Dan dia dikagumi murid-muridnya, sampai kayak Plato itu nulis
tidak pernah pakai tokoh dia sendiri selalu gurunya.
- Betul. The Republic. - Iya. Jadi menurut saya,
tokoh ini luar biasa. Dan dia juga yang
menurut saya menarik lagi, dia melawan orang-orang Sophists. Orang-orang Sophists dikenal
orang-orang pintar, tapi dia menggunakan kepintarannya
untuk kepentingan yang dia inginkan. Jadi misalnya yang bayar siapa,
pikirannya harus berorientasi begini, mereka mau, ini yang terkenal
dari orang Sophists. Nah itu dilawan oleh Socrates. Nah ini menarik bagi saya,
perjuangan semacam ini. Tapi itu nyambung dengan
keterbukaan untuk berpikir. Jadi tidak ada upaya untuk
mengindoktrinasi. Dan itu yang ternyata nanti dia ini
malah dianggap membahayakan oleh negara karena merusak pikirannya
anak-anak muda. Mungkin maunya negara saat itu
anak muda itu mikirin sudahlah seragam saja sebagaimana
yang dikasih oleh negara. Ketika anak-anak ini
mulai tanya macam-macam, Socrates ini dianggap
membahayakan negara, akhirnya dia dieksekusi mati. Jadi risikonya begitu ternyata. Saya mau balik ke poin ini, tapi dilanjutin Mas
mengenai perjalanan akademisnya. - Iya. Jadi saya terus itu senang
dengan filsafat, akhirnya begitu ada kesempatan S2,
saya ambil lagi. Saya sebenarnya ingin mengambil S3
yang (jurusan) Filsafat. Cuma di UIN saat itu belum ada Filsafat,
adanya Studi Islam. Saya ambil Studi Islam,
tapi saya disertasinya Filsafat. Jadi akhirnya sampai sekarang. - Kapan pikiran mau jadi dosen?
Di waktu S1, S2, atau S3? - Saya jadi dosen lulus S1.
- Oke. Sudah nyetrum mau jadi dosen. - Tidak juga. Kebetulan ada
lowongan pembukaan. Begitu saya lulus,
ada bukaan lowongan dosen itu saya cobalah, kalau pulang
saya diomongin terus sama bapak, "Mau jadi apa kamu?" Terus selagi ada lowongan daftar. Dan itu menarik juga saat itu, saya generasi terakhir
yang daftar jadi dosen S1. Angkatan saya yang daftar itu S2 semua,
cuma saya saja yang S1, karena saat itu memang
di pengumumannya kalimatnya: diutamakan S2. Terakhir ini saya bacanya, "Oh kalau diutamakan kan S1
tidak apa-apa." Meskipun tidak utama,
saya nekat saja daftar. Saya ternyata malah diterima. Jadi lulus S1 terus daftar S2, karena begitu saya masuk
diancam sama rektornya, "Pak Faiz belum boleh ngajar
dulu ya, belum S2." "Siap Pak, yang penting kalau saya pulang
ditanya bisa jawab sama Bapak, sekarang jadi dosen." Akhirnya S2 selesai, baru bisa ngajar. Terus S3 di situ juga. Jadi pengalamannya begitu
untuk jadi dosen. Pandangan Mas Faiz
bagaimana mengenai Pendidikan Filsafat secara umum
di Indonesia? - Jadi harus diakui filsafat itu
tidak populer di kita, kadang dicurigai. Bahkan kemarin-kemarin
saya lihat ada yang bikin menyebar dan membagikan
fatwa bahwa filsafat itu haram. Padahal kalau sejauh yang saya baca,
peradaban-peradaban besar dunia, itu munculnya karena ketika
jayanya filsafat ini; Yunani, Islam, Barat, itu justru fondasinya ini
ketika filsafatnya jaya. Makanya ini agak menarik kenapa
di kita sekarang banyak dicurigai. Bahkan saudara-saudara kita
yang muslim itu sering membanggakan
zaman keemasan Islam, tapi lupa bahwa zaman keemasan Islam
itu jaya luar biasa antara lain karena filsafat ini. - Betul. Aristotle.
- Iya. Jadi filsafatnya dimaki-maki, tapi kejayaannya dipuji-puji. Jadi agak lupa dengan situasi ini. Saya agak-agak tersentuh
kalau ngomong kenangan mengenai kejayaan Islam. Saya sering kali cerita mengenai
gimana itu transformasi kejayaan Islam dari abad ke-7
sampai abad ke-13, terus menerus ke awal abad ke-20. Tapi yang paling keren itu
kalau menurut saya secara filsafat dan secara ilmiah itu Zaman Abbasiyah, di abad ke-8 sampai ke-13. - Iya. Harun Ar-Rasyid ke belakang. - Betul. Al-Makmun, Al-Mansur,
Al-Mustarsyid. - Jaya-jayanya era itu karena memang dukungan untuk dunia ilmiah,
dunia filsafat itu luar biasa dari penguasa saat itu. Dan yang saya perhatikan mereka itu
sangat bisa menunjukkan keterbukaan. Tentunya acuan dari dan ke Aristoteles
itu tinggi sekali, tapi mereka membuka diri untuk
belajar dari India, Tiongkok, Yunani. Iya. Dapat banyak dari mana-mana,
penerjemahan juga dari mana-mana. Bahkan tidak harus muslim ilmuwannya. - Betul. Yahudi diterima. Di Baitul Hikmah itu yang
ngajar Yahudi, Nasrani, Atheis, dll. Jadi untuk bidang keilmuan mereka
sangat terbuka dari mana-mana. Itu salah satu dasarnya
kenapa saat itu disebut era emasnya dunia Islam pada zamannya. Yang menurut saya etos ini penting
untuk dihidupkan lagi. Jadi semangat keilmuannya,
dukungan pada ilmu, bahkan saya membaca zaman itu
karyanya para ulama itu dihargai, misalnya bukunya beratnya setengah kilo,
bayarannya setengah kilo emas. Bayangkan itu. Wah kalau bisa seperti ini
saya semangat nulis buku. - Kalau sekarang baca dari buku,
emasnya nggak terlalu banyak. Mendingan baca dari buku
supaya dibayar. Saya baca itu gajinya yang ngajar
di istana yang ulama itu kalau di kurs itu dinar, sekian dinar itu
sekian ratus juta setiap bulan. Itu berarti maunya para khalifah
di Dinasti Abbasiyah itu para ulama ini sibuklah dengan ilmu saja, tidak usah yang lain-lain karena ini nanti jadi penopangnya
kekhalifahan zaman itu. Dan gini lho Mas, kalau saya lihat
orang-orang yang keren banget di zaman itu,
khususnya abad ke-8 sampai 13. Nggak Ibnu Sina, Al Khwarizmi,
Hamid Al Ghazali, dsb., itu mereka polimatik, mereka
menguasai banyak sekali dimensi. - Banyak bidang ilmu. Dan itu sederhana untuk saya
bahwasanya mereka itu menunjukkan keterbukaan
terhadap ilmu, berbagai ilmu. Rasa ingin tahunya tinggi,
etos ilmiahnya tinggi dan terbuka. Akhirnya luas dapat dari mana-mana,
jadi berbagai bidang. Jarang ada tokoh zaman itu
yang spesialis kayak kita sekarang, selalu polimatik,
mengerti macam-macam. Itu (Ibnu) Sina menguasai kedokteran,
filsafat, astronomi. Buku kedokteran di Eropa itu
bermuara di ilmunya Ibnu Sina. Jadi seperti Imam Ghazali itu, karyanya itu 4 kali lipat usianya
saat beliau meninggal. Ya itu sekitar 50 ...
- Jumlah buku atau tulisannya? - Iya. Jadi karyanya sekitar 200-an,
usia beliau hanya sekitar 50 sekian. Jadi 4 kali lipat usia beliau.
Bisa dibayangkan, berarti itu saya sebut 4 kali lipat,
kalau sejak umur 0 tahun sudah nulis. Nulisnya seharusnya di umur 20an.
- Mungkin umur 2 tahun. - Bayangkan keprihatinannya dengan ilmu, bayangkan keprihatinannya
dengan keilmuan. Saya kalau baca cerita-cerita para ulama
dan semangat belajarnya itu dibandingkan kita hari ini itu
rasanya malu. Kita tidak ada apa-apanya
dengan mereka. Kita sibuk mencari yang
tidak penting-penting, label-label yang buatan kita melihat, "Oh saya tidak mau belajar dari orang ini,
orang ini beda aliran, orang ini beda keyakinan,
orang ini beda agama." Akhirnya kita kehilangan banyak.
- Betul. - Jadi kalau zaman Abbasiyah itu
orang sudah begitu, mungkin tidak sebesar itu
Abbasiyah zaman itu. Kalau mereka anti Barat saja, misalnya tidak kenal Aristoteles,
tidak kenal itu terus, "Wah ini dari Barat, disingkirkan saja."
