulah kemudian terjadi minoritas terhadap pengaruhnya pengambilan keputusan yang strategis. Ini contoh di mana pernah terjadi di negara-negara Amerika Latin pasca otoritarian di negara itu.
Jadi tiga itu yang... menjadi ciri atau permasalahan dari negara-negara pasal otoritarian. Nah berikutnya yang keempat, bahwa lembaga-lembaga negara marak dibentuk sebagai bagian dari reformasi. Namun kapasitas mereka diragukan efektivitasnya untuk memperbaiki kemampuan negara.
Lembaga-lembaga negara memang itu dibentuk. Itulah yang kemudian marak di Indonesia pada awal-awal hingga paruh kedua reformasi setelah jatuhnya kekuasaan untuk baru itu marak sekali. The auxiliary body state agencies itu marak, tetapi atas nama hak, semua orang merasa punya hak untuk jadi pejabat.
Bahkan mereka yang tidak capable sekalipun atas nama hak warga negara sudah menuduhi jabatan-jabatan itu. Tapi entahlah efektivitas kinerjanya, yang nyatanya juga tidak banyak memberi pengaruh yang signifikan terhadap perubahan. Yang kelima, korupsi politik yang sistemik menggerokoti kemampuan negara dalam melaksanakan pembangunan yang meningkatkan terhadap hidup rakyatnya.
Korupsi sistemik. Ya itu, di negara kita juga begitu. Buktinya apa?
Jadi bentuknya KPK untuk itu, untuk memberantas dan juga mencegah terhadap tindak bidana korupsi ini. Supaya negara lebih efektif bekerja, tidak dikeruguti oleh tangger namanya korupsi. Apalagi kalau korupsi politik, itu embahnya dari korupsi.
Yang ke-6 kapasitas dari beli rakyat di negara tersebut lemah dan terbukti rentan terhadap praktek swap dan jual-beli suara di dalam pemilu yang dikelar. Jadi karena kapasitas daya beli rakyat itu rendah, maka itu rentan terhadap politik swap dan jual-beli suara. Bribery of officials, swap, dan sehingga menimbulkan perniagaan-perniagaan suara atau food buying, itu yang mewarnai juga dalam pemilu. perintah kita, dan sebagaimana tesis yang diangkat oleh Aspinal, yang melihat Indonesia demokrasi elektoral dalam sisi-sisi seperti itu.
Kenapa? Karena klientelistik dan juga oligarki yang menyatu ke dalam sekondan politik yang mampu mendikte corak atau institusi demokrasi elektoral di Indonesia yang dipotret secara lebih mendalam oleh Asminal itu. Saudara-saudara, kita masuk ke korupsi sistemik.
Kenapa ini saya ambil dan ini jadi bagian dari bahasan kita mengenai isu-isu etika? Karena korupsi sistemik ini puncak. kulminasi dari perilaku-perilaku yang tidak etis. Karena akar dari korupsi sistemik itu berangkat antara lain, selain hal-hal lain, karena etika.
Mari akan kita lihat nanti di slide-slide belakang tentang keadaan ini, diagnosisnya. Pertama, hampir tiap hari, saudara, kita membaca berita mengenai Begitu banyak orang yang ditangkap oleh KPK, banyak lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif terkena OTT KPK. Kadang-kadang tidak seluruhnya OTT, tapi dipertarakan oleh KPK. Proses melalui mekanisme undang-undang oleh KPK.
Nah publik seperti anggap malah akhirnya berita-berita itu sebagai hal yang biasa, tidak menyebohkan. Kecuali telah jadi makfum, karena sewaktu-waktu kejadian yang sama dan sendiri juga biasa Dengar, dilihat, dan disaksikan oleh publik, oleh halaya rame Nah, sudah barang pasti setiap orang akhirnya masuk penjara dan kapasitas penjara di Indonesia makin sesak oleh para pelaku tindak bidana korupsi. Dalam satu gambaran oleh mantan ketua MK dan mantan ketua DKPP, bahwa orang berdiri saja di penjara itu, kata Prof. Jim Lee, itu tidak tertampung.
