Transcript for:
Kriteria Gaji dan Ilusi Sosial

Jangan berangkat. Oh, halo tonton semua. Kembali lagi sama gue, NG, di Chasing Reality. Oke, barusan kan gue abis nontonin salah satu konten yang rame banget di media sosial Apalagi kalau bukan bahas tentang kriteria gaji cowok yang sebenarnya tuh Atraktif di mata cewek seperti apa sih? Saya suka nih konten-konten yang memicu gender war Karena saya bisa dikatain soginis, bisa dikatain patriarki at the same time Padahal ya, I equally hate Men and women sih jujur Nah biasanya konten-konten kayak gini kan rame banget ya Ada yang bilang ya wajar namanya juga preferensi Ada juga yang bilang kalau ini tuh standar yang sebenernya gak masuk akal gitu Nah disini gue bukan mau ngebahas nih kira-kira berapa sih gaji cowok yang ideal Karena I believe setiap orang punya standarnya masing-masing Lo mau suka cowok yang grape, yang nganggur Lo gak kejar? Eh, gak nganggur Gitu gak ada masalah Lo suka yang gaji 50 juta, bebas gitu Nah, kalau lo nanya ke gue gaji cowok ideal minimal berapa sih? Ya 1M lah, biar saya bisa di rumah seperti ini, gitu. Nggak ngapa-ngapain. Tapi ya kita harus cek realitanya juga kan. Berapa banyak sih orang yang kira-kira punya penghasilan segitu, gitu. Ya kali, gue punya standar. Pokoknya kalau laki mama gue tuh harus minimal gaji 1M, gitu. Tapi rata-ratanya di bawah itu. Kan sama aja, nggak bakal dapet dong, gitu. Jadi di konten ini gue akan ngebahas tentang ilusi media sosial itu sendiri. Yang mana menurut gue ini adalah hal yang menarik ya. Karena sepenglihatan gue, banyak banget orang-orang yang ngikutin standar media sosial ini seakan-akan itu adalah suatu hal yang baik gitu. Dan sesuai dengan realita yang ada. Padahal kalau lu kulik lagi, standar tadi itu nggak masuk akal karena kenyataannya nggak seperti itu. Oke, kita perlu mulai nih dari hal-hal yang mendasar dulu. Orang itu kadang membentuk pandangan tentang realitas ini berdasarkan apa yang mereka lihat di timeline media sosial. Kayak... Persepsi tentang isu lah, tokoh lah, hingga aspek dalam kehidupan sehari-hari sedikit banyak kan dipengaruhi oleh media sosial. Nah, tentu isi timeline media sosial tiap orang kan beda-beda tergantung sama algoritma kan. Dan algoritma ini nyesuaiin sama minat dan perilaku kita di sosial media. Masa gini, kita kadang nganggap kalau misalkan media sosial ini adalah cerminan dari kenyataan. Padahal ya, realistically speaking, media sosial ini ngebuat kita ini... Gampang terkecoh tau gak sih? Dan kena ilusi seakan-akan kehidupan masyarakat itu Ya kayak yang kita lihat di medsos Padahal aslinya jauh berbeda gitu Nah konsekuensinya apa sih? Dengan pemahaman realitas sosial yang kurang tepat Akibat media sosial Bisa jadi kita ini jadi bikin penilaian yang salah Terhadap kondisi kita sendiri atau kondisi orang lain Termasuk juga bisa bikin ekspektasi yang gak masuk akal dalam rencana-rencana hidup kita. Kayak misal tentang target gaji lah, target pasangan harus berapa, eko berapa, target pasangan harus seperti apalah, normal di umur berapa harus punya apalah, kayak misal kok gue di umur 24 belum punya rumah gitu, eh makona gitu. Nah disini mungkin kita akan coba ya reality check dulu ke kemungkinan-kemungkinan ilusi medsos yang ada di kepala kita. Kira-kira itu tuh realistik apa enggak gitu. Pertama, kalau kalian ngerasa semua masyarakat itu main medsos, kalian salah besar. Kalau kalian main medsos bukan berarti nggak ada orang-orang yang nggak main medsos gitu. Tidak, media sosial itu bukan representasi dari keseluruhan masyarakat. Nah, di Indonesia cuma ada sekitar 25 juta atau sekitar 9% lah dari 225 juta orang yang pakai