Tidak akan sebesar itu. - Mungkin beberapa hipotesa
yang dikembangkan terkait dengan kenapa
kejayaan Islam itu mulai menurun semenjak abad ke-13,
ada beberapa atribut. Yang pertama mungkin tentunya
diserangnya Baghdad oleh Hulagu Khan. - Iya. Politiknya jatuh. - Kedua mungkin ditemukannya
mesin cetak di Eropa abad ke-15 yang bisa mengakselerasi
dokumentasi dalam bahasa Eropa, sehingga mereka niscaya
lebih berpengetahuan, lebih berpendidikan, dibanding yang ada
di Timur Tengah waktu itu. Yang ketiga mungkin yang
saya mau tanya ini adalah perdebatan antara filsuf namanya Hamid Al Ghazali
dengan yang lainnya. Gimana itu pandangannya Mas Faiz? Jadi Imam Ghazali memang sering—
kalau bahasa saya—dituduh, "Ini gara-gara tulisan-tulisan beliau,
umat Islam peradaban ilmiahnya macet." Harus kita pahami yang pertama begini: Imam Ghazali itu Sufi pada akhirnya, jadi beliau menulis karya monumental
"Ihya Ulumuddin". Tentu saja Sufi menulis
dalam genre kesufian dengan gaya sufistiknya yang mungkin
lebih cenderung fokus ke akhirat, orientasi tidak duniawi, dsb. Nah, pikirannya Imam Ghazali ini
menurut saya, lahir Ihya Ulumuddin itu
di waktu yang pas. Itu ketemu tadi, variabel pertama:
umat Islam saat kalah. Situasinya kita sedang turun. Situasi turun ketemu wawasan-wawasan
sufistik yang agak pasrah, semuanya diserahkan kepada Allah,
ini cocok sudah. Kayak orang sudah kalah,
disuruh sabar disuruh ngalah. Bukan berarti nasehat untuk
sabar dan ngalah ini salah, tapi momennya tidak pas. Jadi saatnya orang harus bangkit
tapi malah disuruh sabar saja, semuanya sudah ketentuannya Allah,
kita pasrahkan saja. Nah ini tidak jadi bangkit akhirnya, termasuk di bidang ilmu. Jadi ini menurut saya,
masuknya pas momen itu akhirnya oleh banyak orang dituduh bahwa Imam Ghazali
jadi biang keladinya. Padahal menurut saya itu
sebenarnya mentalitas zamannya ... - Baru ditaklukkan.
- Iya. Baru ditaklukkan, baru kalah, sedang trauma,
sedang itu, dapat pelarian, ajaran-ajaran untuk
lebih cenderung pasrah itu, sehingga akhirnya sulit ...
- Tapi ini cukup struktural, Mas, selama 700 tahun dari abad ke-13. Bahkan 800 tahun.
- Iya, sejak jatuhnya Baghdad itu kita agak menurun,
khususnya di bidang ilmu. - Penasaran atau curiosity-nya itu nggak seperti apa yang mungkin
kita lihat selama 5 abad, dari abad ke-8 sampai ke-13. - Saya melihatnya ada fenomena
yang pertama tadi: ketika negara jatuh itu
ilmuwan-ilmuan banyak yang tewas, tokoh-tokoh banyak yang tewas, perpustakaan dihabiskan dan
dihancurkan oleh Mongol. Nah, zaman itu belum ada kertas,
belum ada kajian, begitu kitab ini hancur,
sudah habis dokumentasinya. Para ulama ini juga terbatas,
mereka habis juga yaitu penerusnya habis sama sekali. Jadi semacam terputus sama sekali dari peradaban yang begitu jayanya saat itu. Gimana untuk kita bisa membangkitkan
unsur penasaran atau curiosity? Jadi kalau saya, rasa penasaran
itu sebenarnya natural. Setiap orang; bayi, manusia,
begitu dia bisa mikir, itu biasanya ingin tahu macam-macam. Anak kecil itu begitu
pikirannya jalan biasanya cerewet, tanya "Ini apa?" "Itu apa?" Cerewet. Meskipun kadang dibungkam oleh
orang tuanya, dikondisikan untuk
"Sudah jangan cerewet." Akhirnya dia jadi diam,
sudah tidak tanya-tanya. Jadi menghidupkan rasa penasaran
itu menurut saya membiarkan orang berpikir terbuka. Jadi kita kadang-kadang
lebih sibuk membuat pagar. Jadi untuk anak-anak,
"Jangan begini ya" "Jangan begitu ya". Akhirnya mindset anak-anak kita
lebih terbentuk untuk apa yang tidak boleh saya lakukan. Bahkan sekarang orang tua itu
jauh lebih protektif terhadap anak dibandingkan zaman kita dulu itu
tahun 80-an, 70-an, 60-an. Dulu kalau kita mau nyebrang jalan
ya seenak jidat. Maksudnya orang tua juga
nggak terlalu memperhatikan. Sekarang itu benar-benar terlalu dipagerin. - Jadi anak-anak kita tidak tangguh,
apalagi didukung situasi hari ini semakin tidak tangguh,
budayanya misalnya agak instan, ingin apa-apa harus bikin cepet selesai. Mahasiswa misalnya hari ini
sering kalau dikasih tugas googling saja,
ngapain mikir capek-capek. - Baca buku,
- Iya. Yang lain juga sudah ... - atau TikTok, Facebook, Instagram. - Akhirnya mereka, kalau bahasa saya
pengalamannya sempit. Jadi ketika pengalamannya sempit,
bisa saja nanti dia tahu macam-macam dari Google,
tapi tidak bijaksana, kalau bahasanya filsafat, tidak bijaksana. Tidak mengerti ilmu ini untuk kapan,
untuk apa, dalam situasi apa, di tataran apa,
itu yang kita kesulitan hari ini. Kankernya ini mungkin terjadi
di tahun 2009, sewaktu didirikannya tombol like,
tombol share, tombol retweet, yang didesain untuk
menciptakan viralitas tapi viralitas itu lebih untuk
jualan, advertensi, dan ini yang berkorelasi dengan
skenario instan. Dan viralitas seperti ini
kalau menurut saya juga bisa dikorelasikan dengan
peningkatan kasus depresi kecemasan, kesyirikan, dan segalanya. Jadi kalau saya membaca hari ini itu selain kekuatan media digital,
mindset kita itu mindset viralitas tadi. Kita tidak merasa eksis
kalau tidak tampil dan tidak viral. Jadi semua orang fokusnya ke situ, membangun identitasnya dari situ. Aku ini orang yang berarti atau tidak
itu kalau postinganku viral. Makanya kita biasanya kalau sudah
posting, bolak-balik ditengok, sudah berapa ribu yang menyukai? Kita merasa tidak berarti
kalau sedikit yang menyukai. Kita nggak perhatikan
yang kita sampaikan ini memang sesuatu yang baik, manfaat,
berguna, relevan, atau tidak. Kita tidak peduli itu. Kalau di YouTube saya lebih
melihat (jumlah) penonton, saya nggak terlalu merhatiin likes (suka) atau dislikes (tidak suka)
yang kayak begini. Tapi kalau lebih banyak yang nonton yang syukur-syukur kontennya
nggak terlalu negatif, artinya proses pendidikan itu berjalan. - Termasuk masalahnya menurut saya
kalau basisnya digital itu tataran. Tataran ilmu itu, anak-anak itu
kadang tidak mengerti tataran ilmu, jadi tiba-tiba loncat. Saya itu pernah diskusi Pak Gita,
diskusi umum online, tiba-tiba anak SMP tanya
angkat tangan ke saya, "Pak Faiz saya mau tanya, apa sih yang dimaksud dengan
wahdatul wujud itu Pak?" Anak SMP Pak, dari mana dia dapat?
Ya YouTube, karena dia mungkin dengar
macam-macam, karena konten-konten
semacam itu banyak. Bagi saya nggak salah dia tanya itu, itu wawasan memang bagus kelas tinggi, tapi tatarannya dia nggak ngerti. Seumurmu ini harusnya apa dulu
yang harus kamu konsumsi. Nah ini menurut saya juga
masalah yang harus kita pikirkan. Jadi ketika bebas akses itu
mereka memang sebebas-bebasnya mengakses apa saja. Nah kita tidak membekali mereka dengan
kesadaran tentang tataran-tataran, kesadaran kritis, dan lain sebagainya. Jadi, informasi banjir kalau
bahasanya Paulo Freire itu, kesadaran kita masih kesadaran mitis. Jadi yang pokoknya ada kita ikuti,
pokoknya viral kita ikuti, berarti itu baik,
itu kesadaran ikut-ikutan. Dan itu menurut saya bahaya ...
- Yang saya takut itu anak-anak muda sudah terdidik bahkan terhipnotis bahwasanya ke depan itu kalau mau
mencapai posisi kepemimpinan dalam konteks apa pun: akademisi,
ekonomi, usaha, politik, spiritual, dll., yang lebih penting adalah bisa joget,
bukan melakukan intelektualisasi, karena yang jago joget itu yang
lebih viral atau membuahkan viralitas. - Jadi dasarnya viral. Selain itu nanti
ada efeknya lagi Pak Gita. Akhirnya apa? Yang benar ingin nyalon,
hanya pencitraan pada akhirnya. - Yang bisa begini-begini kan. - Iya. Jadi mencitrakan dirinya
biar diikuti orang banyak. Jadi akhirnya kita juga sulit memilih
yang baik beneran yang mana karena semuanya pencitraan,
semuanya mengejar like dan viral. Gimana mengubah? Kalau memang kita sepakat
bahwa viralitas itu bijaksana, sehat, dan baik untuk
masa depan kita. Kita nggak usah berdiskusi lagi. Tapi ini kayaknya bisa diperdebatkan. Gimana kalau umpamanya ini bisa
dianggap kurang bijaksana untuk masa depan kita.
Gimana untuk mengubah agar proses ke depan itu lebih nempel
dengan intelektualisasi dibanding festivalisasi atau
sensasionalisasi. Kalau bahasanya filsafat itu, kita kalau berpikirnya semacam itu,
kita itu dangkal sebenarnya. Jadi tidak mendalam.
