Transcript for:
Filsafat dan Pendidikan Melalui Sejarah

Dan dia dikagumi murid-muridnya, sampai kayak Plato itu nulis tidak pernah pakai tokoh dia sendiri selalu gurunya.

  • Betul. The Republic. - Iya. Jadi menurut saya, tokoh ini luar biasa. Dan dia juga yang menurut saya menarik lagi, dia melawan orang-orang Sophists. Orang-orang Sophists dikenal orang-orang pintar, tapi dia menggunakan kepintarannya untuk kepentingan yang dia inginkan. Jadi misalnya yang bayar siapa, pikirannya harus berorientasi begini, mereka mau, ini yang terkenal dari orang Sophists. Nah itu dilawan oleh Socrates. Nah ini menarik bagi saya, perjuangan semacam ini. Tapi itu nyambung dengan keterbukaan untuk berpikir. Jadi tidak ada upaya untuk mengindoktrinasi. Dan itu yang ternyata nanti dia ini malah dianggap membahayakan oleh negara karena merusak pikirannya anak-anak muda. Mungkin maunya negara saat itu anak muda itu mikirin sudahlah seragam saja sebagaimana yang dikasih oleh negara. Ketika anak-anak ini mulai tanya macam-macam, Socrates ini dianggap membahayakan negara, akhirnya dia dieksekusi mati. Jadi risikonya begitu ternyata. Saya mau balik ke poin ini, tapi dilanjutin Mas mengenai perjalanan akademisnya. - Iya. Jadi saya terus itu senang dengan filsafat, akhirnya begitu ada kesempatan S2, saya ambil lagi. Saya sebenarnya ingin mengambil S3 yang (jurusan) Filsafat. Cuma di UIN saat itu belum ada Filsafat, adanya Studi Islam. Saya ambil Studi Islam, tapi saya disertasinya Filsafat. Jadi akhirnya sampai sekarang. - Kapan pikiran mau jadi dosen? Di waktu S1, S2, atau S3? - Saya jadi dosen lulus S1.
  • Oke. Sudah nyetrum mau jadi dosen. - Tidak juga. Kebetulan ada lowongan pembukaan. Begitu saya lulus, ada bukaan lowongan dosen itu saya cobalah, kalau pulang saya diomongin terus sama bapak, "Mau jadi apa kamu?" Terus selagi ada lowongan daftar. Dan itu menarik juga saat itu, saya generasi terakhir yang daftar jadi dosen S1. Angkatan saya yang daftar itu S2 semua, cuma saya saja yang S1, karena saat itu memang di pengumumannya kalimatnya: diutamakan S2. Terakhir ini saya bacanya, "Oh kalau diutamakan kan S1 tidak apa-apa." Meskipun tidak utama, saya nekat saja daftar. Saya ternyata malah diterima. Jadi lulus S1 terus daftar S2, karena begitu saya masuk diancam sama rektornya, "Pak Faiz belum boleh ngajar dulu ya, belum S2." "Siap Pak, yang penting kalau saya pulang ditanya bisa jawab sama Bapak, sekarang jadi dosen." Akhirnya S2 selesai, baru bisa ngajar. Terus S3 di situ juga. Jadi pengalamannya begitu untuk jadi dosen. Pandangan Mas Faiz bagaimana mengenai Pendidikan Filsafat secara umum di Indonesia? - Jadi harus diakui filsafat itu tidak populer di kita, kadang dicurigai. Bahkan kemarin-kemarin saya lihat ada yang bikin menyebar dan membagikan fatwa bahwa filsafat itu haram. Padahal kalau sejauh yang saya baca, peradaban-peradaban besar dunia, itu munculnya karena ketika jayanya filsafat ini; Yunani, Islam, Barat, itu justru fondasinya ini ketika filsafatnya jaya. Makanya ini agak menarik kenapa di kita sekarang banyak dicurigai. Bahkan saudara-saudara kita yang muslim itu sering membanggakan zaman keemasan Islam, tapi lupa bahwa zaman keemasan Islam itu jaya luar biasa antara lain karena filsafat ini. - Betul. Aristotle.
  • Iya. Jadi filsafatnya dimaki-maki, tapi kejayaannya dipuji-puji. Jadi agak lupa dengan situasi ini. Saya agak-agak tersentuh kalau ngomong kenangan mengenai kejayaan Islam. Saya sering kali cerita mengenai gimana itu transformasi kejayaan Islam dari abad ke-7 sampai abad ke-13, terus menerus ke awal abad ke-20. Tapi yang paling keren itu kalau menurut saya secara filsafat dan secara ilmiah itu Zaman Abbasiyah, di abad ke-8 sampai ke-13. - Iya. Harun Ar-Rasyid ke belakang. - Betul. Al-Makmun, Al-Mansur, Al-Mustarsyid. - Jaya-jayanya era itu karena memang dukungan untuk dunia ilmiah, dunia filsafat itu luar biasa dari penguasa saat itu. Dan yang saya perhatikan mereka itu sangat bisa menunjukkan keterbukaan. Tentunya acuan dari dan ke Aristoteles itu tinggi sekali, tapi mereka membuka diri untuk belajar dari India, Tiongkok, Yunani. Iya. Dapat banyak dari mana-mana, penerjemahan juga dari mana-mana. Bahkan tidak harus muslim ilmuwannya. - Betul. Yahudi diterima. Di Baitul Hikmah itu yang ngajar Yahudi, Nasrani, Atheis, dll. Jadi untuk bidang keilmuan mereka sangat terbuka dari mana-mana. Itu salah satu dasarnya kenapa saat itu disebut era emasnya dunia Islam pada zamannya. Yang menurut saya etos ini penting untuk dihidupkan lagi. Jadi semangat keilmuannya, dukungan pada ilmu, bahkan saya membaca zaman itu karyanya para ulama itu dihargai, misalnya bukunya beratnya setengah kilo, bayarannya setengah kilo emas. Bayangkan itu. Wah kalau bisa seperti ini saya semangat nulis buku. - Kalau sekarang baca dari buku, emasnya nggak terlalu banyak. Mendingan baca dari buku supaya dibayar. Saya baca itu gajinya yang ngajar di istana yang ulama itu kalau di kurs itu dinar, sekian dinar itu sekian ratus juta setiap bulan. Itu berarti maunya para khalifah di Dinasti Abbasiyah itu para ulama ini sibuklah dengan ilmu saja, tidak usah yang lain-lain karena ini nanti jadi penopangnya kekhalifahan zaman itu. Dan gini lho Mas, kalau saya lihat orang-orang yang keren banget di zaman itu, khususnya abad ke-8 sampai 13. Nggak Ibnu Sina, Al Khwarizmi, Hamid Al Ghazali, dsb., itu mereka polimatik, mereka menguasai banyak sekali dimensi. - Banyak bidang ilmu. Dan itu sederhana untuk saya bahwasanya mereka itu menunjukkan keterbukaan terhadap ilmu, berbagai ilmu. Rasa ingin tahunya tinggi, etos ilmiahnya tinggi dan terbuka. Akhirnya luas dapat dari mana-mana, jadi berbagai bidang. Jarang ada tokoh zaman itu yang spesialis kayak kita sekarang, selalu polimatik, mengerti macam-macam. Itu (Ibnu) Sina menguasai kedokteran, filsafat, astronomi. Buku kedokteran di Eropa itu bermuara di ilmunya Ibnu Sina. Jadi seperti Imam Ghazali itu, karyanya itu 4 kali lipat usianya saat beliau meninggal. Ya itu sekitar 50 ...
  • Jumlah buku atau tulisannya? - Iya. Jadi karyanya sekitar 200-an, usia beliau hanya sekitar 50 sekian. Jadi 4 kali lipat usia beliau. Bisa dibayangkan, berarti itu saya sebut 4 kali lipat, kalau sejak umur 0 tahun sudah nulis. Nulisnya seharusnya di umur 20an.