Twitter. Bahkan, TikTok yang katanya sekarang itu kayak medsos yang paling popular, yang semua orang pake gitu, penggunanya di Indonesia tuh gak nyampe setengah penduduk. Bayangin cuma 38,7%. Nah, implikasinya apa? Ya jelas, kita secara gak sadar bakalan nganggep kalau misalkan trend atau opini yang dihasilin sekitar 9% orang di Twitter atau 38,7% orang di TikTok itu memwakili keseluruhan dari masyarakat. Nah, alhasil lu masuk ke dalam sesuatu yang namanya tuh echo chamber. Nah, fenomena ini bikin lo cuma terpapar informasi, ide, atau opini yang lo suka dan setuju aja gitu loh. Karena ya, namanya algoritma, apa yang lo sering konsumsi itu juga apa yang sering lewat di timeline lo gitu. Sementara, sudut pandang atau informasi lain itu jadi terabaikan tau gak sih? Contohnya tadi nih, video cewek-cewek yang ngomongin tentang kriteria gaji cowok idaman mereka, yang nyampe lebih dari 20 juta rupiah per bulan. Coba kita cek, sebenernya orang Indonesia gaji berapa sih sebulan? Mungkin kita bisa mulai dari rata-rata dulu. Kalian tau gak kalo sebenernya rata-rata gaji orang di Indonesia itu cuman sekitar 3,04 juta doang sebulan? Lu gak maksud bilang doang ya? Ada orang yang ngerasa cukup dengan hal itu dan it's fine gitu. Nah, cuman ada 10% doang loh orang di Indonesia yang gajinya itu di atas 17 juta. Sampai 23 juta nih. Kalo mbak-mbak nyari spek yang gajinya 25, apalagi 50 juta ke atas, dijelas sedikit banget dong orang yang kayak gitu. Belum lagi kita gak tau nih, diantara sampel-sampel... tersebut itu tuh umurnya berapa, apakah sesuai dengan standar mereka, udah nikah apa belum, dan lain-lain. Siapa tau juga suka laki-laki, ya kan? Nah, sekarang karena mbak-mbak yang ngomongin ini kemungkinan adalah Gen Z, maaf ya, sudah berasumsi. Nah, kita asumsikan mereka bakal nikah sama Gen Z juga dong. Nah, mari kita lihat gaji para Gen Z ini. Nah, jadi ada survei yang gue lihat nih. Dan di survei itu menunjukkan bahwasannya sekitar 56% dari Gen Z ini bergaji di bawah 2,5 juta per bulan. Nah, hampir setengah Gen Z, coy, yang hidupnya pas-pasan. Nah, 26% dari Gen Z ini juga mendapatkan penghasilan sekitar 2,5 sampai 5 juta per bulan lah. Alias, hanya 3% dari keseluruhan Gen Z yang punya penghasilan 10 juta sampai 30 juta per bulan. Dan hanya 1% aja dari Gen Z yang punya penghasilan di atas 100 juta. Itu yang di data ya. Artinya, kalau cewek-cewek ini nyari spek cowok segenerasi yang udah mapan, cuma ada sekitar 3% doang nih. Jadi bayangin ada berapa banyak perempuan yang memperebutkan 3% top of the population yang kita bahas. Nah, itu pun mbak-mbak ini juga belum tentu dapet kan? Karena ya, yang ngincer banyak gitu. Nah, contoh kedua nih. Hanya karena banyak konten orang-orang nggak kuliah bisa sukses, bukan berarti semua orang akan bisa sukses juga dong tanpa pendidikan. Iya kan? Kayak banyak orang bilang, loh! Steve Jobs gak kuliah? Lah, Bill Gates DO. Lah, Mark Zuckerberg juga DO. Lah, Timothy Ronald gak lulus, tapi duitnya banyak, gitu, sebagai contoh orang-orang yang bisa sukses tanpa kuliah. Padahal kalian tau gak bahwasannya CEO perusahaan top dunia lainnya tuh punya gelar sarjana. Bahkan 66% diantaranya tuh punya gelar master, tau gak? Nah, gue tanya ke lo nih, emang lo bawa-bawa contoh tentang Bill Gates? Kondisi sosioekonomi lo kayak Bill Gates juga? Emang bapak lo pengacara juga kayak dia? Ibu lo juga menempatin posisi dewan di beberapa perusahaan, gitu? Kan enggak? Nah lu lupa deh masih pakai pay letter, jangan mikir seperti itu dong, kalian bukan Bill Gates gitu, cari aman aja lah. Saran gue gini, kalau misalkan lu bisa kuliah ya kuliah aja, nggak ada ruginya kan? Paling enggak, kalau lu