Kenapa? Karena saking banyaknya orang yang dipenjara karena itu. Jadi, setiap hari penjara ada datang para penghuni baru, tetapi kok korupsi juga tidak selesai-selesai, tidak berkesudahan sepertinya, selalu berseri.
Nah, adakah yang salah dengan sistem hukum kita? Sejumlah hal ini menjawab karena pembangunan nasional kita tidak mampu. menumbuhkan pada etika, tesis utamanya ya. Mari kita akan lihat data-data juga.
Nah, ini adalah grafik yang saya crop dari webnya KPK. Ini adalah data antara tahun 2004, gimana itu sudah mulai dikuatkan ya, fungsi pemberantasan korupsi oleh KPK. Setelah tahun 2004, Anda bisa lihat, kemudian 2005, sampai kemudian 2019. Sebelum KPK, dalam format seperti yang kita lihat.
Nah yang paling besar dari korupsi itu terjadi di yang warna ini. Ini terjadi pada tahun 2019, ini adalah di kalangan pemerintah. Kabupaten kota Indonesia, ini sepanjang 2017-2019 memang ini sangat memuncak, tetapi sebenarnya juga pernah disusul juga oleh warna orange ini. Warna orange adalah BUMD, itu adalah warna merah pemerintah.
Nah ini adalah korupsi di kalangan para penyelenggara negara dan ini dekat kita untuk berantasnya. Nah yang berikutnya adalah data berdasarkan instansi. Instansi mana yang paling besar di dalam melakukan tindak-tindak korupsi. Ini jumlahnya dari 1950 ini.
sepanjang 2004 sampai dengan 2019 ini paling besar di kementerian atau lembaga pemerintah non-kementerian. 347 di kalangan jajaran pemerintah daerah baik kabupaten maupun kota di Indonesia. Disusul kemudian pemerintah provinsi.
Tentu provinsi jauh lebih sedikit daripada kabupaten kota. Ini pemerintah kabupaten kota yang banyak selain kementerian di level pusat. Kalau kementerian kan hanya ada di pusat.
Nah ini menjadi keperhatian kita karena marah saja gitu ya. Lalu ini berdasarkan jenis korupsinya, ini tadi sudah saya sampaikan tadi itu, sering ini ada yang lewat, ini yang terjadi juga di instansi-instansi. Lain, jenis perkaranya tadi, jenis perkaranya apa saja yang digorok lebih banyak. Lebih banyak itu menyangkut warna orange, yalah penyuapan.
Penyuapan ini tampaknya isu yang paling sering, paling tinggi frekuensinya, yang pernah dilakukan oleh para penyelenggara negara. Yang paling besar tampaknya, paling tinggi juga di tahun 2017, itu masalah. Masalah penyuapan, bribery of official, penyuapan. Yang berikutnya di tahun 2016, masalah ini juga. Ini isu korupsi dari lihat dari jenis perkaranya.
Jadi perkara swab itu juga termasuk tinggi dan puncanya di tahun 2017. Grafik yang paling tinggi lah itu. Nah ini jenis perkaranya apa saja. Kalau data ini menunjukkan jenis perkara yang paling ini adalah tetap swab.
Swab memang sangat. Gampang karena memang disitulah prakteknya jauh lebih mudah. Ini yang terjadi di 613, Isu Swap.
Nomor berikutnya, ini 199, Pengadaan Barang dan Jasa. 3, 48 48 ini menyangkut masalah penyalahgunaan anggaran 3, nomor 4 ya, ini 31 31 adalah TPPU Tindak Bidana Pencucian Uang Dan seterusnya, ini dilihat dari jenis perkaranya. Berikutnya, dilihat dari jabatan atau latar profesi. Latar profesi yang paling banyak melakukan korupsi adalah ini, anggota DPR maupun DPRD.
Oh sorry, masih banyak. Swasta yang melibatkan ya, tapi kan korupsi itu dilakukan oleh pejabat. Salah satu ketentuan karena dilakukan oleh penyelenggara negara.