  • Mungkin umur 2 tahun. - Bayangkan keprihatinannya dengan ilmu, bayangkan keprihatinannya dengan keilmuan. Saya kalau baca cerita-cerita para ulama dan semangat belajarnya itu dibandingkan kita hari ini itu rasanya malu. Kita tidak ada apa-apanya dengan mereka. Kita sibuk mencari yang tidak penting-penting, label-label yang buatan kita melihat, "Oh saya tidak mau belajar dari orang ini, orang ini beda aliran, orang ini beda keyakinan, orang ini beda agama." Akhirnya kita kehilangan banyak.
  • Betul. - Jadi kalau zaman Abbasiyah itu orang sudah begitu, mungkin tidak sebesar itu Abbasiyah zaman itu. Kalau mereka anti Barat saja, misalnya tidak kenal Aristoteles, tidak kenal itu terus, "Wah ini dari Barat, disingkirkan saja." Tidak akan sebesar itu. - Mungkin beberapa hipotesa yang dikembangkan terkait dengan kenapa kejayaan Islam itu mulai menurun semenjak abad ke-13, ada beberapa atribut. Yang pertama mungkin tentunya diserangnya Baghdad oleh Hulagu Khan. - Iya. Politiknya jatuh. - Kedua mungkin ditemukannya mesin cetak di Eropa abad ke-15 yang bisa mengakselerasi dokumentasi dalam bahasa Eropa, sehingga mereka niscaya lebih berpengetahuan, lebih berpendidikan, dibanding yang ada di Timur Tengah waktu itu. Yang ketiga mungkin yang saya mau tanya ini adalah perdebatan antara filsuf namanya Hamid Al Ghazali dengan yang lainnya. Gimana itu pandangannya Mas Faiz? Jadi Imam Ghazali memang sering— kalau bahasa saya—dituduh, "Ini gara-gara tulisan-tulisan beliau, umat Islam peradaban ilmiahnya macet." Harus kita pahami yang pertama begini: Imam Ghazali itu Sufi pada akhirnya, jadi beliau menulis karya monumental "Ihya Ulumuddin". Tentu saja Sufi menulis dalam genre kesufian dengan gaya sufistiknya yang mungkin lebih cenderung fokus ke akhirat, orientasi tidak duniawi, dsb. Nah, pikirannya Imam Ghazali ini menurut saya, lahir Ihya Ulumuddin itu di waktu yang pas. Itu ketemu tadi, variabel pertama: umat Islam saat kalah. Situasinya kita sedang turun. Situasi turun ketemu wawasan-wawasan sufistik yang agak pasrah, semuanya diserahkan kepada Allah, ini cocok sudah. Kayak orang sudah kalah, disuruh sabar disuruh ngalah. Bukan berarti nasehat untuk sabar dan ngalah ini salah, tapi momennya tidak pas. Jadi saatnya orang harus bangkit tapi malah disuruh sabar saja, semuanya sudah ketentuannya Allah, kita pasrahkan saja. Nah ini tidak jadi bangkit akhirnya, termasuk di bidang ilmu. Jadi ini menurut saya, masuknya pas momen itu akhirnya oleh banyak orang dituduh bahwa Imam Ghazali jadi biang keladinya. Padahal menurut saya itu sebenarnya mentalitas zamannya ... - Baru ditaklukkan.
  • Iya. Baru ditaklukkan, baru kalah, sedang trauma, sedang itu, dapat pelarian, ajaran-ajaran untuk lebih cenderung pasrah itu, sehingga akhirnya sulit ...
  • Tapi ini cukup struktural, Mas, selama 700 tahun dari abad ke-13. Bahkan 800 tahun.
  • Iya, sejak jatuhnya Baghdad itu kita agak menurun, khususnya di bidang ilmu. - Penasaran atau curiosity-nya itu nggak seperti apa yang mungkin kita lihat selama 5 abad, dari abad ke-8 sampai ke-13. - Saya melihatnya ada fenomena yang pertama tadi: ketika negara jatuh itu ilmuwan-ilmuan banyak yang tewas, tokoh-tokoh banyak yang tewas, perpustakaan dihabiskan dan dihancurkan oleh Mongol. Nah, zaman itu belum ada kertas, belum ada kajian, begitu kitab ini hancur, sudah habis dokumentasinya. Para ulama ini juga terbatas, mereka habis juga yaitu penerusnya habis sama sekali. Jadi semacam terputus sama sekali dari peradaban yang begitu jayanya saat itu. Gimana untuk kita bisa membangkitkan unsur penasaran atau curiosity? Jadi kalau saya, rasa penasaran itu sebenarnya natural. Setiap orang; bayi, manusia, begitu dia bisa mikir, itu biasanya ingin tahu macam-macam. Anak kecil itu begitu pikirannya jalan biasanya cerewet, tanya "Ini apa?" "Itu apa?" Cerewet. Meskipun kadang dibungkam oleh orang tuanya, dikondisikan untuk "Sudah jangan cerewet." Akhirnya dia jadi diam, sudah tidak tanya-tanya. Jadi menghidupkan rasa penasaran itu menurut saya membiarkan orang berpikir terbuka. Jadi kita kadang-kadang lebih sibuk membuat pagar. Jadi untuk anak-anak, "Jangan begini ya" "Jangan begitu ya". Akhirnya mindset anak-anak kita lebih terbentuk untuk apa yang tidak boleh saya lakukan. Bahkan sekarang orang tua itu jauh lebih protektif terhadap anak dibandingkan zaman kita dulu itu tahun 80-an, 70-an, 60-an. Dulu kalau kita mau nyebrang jalan ya seenak jidat. Maksudnya orang tua juga nggak terlalu memperhatikan. Sekarang itu benar-benar terlalu dipagerin. - Jadi anak-anak kita tidak tangguh, apalagi didukung situasi hari ini semakin tidak tangguh, budayanya misalnya agak instan, ingin apa-apa harus bikin cepet selesai. Mahasiswa misalnya hari ini sering kalau dikasih tugas googling saja, ngapain mikir capek-capek. - Baca buku,
  • Iya. Yang lain juga sudah ... - atau TikTok, Facebook, Instagram. - Akhirnya mereka, kalau bahasa saya pengalamannya sempit. Jadi ketika pengalamannya sempit, bisa saja nanti dia tahu macam-macam dari Google, tapi tidak bijaksana, kalau bahasanya filsafat, tidak bijaksana. Tidak mengerti ilmu ini untuk kapan, untuk apa, dalam situasi apa, di tataran apa, itu yang kita kesulitan hari ini. Kankernya ini mungkin terjadi di tahun 2009, sewaktu didirikannya tombol like, tombol share, tombol retweet, yang didesain untuk menciptakan viralitas tapi viralitas itu lebih untuk jualan, advertensi, dan ini yang berkorelasi dengan skenario instan. Dan viralitas seperti ini kalau menurut saya juga bisa dikorelasikan dengan peningkatan kasus depresi kecemasan, kesyirikan, dan segalanya. Jadi kalau saya membaca hari ini itu selain kekuatan media digital, mindset kita itu mindset viralitas tadi. Kita tidak merasa eksis kalau tidak tampil dan tidak viral. Jadi semua orang fokusnya ke situ, membangun identitasnya dari situ. Aku ini orang yang berarti atau tidak itu kalau postinganku viral. Makanya kita biasanya kalau sudah posting, bolak-balik ditengok, sudah berapa ribu yang menyukai? Kita merasa tidak berarti kalau sedikit yang menyukai. Kita nggak perhatikan yang kita sampaikan ini memang sesuatu yang baik, manfaat, berguna, relevan, atau tidak. Kita tidak peduli itu. Kalau di YouTube saya lebih melihat (jumlah) penonton, saya nggak terlalu merhatiin likes (suka) atau dislikes (tidak suka) yang kayak begini. Tapi kalau lebih banyak yang nonton yang syukur-syukur kontennya nggak terlalu negatif, artinya proses pendidikan itu berjalan. - Termasuk masalahnya menurut saya kalau basisnya digital itu tataran. Tataran ilmu itu, anak-anak itu kadang tidak mengerti tataran ilmu, jadi tiba-tiba loncat. Saya itu pernah diskusi Pak Gita, diskusi umum online, tiba-tiba anak SMP tanya angkat tangan ke saya, "Pak Faiz saya mau tanya, apa sih yang dimaksud dengan wahdatul wujud itu Pak?" Anak SMP Pak, dari mana dia dapat? Ya YouTube, karena dia mungkin dengar macam-macam, karena konten-konten semacam itu banyak. Bagi saya nggak salah dia tanya itu, itu wawasan memang bagus kelas tinggi, tapi tatarannya dia nggak ngerti. Seumurmu ini harusnya apa dulu yang harus kamu konsumsi. Nah ini menurut saya juga masalah yang harus kita pikirkan. Jadi ketika bebas akses itu mereka memang sebebas-bebasnya mengakses apa saja. Nah kita tidak membekali mereka dengan kesadaran tentang tataran-tataran, kesadaran kritis, dan lain sebagainya. Jadi, informasi banjir kalau bahasanya Paulo Freire itu, kesadaran kita masih kesadaran mitis. Jadi yang pokoknya ada kita ikuti, pokoknya viral kita ikuti, berarti itu baik, itu kesadaran ikut-ikutan. Dan itu menurut saya bahaya ...