Kalau filsafat itu meminta kita untuk, "Ayo berpikir sistematis, mendalam,
metodis, terbuka, dsb." Nah ketika logika dan mode hidup kita
ini dasarnya dari viral ke viral, di situ tampak kedangkalan. Kalau kita ini dangkal,
pada akhirnya hidup kita juga dangkal, tidak dalam, jadi kita ini
hanya di permukaan saja akhirnya. Tentu nanti banyak potensi
yang tidak tergarap. Bayangkan mungkin anak ini potensial
jadi ahli fisika, ahli matematika, tapi karena dia kuatir tenggelam,
kuatir tidak dikenali orang, dia lebih milih latihan joget di TikTok. Banyak yang suka dia pada akhirnya. Jadi kalau dikelola secara dalam
dia sebenarnya potensi bangsa ini, jadi tokoh besar tapi pada akhirnya
"Kok tidak ada yang nge-like?" Dia akan banting setir nyari
yang bisa di-like. Itu yang saya sebut di antara
bahayanya kita jatuh pada kedangkalan. Makanya penting bagi kita disiplin; Disiplin ke filsafat dan berpikir mendalam,
latihan refleksi, menumbuhkan kesadaran yang
nggak hanya mistis tadi tapi yang kritis, yang mungkin bahasanya
hari ini orang pakai istilah literasi. Jadi itu bagi saya mulai harus ada. Jadi saya melihat hari ini
hidup kita itu 50%, mungkin 70% lebih
berhubungan dengan dunia maya. Tapi aturan hidup, norma hidup,
nilai hidup yang kita miliki masih berhubungan dengan dunia nyata. Kita butuh lebih banyak lagi
rumusan-rumusan ... - Saya sudah melihat
sosial media ini atau medsos sangat sudah dan akan terus bisa
mengpolarisasi percakapan. Dan yang muda sudah terpengaruh,
intelektual juga sudah terpengaruh, bahkan politik juga terpengaruh. Polarisasi ini sangat nyata. Dan kalau yang di kalangan anak muda,
saya lihat itu mereka itu lebih berkomunikasi
dengan mereka saja. Tapi mereka lupa atau kurang
berkomunikasi dengan pendahulu kita, yang sering kali disebut sejarah. Pendahulu kita ini yang sudah meninggal
kurang lebih 106 - 107 miliar manusia; yang hidup sekarang 7,8 miliar. Kalau mereka lebih bisa
berkomunikasi saja dengan sejarah itu akan membuahkan
nilai filsafah yang lebih tinggi kan? Ada banyak sebenarnya efek dari
yang situasi ini termasuk tidak hanya berkomunikasi ke belakang, berkomunikasi ke sekitar juga
mereka tidak canggih, jadi mereka sulit bersosialisasi. Karena apa? Selama ini
mereka terisolasi di dunia medsos-nya, mereka tidak terampil
berkomunikasi langsung. Kadang-kadang mahasiswa saya itu
kalau ingin ketemu, "Pak saya ingin bimbingan. Saya tunggu besok ya Pak,
di kantor jam 9." Jadi dosennya diperintah,
tapi dia nggak sadar begitu. Kenapa?
Dia nggak terlatih berkomunikasi. Dia nggak sadar bahwa seperti ini
itu tidak sopan. - Kayak mau suruh supir gojek
kalau mau antar barang. - "Besok saya tunggu jam 9 di kantor." Lho ini kok aku diperintah
suruh ke kantor jam 9. Mereka juga mungkin tidak peka bahwa misalnya kalau saya ngomong kayak gini,
ini orang bisa sakit hati lho, orang bisa tersinggung. Ini relasi sosial juga, mereka tidak terlatih
karena hidupnya sendiri tiap hari di depan gadgetnya. Oke, jadi pola komunikasi ini
saya mau coba bungkus dalam observasi yang saya perhatikan
akhir-akhir ini. Selama beberapa ribu tahun, kita itu memeluk,
menganut keyakinan agama untuk mencari kenyamanan batin
atau keselamatan atau kalau Katolik: penebusan. Tapi telah terjadi kegelisahan
karena beberapa hal, tapi salah satunya adalah kemunafikan
di kalangan pimpinan atau kepemimpinan dalam
lembaga keagamaan. Maka beralihlah dalam
beberapa ratus tahun terakhir ini, untuk mencari solusi namanya
inklusi atau keikutsertaan Nah ini lewat struktur sosial, ekonomi,
politik atau ideologi. Apakah itu sosialisme, liberalisme,
kapitalisme, komunisme. Tapi akhir-akhir ini
kelihatan ada lagi kegelisahan karena keikutsertaan ini
nggak inklusif, nggak merata. Ada yang dapat 1.000,
ada yang cuma dapat satu. Nah beralihlah atau evolusi
ke tahapan berikutnya. Kalau menurut saya ini adalah
tribalisme atau individualisme. "Ya sudah gue ngurusin RT gue aja,
lu ngurusin RT lu. Yang penting gua aman, selamat,
enak, keren, sejahtera. Gue nggak peduli." Nah ini semakin kita nggak menunjukkan
kepekaan terhadap satu sama lain. Gimana mas?
- Kita hari ini semakin egois. Itu kelihatan banyak,
tadi di antara orang egois itu di antara ciri:
keterampilan sosialnya kurang. Kenapa keterampilan sosialnya kurang? Ya kayak tadi karena memang hidupnya
banyak di dunia sendirian, terisolasi. Dan ini nanti mengefek termasuk
ke agama, ke ideologi kita, cara kita hidup,
itu efek ke situ. Kayak agama sekarang,
saya tadi bilang, "Jangan-jangan hidup kita ini dangkal." Hari ini banyak fenomena yang
menunjukkan kedangkalan beragama, bukan kematangan dalam beragama. Jadi misalnya
agama yang jadi formalistik saja, agama yang kayak formalisme,
"Pokoknya sudah salat, ya sudah." Nah ini parameter-parameter formalnya, melupakan misi besarnya agama atau bahkan ketika orang pakai istilah
egoisme, individualisme tadi, banyak orang yang bahkan
memanfaatkan agama untuk kepentingannya. Sebenarnya ini kepentingan egois,
cuma diatasnamakan agama. Saya itu sering ngasih contoh
ke teman-teman, misalnya di Alquran itu ada ayat
"wa la taqrabuz-zina", jangan dekat-dekat zina. Tapi ada juga ayat: "wa ja'alnākum syu'ụbaw
wa qabā
ila lita'ārafụ", dan kami ciptakan engkau berbangsa, bersuku-suku untuk saling mengenal. Nah, orang pakai dua ayat ini kadang-kadang secara ganti-ganti sesuai kepentingan. Kalau saat saya tidak punya pacar, saya bilang ke orang lain: "wa la taqrabuz-zina", nah pacaran itu dekat dengan zina. Begitu saya punya pacar dalilnya ganti; "wa ja'alnākum syu'ụbaw wa qabā
ila lita'ārafụ", kita itu diciptakan untuk
saling mengenal. Saya tidak menyalahkan tentang dalilnya cuma ini kepentingan kita dulu
ternyata yang bunyi, ayatnya kita ambil belakangan
untuk kepentingan kita. Nah ini yang hari ini sering terjadi begini. Jadi egoisme kita, kita bungkus, kita justifikasi dengan dalil
dengan agama, sehingga kesannya orang,
kita itu sangat religius padahal hakikatnya kita itu sangat egois. Jadi apa yang kita tuangkan ini
untuk membuahkan interpretasi ini tergantung apa yang ada
di kepala kita dan di hati kita. Jadi ayat yang sama ini bisa
ditafsir dengan berbagai hal atau kepentingan
atau apa pun. Gimana Mas? Jadi yang pertama begini, beda-beda tafsir itu
sebenarnya manusiawi. Asal tadi: yang nafsir ini memang
tujuannya mencari kebenarannya, bukan mendahulukan kepentingannya dan kelompoknya dan lembaganya, dsb., ini menurut saya masih aman. Kemudian yang kedua,
asalkan dia sadar ada jarak antara tafsirnya dengan teks
kitab suci yang dia tafsirkan. Jadi banyak orang yang lupa bahwa nilainya tafsir itu beda
dengan nilai teksnya. Akhirnya yang terjadi apa? Banyak orang, ini ada istilah filosof
dari Maroko itu Mohammed Arkoun, dia bilang tafsir itu
oleh umat Islam hari ini sering berposisi seperti
teks kitab sucinya. Istilah dia: "taqdisul afkar ad-diniyah". "taqdisul afkar ad-diniyah" itu
sakralisasi pemikiran keagamaan. Pada akhirnya yang kita sakralkan itu
ternyata pikiran kita bukan agamanya. Nah sebenarnya ini masalahnya bukan
terus kemudian kita tidak nafsir, tapi kita sadari bahwa
tafsir kita itu derajatnya manusia, tidak Ilahi, yang bisa keliru,
boleh dikritik, bisa tidak pas, bisa melenceng, dan lain sebagainya. Kesadaran ini yang menurut saya
di kita hari ini kurang. Belum lagi seperti tadi, kemudian secara tidak sadar
kita mendahulukan kepentingan dibandingkan tafsirnya. Mungkin karena konsekuensi aliran,
konsekuensi lembaga atau kepentingan-kepentingan yang lain. Nah jadi berarti kuncinya sebenarnya
nomor satu menurut saya, ayo kita sadari fakta ini dulu. Nanti baru kita main dengan mana
yang lebih sesuai dengan misi agama, dengan nilai agama, dan lain sebagainya. Karena kalau kesadaran ini saja
tidak muncul, pasti akan muncul banyak masalah
yang kita alami sekarang, konflik antar beda pemahaman; yang satu memahami ini,
yang satu memahami sini, karena menganggap bahwa pikirannya
selevel—kalau Islam—Qurannya. Seolah-olah kalau ada orang bantah
pemahaman kita terhadap Al Quran, itu dia membantah Quran,
padahal nggak, yang dibantah pikiran kita, tafsir kita. Nah kesadaran ini yang menurut saya
perlu kita bareng-bareng sadari. Jadi paling tidak mereduksi
konflik antar tafsir. Jadi paling tidak itu. Dan menurut saya kayak tadi,
belajar dari era keemasan Islam itu, ulama-ulama yang luar biasa tadi
itu tidak tunggal alirannya, macam-macam, mazhabnya tidak satu. Tapi mereka bisa kerja sama
membangun peradaban ilmiah. Dan mereka itu benar-benar
dianggap sebagai otoritas ilmu. Dan yang saya lihat ada kecenderungan
sudah terjadi individualisasi lebih banyak daripada institusionalisasi terhadap beberapa keyakinan
atau agama. Nah ini oke oke saja kalau
individualisasi ini terjadi di individu yang kaya dengan pendidikan, kaya dengan filsafat,
kaya dengan pengetahuan. Tapi kalau kita lihat variabel variansinya
atau variasinya sangat signifikan dari sisi pengetahuan pendidikan
dan segalanya. Nah ini gimana untuk menstandardisasi, tentunya intuisi kita adalah
untuk adanya suara yang memanifestasikan otoritas.