Tapi di luar DPRD ini, swasta yang melibatkan swasta 266. Tapi ini semua kan nggak bisa bekerja tanpa ada pejabat atau penyelenggara negara. Kalau begitu, kita menghitungnya yang paling besar adalah anggota DPR maupun DPRD di seluruh Indonesia. Berikutnya adalah ini, Eselon, pejabat yang ber-Eselon.
Eselon I ini semacam sekolah sedirjen. Eselon I ya, sedirjen, sekjen. Ini adalah...
Jabatan Eselon I, Eselon II itu ya direktur maupun setarafnya lah. Eselon III itu, Eselon II dan I bisa para guru misalnya. Eselon III dibawahnya juga saja. Nah yang paling besar adalah anggota DPRD maupun DPRRI. Nomor dua adalah Eselon I, II, hingga III dan...
Di luar itu melibatkan kalangan swasta sebanyak 266. Ini yang di Dengara, yang di Carna Tola KPK, dan itu bagian yang sangat memberhatinkan dari kita. Nah, tindak pidana korupsi berdasarkan jabatan atau profesinya. Ini adalah visualisasi dari data yang tadi itu, itu sebanyak 296. Ini profesi yang warna ini tetap pemerintah, pemerintah kabupaten kota.
Pemerintah kabupaten kota yang lebih banyak terlibat di dalam tindak bidana korupsi karena jabatannya. Karena jabatannya mereka itu untuk jual-beli pengaruh dan segala macam. Atar belakang dari profesinya. Nah yang berikutnya berdasarkan sebaran wilayah.
Sebaran wilayah memperlihatkan bahwa yang paling tinggi itu ada di level di pusat. Pusat, karena memang pusatlah asal-muasal dari kewenangan, apalagi negara kesatuan seperti Indonesia ini, pusat ya pemilik kekuasaan, daerah itu kan tidak punya, karena dia sesungguhnya adalah pelimbahan kewenangan. Jadi pemilik kuasa kewenangan itu sebenarnya pusat yang kemudian didelegasikan, dilimbahkan kepada pemerintah di daerah melalui asas desentralisasi, deponsentrasi, asas medibewin, itu adalah daerah.
Nomor dua adalah ini, Jawa Timur. Tentu ini menyangkut, apa namanya, ini, apa istilahnya, Jawa Timur di pemerintahnya, menempati nomor pertama di luar pemerintah besar, nomor dua Jawa Tengah. Eh sorry, Nomria, Jawa Timur, lalu berikutnya DKI Jakarta, dan seterusnya. Di luar pusat.
Pusat memang besar ya, karena kewenangannya memang besar. Saya punya tesis menyatakan bahwa semakin besar kewenangan. Semakin besar pula kemungkinan permasalahan, karena itu besarnya kewenangan berbanding lurus dengan kemungkinan, resiko diperkarakan. Kemudian berdasarkan ini. Berdasarkan lain halnya lagi, berdasarkan sebaran wilayah yang tadi itu.
Nah, yang ketiga, diagnosis. Saya ingin menawarkan satu diagnosis terhadap masalah-masalah kita terkait dengan ini. Premis pertama mengatakan, Premis itu berposisi bahwa, atau dalil, bahwa penyebab lemahnya implementasi tata kelola pemerintahan itu bersumber dari ketiadaan mekanisme check and balance di antara eksekutif, legislatif, dan unikatif sebagai bagian dari penciptaan sistem politik demokratis.
Dalam formasi sistem politik yang demokratis, maka marak dibentuk lembaga-lembaga negara baru. Dengan harapan tercipta mekarisme check and balance tadi, benarkah? Kita uji.
Itu premis pertama. Premis kedua, bahwa penyebab lemahnya implementasi tata kelola pemerintahan juga bersumber dari ketiadaannya kekuatan sipil. Maka kekuatan sipil itu sesungguhnya.
dapat membantu dari proses-proses pencegahan dan penindakan terhadap korupsi, itu tidak justru dilemahkan partisipasi publik ini. Kenapa? Karena mereka sebenarnya punya peluang yang besar juga untuk menjadi sumber energi baru dalam rangka pencegahan dan memeratas korupsi.