  • Yang saya takut itu anak-anak muda sudah terdidik bahkan terhipnotis bahwasanya ke depan itu kalau mau mencapai posisi kepemimpinan dalam konteks apa pun: akademisi, ekonomi, usaha, politik, spiritual, dll., yang lebih penting adalah bisa joget, bukan melakukan intelektualisasi, karena yang jago joget itu yang lebih viral atau membuahkan viralitas. - Jadi dasarnya viral. Selain itu nanti ada efeknya lagi Pak Gita. Akhirnya apa? Yang benar ingin nyalon, hanya pencitraan pada akhirnya. - Yang bisa begini-begini kan. - Iya. Jadi mencitrakan dirinya biar diikuti orang banyak. Jadi akhirnya kita juga sulit memilih yang baik beneran yang mana karena semuanya pencitraan, semuanya mengejar like dan viral. Gimana mengubah? Kalau memang kita sepakat bahwa viralitas itu bijaksana, sehat, dan baik untuk masa depan kita. Kita nggak usah berdiskusi lagi. Tapi ini kayaknya bisa diperdebatkan. Gimana kalau umpamanya ini bisa dianggap kurang bijaksana untuk masa depan kita. Gimana untuk mengubah agar proses ke depan itu lebih nempel dengan intelektualisasi dibanding festivalisasi atau sensasionalisasi. Kalau bahasanya filsafat itu, kita kalau berpikirnya semacam itu, kita itu dangkal sebenarnya. Jadi tidak mendalam. Kalau filsafat itu meminta kita untuk, "Ayo berpikir sistematis, mendalam, metodis, terbuka, dsb." Nah ketika logika dan mode hidup kita ini dasarnya dari viral ke viral, di situ tampak kedangkalan. Kalau kita ini dangkal, pada akhirnya hidup kita juga dangkal, tidak dalam, jadi kita ini hanya di permukaan saja akhirnya. Tentu nanti banyak potensi yang tidak tergarap. Bayangkan mungkin anak ini potensial jadi ahli fisika, ahli matematika, tapi karena dia kuatir tenggelam, kuatir tidak dikenali orang, dia lebih milih latihan joget di TikTok. Banyak yang suka dia pada akhirnya. Jadi kalau dikelola secara dalam dia sebenarnya potensi bangsa ini, jadi tokoh besar tapi pada akhirnya "Kok tidak ada yang nge-like?" Dia akan banting setir nyari yang bisa di-like. Itu yang saya sebut di antara bahayanya kita jatuh pada kedangkalan. Makanya penting bagi kita disiplin; Disiplin ke filsafat dan berpikir mendalam, latihan refleksi, menumbuhkan kesadaran yang nggak hanya mistis tadi tapi yang kritis, yang mungkin bahasanya hari ini orang pakai istilah literasi. Jadi itu bagi saya mulai harus ada. Jadi saya melihat hari ini hidup kita itu 50%, mungkin 70% lebih berhubungan dengan dunia maya. Tapi aturan hidup, norma hidup, nilai hidup yang kita miliki masih berhubungan dengan dunia nyata. Kita butuh lebih banyak lagi rumusan-rumusan ... - Saya sudah melihat sosial media ini atau medsos sangat sudah dan akan terus bisa mengpolarisasi percakapan. Dan yang muda sudah terpengaruh, intelektual juga sudah terpengaruh, bahkan politik juga terpengaruh. Polarisasi ini sangat nyata. Dan kalau yang di kalangan anak muda, saya lihat itu mereka itu lebih berkomunikasi dengan mereka saja. Tapi mereka lupa atau kurang berkomunikasi dengan pendahulu kita, yang sering kali disebut sejarah. Pendahulu kita ini yang sudah meninggal kurang lebih 106 - 107 miliar manusia; yang hidup sekarang 7,8 miliar. Kalau mereka lebih bisa berkomunikasi saja dengan sejarah itu akan membuahkan nilai filsafah yang lebih tinggi kan? Ada banyak sebenarnya efek dari yang situasi ini termasuk tidak hanya berkomunikasi ke belakang, berkomunikasi ke sekitar juga mereka tidak canggih, jadi mereka sulit bersosialisasi. Karena apa? Selama ini mereka terisolasi di dunia medsos-nya, mereka tidak terampil berkomunikasi langsung. Kadang-kadang mahasiswa saya itu kalau ingin ketemu, "Pak saya ingin bimbingan. Saya tunggu besok ya Pak, di kantor jam 9." Jadi dosennya diperintah, tapi dia nggak sadar begitu. Kenapa? Dia nggak terlatih berkomunikasi. Dia nggak sadar bahwa seperti ini itu tidak sopan. - Kayak mau suruh supir gojek kalau mau antar barang. - "Besok saya tunggu jam 9 di kantor." Lho ini kok aku diperintah suruh ke kantor jam 9. Mereka juga mungkin tidak peka bahwa misalnya kalau saya ngomong kayak gini, ini orang bisa sakit hati lho, orang bisa tersinggung. Ini relasi sosial juga, mereka tidak terlatih karena hidupnya sendiri tiap hari di depan gadgetnya. Oke, jadi pola komunikasi ini saya mau coba bungkus dalam observasi yang saya perhatikan akhir-akhir ini. Selama beberapa ribu tahun, kita itu memeluk, menganut keyakinan agama untuk mencari kenyamanan batin atau keselamatan atau kalau Katolik: penebusan. Tapi telah terjadi kegelisahan karena beberapa hal, tapi salah satunya adalah kemunafikan di kalangan pimpinan atau kepemimpinan dalam lembaga keagamaan. Maka beralihlah dalam beberapa ratus tahun terakhir ini, untuk mencari solusi namanya inklusi atau keikutsertaan Nah ini lewat struktur sosial, ekonomi, politik atau ideologi. Apakah itu sosialisme, liberalisme, kapitalisme, komunisme. Tapi akhir-akhir ini kelihatan ada lagi kegelisahan karena keikutsertaan ini nggak inklusif, nggak merata. Ada yang dapat 1.000, ada yang cuma dapat satu. Nah beralihlah atau evolusi ke tahapan berikutnya. Kalau menurut saya ini adalah tribalisme atau individualisme. "Ya sudah gue ngurusin RT gue aja, lu ngurusin RT lu. Yang penting gua aman, selamat, enak, keren, sejahtera. Gue nggak peduli." Nah ini semakin kita nggak menunjukkan kepekaan terhadap satu sama lain. Gimana mas?