Nah itu gimana? Jadi memang harusnya dalam agama, yang punya otoritas adalah
beliau-beliau para ulama, tokoh-tokoh agama yang ngerti
bidangnya masing-masing. Cuma dukungan peradaban viral tadi, yang membuat semua orang
ingin eksis, ingin viral, hari ini muncul banyak orang
yang tidak kenal dirinya, nggak ngerti kapasitasnya. Akhirnya dia juga ikut berfatwa, dia juga ikut ngomong hukum agama.
dia juga ikut ini. Dan dia merasa bahwa ini benar
sehingga terjadi kekacauan tadi; setiap orang merasa berhak tampil,
berhak ngomong di bidang agama, dia lupa bahwa itu bukan bidangnya,
dia tidak ahli di situ. Jadi karena individualitas tadi
merasakan hak ku untuk ngomong. Ini perlu uraian panjang
tentang kesadaran hak. Kesadaran hak itu kalau ditambah
lupa diri dan lupa batas itu juga bahaya. Siapa aku ini? Saya berani ngomong filsafat misalnya
karena saya ahli filsafat. Tapi saya tidak berani
ngomong fisika, saya tidak berani ngomong neuroscience, saya tidak berani yang
bukan bidang saya. Nah, kesadaran ini menurut saya
hari ini penting. Tidak serta merta saya membaca
satu buku neuroscience misalnya, terus saya ngomong,
"Ayo Pak, kita ngobrol." Tidak begitu karena saya bukan ahlinya. Nah itu tapi banyak orang
hari ini merasa begitu, membaca satu postingan
tentang cara sabar terus saya bisa menasehati orang
sekarang tentang sabar. Ini yang sulit karena
kalau bukan ahli ... - Bahkan belum baca sudah diteruskan.
- Iya, sekarang banyak itu. Jadi begitu dikirim lalu diteruskan. Ada di-copy paste (salin tempel) saja
terus tidak ngerti padahal di bawahnya ada kalimat,
"Ini salah apa benar?" "Hoax apa tidak?" Dia lupa
di bawahnya ada tulisannya. - Oh sering sekali.
- Iya. Kita terjebak di situ. Kita tidak betah membaca,
dibaca atasnya saja seolah-olah ini fakta padahal sebenarnya
dia ingin tanya ini benar apa tidak. Tapi itu sudah kita bagikan. di lingkaran yang kecil saja
itu sudah nyata, bahwasanya mudah sekali untuk
siapapun itu untuk meneruskan dan melanjutkan
informasi yang sangat asimetris, yang nggak betul, tanpa dilakukannya pengecekan atau baca banyak yang belum dibaca
langsung di teruskan apalagi diverifikasi, langsung diteruskan. Jadi kalau istilahnya filosof namanya
Jean Baudrillard itu, kita itu hari ini peradaban kita
namanya ekstasi komunikasi. Jadi kita itu kayak orang ekstasi; ngomong apa nggak sadar,
membagikan apa nggak sadar, kayak orang ekstasi,
yang penting berkomunikasi. Jadi, tindakan komunikasi
dianggap lebih penting daripada maknanya komunikasi - Betul. Saya itu beberapa kali
berkomentar bahwasanya banyak sekali di kalangan kita dan
khususnya yang anak-anak muda itu dia megang HP 10 jam sehari. Dan kebanyakan yang dilihat itu
TikTok, Instagram, Facebook. Dan kebanyakan konten-konten
yang ada di platform seperti itu nggak bijaksana,
yang bijaksana banyak sekali, tapi jauh lebih banyak
yang kurang bijaksana. Nah ini platform yang tidak
tereditorialisasi dibanding koran atau TV
yang lebih tereditorialisasi. Nah ini gimana kita mengawal? Ini ibarat kata mereka adalah
generasi TikTok, generasi Instagram yang diasuh
oleh TikTok dan Instagram. - Sering saya bilang ke teman-teman
yang aktif-aktif bikin konten itu, hari ini memang PR kita,
seperti yang dibilang Pak Gita tadi, kita kesulitan membendung
konten-konten yang, "Apa ini ada manfaatnya?" Tapi memang mode peradaban kita
hari ini semacam itu. Berarti salah satu cara yang
menurut saya penting adalah kita saingi dan kita banjiri
konten-konten TikTok itu dengan konten yang positif. Saingan tidak apa-apa. Satu-satunya jalan itu karena kita
tidak main TikTok tidak mungkin sudah, tidak main Twitter nggak mungkin. Jadi antara lain mungkin teman-teman,
saudara-saudara yang aktif di medsos itu "Yuk kita banjiri dengan yang positif." Satu-satunya cara menurut saya
sementara ini itu. Itu persis seperti anak-anak kita yang ... Biasanya sering orang tua itu
memarahi anaknya, akhirnya HP-nya diambil
biar tidak main TikTok. Tapi terus dia pinjam HP-nya temannya,
ke mana-mana lagi, dsb. Itu menurut saya jalan terutama itu. Jadi isinya kita perbanyak itu. Yang kedua menurut saya,
kalau ingin kita berikan aktivitas, kalau bisa aktivitas yang
sama asiknya dengan TikTok. Saya tidak tahu apa. Jadi kayak misalnya kemarin
waktu pandemi, saya sama anak-anak itu memang
tiap hari sama kayak yang lain pegang HP. Tapi "Yuk nanam-nanam yuk"
"Yuk memelihara ikan yuk" Paling tidak dia biar tahu
generasi kita ini banyak loh keasyikan yang lain,
tidak hanya itu keasyikan itu. Tidak hanya TikTok asik,
tidak hanya Instagram asyik. Ini juga asyik, itu juga asyik,
olahraga juga asyik. Ini menurut saya solusi selanjutnya. Jadi kita beri ganti aktivitas yang
nggak kalah asyik tapi penting dan manfaat. Ini menurut saya. Jadi kalau misalnya
anak-anak kita kok asyik HP-an terus tidak serta-merta, "Sudah, tidak usah
main HP", selesai, tidak. Kita beri ganti aktivitasnya
dengan yang lebih positif yang sama-sama asyiknya
mungkin bareng-bareng kita ajak ngapain, kita ajak latihan apa,
kita terlibat tidak hanya menyuruh. Nah ini menurut saya menarik. Jadi kita beri gantinya
yang tidak kalah asyik atau kita ikut masuk tapi kita isi
dengan yang positif-positif. Yang kedua harus dilakukan
tapi nggak gampang karena amplifikasi terhadap narasi
yang lebih kurang bijaksana itu lebih tinggi daripada
narasi yang lebih bijaksana. - Betapa pun, misalnya,
konten-konten filsafat, tidak akan bisa mengalahkan
konten-konten artis. - Nggak mungkin. Yang joget, dsb.