Kalau mau dilihat secara positif. Tapi kalau dilihat secara sebaliknya, justru partisipasi publik dimatikan. Nah itu yang salah. Harus dimengerti bahwa yang namanya kontrol publik itu penting. Kontrol masyarakat itu penting.
Dalam rangka apa? Dalam rangka membantu. Itu premis kedua, setelah juga premis pertama.
Itu yang penting untuk kita pahami. Yang ketiga, premis yang mengatakan bahwa penyebab maraknya korupsi sistemik karena lembaga penegak hukum yang lebih interaktif diharapkan dapat memberantas praktek korupsi hingga ke akar-akarnya. Dalam kasus Indonesia misalnya lembaga penegak hukum, lembaga penegak hukum dibiarkan, lembaga penegak hukum dibiarkan sebagai gantinya di bentuk KPK yang super body.
KPK ini kan super body ya, karena dia menangani kasus-kasus yang kakap gitu ya, big fish istilahnya. Nah, berikutnya, nah ini dia, tiga premis tadi itu akan coba untuk diskemakan dalam grafik sembilan ini. Pertama isu, yang kedua false, penyebab, yang kedua adalah treatment yang sudah dilakukan maupun riset hasilnya bagaimana. Kita coba, isu-isu tata kelola pemerintahan itu disebabkan karena disfungsionalitasnya sistem pemilu dalam soal itu ya, tidak seluruhnya juga.
Nah lemahnya mekanisme kontrol lembaga negara itu juga bisa jadi penyebab. Lemahnya kapasitas struktur, itu bisa jadi juga. Struktur yang kemudian diperbaiki seperti KPK, tidak seluruhnya bisa kita katakan bahwa itu sebagai yang disfungsional.
Itu yang terjadi. Jadinya, treatment yang sudah dilakukan apa? Reformasi sistem politik, itu sudah dilakukan. Pasca jatuhnya negara baru, Sistem politik itu sudah di-setup sehingga lebih demokratis dari sisi kelembagaan. Informasi check and balance juga sudah dilakukan melalui undang-undang dasar beberapa kali ama-anemain itu.
Bentuk akhirnya lembaga baru KPK itu. Lalu apa yang dihasilkan? Kita lihat. Ini hasilnya juga karena tidak adanya kontrol masyarakat.
Pengaturan akomodasi OMS. Lalu sistemik isunya itu tetap sistemik corruption lembaga bandara kehukum yang tersedia tidak bekerja efektif. Pembentukan lembaga superfoodi anti rasuah KPK. Lalu kinerja birokrasi sebagian besar dijelat kurang independen, impartial, berindektivitas, transparansi efisien, profesional, dan service mindedness. Itu hasil akhirnya.
Lalu penyelenggaraan negara yang terjerat tipikor makin marah, justru makin marah. Ini adalah boost authoritarianism stage performance diagnosis skema. Skema diagnosis terhadap kinerja lembaga negara pasca autoritarian. Dalam skema yang seperti Anda bisa lihat di layar.
Sebenarnya gambaran... Problematika pemerintahan dan korupsi sistemik sebagaimana gambaran di atas merupakan permasalahan yang kompleks, sangat kompleks. Lemahnya pemerintahan pada masa transisi dapat saja dinyatakan sebagai problem politik, namun sebenarnya juga memiliki akar penyebab dari problem etika.
Akibat jajaran pemerintahan, bioprasi, atau para penyelenggara negara tidak menaati etika, norma-norma etika. Nah selain itu juga dalam kasus tipikar misalnya dapat saja dinyatakan sebagai problem hukum. Seorang mengatakan ada problem hukum. Namun akar yang menghunjam ke dalam itu sebenarnya problem etika.
Problem etika itu yang tampaknya tidak memperleporsi yang lebih besar. Nah ini tengah arah dari ketua MA. Amerika. Dia katakan In civilized life, love floats in a sea of ethics. Di kehidupan yang teradapkan, terberadapkan, hukum itu ibarat kapal yang mengarungi yang berada di tengah-tengah samudera etika, di lautan etika.