  • Kita hari ini semakin egois. Itu kelihatan banyak, tadi di antara orang egois itu di antara ciri: keterampilan sosialnya kurang. Kenapa keterampilan sosialnya kurang? Ya kayak tadi karena memang hidupnya banyak di dunia sendirian, terisolasi. Dan ini nanti mengefek termasuk ke agama, ke ideologi kita, cara kita hidup, itu efek ke situ. Kayak agama sekarang, saya tadi bilang, "Jangan-jangan hidup kita ini dangkal." Hari ini banyak fenomena yang menunjukkan kedangkalan beragama, bukan kematangan dalam beragama. Jadi misalnya agama yang jadi formalistik saja, agama yang kayak formalisme, "Pokoknya sudah salat, ya sudah." Nah ini parameter-parameter formalnya, melupakan misi besarnya agama atau bahkan ketika orang pakai istilah egoisme, individualisme tadi, banyak orang yang bahkan memanfaatkan agama untuk kepentingannya. Sebenarnya ini kepentingan egois, cuma diatasnamakan agama. Saya itu sering ngasih contoh ke teman-teman, misalnya di Alquran itu ada ayat "wa la taqrabuz-zina", jangan dekat-dekat zina. Tapi ada juga ayat: "wa ja'alnākum syu'ụbaw wa qabāila lita'ārafụ", dan kami ciptakan engkau berbangsa, bersuku-suku untuk saling mengenal. Nah, orang pakai dua ayat ini kadang-kadang secara ganti-ganti sesuai kepentingan. Kalau saat saya tidak punya pacar, saya bilang ke orang lain: "wa la taqrabuz-zina", nah pacaran itu dekat dengan zina. Begitu saya punya pacar dalilnya ganti; "wa ja'alnākum syu'ụbaw wa qabāila lita'ārafụ", kita itu diciptakan untuk saling mengenal. Saya tidak menyalahkan tentang dalilnya cuma ini kepentingan kita dulu ternyata yang bunyi, ayatnya kita ambil belakangan untuk kepentingan kita. Nah ini yang hari ini sering terjadi begini. Jadi egoisme kita, kita bungkus, kita justifikasi dengan dalil dengan agama, sehingga kesannya orang, kita itu sangat religius padahal hakikatnya kita itu sangat egois. Jadi apa yang kita tuangkan ini untuk membuahkan interpretasi ini tergantung apa yang ada di kepala kita dan di hati kita. Jadi ayat yang sama ini bisa ditafsir dengan berbagai hal atau kepentingan atau apa pun. Gimana Mas? Jadi yang pertama begini, beda-beda tafsir itu sebenarnya manusiawi. Asal tadi: yang nafsir ini memang tujuannya mencari kebenarannya, bukan mendahulukan kepentingannya dan kelompoknya dan lembaganya, dsb., ini menurut saya masih aman. Kemudian yang kedua, asalkan dia sadar ada jarak antara tafsirnya dengan teks kitab suci yang dia tafsirkan. Jadi banyak orang yang lupa bahwa nilainya tafsir itu beda dengan nilai teksnya. Akhirnya yang terjadi apa? Banyak orang, ini ada istilah filosof dari Maroko itu Mohammed Arkoun, dia bilang tafsir itu oleh umat Islam hari ini sering berposisi seperti teks kitab sucinya. Istilah dia: "taqdisul afkar ad-diniyah". "taqdisul afkar ad-diniyah" itu sakralisasi pemikiran keagamaan. Pada akhirnya yang kita sakralkan itu ternyata pikiran kita bukan agamanya. Nah sebenarnya ini masalahnya bukan terus kemudian kita tidak nafsir, tapi kita sadari bahwa tafsir kita itu derajatnya manusia, tidak Ilahi, yang bisa keliru, boleh dikritik, bisa tidak pas, bisa melenceng, dan lain sebagainya. Kesadaran ini yang menurut saya di kita hari ini kurang. Belum lagi seperti tadi, kemudian secara tidak sadar kita mendahulukan kepentingan dibandingkan tafsirnya. Mungkin karena konsekuensi aliran, konsekuensi lembaga atau kepentingan-kepentingan yang lain. Nah jadi berarti kuncinya sebenarnya nomor satu menurut saya, ayo kita sadari fakta ini dulu. Nanti baru kita main dengan mana yang lebih sesuai dengan misi agama, dengan nilai agama, dan lain sebagainya. Karena kalau kesadaran ini saja tidak muncul, pasti akan muncul banyak masalah yang kita alami sekarang, konflik antar beda pemahaman; yang satu memahami ini, yang satu memahami sini, karena menganggap bahwa pikirannya selevel—kalau Islam—Qurannya. Seolah-olah kalau ada orang bantah pemahaman kita terhadap Al Quran, itu dia membantah Quran, padahal nggak, yang dibantah pikiran kita, tafsir kita. Nah kesadaran ini yang menurut saya perlu kita bareng-bareng sadari. Jadi paling tidak mereduksi konflik antar tafsir. Jadi paling tidak itu. Dan menurut saya kayak tadi, belajar dari era keemasan Islam itu, ulama-ulama yang luar biasa tadi itu tidak tunggal alirannya, macam-macam, mazhabnya tidak satu. Tapi mereka bisa kerja sama membangun peradaban ilmiah. Dan mereka itu benar-benar dianggap sebagai otoritas ilmu. Dan yang saya lihat ada kecenderungan sudah terjadi individualisasi lebih banyak daripada institusionalisasi terhadap beberapa keyakinan atau agama. Nah ini oke oke saja kalau individualisasi ini terjadi di individu yang kaya dengan pendidikan, kaya dengan filsafat, kaya dengan pengetahuan. Tapi kalau kita lihat variabel variansinya atau variasinya sangat signifikan dari sisi pengetahuan pendidikan dan segalanya. Nah ini gimana untuk menstandardisasi, tentunya intuisi kita adalah untuk adanya suara yang memanifestasikan otoritas. Nah itu gimana? Jadi memang harusnya dalam agama, yang punya otoritas adalah beliau-beliau para ulama, tokoh-tokoh agama yang ngerti bidangnya masing-masing. Cuma dukungan peradaban viral tadi, yang membuat semua orang ingin eksis, ingin viral, hari ini muncul banyak orang yang tidak kenal dirinya, nggak ngerti kapasitasnya. Akhirnya dia juga ikut berfatwa, dia juga ikut ngomong hukum agama. dia juga ikut ini. Dan dia merasa bahwa ini benar sehingga terjadi kekacauan tadi; setiap orang merasa berhak tampil, berhak ngomong di bidang agama, dia lupa bahwa itu bukan bidangnya, dia tidak ahli di situ. Jadi karena individualitas tadi merasakan hak ku untuk ngomong. Ini perlu uraian panjang tentang kesadaran hak. Kesadaran hak itu kalau ditambah lupa diri dan lupa batas itu juga bahaya. Siapa aku ini? Saya berani ngomong filsafat misalnya karena saya ahli filsafat. Tapi saya tidak berani ngomong fisika, saya tidak berani ngomong neuroscience, saya tidak berani yang bukan bidang saya. Nah, kesadaran ini menurut saya hari ini penting. Tidak serta merta saya membaca satu buku neuroscience misalnya, terus saya ngomong, "Ayo Pak, kita ngobrol." Tidak begitu karena saya bukan ahlinya. Nah itu tapi banyak orang hari ini merasa begitu, membaca satu postingan tentang cara sabar terus saya bisa menasehati orang sekarang tentang sabar. Ini yang sulit karena kalau bukan ahli ... - Bahkan belum baca sudah diteruskan.
  • Iya, sekarang banyak itu. Jadi begitu dikirim lalu diteruskan. Ada di-copy paste (salin tempel) saja terus tidak ngerti padahal di bawahnya ada kalimat, "Ini salah apa benar?" "Hoax apa tidak?" Dia lupa di bawahnya ada tulisannya. - Oh sering sekali.