- Iya. Itu PR besar kita. Sebenarnya keprihatinan paling besar
itu adalah generasi saja. Generasi kita ini
mau ke mana pada akhirnya? Nah ini saya mau tanya, generasi
kita ini mau ke mana ke depan kalau saya coba bungkus
dalam konteks agama. Kalau di agama Nasrani itu
ada otoritas namanya Paus. Dia bisa mengambil sikap dan penyikapan itu semestinya
adalah otoritas atau cermin dari otoritas,
dan harus diikuti. Tapi kalau di agama Yahudi
atau Judaism dan Islam nggak ada, yang semestinya kalau
di Islam itu kan ulama. Itu semakin kita melihat
akhir-akhir ini individualisasi, interpretasi terhadap agama Islam, semakin kita membutuhkan otoritas. Tapi karena tidak adanya otoritas
yang bisa menyatukan interpretasi atau penyikapan ke depan, apa sih yang minimum
kita bisa lakukan untuk membawa narasi kebangsaan kita
ke depan semakin keren. Jadi kalau saya tetap tadi Pak Gita, setiap orang sadar porsi dan proporsinya;
ini yang pertama. Harus ngerti saya itu
berdiri di mana, sebagai apa, punya kapasitas kemampuan apa. Jadi biar nggak lintas pagar untuk
hal-hal yang serius, yang penting dalam hidup ini,
orang harus sadar, tahu batas dan tahu dirinya. Kemudian kalau dalam Islam misalnya
manusia itu dianggap setara semua, jadi berarti setiap orang punya hak
dan punya kewajiban tertentu untuk mendalami agamanya
masing-masing. Tapi dia juga harus sadar
batas kemampuannya. Jadi dia harus ngerti,
kayak saya misalnya: saya ngerti sedikit tasawuf,
tapi fikih saya nggak ngerti. Hukum ini hukum itu
saya tidak paham, jadi jangan tanya saya tentang itu. Jadi orang harus ngerti batas ini
karena kadang-kadang bahkan otoritas yang misalnya
jadi rujukan itu juga kadang-kadang nggak paham
batas dirinya sehingga ditanya apa saja
dia harus jawab. Nah ini juga menurut saya
masalah yang harus dipikirkan karena orang juga harus tahu batasnya. Kalau memang tidak tahu,
jawab saja tidak tahu atau bukan bidang
jawab saja bukan bidang. Tapi kadang-kadang ada rujukan,
ada otoritas yang, "Pokoknya saya harus jawab segalanya." Ini juga nanti jadi masalah
dalam kehidupan kita karena otoritas ini jadi rujukan yang diambil;
yang kedua itu. Kemudian yang ketiga,
tentu saja literasi hari ini saya kira kelemahan kita
dalam banyak hal itu literasi. Kita sulit sekali paham bahwa saya itu harus ngerti ini dulu, harus anu
ini dulu, baru boleh ngomong. Itu sulit sekarang ketemu
orang yang sadar dan mau belajar, mau literasi. Kalau yang mau tampil banyak,
yang mau eksis banyak, yang mau belajar yang jarang. Ini yang jadi PR kita semua. Nggak salah orang ingin tampil
dan ingin eksis, tapi bangun dulu nilai dirimu. Jadi bangun dulu kualitas,
dari situ nanti kalian bisa tampil eksis. Nah cuma belakangan nggak begitu, kadang kayak tadi orang
membagikan tentang agama yang bagian apa dia juga
nggak paham yang dibagikan itu apa atau yang dibagikan itu apa
berhubungan dengan diriku, relevan tidak dalam hidupku,
dan lain sebagainya. Karena relevansi ini juga penting, kadang-kadang bukan berarti
salah benar, dalam hidup ini banyak hal
yang benar dan baik, tapi kadang-kadang ketika
tidak relevan malah jadi blunder. Kayak tadi misalnya,
orang sedang kalah, terpuruk, malas-malasan, tidak mau bangkit,
terus kita nasehati untuk sabar. Ini blunder menurut saya. Orang sudah malas disuruh sabar,
ya tambah malas. Nasihat sabar ini baik,
tapi dia tidak pas posisinya. Jadi tidak harusnya saat ini
dikasih nasihat sabar. Tapi perlu ada kepemimpinan
yang bisa mengangkat semangat. Nah itu tadi, istilah kepemimpinan tadi, yang kira-kira bisa menggerakkan
seperti ideal saya bilang tadi siapa, tentu saja orang
yang punya otoritas tadi, para pemimpin dan para pemuka ini. Kepala RT, RW, Kabupaten, Kota, Provinsi. Mau nggak mau,
kalau bahasanya buku, yang punya kekuasaan itu mereka. Jadi merekalah yang sebenarnya punya tanggung jawab
menggerakkan di awal. Kayak tadi kita ngobrol ideal
macam-macam tadi, itu kalau tidak ada dukungan,
patronase dari pemimpin-pemimpin ini, itu macet pada akhirnya, karena yang punya relasi kuasa mereka. Saya sempat bicara dengan
salah satu narasumber. Kita ngebahas mengenai Iqro, dan Iqro itu diinterpretasikan hanya
untuk membaca Al Quran saja. Padahal Iqro itu artinya membaca. Ya mestinya membaca apa pun
sebanyak mungkin supaya kita itu multidimensional dan saya melihat semakin kita itu
monodimensional. Padahal Iqro itu kata pertama
kepada Nabi Muhammad dari malaikat Jibril, saat itu
belum ada Al Quran yang bisa dibaca. Jadi saya lebih memilih menafsirkan itu
sebenarnya malaikat ingin "Wahai Muhammad, Iqro:
bacalah realitas kelilingmu ini." "Bacalah fenomena-fenomena
sekelilingmu ini." Jadi maknanya itu sebenarnya. Cuma kemudian memang agak
dipersempit; Iqro yang baca Quran. Jangankan itu, saya di Jogja itu
ada ngaji filsafat. Sering tiba-tiba ada yang kritik:
"Ngaji kok filsafat, ngaji ya Quran." Padahal dia lupa istilah ngaji itu
bahasa Jawa sebenarnya, istilah dalam bahasa Jawa. Tapi maknanya menarik menurut saya. Tapi orang dianggapnya itu, pokoknya
kalau ngaji mesti Quran. Padahal itu dari Jawa. "Ngaji" itu saya memaknainya
dari kata dasar "aji". Jadi ngaji itu menuju kemuliaan,
menuju aji. Jadi orang Jawa punya kearifan: kalau kita belajar apa pun itu pastikan korelasinya dengan
peningkatan kualitas dia. ,Jadi kita yang jadi semakin mulia, tidak sekedar membaca formalitas
sekedar hafalan, tapi dari aktivitas ngaji itu kita
tambah aji, tambah mulia, sebagai manusia meningkat kualitas kita. Makanya saya pakai istilah
ngaji filsafat. Tapi yang nggak ngerti,
dianggapnya ngaji itu mestinya Quran. Nah ini menurut saya yang penting, pencerahan-pencerahan semacam ini
untuk orang banyak. Paling nggak biar nggak sempit itu saja. Ngaji untuk Al Quran itu benar juga,
cuma tidak hanya itu, itu maksud saya. Jadi orang itu
seringnya merasa bahwa cuma ini makna itu. Padahal ada banyak variasi,
banyak alternatif makna. Saya itu sering ngangkat paradoks
di mana kita melihat demokratisasi informasi itu
sudah kaya sekali. Kita mau cari informasi mengenai
apa saja itu ada dan dari kanal yang beribu-ribu. Tapi ini nggak nyambung dengan
demokratisasi ide. Ide itu hanya itu-itu saja, yang kiri dan yang kanan,
terpolarisasi justru. Nggak terjadi spektrum.
Nggak kaya spektrumnya; spektrumnya hanya yang
paling kiri dan yang paling kanan. Nah ini mungkin bisa dikorelasikan
dengan labelisasi: gimana kita begitu gampangnya
menglabel seseorang, 'Wah, si A itu gini, si B itu gitu." Nah itu bisa dikaitkan dengan
sosial, budaya, politik, ekonomi, teknologi, dan lain-lain. Nah itu kalau menurut saya
sangat memilah bangsa. Nah itu gimana untuk kita
bisa menghindar dari labelisasi? Kalau dalam Islam ada kalimat
yang saya suka: "Undzur ma qola wala tandzur man qola"; lihat apa yang dikatakan,
jangan melihat siapa yang bicara. Ini menurut saya salah satu
kutipan yang bagus. Bahkan ada
Sayyidina Ali Bin Abi Thalib itu, "Seandainya pun meskipun anak kecil
ngajar saya satu huruf saja, saya anggap dia guru." Padahal dia anak kecil. Jadi tidak kita labeli,
"Halah anak kecil ngerti apa." Tidak. Kalau dia memberi pengetahuan padaku,
aku anggap guru. Kalau dia memberi wawasan baru
padaku, aku anggap guru. Jadi lebih ke isi, bukan bungkus. Ini kalau saya melihat nenek moyang
kita dulu luar biasa memahami ini. Mereka bahkan bisa, "Sudahlah wadahnya
bisa apa saja kok asal isinya ini." Itu nenek moyang kita.
Makanya dulu misalnya kayak Jawa itu punya tradisi religius
sampai kuno sampai purba namanya agama Kapitayan. Hindu datang tidak masalah,
silakan saja bareng-bareng kita. Kemudian Buddha datang
"Ayo silakan tidak apa", substansinya sama, silakan saja. Terus Islam datang juga begitu,
masuk dengan nyaman, semua tidak ditentang, dsb. Jadi ini menurut saya
kesadaran level tinggi. Sementara kita hari ini, begitu ngerti label yang berbeda
berarti bukan aku. "Oh labelmu gitu, aku labelmu ini.
Warnaku merah, kamu warnanya hijau, dia warnanya kuning, berarti kita beda.