Kalau ini kita yakini sebagai yang aksiomatis, yang benar, maka sebenarnya apa dong? Nah, pangkal dia permasalahan kehidupan manusia, akibat tidak kuat dalam memegang akar etika, yang akar etika itu terjawantakan dalam kehidupan sosial sehari-hari. Ini pangkal soalnya yang menurut Warren. Nah, orang sering mengandalkan penegangan hukum. Sedangkan hukum sendiri sebenarnya tak banyak berarti jika tanpa etika.
Jadi antara etika dan hukum ini sebenarnya sesuatu yang tidak saling menegasikan, tapi justru mendukung. Bukankah etika itu samudranya, sedangkan hukum adalah kapalnya? Kan nggak mungkin dong kapal lebih besar daripada samudra.
Jelas karena etika adalah landasan. Media dari kapal, kalau hukum mau tegak juga, maka etika juga jadi kondisionalitas, atau bahkan taken for granted, tidak saling menegasikan, tapi justru menambah kekuatan dari penegakan hukum, mengharapkan perbaikan masyarakat, termasuk perbaikan hukum. Hukum harus terlebih dahulu membangun masyarakat yang beretika.
Inilah pentingnya etika pemerintahan. Karena memang disitulah letak dari persoalan yang kita bicarakan ini. Saudara-saudara, di bagian akhir, karena ini adalah kuliah pertama, saya berharap bahwa saudara memiliki empat.
atau tiga, oh sorry, saudara saya harapkan memahami akan etika ini, isunya etika pemerintahan, karena memang etika ini memiliki relevansi, isu etika ini memiliki relevansi, memiliki nilai aktualitas yang selalu ada, dan inklusif. Relevansi adalah mengupas masalah etika ini, sangat relevan sepanjang masa. Etika ini selalu jadi bahan ber...
penjangan, kajian, dan perhatian di kalangan banyak orang. Untuk apa? Untuk memperoleh nilai masalah maksimum. Jadi, saudara harus memikirkan, menjangkau ketika bicara tentang etika pemerintahan ini, saudara ingin memperoleh nilai maksimum, sekaligus juga nilai minimum.
Kalau nilai maksimum itu. yaitu membantu memahami mengenai etika dalam pemerintahan itu secara maksimum untuk melaksanakannya. Secara minimumnya, mencegah dari kemungkinan pelanggaran etika dalam pemerintahan.
Yang kedua, Anda tidak akan kehilangan konteks karena waktu dan tempat mengenai bahwa bicara etika pemerintahan selalu aktual. Bahasan yang akan saya sampaikan ini juga punya aktualitas tinggi, karena selain dimutahirkan setiap kali menjelang pertemuan, juga mengutip konsep-konsep maupun teori dan data yang relevan. Jadi kalau begitu, aktual ini.
Nah yang ketiga, inklusif. Sifat dari topik matagula ini adalah inklusif. Tiap orang, kelompok, institusi, dan seterusnya. punya kepentingan untuk menyelesaikan masalah etika di dalam kekuasaan.
Itu yang saya pikirkan setelah saudara setiap kali mengikuti perkulian ini, maupun di ujung perkulian ini. Nah, saya punya kutipan yang menarik, bahwa pengalaman tanpa teori adalah buka. Pengalaman tanpa teori adalah buka. Tetapi teori tanpa pengalaman hanya akan menjadi onani, permainan intelektual. Hanya asyik saja dilakukan.
Kata, kan, immanualkan. Nah, ini dia kapasitas teoritis, kapasitas praksis. Anda bisa baca sendiri ya. Nah, saudara-saudara, karena ini adalah kuliah pertama, sebagaimana biasanya kontrak perkuliahan tetap harus disampaikan.
Tapi saya tidak akan membahas ini, karena silakanlah nanti bisa dipenuhi, dipenuhi sendiri gitu ya, sambil jalan. Itu saja, saudara-saudara, kuliah pertama kita kali ini. Jaga kesehatan, harus terlalu sehat, salam sehat untuk kita semua, terima kasih, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, sampai jumpa.