  • Iya. Kita terjebak di situ. Kita tidak betah membaca, dibaca atasnya saja seolah-olah ini fakta padahal sebenarnya dia ingin tanya ini benar apa tidak. Tapi itu sudah kita bagikan. di lingkaran yang kecil saja itu sudah nyata, bahwasanya mudah sekali untuk siapapun itu untuk meneruskan dan melanjutkan informasi yang sangat asimetris, yang nggak betul, tanpa dilakukannya pengecekan atau baca banyak yang belum dibaca langsung di teruskan apalagi diverifikasi, langsung diteruskan. Jadi kalau istilahnya filosof namanya Jean Baudrillard itu, kita itu hari ini peradaban kita namanya ekstasi komunikasi. Jadi kita itu kayak orang ekstasi; ngomong apa nggak sadar, membagikan apa nggak sadar, kayak orang ekstasi, yang penting berkomunikasi. Jadi, tindakan komunikasi dianggap lebih penting daripada maknanya komunikasi - Betul. Saya itu beberapa kali berkomentar bahwasanya banyak sekali di kalangan kita dan khususnya yang anak-anak muda itu dia megang HP 10 jam sehari. Dan kebanyakan yang dilihat itu TikTok, Instagram, Facebook. Dan kebanyakan konten-konten yang ada di platform seperti itu nggak bijaksana, yang bijaksana banyak sekali, tapi jauh lebih banyak yang kurang bijaksana. Nah ini platform yang tidak tereditorialisasi dibanding koran atau TV yang lebih tereditorialisasi. Nah ini gimana kita mengawal? Ini ibarat kata mereka adalah generasi TikTok, generasi Instagram yang diasuh oleh TikTok dan Instagram. - Sering saya bilang ke teman-teman yang aktif-aktif bikin konten itu, hari ini memang PR kita, seperti yang dibilang Pak Gita tadi, kita kesulitan membendung konten-konten yang, "Apa ini ada manfaatnya?" Tapi memang mode peradaban kita hari ini semacam itu. Berarti salah satu cara yang menurut saya penting adalah kita saingi dan kita banjiri konten-konten TikTok itu dengan konten yang positif. Saingan tidak apa-apa. Satu-satunya jalan itu karena kita tidak main TikTok tidak mungkin sudah, tidak main Twitter nggak mungkin. Jadi antara lain mungkin teman-teman, saudara-saudara yang aktif di medsos itu "Yuk kita banjiri dengan yang positif." Satu-satunya cara menurut saya sementara ini itu. Itu persis seperti anak-anak kita yang ... Biasanya sering orang tua itu memarahi anaknya, akhirnya HP-nya diambil biar tidak main TikTok. Tapi terus dia pinjam HP-nya temannya, ke mana-mana lagi, dsb. Itu menurut saya jalan terutama itu. Jadi isinya kita perbanyak itu. Yang kedua menurut saya, kalau ingin kita berikan aktivitas, kalau bisa aktivitas yang sama asiknya dengan TikTok. Saya tidak tahu apa. Jadi kayak misalnya kemarin waktu pandemi, saya sama anak-anak itu memang tiap hari sama kayak yang lain pegang HP. Tapi "Yuk nanam-nanam yuk" "Yuk memelihara ikan yuk" Paling tidak dia biar tahu generasi kita ini banyak loh keasyikan yang lain, tidak hanya itu keasyikan itu. Tidak hanya TikTok asik, tidak hanya Instagram asyik. Ini juga asyik, itu juga asyik, olahraga juga asyik. Ini menurut saya solusi selanjutnya. Jadi kita beri ganti aktivitas yang nggak kalah asyik tapi penting dan manfaat. Ini menurut saya. Jadi kalau misalnya anak-anak kita kok asyik HP-an terus tidak serta-merta, "Sudah, tidak usah main HP", selesai, tidak. Kita beri ganti aktivitasnya dengan yang lebih positif yang sama-sama asyiknya mungkin bareng-bareng kita ajak ngapain, kita ajak latihan apa, kita terlibat tidak hanya menyuruh. Nah ini menurut saya menarik. Jadi kita beri gantinya yang tidak kalah asyik atau kita ikut masuk tapi kita isi dengan yang positif-positif. Yang kedua harus dilakukan tapi nggak gampang karena amplifikasi terhadap narasi yang lebih kurang bijaksana itu lebih tinggi daripada narasi yang lebih bijaksana. - Betapa pun, misalnya, konten-konten filsafat, tidak akan bisa mengalahkan konten-konten artis. - Nggak mungkin. Yang joget, dsb.
  • Iya. Itu PR besar kita. Sebenarnya keprihatinan paling besar itu adalah generasi saja. Generasi kita ini mau ke mana pada akhirnya? Nah ini saya mau tanya, generasi kita ini mau ke mana ke depan kalau saya coba bungkus dalam konteks agama. Kalau di agama Nasrani itu ada otoritas namanya Paus. Dia bisa mengambil sikap dan penyikapan itu semestinya adalah otoritas atau cermin dari otoritas, dan harus diikuti. Tapi kalau di agama Yahudi atau Judaism dan Islam nggak ada, yang semestinya kalau di Islam itu kan ulama. Itu semakin kita melihat akhir-akhir ini individualisasi, interpretasi terhadap agama Islam, semakin kita membutuhkan otoritas. Tapi karena tidak adanya otoritas yang bisa menyatukan interpretasi atau penyikapan ke depan, apa sih yang minimum kita bisa lakukan untuk membawa narasi kebangsaan kita ke depan semakin keren. Jadi kalau saya tetap tadi Pak Gita, setiap orang sadar porsi dan proporsinya; ini yang pertama. Harus ngerti saya itu berdiri di mana, sebagai apa, punya kapasitas kemampuan apa. Jadi biar nggak lintas pagar untuk hal-hal yang serius, yang penting dalam hidup ini, orang harus sadar, tahu batas dan tahu dirinya. Kemudian kalau dalam Islam misalnya manusia itu dianggap setara semua, jadi berarti setiap orang punya hak dan punya kewajiban tertentu untuk mendalami agamanya masing-masing. Tapi dia juga harus sadar batas kemampuannya. Jadi dia harus ngerti, kayak saya misalnya: saya ngerti sedikit tasawuf, tapi fikih saya nggak ngerti. Hukum ini hukum itu saya tidak paham, jadi jangan tanya saya tentang itu. Jadi orang harus ngerti batas ini karena kadang-kadang bahkan otoritas yang misalnya jadi rujukan itu juga kadang-kadang nggak paham batas dirinya sehingga ditanya apa saja dia harus jawab. Nah ini juga menurut saya masalah yang harus dipikirkan karena orang juga harus tahu batasnya. Kalau memang tidak tahu, jawab saja tidak tahu atau bukan bidang jawab saja bukan bidang. Tapi kadang-kadang ada rujukan, ada otoritas yang, "Pokoknya saya harus jawab segalanya." Ini juga nanti jadi masalah dalam kehidupan kita karena otoritas ini jadi rujukan yang diambil; yang kedua itu. Kemudian yang ketiga, tentu saja literasi hari ini saya kira kelemahan kita dalam banyak hal itu literasi. Kita sulit sekali paham bahwa saya itu harus ngerti ini