Kalau beda berarti kita saling musuh." Nah cara berpikir hari ini banyak begitu. Kita menganggap perbedaan itu
sebagai ancaman buat kita. Jadi karena kita berpikirnya, kalau pakai bahasanya (Jacques) Derrida
itu selalu biner; dianggapnya hidup ini
hanya ada hitam dan putih. Ya tentu saja aku punya label A
dia punya label B, yang putih harusnya aku dong,
kamu yang hitam. Jadi akhirnya apa? Terus jadi peradaban yang
saling menegasikan. Jadi kita membuang saudara kita,
kita menyingkirkan tetangga kita, kita menafikan khazanah-khazanah
luar biasa dari orang tertentu, kelompok tertentu,
hanya karena labelnya beda. Begitu mudahnya kita itu
tergerus atau terbelenggu dengan negativitas yang dikaitkan
dengan labelisasi, tanpa mendengar apa yang disuarakan, hanya melihat siapa yang menyuarakan. Dan ini seakan-akan kayak
cukup struktural framing-nya. Dan ini gimana untuk mendistrukturkan atau meng-unstructure supaya ujung-ujungnya kalau kita benar-benar
mau berfilsafat adalah untuk bisa menginterogasi apa pun
yang kita lihat dan dengar supaya kita bisa berpikir secara tepat. Nah itu ujung-ujungnya
berkorelasi dengan kapasitas seseorang
menunjukkan keterbukaan. Nah kalau percakapan itu terpolarisasi, itu nyata bahwasanya
tidak ada keterbukaan di sisi sini terhadap apa
yang ada di sini dan sebaliknya. Kalau ada keterbukaan itu semakin
spektrumisasinya terjadi. - Ada menarik tambahannya Pak Gita. Ada kalimat dari Imam Syafi'i
yang saya ingat itu, jadi beliau punya kalimat begini: "Pendapatku benar tapi
mengandung kesalahan juga, karena aku manusia
tidak mungkin sempurna. Pendapatmu menurutku salah,
tapi pasti mengandung kebenaran juga, karena kamu ingin mencari kebenaran." Menurut saya kalimat ini luar biasa. Jadi kesadaran bahwa
kita semua ini manusia. Tidak ada manusia yang
100% hidupnya negatif atau kebalikannya 100% hidupnya positif. Kita punya banyak keterbatasan. Pikiran-pikiranmu menurutku salah,
tapi aku yakin pasti ada unsur-unsur benarnya juga
dalam konteks tertentu, dari perspektif tertentu. Pikiranku aku yakin benar,
tapi aku sadar aku manusia bisa saja salah,
maka pikiranku mungkin saja keliru. Kalau ada yang positif petik, kalau nggak positif
nggak usah dipetik. Makanya yang dilihat isinya
bukan siapa yang ngomong. Jadi kita ini sering melewatkan
tokoh-tokoh besar, orang-orang penting dengan
mungkin pikiran-pikiran nasehat-nasehat luar biasa,
baru kita sadar setelah meninggal. "Wah ini tokoh ini dulu luar biasa ya. Baru sadar sekarang
pikirannya luar biasa." Kenapa kita tidak bisa mengambil
manfaat dulu waktu beliau hidup? Karena kita labeli dia
sebagai beda dengan kita. Nah kita sering begitu. Banyak orang yang misalnya
ada yang bilang, "Wah baru sadar saya Gus Dur itu
punya pikiran bla bla bla gini." Nah dulu waktu ada Gus Dur,
diserangnya luar biasa dengan asumsi bahwa dia
beda dengan aku, beda dengan kelompokku. Mungkin tokoh tertentu juga begitu
kita baru sadar "Wah beliau ini sumbangannya besar,
pikirannya luar biasa. Sayangnya waktu beliau masih hidup
kok saya kontra terus." Kita sering tidak sadar ... Gus Dur itu salah satu dari
107 miliar yang tadi. Sudah bagus bahwa kita
masih bisa mengenang Gus Dur. Tapi banyak yang nggak mau
berkomunikasi dengan sejarah. - Itu yang bahasa saya, kita itu sering ditunggui
orang-orang besar, kita itu sering ditemani pikiran-pikiran
para pemikir yang luar biasa. Tapi kita mengambil
manfaatnya minimal, hanya karena kita tempeli label negatif. Saya belakangan ada baca itu
orang yang sama sekali akhirnya tidak mau Ibnu Sina, padahal semula dia
memuji-muji Ibnu Sina. Begitu baca, "Pak Faiz katanya
Ibnu Sina itu syiah." Akhirnya dia cerai total sama Ibnu Sina. Padahal mungkin sudah banyak di sini sekolah-sekolah
yang pakai nama Avisena. - Iya, di Eropa. Di buku kedokteran
di Eropa itu Avisena. - Dia lupa dengan itu hanya
karena belakangan dia membaca ada yang bilang Ibnu Sina itu syiah. Saya bilang, "Terserah saja,
silahkan saja kalau gara-gara label itu, terus semua gagasan-gagasan,
pikiran-pikiran, kontribusinya yang luar biasa,
nggak hanya untuk umat Islam, tapi untuk peradaban dunia
kamu tidak anggap sama sekali." Kita sering cara berpikirnya seperti ini. Tapi kalau menurut saya ini nyambung
dengan pola pendidikan di rumah tangga, di sekolah, di kantor, di ekosistem, dan kalau menurut saya juga
di tempat ibadah itu penting sekali untuk siapa yang megang microphone
itu benar-benar berpendidikan dan sudah Iqro bermacam-macam buku. Jadi memang ini PR kita semua. Makanya saya di Jogja itu tadi
saya bilang ada forum ngaji filsafat. Itu sebenarnya pertimbangannya
adalah bukan ingin gaya, ingin memberi menu
yang berbeda untuk umat. Jadi mungkin selama ini menunya
itu-itu saja untuk agama. Saya membayangkan kalau
di masjid itu tidak hanya kajian misalnya fikih, tasawuf,
tapi ada filsafat, mungkin nanti ada kajian fisika,
mungkin ada kajian ... Bagi saya menarik dan ini
sebenarnya dicontohkan zaman dulu di era jayanya Islam. Jadi ada halaqah di masjid,
itu para ilmuwan para ulama sesuai bidangnya masing-masing. Mungkin ada saudara-saudara kita
yang tidak mampu kuliah psikologi, tapi di masjid ada kajian psikologi. Tidak bisa kuliah filsafat karena
sudah terlanjur kuliah apa, di masjid ada pelajaran filsafat. Nah jadi umat dapat menu banyak. Ini menurut saya membantu
wawasan jadi luas. Jadi semakin luas wawasan, menurut saya membuat orang
semakin kaya ... Saya percaya banget bahwasanya
multidimensionalitas itu akan bisa membantu
mitigasi risiko apa pun. Risiko sosial, budaya, ekonomi,
teknologi, geopolitik, politik, dll. Tapi saya melihat bahwasanya
individualisasi keyakinan atau agama ini kalau nggak dibarengi dengan
multidimensi atau multidimensionallitas, ini semakin kita harus hati-hati ke depan. Kalau ini terlalu monodimensional, yang nempel dengan individu
yang semakin berkapasitas untuk mengindividualisasi agama,
semakin sulit ke depan menyatukan. - Saya sering pakai ilustrasi wawasan,
kemudian pandangan yang beragam, ilmu yang macam-macam
itu seperti senjata. Semakin banyak kita punya kayak
orang yang semakin punya banyak alat, punya banyak senjata menghadapi hidup. Kalau kita punya sendok, punya pisau,
punya palu, punya macam-macam, itu ketika menghadapi masalah,
"Oh ini solusinya sendok, karena yang saya hadapi nasi." "Oh ini solusinya pisau karena
yang saya hadapi harus diiris." dsb. Tapi kalau kita alatnya cuma satu,
pisau saja misalnya, ketemu nasi pun kita pakai pisau akhirnya. Kalau kita alatnya cuma palu, ketemu apa pun kita perlakukan
kayak paku, akan kita pukul. - Harus ada ambidexteritas.
- Jadi semakin kita canggih semakin kita punya banyak alat,
kan hidup ini multidimensi masalah juga multidimensi. Jadi kita punya dan
perlu belajar juga kearifan; mana alat yang harus digunakan. Nah ini menurut saya penting,
kayak tadi misalnya, "Oh ini bukan saatnya ngomong label
karena ini kita sedang ngomong ilmiah." "Oh ini bukan saatnya ngomong itu
karena ini forumnya forum ini." Ini yang teman-teman kadang lupa,
nggak ngerti konteksnya. Jadi kayak saya di masjid, kadang-kadang
masjid ada tema Nietzsche, ada tema Karl Marx,
kalau begitu kan orang heran. Ini konteksnya belajar,
bukan saya nyuruh orang jadi ... Biar kalian tahu bahwa kalian pakai
atau tidak, itu tidak masalah. Bahkan seandainya kalian ingin
tidak setuju, harus paham dulu kan. Jadi makanya,
"Ayo ditelaah, ayo dipelajari." Karena ini sebagai ilmu,
kayak tadi sebagai senjata, siapa tahu pada saatnya
kita memerlukannya. Kita ini hidup dalam demokrasi. Tapi kita semakin sulit melihat
demokratisasi ide. Justru kalau saya lihat di seluruh dunia, Kecenderungan dalam berbagai
atau banyak demokrasi untuk menyeleksi talenta itu lebih berdasarkan patronase
ataupun loyalitas, bukan berdasarkan meritokrasi. Ini diskon untuk narasi
kebangsaan kita ke depan. Pandangan Mas Faiz gimana? - Sebenarnya kesadaran demokrasi itu sudah kita jalani lama dan kita
menganggapnya sudah otomatis sekarang itu kita harus demokrasi. Tapi kita jarang berpikir dalam. Karena tetap ada celah-celah
ketika demokrasi, misalnya dipakai oleh ...
karena demokrasi belum masuk itu aspek-aspek kayak katanya
buku relasi-relasi kuasa ketika main. Harusnya demokrasi itu pilihan langsung,
misalnya setiap orang milih. Tapi pilihannya orang ini
bisa dikendalikan. Akhirnya seolah-olah ini bebas
tapi sebenarnya tidak, ada kuasa yang bermain
sehingga kita mau tidak mau harus pilih itu saya. Kalau tidak itu ada yang terancam
dalam hidup, dsb. Nah ini yang jarang
orang berpikir sejauh itu sehingga akhirnya apa?
