Transcript for:
Memahami Seni dan Disiplin Akting

Ada pemahaman yang saya tangkap dalam sikap seorang aktor bahwa kalau fotografer menunggu momen, maka aktor harus menciptakan momennya. Hai, nama saya Layu Unru, pekerjaan saya pelatih akting, mengajar di beberapa tempat. Tugasnya ya, apa ya, melatih kemampuan para aktor untuk berakting. Sebenarnya ada banyak yang sedikit rancu kalau di sini ya, karena pemahaman acting coach itu sebenarnya kayak pelatih bola basket, pelatih basket, pelatih volley. Nah, sementara ini saya coba memposisikan diri sebagai konsultan. Artinya, saya sudah harus menghargai reputasi-reputasi sama klien-klien yang berhadapan dengan saya. Banyak orang yang menyalahgunakan pemahaman acting. Acting misalnya kayak melakukan gitu. Selalu menganggap bahwa acting itu hanya sekedar aksi. Padahal seharusnya kita mulai dari reaksi. Karena masih banyak memahami bahwa acting itu bohongan. Sementara kita harus meluruskan ke hal yang paling positif bahwa acting bukan bohongan. Acting adalah kebenaran. Untuk memahami benar apa tidak, kesannya kalau saya ambil satu perumpamaan, saya ambil gelas, saya minum, saya mengalami. Saya mengalami dan saya nggak perlu lagi bilang bahwa ini asem atau ini pahit. Karena pasti akan terasa langsung oleh penontonnya. Tapi kebanyakan di kita itu harus dijelas-jelaskan. Asem nih, manis nih. Ini yang salah dalam acting. Orang open casting, orang datang nih. Ada cari orang umur sekian, rambut ini, belumata, jentik, apa-apa segala macam. Carilah, orang datang lah kemudian. Terus dibagiin materi casting. Baru dipegang 5 menit. Udah hafal. Terus hafal gak hafal harus masuk ke dalam. Ya apa yang harus direkam. Apa yang harus dipresentasiin dalam keadaan gugup. Makanya kalau saya seperti misalnya. Saya kalau di casting. Saya mau itu satu minggu. Sebelumnya saya minta dikasih materinya. atau minimal, paling gak 3 hari, biar dikuasain dulu baru kita, oke kita coba dergan berbagai macam versi tapi temen-temen yang lain itu baru pegang, mungkin antara afal lama gak, tiba-tiba oke silahkan masuk kan, nama saya Yai Unru usia 57 tahun terus, apa yang dipresentasiin nanti, bagaimana mungkin kita merekam orang yang gak siap Yang saya tangkap di Indonesia pemain itu masih kayak semacam alat, alatnya sutradara. Saya pikir, oh nanti kamu gini aja ya, kamu gini, gini, gini. Ada-ada ada skrip, kadang-kadang dilihat, nah gak usah pakai skrip ini, langsung aja. Atau kadang-kadang saya, itu udah pemain udah kuasa aim skripnya, tiba-tiba 5 menit sebelum tick, oke, ini jangan dipakai, pakai skrip yang baru ya. Apa? Pakai scene-nya baru ditulis gitu. Kita mau bikin onde-onde apa? Baru di hafal sekarang, kita hafal aja belum tentu bisa main bagus atau benar gitu. Apalagi kalau gak hafal, kita main sembari mikir gitu. Hari dia lo nyapel ya, susah gitu. Kita susah mendapat hasil yang bagus, karena gak ada persiapan yang cukup. Itu problem pemain, itu problem yang berat, yang harus kita atasi. Jadi kalau misalnya banyak film yang kita bilang filmnya buruk, ya itu enggak salah. Karena memang begitu cara kerjanya gitu. Tapi ada juga film bagus, rumahnya udah relax, rumahnya bahkan minta, karena tertantang, bisa enggak saya tidur di set? Karena setnya enggak kemana-mana, cuma di situ aja, saya mau tidur di sini. kan lebih bagus dia ngerasa gitu, misalnya dia tukang soto atau tukang soto mie ya dia digerobaknya, kalau dia tukang bajai ya udah biarin dia tidur di bajainya ngerasain itu, besok cuma tinggal kamera action udah jadi dia tukang bajai gitu dia bisa cuci bajainya, jadi memiliki gitu jadi gak ada lagi alasan untuk pemain untuk berbohong gitu karena selama ini semua bohong sebenarnya ada kayak semacam kerja yang mutlak harus dikerjakan sayangnya Disini, apa ya, aktor-aktor kita terlalu cepat terburu-buru begitu baca skenario dia pikir udah cukup dan dia ini. Mungkin kita bikin semacam biodata, kita bikin usianya, latar belakangnya, hobinya, cita-citanya, makanan kesukaannya, warna kesukaannya, musik kesukaannya, pandangan politiknya. Ini yang kita tulis