dulu, harus anu ini dulu, baru boleh ngomong. Itu sulit sekarang ketemu orang yang sadar dan mau belajar, mau literasi. Kalau yang mau tampil banyak, yang mau eksis banyak, yang mau belajar yang jarang. Ini yang jadi PR kita semua. Nggak salah orang ingin tampil dan ingin eksis, tapi bangun dulu nilai dirimu. Jadi bangun dulu kualitas, dari situ nanti kalian bisa tampil eksis. Nah cuma belakangan nggak begitu, kadang kayak tadi orang membagikan tentang agama yang bagian apa dia juga nggak paham yang dibagikan itu apa atau yang dibagikan itu apa berhubungan dengan diriku, relevan tidak dalam hidupku, dan lain sebagainya. Karena relevansi ini juga penting, kadang-kadang bukan berarti salah benar, dalam hidup ini banyak hal yang benar dan baik, tapi kadang-kadang ketika tidak relevan malah jadi blunder. Kayak tadi misalnya, orang sedang kalah, terpuruk, malas-malasan, tidak mau bangkit, terus kita nasehati untuk sabar. Ini blunder menurut saya. Orang sudah malas disuruh sabar, ya tambah malas. Nasihat sabar ini baik, tapi dia tidak pas posisinya. Jadi tidak harusnya saat ini dikasih nasihat sabar. Tapi perlu ada kepemimpinan yang bisa mengangkat semangat. Nah itu tadi, istilah kepemimpinan tadi, yang kira-kira bisa menggerakkan seperti ideal saya bilang tadi siapa, tentu saja orang yang punya otoritas tadi, para pemimpin dan para pemuka ini. Kepala RT, RW, Kabupaten, Kota, Provinsi. Mau nggak mau, kalau bahasanya buku, yang punya kekuasaan itu mereka. Jadi merekalah yang sebenarnya punya tanggung jawab menggerakkan di awal. Kayak tadi kita ngobrol ideal macam-macam tadi, itu kalau tidak ada dukungan, patronase dari pemimpin-pemimpin ini, itu macet pada akhirnya, karena yang punya relasi kuasa mereka. Saya sempat bicara dengan salah satu narasumber. Kita ngebahas mengenai Iqro, dan Iqro itu diinterpretasikan hanya untuk membaca Al Quran saja. Padahal Iqro itu artinya membaca. Ya mestinya membaca apa pun sebanyak mungkin supaya kita itu multidimensional dan saya melihat semakin kita itu monodimensional. Padahal Iqro itu kata pertama kepada Nabi Muhammad dari malaikat Jibril, saat itu belum ada Al Quran yang bisa dibaca. Jadi saya lebih memilih menafsirkan itu sebenarnya malaikat ingin "Wahai Muhammad, Iqro: bacalah realitas kelilingmu ini." "Bacalah fenomena-fenomena sekelilingmu ini." Jadi maknanya itu sebenarnya. Cuma kemudian memang agak dipersempit; Iqro yang baca Quran. Jangankan itu, saya di Jogja itu ada ngaji filsafat. Sering tiba-tiba ada yang kritik: "Ngaji kok filsafat, ngaji ya Quran." Padahal dia lupa istilah ngaji itu bahasa Jawa sebenarnya, istilah dalam bahasa Jawa. Tapi maknanya menarik menurut saya. Tapi orang dianggapnya itu, pokoknya kalau ngaji mesti Quran. Padahal itu dari Jawa. "Ngaji" itu saya memaknainya dari kata dasar "aji". Jadi ngaji itu menuju kemuliaan, menuju aji. Jadi orang Jawa punya kearifan: kalau kita belajar apa pun itu pastikan korelasinya dengan peningkatan kualitas dia. ,Jadi kita yang jadi semakin mulia, tidak sekedar membaca formalitas sekedar hafalan, tapi dari aktivitas ngaji itu kita tambah aji, tambah mulia, sebagai manusia meningkat kualitas kita. Makanya saya pakai istilah ngaji filsafat. Tapi yang nggak ngerti, dianggapnya ngaji itu mestinya Quran. Nah ini menurut saya yang penting, pencerahan-pencerahan semacam ini untuk orang banyak. Paling nggak biar nggak sempit itu saja. Ngaji untuk Al Quran itu benar juga, cuma tidak hanya itu, itu maksud saya. Jadi orang itu seringnya merasa bahwa cuma ini makna itu. Padahal ada banyak variasi, banyak alternatif makna. Saya itu sering ngangkat paradoks di mana kita melihat demokratisasi informasi itu sudah kaya sekali. Kita mau cari informasi mengenai apa saja itu ada dan dari kanal yang beribu-ribu. Tapi ini nggak nyambung dengan demokratisasi ide. Ide itu hanya itu-itu saja, yang kiri dan yang kanan, terpolarisasi justru. Nggak terjadi spektrum. Nggak kaya spektrumnya; spektrumnya hanya yang paling kiri dan yang paling kanan. Nah ini mungkin bisa dikorelasikan dengan labelisasi: gimana kita begitu gampangnya menglabel seseorang, 'Wah, si A itu gini, si B itu gitu." Nah itu bisa dikaitkan dengan sosial, budaya, politik, ekonomi, teknologi, dan lain-lain. Nah itu kalau menurut saya sangat memilah bangsa. Nah itu gimana untuk kita bisa menghindar dari labelisasi? Kalau dalam Islam ada kalimat yang saya suka: "Undzur ma qola wala tandzur man qola"; lihat apa yang dikatakan, jangan melihat siapa yang bicara. Ini menurut saya salah satu kutipan yang bagus. Bahkan ada Sayyidina Ali Bin Abi Thalib itu, "Seandainya pun meskipun anak kecil ngajar saya satu huruf saja, saya anggap dia guru." Padahal dia anak kecil. Jadi tidak kita labeli, "Halah anak kecil ngerti apa." Tidak. Kalau dia memberi pengetahuan padaku, aku anggap guru. Kalau dia memberi wawasan baru padaku, aku anggap guru. Jadi lebih ke isi, bukan bungkus. Ini kalau saya melihat nenek moyang kita dulu luar biasa memahami ini. Mereka bahkan bisa, "Sudahlah wadahnya bisa apa saja kok asal isinya ini." Itu nenek moyang kita. Makanya dulu misalnya kayak Jawa itu punya tradisi religius sampai kuno sampai purba namanya agama Kapitayan. Hindu datang tidak masalah, silakan saja bareng-bareng kita. Kemudian Buddha datang "Ayo silakan tidak apa", substansinya sama, silakan saja. Terus Islam datang juga begitu, masuk dengan nyaman, semua tidak ditentang, dsb. Jadi ini menurut saya kesadaran level tinggi. Sementara kita hari ini, begitu ngerti label yang berbeda berarti bukan aku. "Oh labelmu gitu, aku labelmu ini. Warnaku merah, kamu warnanya hijau, dia warnanya kuning, berarti kita beda. Kalau beda berarti kita saling musuh." Nah cara berpikir hari ini banyak begitu. Kita menganggap perbedaan itu sebagai ancaman buat kita. Jadi karena kita berpikirnya, kalau pakai bahasanya (Jacques) Derrida itu selalu biner; dianggapnya hidup ini hanya ada hitam dan putih. Ya tentu saja aku punya label A dia punya label B, yang putih harusnya aku dong, kamu yang hitam. Jadi akhirnya apa? Terus jadi peradaban yang saling menegasikan. Jadi kita membuang saudara kita, kita