Yang berjalan kayak tadi: "Ini harusnya demokrasi kok terus
turun temurun." Kita jarang berpikir ke situ.
Kita anggap, "Memang biasanya begitu." Jalannya harus begitu saja. Jadi kalau bahasa sosiologi:
"Common sense" Jadi dia berubah
dari ideal jadi common sense. Ketika itu common sense,
orang itu tidak kritis. Jadi termasuk tadi sistem-sistem
kekuasaan yang harusnya terbuka terus jadinya tidak lagi
berdasarkan kapasitas, tapi berdasarkan koneksi,
berdasarkan kenalan, berdasarkan turun-temurun. Kalau pengalaman dalam
sejarah Islam misalnya kita kenal Bagaimana di era khalifah 4,
Khulafaur Rasyidin: Abu Bakar dan seterusnya ini
umat Islam pintar sekali berdemokrasi. Jadi bagaimana pemimpin itu
dipilih yang memang kapasitasnya memadai,
sesuai dengan yang paling diinginkan oleh umat dan memang kualitasnya
layak jadi pimpinan. Tapi belakangan kemudian ganti. Tapi suatu hal yang saya lihat yang
kelihatannya sebagai paradoks adalah basis yang digunakan untuk memilih
khalif pertama yaitu Abu Bakar. Itu bisa dibilang teknokrasi dan demokrasi karena beliaulah yang paling senior,
beliaulah yang paling piawai. Jadinya patut untuk diakui
sebagai penerus nabi. Yang percaya dengan konsep ini
justru sekarang berbasiskan di tempat
yang sifatnya monarki. Tapi justru di saat itu
yang percaya bahwasanya penyeleksian khalif itu harus
berdasarkan hubungan keluarga, turun-temurunnya itu justru sekarang berbasiskan di negara yang
demokratis. Paradoks kan? - Makanya kalau katanya
Aristoteles itu kadang-kadang politik itu lebih dulu kepentingan
dibandingkan ideal. Jadi kemudian orang itu lebih milih pokoknya apa yang
kita inginkan sekarang, bukan ideal yang sudah
kita patok kemarin-kemarin. Tapi menurut saya kadang-kadang
kita perlu juga punya idealisme. Jadi tidak sekedar memang
tuntutan situasinya begitu, karena justru manusia itu
mulia dalam hidupnya ketika dia setia dengan nilai-nilai, ketika dia punya nilai
untuk diperjuangkan, tidak sekedar mengalir saja
mengikuti situasi. Sekarang kita lihat variasi
macam-macam itu biasanya kalau ditanya "Ya memang mengikuti situasi,
mengikuti zamannya." Kalau jawabannya hanya kayak gini,
itu kelihatan kita tidak punya prinsip, tidak punya nilai. Jadi saatnya menurut saya, kita juga
punya nilai untuk ditegakkan. Meskipun tidak abai dengan kenyataan. Saya ingat satu kalimat bagus
dari tokoh kita, wali kita, kebanggaan kita; Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga itu punya kalimat begini:
"angeli ananging ora keli". "Angeli" itu artinya mengalir,
"ora keli" artinya tapi tidak tenggelam. Jadi, "Tidak apa-apa kita ikuti arus,
tapi jangan tenggelam dong." Tidak tenggelam itu berarti
kita punya prinsip, punya ideal yang ingin kita tegakkan, punya ide-ide yang ingin kita semaikan. Tidak sekedar mengikuti situasi. Itu bayangkan Sunan Kalijaga era itu
sudah punya kalimat luar biasa. - Ratusan tahun yang lalu.
- Iya. Jadi, "angeli ananging ora keli". Mengalir tapi nggak tenggelam,
ikut arus tapi kita tidak tenggelam. Kan ada juga itu kalimat dari
yang sering disebut orang: hanya ikan mati yang ikut arus. Kalau ikan hidup dia nggak akan
ikut arus begitu saja, dia punya prinsip. - Iya. Apalagi salmon,
dia bisa melawan arus. Saya bukan mau menganjurkan
aliran tertentu. Mas, ada buku yang sudah ditulis
yang mengilustrasikan perpolitikan di Indonesia itu merupakan manifestasi dari
keseimbangan dari 3 hal. Yang pertama adalah Islam,
dua masyarakat sipil, yang ketiga adalah aparat keamanan. Itu aparat keamanan mungkin
sampai akhir abad ke-20 itu TNI. Tapi masuk ke abad ke 21,
itu menjadi TNI/Kepolisian. Nah menurut Mas Faiz
ke depan gimana? Keseimbangan ini bisa terwujud
secara optimal nggak, antara 3 unsur ini? Menurut saya ada unsur
yang lebih bermain kalau untuk konteks
masyarakat Indonesia. Itu main karena itu mayoritas-mayoritas. Tapi ada lagi mentalitas masyarakatnya. Masyarakat kita menurut saya
sampai hari ini sebagian besar cara berpikirnya masih
patronistik, feudalistik atau idolatri. Jadi fokusnya idolanya sebenarnya. Dia mengidolakan siapa,
itu yang dia ikuti. Seperti kata Pak Gita tadi,
ini pemimpin-pemimpin, para leader, para patron-patron,
di tengah masyarakat itu nanti akan jadi kunci. Jadi siapa yang diidolakan, siapa yang diikuti oleh rakyat,
oleh masyarakat, dia nanti yang jadi kunci
mau dibawa ke mana. Situasi ini ketika ditambah
media digital yang serba viral tadi ... - Semakin itu. Semakin gurih.
Semakin bisa digoreng semakin gurih. - Kita itu anti berhala
tapi sebenarnya kita idolatri; jadi saya mengidolakan siapa. Kalau sudah idola pokoknya
tidak mungkin salah. Itu kita berpikir begitu:
idolakan tokoh ini, pemimpin yang ini.
ustaz yang ini, dsb., itu kita terus terkotak di situ,
tidak mungkin salah. Maka akhirnya apa? Nanti yang
memegang pengaruh para idola ini dan bagaimana mereka
mempertahankan pengaruh keidolaannya, status quo bahwa dia
harus tetap jadi idola. Nah itu nanti akan banyak
cerita-cerita pencitraan, viralitas, dsb. Ini nanti akan jadi kunci di situ. Saya tidak tahu cara mengubah
mindset sebagian besar kita, ada yang bilang
memang seperti itu orang Timur. Tapi masa begitu.
Kalau manusia itu kan seperti apa yang dia inginkan, sebenarnya bisa saja dia ingin
membentuk dirinya maupun masyarakatnya. Jadi kalau menurut saya
ini justru akan sangat berpengaruh. Makanya, siapa yang diidolakan
masyarakat ini layak dikunci. Mendeteksinya gampang:
sebentar lagi 2024 itu, siapa yang didekati orang-orang
yang nyalon itu biasanya idola-idola ini. - Sudah kelihatan popularitas
masing-masing. - Iya. Jadi idola-idola ini
yang akan mendekati siapa, mencari orang-orang
yang banyak di idolakan, dsb. Cara berpikir ini berulang terus. Ini menurut saya,
mungkin kita tidak naik kelas. - Terlepas dari proses politik,
kalau menurut saya, untuk kepentingan kesehatan
kita semua ke depan, harus ada penyikapan mengenai medsos karena saya melihat banyak sekali
isu-isu yang penting mengenai perubahan iklim,
kesenjangan, yang belum terobati secara cukup lewat platform seperti itu. Padahal itu adalah isu-isu
yang harus ditonjolin dan disikapi. Yang paling gampang gini deh: kalau kita melihat Greta Thunberg,
tokoh perubahan iklim dari Eropa itu follower Instagramnya
mungkin 18-20 juta. Tapi follower-nya Kylie Jenner
yang selebriti yang terkenal banget, itu bisa 200-300 juta. Dari situ kita sudah melihat
pulsa masyarakat luas itu lebih dekat dengan siapa pun
yang mengemiskan karbon dibandingkan siapa yang lebih takut
mengemisikan karbon. Nah untuk ke depan ini
kita harus menunjukkan sikap yang menyehatkan kita.
- Iya, itu yang saya bilang tadi. Jadi yang viral itu banyak
hal-hal yang dangkal, hal-hal yang dalam, yang penting ...
- Kita sepakat. Mutlak harus ada penyikapan
kalau menurut saya. Nggak di rumah tangga, di sekolah,
di kantor atau di pemerintahan. Kalau nggak, kita bakal begini-begini saja. - Nggak hanya bakal begini,
nanti panennya di belakang. Di belakang kita akan panen
mungkin generasi dengan karakter misalnya tadi yang abai lingkungan, generasi yang tidak
saling peduli sesamanya, generasi yang tidak dalam dalam berpikir Ini PR-PR kita semua sebenarnya. Dan itu tadi, kalau ingin cepat,
ya tetap memanfaatkan kekuasaan. Jadi selain kita sendiri berjuang
di lingkungan yang kita punya kuasa, tapi juga yang pemegang-pemegang
kuasa besar itu menurut saya jadi kunci juga
di segala tatarannya. Apalagi tadi mentalitas masyarakat
masih mentalitas siapa idolanya. Dan geraknya harus bareng-bareng;
kesadaran ini. Sulit kalau yang gerak satu-dua, sementara yang lain tidak ikut gerak atau mengisi dengan
sesuatu yang tidak relevan. Jadi kita capek-capek,
dia bikin yang lain atau mengarahkan ke yang lain sehingga kalau bahasanya anak hari ini,
akhirnya terdistraksi ke sana, anak-anak itu tidak lagi fokus
ke yang baik ini. Tapi ini juga sekaligus tantangan pada
konten-konten kreator hari ini Kayak Sunan Kalijaga tadi; kita ikut viral tidak apa-apa, kita mengejar disukai banyak orang
nggak apa-apa, tapi jangan tenggelam. Jadi kita harus punya prinsip
dan punya idealisme. - Itu keren filsafat.
