Sejarah politik Indonesia berwarna oleh berbagai konflik, beberapa di antaranya menjadi konflik bersenjata.
Salah satu konflik penting adalah pembentukan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Tengah pada tahun 1958.
Latar Belakang PRRI
Konflik PRRI dipicu oleh tuntutan pemerataan pembangunan antara pusat dan daerah.
Akibat konflik ini, banyak korban jiwa dan dampak sosial politik yang luas.
PRRI sering dianggap sebagai pemberontakan, tetapi beberapa ahli sejarah berpendapat bahwa pengelompokan ini tidak sepenuhnya tepat.
Penyebab Konflik
Kekecewaan yang melatar belakangi PRRI muncul sejak dekade sebelumnya, terutama terkait kebijakan reorganisasi Angkatan Perang oleh Kabinet Hatta (1947-1948) yang dikenal sebagai RERA.
RERA mengurangi jumlah tentara dari 350.000 menjadi sekitar 160.000, menyebabkan banyak pasukan merasa diabaikan.
Ketidakpuasan terhadap kebijakan pembangunan yang tidak merata, di mana Sumatera sebagai penghasil devisa merasa kurang diperhatikan dibandingkan Jawa.
Pembentukan Dewan Banteng
Pada November 1956, reuni Divisi Banteng di Padang menghasilkan beberapa rekomendasi, termasuk perbaikan kabinet dan penghapusan sistem pemerintahan sentralistik.
Pembentukan Dewan Banteng pada 20 Desember 1956 dipimpin Letkol Ahmad Hussein, beranggotakan perwira militer dan tokoh masyarakat.
Letkol Ahmad Hussein mengambil alih kekuasaan pemerintah Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Mulyo Harjo pada 21 Desember 1956.
Tuntutan Dewan Banteng
Pada 10 Februari 1958, Dewan Banteng mengeluarkan tiga ultimatum kepada pemerintah pusat:
Pembubaran Kabinet Juanda dalam waktu 5x24 jam.
Pemberian wewenang kepada Muhammad Hatta dan Sri Sultan Hamangku Buwono IX untuk membentuk Kabinet Nasional tanpa PKI.
Pengembalian Soekarno sebagai presiden konstitusional.
Respon terhadap PRRI
PRRI dibentuk pada 15 Februari 1958 sebagai respon terhadap ultimatum yang tidak dipenuhi.
PRRI menolak tunduk pada Kabinet Juanda dan mengumumkan Syafruddin Prawira Negara sebagai Perdana Menteri baru.
Pemerintah pusat menganggap PRRI sebagai gerakan separatis dan menggelar operasi militer untuk menumpasnya.
Operasi Militer dan Penyerbuan
Operasi militer dimulai pada 17 April 1958, dengan pasukan APRI mendarat di Padang tanpa perlawanan berarti dari PRRI.
Banyak tokoh PRRI mundur dan menyerah, dan dalam hitungan bulan APRI berhasil menguasai kota-kota penting.
Dampak Konflik
Menurut Jenderal Abdul Haris Nasution, korban tewas akibat PRRI mencapai 10.159 orang, lebih dari separuhnya adalah rakyat sipil.
Beberapa tahun setelah peristiwa, dampak sosial dan politik masih terasa, termasuk eksodus orang Minang ke daerah lain akibat teror.
Trauma akibat konflik masih menghantui orang-orang yang terdampak, baik langsung maupun tidak langsung.