menyingkirkan tetangga kita, kita menafikan khazanah-khazanah luar biasa dari orang tertentu, kelompok tertentu, hanya karena labelnya beda. Begitu mudahnya kita itu tergerus atau terbelenggu dengan negativitas yang dikaitkan dengan labelisasi, tanpa mendengar apa yang disuarakan, hanya melihat siapa yang menyuarakan. Dan ini seakan-akan kayak cukup struktural framing-nya. Dan ini gimana untuk mendistrukturkan atau meng-unstructure supaya ujung-ujungnya kalau kita benar-benar mau berfilsafat adalah untuk bisa menginterogasi apa pun yang kita lihat dan dengar supaya kita bisa berpikir secara tepat. Nah itu ujung-ujungnya berkorelasi dengan kapasitas seseorang menunjukkan keterbukaan. Nah kalau percakapan itu terpolarisasi, itu nyata bahwasanya tidak ada keterbukaan di sisi sini terhadap apa yang ada di sini dan sebaliknya. Kalau ada keterbukaan itu semakin spektrumisasinya terjadi. - Ada menarik tambahannya Pak Gita. Ada kalimat dari Imam Syafi'i yang saya ingat itu, jadi beliau punya kalimat begini: "Pendapatku benar tapi mengandung kesalahan juga, karena aku manusia tidak mungkin sempurna. Pendapatmu menurutku salah, tapi pasti mengandung kebenaran juga, karena kamu ingin mencari kebenaran." Menurut saya kalimat ini luar biasa. Jadi kesadaran bahwa kita semua ini manusia. Tidak ada manusia yang 100% hidupnya negatif atau kebalikannya 100% hidupnya positif. Kita punya banyak keterbatasan. Pikiran-pikiranmu menurutku salah, tapi aku yakin pasti ada unsur-unsur benarnya juga dalam konteks tertentu, dari perspektif tertentu. Pikiranku aku yakin benar, tapi aku sadar aku manusia bisa saja salah, maka pikiranku mungkin saja keliru. Kalau ada yang positif petik, kalau nggak positif nggak usah dipetik. Makanya yang dilihat isinya bukan siapa yang ngomong. Jadi kita ini sering melewatkan tokoh-tokoh besar, orang-orang penting dengan mungkin pikiran-pikiran nasehat-nasehat luar biasa, baru kita sadar setelah meninggal. "Wah ini tokoh ini dulu luar biasa ya. Baru sadar sekarang pikirannya luar biasa." Kenapa kita tidak bisa mengambil manfaat dulu waktu beliau hidup? Karena kita labeli dia sebagai beda dengan kita. Nah kita sering begitu. Banyak orang yang misalnya ada yang bilang, "Wah baru sadar saya Gus Dur itu punya pikiran bla bla bla gini." Nah dulu waktu ada Gus Dur, diserangnya luar biasa dengan asumsi bahwa dia beda dengan aku, beda dengan kelompokku. Mungkin tokoh tertentu juga begitu kita baru sadar "Wah beliau ini sumbangannya besar, pikirannya luar biasa. Sayangnya waktu beliau masih hidup kok saya kontra terus." Kita sering tidak sadar ... Gus Dur itu salah satu dari 107 miliar yang tadi. Sudah bagus bahwa kita masih bisa mengenang Gus Dur. Tapi banyak yang nggak mau berkomunikasi dengan sejarah. - Itu yang bahasa saya, kita itu sering ditunggui orang-orang besar, kita itu sering ditemani pikiran-pikiran para pemikir yang luar biasa. Tapi kita mengambil manfaatnya minimal, hanya karena kita tempeli label negatif. Saya belakangan ada baca itu orang yang sama sekali akhirnya tidak mau Ibnu Sina, padahal semula dia memuji-muji Ibnu Sina. Begitu baca, "Pak Faiz katanya Ibnu Sina itu syiah." Akhirnya dia cerai total sama Ibnu Sina. Padahal mungkin sudah banyak di sini sekolah-sekolah yang pakai nama Avisena. - Iya, di Eropa. Di buku kedokteran di Eropa itu Avisena. - Dia lupa dengan itu hanya karena belakangan dia membaca ada yang bilang Ibnu Sina itu syiah. Saya bilang, "Terserah saja, silahkan saja kalau gara-gara label itu, terus semua gagasan-gagasan, pikiran-pikiran, kontribusinya yang luar biasa, nggak hanya untuk umat Islam, tapi untuk peradaban dunia kamu tidak anggap sama sekali." Kita sering cara berpikirnya seperti ini. Tapi kalau menurut saya ini nyambung dengan pola pendidikan di rumah tangga, di sekolah, di kantor, di ekosistem, dan kalau menurut saya juga di tempat ibadah itu penting sekali untuk siapa yang megang microphone itu benar-benar berpendidikan dan sudah Iqro bermacam-macam buku. Jadi memang ini PR kita semua. Makanya saya di Jogja itu tadi saya bilang ada forum ngaji filsafat. Itu sebenarnya pertimbangannya adalah bukan ingin gaya, ingin memberi menu yang berbeda untuk umat. Jadi mungkin selama ini menunya itu-itu saja untuk agama. Saya membayangkan kalau di masjid itu tidak hanya kajian misalnya fikih, tasawuf, tapi ada filsafat, mungkin nanti ada kajian fisika, mungkin ada kajian ... Bagi saya menarik dan ini sebenarnya dicontohkan zaman dulu di era jayanya Islam. Jadi ada halaqah di masjid, itu para ilmuwan para ulama sesuai bidangnya masing-masing. Mungkin ada saudara-saudara kita yang tidak mampu kuliah psikologi, tapi di masjid ada kajian psikologi. Tidak bisa kuliah filsafat karena sudah terlanjur kuliah apa, di masjid ada pelajaran filsafat. Nah jadi umat dapat menu banyak. Ini menurut saya membantu wawasan jadi luas. Jadi semakin luas wawasan, menurut saya membuat orang semakin kaya ... Saya percaya banget bahwasanya multidimensionalitas itu akan bisa membantu mitigasi risiko apa pun. Risiko sosial, budaya, ekonomi, teknologi, geopolitik, politik, dll. Tapi saya melihat bahwasanya individualisasi keyakinan atau agama ini kalau nggak dibarengi dengan multidimensi atau multidimensionallitas, ini semakin kita harus hati-hati ke depan. Kalau ini terlalu monodimensional, yang nempel dengan individu yang semakin berkapasitas untuk mengindividualisasi agama, semakin sulit ke depan menyatukan. - Saya sering pakai ilustrasi wawasan, kemudian pandangan yang beragam, ilmu yang macam-macam itu seperti senjata. Semakin banyak kita punya kayak orang yang semakin punya banyak alat, punya banyak senjata menghadapi hidup. Kalau kita punya sendok, punya pisau, punya palu, punya macam-macam, itu ketika menghadapi masalah, "Oh ini solusinya sendok, karena yang saya hadapi nasi." "Oh ini solusinya pisau karena yang saya hadapi harus diiris." dsb. Tapi kalau kita alatnya cuma satu, pisau saja misalnya, ketemu nasi pun kita pakai pisau akhirnya. Kalau kita alatnya cuma palu, ketemu apa pun kita perlakukan kayak paku, akan kita pukul. - Harus ada ambidexteritas.