kuliah, kesempatan lu buat lolos seleksi administrasi itu lebih gede, karena ya hampir semua perusahaan itu yang buka locker ya, itu persyaratannya itu adalah lu udah harus lulus kuliah gitu. Kecuali di Malaka Project ya, yang beneran lihat dari portfolio, tapi ya nggak semua perusahaan kayak Malaka doang gitu. Nah terus kalau kita lihat di sini nih, ada korelasi antara pendapatan dengan tingkat pendidikan. Contohnya, orang dengan gelar master pendapatannya itu 20% lebih gede dibandingkan dengan mereka-mereka yang sarjana. Pun yang sarjana pendapatannya itu lebih gede sekitar 59% dari orang-orang yang lulus SMA doang gitu. Itu pun data di Amerika. Kalau di Indonesia gimana ya? Mirip-mirip lah. Gaji rata-rata lulusan sarjana itu 59,8% lebih tinggi dibandingkan gaji rata-rata lulusan SMA. Oke, lo mutusin mungkin ya untuk bangun bisnis lah, apalagi orang yang bikin video ini. Tapi lo tau nggak, sekitar 90% startup atau UMKM itu gagal di tahun pertama. Nah, mending kalau misalkan lo orang kaya, punya backing-an kayak Bill Gates tuh. Nah, kalau nggak, mau gimana? Lo bisa afford buat gagal emang. Kan nggak, nggak semua orang bisa afford untuk gagal sekali, dua kali, tiga kali, segala macemnya. Tekor dong, gitu. Ya, gue nggak maksud mematahkan semangat lo atau gimana ya. Cuman ya realistis aja lah, kalau emang basis keyakinan lo nggak. kuliah itu bisa sukses karena lu keseringan liat Bill Gates dan lain-lain ya GWS. Contoh lain nih ada video soal cewek Amerika nge-set kriteria cowok idealnya tuh di atas 180 cm tingginya. Tingginya ya, bukan yang lain ya. Mereka juga ngira bahwasannya ada sekitar 20-70% orang yang tingginya di atas 180 cm. Kalian tau gak sih, cowok Amerika yang tingginya sekitar 180 cm itu cuma ada sekitar 14,5% Di sisi lain, rata-rata tinggi cowok Amerika itu sekitar 176 cm Berarti peta realitas mereka ini gak akurat dong Kalau misal mereka dikasih tau data realnya, mungkin mereka bakal bingung kan Kok pacar ideal gue gak keliatan ya? Nah, balik lagi, apakah cowok-cowok yang tingginya di atas 180 cm ini Juga sudah memenuhi kriteria-kriteria lain dari perempuan-perempuan ini gitu loh. Siapa tau, iya sih tinggi gitu, tapi impoten, dia gak mau. Siapa tau tinggi gitu, tapi kriminal, ceweknya gak mau juga. Siapa tau tinggi, tapi gak bisa provide, gak bisa protect, terus ceweknya gak mau juga. Sekarang nyari yang tinggi aja, 150 cm ini sulit. Apalagi nyari kriteria-kriteria tambahannya, yang mana membutuhkan lu kenal lebih deket orangnya gitu. Nih lah lanjut tempat lain dah. Nah kekeliruan kekeliruan yang di atas tadi nih biasanya karena orang-orang itu kebanyakan lihat influencer entah yang kaya raya lah yang bisa sukses tanpa kuliah lah gitu atau mungkin kebanyakan lihat konten relationship goals yang mana ceweknya itu segini cowoknya segini gitu Ya, sebenarnya kalau lo punya preferensi, punya ekspektasi, itu terserah sih. Lo berhak kok punya preferensi atau ekspektasi seperti apapun, itu terserah lo gitu. Poinnya adalah, kalau dari awal lo udah salah nangkep nih kenyataannya seperti apa, dan ini tuh bisa bikin ekspektasi lo terhadap sesuatu tuh jadi gak masuk akal. Lo ngotot nih sama ekspektasi itu, padahal ada data realnya nih, yang nunjukin bahwa misalnya ekspektasi lo itu kemungkinan besar tidak masuk akal, dan ada sedikit sekali kesempatan untuk bisa mendapatkan hal-hal di atas. Selain itu juga yang realistis dan bisa menciptakan kehidupan yang lebih baik. Ternyata tidak disangka-sangka kita sudah sampai di ujung pembahasan kita pada hari ini. Gue Angie, see you di next episode of Chasing Reality. Jangan lupa like, comment, and subscribe ya. Parah banget loh. Bye-bye.