Saya baru dengar itu. Boleh mengalir tapi jangan tenggelam.
- Jangan tenggelam. Karena kalau kita mengalir, tenggelam,
mengikuti arus saja, kita kayak ikan mati akhirnya. - Mas, saya mau tanya
pertanyaan-pertanyaan terakhir. Tolong dibelikan definisi filsafat untuk
teman-teman yang dengar ini. Iya. Jadi saya itu sering
mendefinisikan dua filsafat itu: Yang pertama, berpikir yang benar,
sederhananya itu. Yang kedua, cinta kebijaksanaan. Ini sederhana sekali
tapi maknanya dalam. Jadi berpikir yang benar itu banyak
di antara kita merasa bisa berpikir, tapi sebenarnya belum. Jadi banyak orang yang bilang,
"Halah mikir saja ya semua orang bisa." Tapi banyak orang yang bahkan
tidak mau berpikir, tidak sekedar tidak bisa berpikir. Justru PR besar kita
antara lain tadi: berpikir, termasuk masalah viral, dsb., tadi. Kalau orang mau berpikir
sebentar saja, itu akan ketemu
banyak lubang-lubangnya. Saya melihat kecenderungannya itu
tinggi sekali untuk banyak sekali di sekitar kita,
bahkan di diri kita juga untuk tidak bisa berpikir secara objektif. Makanya filsafat dulu lahir di Yunani itu mendobrak cara berpikir
serba mitos. Orang Yunani punya dan percaya
Zeus, Hercules, dsb. Nah dia datang untuk, "Masa menjawab
persoalan hidup kok pakai mitos-mitos." Dia datang dengan logos-nya,
berpikir yang benar. Itu kalau bahasa saya, filsafat itu
lahirnya dulu memberantas TBC; Takhayul, Bid'ah, Khurafat
versi Yunani tapi. Karena orang sering pakai kalimat
ini takhayul, bid'ah, khurafat, tapi di Yunani dulu. - TBC
- Iya. Nah, menurut saya, ini perlu dihidupkan lagi karena
takhayul-takhayul kita, khurafat kita, mitos-mitos kita,
hari ini termasuk TikTok tadi, termasuk Instagram itu,
banyak jadi mitos-mitos hari ini. Mitos adalah yang kita terima
begitu saja tanpa berpikir, tidak kita teoritisi. Nah itu sekarang jadi itu lawannya. Mari kita runtuhkan dengan
berpikir yang benar. - Dan cinta kebijaksanaan.
- Dan cinta kebijaksanaan. Jadi kebijaksanaan itu
melampaui sekedar kebenaran. Jadi bijaksana itu ngerti cara menggunakan dan mengaplikasikan
kebenaran secara pas, tepat. Jadi misalnya dalam banyak
omen kadang-kadang ini kalau saya sampaikan apa adanya,
malah nambah masalah, meskipun saya tahu ini benar. Demi bijaksananya, saya sampaikan
pakai simbol-simbol saja, ini namanya bijaksana. Kalau kamu saya tegur langsung,
teguranku mungkin benar, tapi bisa jadi kamu tersinggung terus malah nggak jadi apa-apa
dan nambah masalah. Nah saya pakai cara menegurnya,
biar kamu tidak tersinggung, ini bijaksana, dan filsafat cinta
yang semacam ini. Jadi tidak sekedar berhenti di kebenaran
tapi masuk ke ranah kebijaksanaan. Mengerti strategi, mengerti retorika, mengerti jalan yang halus,
yang pas, yang cocok, yang manfaat, karena kebenaran kalau kendaraannya
tidak benar malah jadi masalah. Ini namanya tidak bijaksana. Ada kalimat bagus lagi dari
Imam Ghazali yang saya ingat, "Orang melakukan kebenaran
tapi jalannya tidak benar, itu seperti orang mencuci
dengan air kencing." Mencucinya kan bagus, tapi karena
pakai air kencing jadi tidak bersih, jadinya cuma tambah kotor
dan tambah najis. - Whitewashing.
- Makanya kebenaran harus kita gunakan kita jalankan dengan jalan
yang baik yang benar. Ini kalau bahasa filsafat:
kebijaksanaan tadi, cinta pada kebenaran yang tepat. Orang-orang Sophist tadi yang berargumentasi dengan logika itu benar pakai akal argumentatif,
tapi dia tidak bijaksana karena hanya untuk kepentingannya
sendiri, egoismenya sendiri. Nah ini namanya tidak bijaksana. Nanti dalam banyak kasus
banyak itu orang yang menegakkan kebenaran dan
membela kebenaran, tapi terus tambah masalah baru,
karena tidak bijaksana tadi. Melakukan kebenaran dengan jalan
yang nggak benar. - Iya. Itu sering jadi masalah. Ingin memberantas sesuatu
yang buruk, tapi dengan cara yang buruk,
itu sama saja. Yang terakhir Mas, dari sudut filsuf, kebahagiaan itu artinya apa? - Ini banyak sekali dibahas
tentang kebijakan. Kalau saya waktu ngaji itu banyak
sekali orang tanya tentang bahagia. Tapi menarik saya itu pernah
coba-coba googling, itu kata-kata kebahagiaan dan
kata-kata sukses. Ternyata kalau orang Indonesia itu
lebih banyak yang dikejar sukses, kebalik dengan bayangan kita. Kita bayangin orang Timur itu
ingin bahagia, tidak, mereka ingin sukses. Kebalikannya orang Barat. Itu kalau di googling antara
kebahagiaan dengan ... - Lebih suka bahagia daripada sukses.
- Iya. Lebih suka bahagia. Terus saya membacanya,
"Oh mungkin memang begini. Orang itu mencari sesuatu
yang belum dia miliki." Jadi di Barat itu orang sudah sukses,
makanya ingin bahagia. Di Indonesia masih banyak
yang belum sukses, jadi ingin mencari kesuksesan dulu,
sebelum bahagia. Ada banyak sebenarnya
perspektif tentang kebahagiaan, tapi intinya gini, ada bahagia atau tidak
itu kuncinya dalam diri kita. Jadi tidak di luar diri. Jadi bahagia itu orang sering
mendefinisikannya bahagia itu ketika kita bisa menerima, ketika kita bisa bersyukur apa pun
situasi kita, itulah bahagia. Jadi kuncinya dalam diri. Cuma kemudian sering dimaknai yang
kayak gini ini secara pasif. Jadi, kita menerima situasi apa pun tapi bukan berarti kita pasrah
dengan situasi apa pun. Nah ini yang sering orang
kemudian salah paham. Jadi kalau sudah bahagia berarti
tidak ngapa-ngapain, terus begitu pemahamannya. Padahal tidak begitu. Ayo kita berjuang ingin hidup
yang lebih baik, menuju sukses tadi,
hasilnya nanti apa pun kita terima. Jadi memahaminya begitu. Kebahagiaan itu memang
kuncinya dalam diri kita. Jadi penerimaan kita,
rasa syukur kita, terhadap apa pun situasi, tapi bukan berarti pasif atau pasrah. - Dan kita ikhlas bahwa ini nggak kekal.
- Iya. Jadi kita terima bahwa hidup ini memang sementara, hidup ini memang bisa berubah;
bisa naik bisa turun. Kita terima apa pun, tapi bukan berarti
terus kita diam saja. Banyak yang kemudian
mengartikan kalimat bahwa "Bahagia itu dalam diri"
terus berarti kita pasif saja, santai saja, diam saja,
nggak usah meraih apa-apa. Ya sudah terus jadinya bahagia
disamakan dengan pasrah total, nggak ngapa-ngapain. Akhirnya apa? "Ah, saya tidak sukses
tidak apa-apa, yang penting bahagia." "Saya tidak berhasil nggak apa-apa,
yang penting bahagia." Terus jadi begitu kalimatnya. Padahal maksudnya nggak begitu. Jadi berjuang sekeras mungkin, nanti baru hasilnya apa pun
kita terima dengan bahagia. Nah ini yang sering
teman-teman luput dalam memahami definisi bahagia itu. - Wow. Ada pesan-pesan akhir, Mas? Pesan saya pesan filsafat saja ya. Menurut saya kunci hidup ini tetap pada kemauan dan
kemampuan kita untuk berpikir. Jadi begitu kita menutup pintu berpikir, kita tidak mau lagi terbuka
untuk berpikir, itu alamat kita akan macet
dan berhenti. Jangan lupa bahwa
anugerah paling besar yang diberikan oleh Tuhan,
oleh Allah pada kita, itu akal budi. Jangan sampai anugerah terbaik ini, kita diamkan, kita cueki begitu saja. Saatnya kita manfaatkan itu
sebaik mungkin. Mungkin itu Pak Gita.
- Terima kasih Mas Faiz - Iya. Terima kasih. Teman-teman itulah Dr. Fahrudin Faiz, dosen dari UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Terima kasih.