semua, yang kita cari dalam naskah, kalau misalnya tidak mencukupi kita tanya sama sutradara ataupun penulisnya. Kalaupun juga gak mencukupi kita mencoba mencari role model di luar itu. Itu yang kita tetapkan, jadi betul-betul konkret. Jadi manusia yang kita mainkan adalah manusia yang konkret, punya nama, punya bapak, punya teman-teman. Tapi sebenarnya yang paling sulit adalah, begitu kita udah kumpulkan data, kerja selanjutnya yang paling sulit dan jarang orang yang mau melakukan di Indonesia adalah mengadaptasi apa yang kita pahami ke dalam diri kita. Coba cari jalannya, coba cari kalau dia bikin kopi, coba cari cara minumnya, coba cari cara makannya, coba cari ketika dia goreng kuping, ketika berpikir, ketika apapun. Itu yang sulit sebenarnya. Nah, kebanyakan aktor-aktor kita di sini, begitu dia tahu, gampang sekali dia tahu, tapi kemudian melakukannya nggak mampu. Ada pemahaman yang saya tangkap dalam sikap seorang aktor bahwa kalau fotografer menunggu momen, Maka aktor harus menciptakan momennya. Kita yang harus menciptakan kesempatan itu. Kalau saya sih, ada yang saya sampaikan itu, bahwa aktor itu bekerja pada saat nganggur, dan refreshing pada saat bekerja. Artinya begini, pada saat kita nganggur, kita harus banyak nonton, banyak baca, banyak melihat. Nah, ketika kita bekerja, kita refreshing. Sayangnya banyak orang yang melakukan gini, begitu mau syuting, baru dia rajin nonton film. Dan yang ditonton film-film barat, dia lupa bahwa yang kita mau kerjakan adalah film Indonesia gitu. Sebagai referensi ya ketika kita nganggur ya kita nonton lah Joker, nonton lah apapun gitu. Tapi ketika kita udah mau melakukan kerja, kita gak ada sempat lagi buat nonton itu. Karena kita betul-betul harus bersih dari semua pengaruh-pengaruh itu untuk memainkan karakter kita. Itu makanya kemudian kalau kita nonton sekarang, entah televisi atau film. Kita nonton film Indonesia, film Indonesia terikor rasanya rasa barat ya. Karena semua, semua 3 bulan sebelum syuting itu sibuk nonton DVD. Aktornya juga begitu. Terus diambil semua gaya-gaya barat, gaya itu. Padahal dia lupa bahwa, ya kita harus jadi orang Indonesia. Budaya kita budaya Indonesia, kita juga punya budaya acting gitu. Kayak misalnya gini, kita gak punya budaya banyak, budaya gerak ya. Ketika kita lihat di jalanan, jarang sekali ada orang banyak ngomong kayak orang Itali atau orang Amerika Latin gitu. Tapi begitu kita main film, karena pengaruh itu demikian besar, acting kita juga akhirnya ke barat-baratan. Ngomong ditanya misalnya, kamu lihat sini gak? Eddie gak? Ini gerakan barat gitu. Nah itu semua, dan itu banyak sekali-banyak sekali yang kita lihat gitu. Pemahaman terhadap skrip itu... Pemahaman dan kemudian mencoba mencari petunjuk-petunjuk yang mengarahkannya untuk bermain pada karakter yang diinginkan. Tapi yang paling sulit adalah ketika pemahaman itu kita pahami, bagaimana kemudian pemahaman itu menjadi sebuah pemahaman rasa. Banyak sekali aktor yang kemudian terjebak memainkan pemahaman dari sutradaranya tanpa menafsir bahwa yang harus dimainkan adalah rasanya. Itu yang paling penting. Karena selama ini kita selalu menganggap bahwa acting itu bohong, bohong, acting itu, ini yang salah karena ada ruang-ruang itu yang memang dibuka oleh para aktor untuk dipercaya bahwa itu kebohongan, nggak ada usaha untuk melakukan secara benar dari kerjanya misalnya mempersiapkan data, karena itu tadi faktor kita itu faktor malas, hampir kita bilang hampir semua malas. Yang selalu bikin saya frustasi sebagai pengajar adalah apa namanya, aktornya juga cuma pura-pura mau belajar gitu. Kayak misalnya gini, waktu zamannya Almarhum Mas Didi masih hidup ya, terus banyak sekali, oh saya belajar sama Didi Petet, saya nanya sama Mas Didi, Mas, dia belajar sama Mas Didi? Alah pura-pura belajar dia, biar dia merasa, oh dia udah belajar padahal gak belajar gitu. Film itu abadi dan akan diri seterus, gak mungkin kita bekerja omong kosong gitu. Kita mau film Indonesia bagus, ya begitu caranya gitu. Dunia acting harus original, ya disiplin. Ter