  • Jadi semakin kita canggih semakin kita punya banyak alat, kan hidup ini multidimensi masalah juga multidimensi. Jadi kita punya dan perlu belajar juga kearifan; mana alat yang harus digunakan. Nah ini menurut saya penting, kayak tadi misalnya, "Oh ini bukan saatnya ngomong label karena ini kita sedang ngomong ilmiah." "Oh ini bukan saatnya ngomong itu karena ini forumnya forum ini." Ini yang teman-teman kadang lupa, nggak ngerti konteksnya. Jadi kayak saya di masjid, kadang-kadang masjid ada tema Nietzsche, ada tema Karl Marx, kalau begitu kan orang heran. Ini konteksnya belajar, bukan saya nyuruh orang jadi ... Biar kalian tahu bahwa kalian pakai atau tidak, itu tidak masalah. Bahkan seandainya kalian ingin tidak setuju, harus paham dulu kan. Jadi makanya, "Ayo ditelaah, ayo dipelajari." Karena ini sebagai ilmu, kayak tadi sebagai senjata, siapa tahu pada saatnya kita memerlukannya. Kita ini hidup dalam demokrasi. Tapi kita semakin sulit melihat demokratisasi ide. Justru kalau saya lihat di seluruh dunia, Kecenderungan dalam berbagai atau banyak demokrasi untuk menyeleksi talenta itu lebih berdasarkan patronase ataupun loyalitas, bukan berdasarkan meritokrasi. Ini diskon untuk narasi kebangsaan kita ke depan. Pandangan Mas Faiz gimana? - Sebenarnya kesadaran demokrasi itu sudah kita jalani lama dan kita menganggapnya sudah otomatis sekarang itu kita harus demokrasi. Tapi kita jarang berpikir dalam. Karena tetap ada celah-celah ketika demokrasi, misalnya dipakai oleh ... karena demokrasi belum masuk itu aspek-aspek kayak katanya buku relasi-relasi kuasa ketika main. Harusnya demokrasi itu pilihan langsung, misalnya setiap orang milih. Tapi pilihannya orang ini bisa dikendalikan. Akhirnya seolah-olah ini bebas tapi sebenarnya tidak, ada kuasa yang bermain sehingga kita mau tidak mau harus pilih itu saya. Kalau tidak itu ada yang terancam dalam hidup, dsb. Nah ini yang jarang orang berpikir sejauh itu sehingga akhirnya apa? Yang berjalan kayak tadi: "Ini harusnya demokrasi kok terus turun temurun." Kita jarang berpikir ke situ. Kita anggap, "Memang biasanya begitu." Jalannya harus begitu saja. Jadi kalau bahasa sosiologi: "Common sense" Jadi dia berubah dari ideal jadi common sense. Ketika itu common sense, orang itu tidak kritis. Jadi termasuk tadi sistem-sistem kekuasaan yang harusnya terbuka terus jadinya tidak lagi berdasarkan kapasitas, tapi berdasarkan koneksi, berdasarkan kenalan, berdasarkan turun-temurun. Kalau pengalaman dalam sejarah Islam misalnya kita kenal Bagaimana di era khalifah 4, Khulafaur Rasyidin: Abu Bakar dan seterusnya ini umat Islam pintar sekali berdemokrasi. Jadi bagaimana pemimpin itu dipilih yang memang kapasitasnya memadai, sesuai dengan yang paling diinginkan oleh umat dan memang kualitasnya layak jadi pimpinan. Tapi belakangan kemudian ganti. Tapi suatu hal yang saya lihat yang kelihatannya sebagai paradoks adalah basis yang digunakan untuk memilih khalif pertama yaitu Abu Bakar. Itu bisa dibilang teknokrasi dan demokrasi karena beliaulah yang paling senior, beliaulah yang paling piawai. Jadinya patut untuk diakui sebagai penerus nabi. Yang percaya dengan konsep ini justru sekarang berbasiskan di tempat yang sifatnya monarki. Tapi justru di saat itu yang percaya bahwasanya penyeleksian khalif itu harus berdasarkan hubungan keluarga, turun-temurunnya itu justru sekarang berbasiskan di negara yang demokratis. Paradoks kan? - Makanya kalau katanya Aristoteles itu kadang-kadang politik itu lebih dulu kepentingan dibandingkan ideal. Jadi kemudian orang itu lebih milih pokoknya apa yang kita inginkan sekarang, bukan ideal yang sudah kita patok kemarin-kemarin. Tapi menurut saya kadang-kadang kita perlu juga punya idealisme. Jadi tidak sekedar memang tuntutan situasinya begitu, karena justru manusia itu mulia dalam hidupnya ketika dia setia dengan nilai-nilai, ketika dia punya nilai untuk diperjuangkan, tidak sekedar mengalir saja mengikuti situasi. Sekarang kita lihat variasi macam-macam itu biasanya kalau ditanya "Ya memang mengikuti situasi, mengikuti zamannya." Kalau jawabannya hanya kayak gini, itu kelihatan kita tidak punya prinsip, tidak punya nilai. Jadi saatnya menurut saya, kita juga punya nilai untuk ditegakkan. Meskipun tidak abai dengan kenyataan. Saya ingat satu kalimat bagus dari tokoh kita, wali kita, kebanggaan kita; Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga itu punya kalimat begini: "angeli ananging ora keli". "Angeli" itu artinya mengalir, "ora keli" artinya tapi tidak tenggelam. Jadi, "Tidak apa-apa kita ikuti arus, tapi jangan tenggelam dong." Tidak tenggelam itu berarti kita punya prinsip, punya ideal yang ingin kita tegakkan, punya ide-ide yang ingin kita semaikan. Tidak sekedar mengikuti situasi. Itu bayangkan Sunan Kalijaga era itu sudah punya kalimat luar biasa. - Ratusan tahun yang lalu.
  • Iya. Jadi, "angeli ananging ora keli". Mengalir tapi nggak tenggelam, ikut arus tapi kita tidak tenggelam. Kan ada juga itu kalimat dari yang sering disebut orang: hanya ikan mati yang ikut arus. Kalau ikan hidup dia nggak akan ikut arus begitu saja, dia punya prinsip. - Iya. Apalagi salmon, dia bisa melawan arus. Saya bukan mau menganjurkan aliran tertentu. Mas, ada buku yang sudah ditulis yang mengilustrasikan perpolitikan di Indonesia itu merupakan manifestasi dari keseimbangan dari 3 hal. Yang pertama adalah Islam, dua masyarakat sipil, yang ketiga adalah aparat keamanan. Itu aparat keamanan mungkin sampai akhir abad ke-20 itu TNI. Tapi masuk ke abad ke 21, itu menjadi TNI/Kepolisian. Nah menurut Mas Faiz ke depan gimana? Keseimbangan ini bisa terwujud secara optimal nggak, antara 3 unsur ini? Menurut saya ada unsur yang lebih bermain kalau untuk konteks masyarakat Indonesia. Itu main karena itu mayoritas-mayoritas. Tapi ada lagi mentalitas masyarakatnya. Masyarakat kita menurut saya sampai hari ini sebagian besar cara berpikirnya masih patronistik, feudalistik atau idolatri. Jadi fokusnya idolanya sebenarnya. Dia mengidolakan siapa, itu yang dia ikuti. Seperti kata Pak Gita tadi, ini pemimpin-pemimpin, para leader, para patron-patron, di tengah masyarakat itu nanti akan jadi kunci. Jadi siapa yang diidolakan, siapa yang diikuti oleh rakyat, oleh masyarakat, dia nanti yang jadi kunci mau dibawa ke mana. Situasi ini ketika ditambah media digital yang serba viral tadi ... - Semakin itu. Semakin gurih. Semakin bisa digoreng semakin gurih. - Kita itu anti berhala tapi sebenarnya kita idolatri; jadi saya mengidolakan siapa. Kalau sudah idola pokoknya tidak mungkin salah. Itu kita berpikir begitu: idolakan tokoh ini, pemimpin yang ini. ustaz yang ini, dsb., itu kita terus terkotak di situ, tidak mungkin salah. Maka akhirnya apa? Nanti yang memegang pengaruh para idola ini dan bagaimana mereka mempertahankan pengaruh keidolaannya, status quo bahwa dia harus tetap jadi idola. Nah itu nanti akan banyak cerita-cerita pencitraan, viralitas, dsb. Ini nanti akan jadi kunci di situ. Saya tidak tahu cara mengubah mindset sebagian besar kita, ada yang bilang memang seperti itu orang Timur. Tapi masa begitu. Kalau manusia itu kan seperti apa yang dia inginkan, sebenarnya bisa saja dia ingin membentuk dirinya maupun masyarakatnya. Jadi kalau menurut saya ini justru akan sangat berpengaruh. Makanya, siapa yang diidolakan masyarakat ini layak dikunci. Mendeteksinya gampang: sebentar lagi 2024 itu, siapa yang didekati orang-orang yang nyalon itu biasanya idola-idola ini. - Sudah kelihatan popularitas masing-masing. - Iya. Jadi idola-idola ini yang akan mendekati siapa, mencari orang-orang yang banyak di idolakan, dsb. Cara berpikir ini berulang terus. Ini menurut saya, mungkin kita tidak naik kelas. - Terlepas dari proses politik, kalau menurut saya, untuk kepentingan kesehatan kita semua ke depan, harus ada penyikapan mengenai medsos karena saya melihat banyak sekali isu-isu yang penting mengenai perubahan iklim, kesenjangan, yang belum terobati secara cukup lewat platform seperti itu. Padahal itu adalah isu-isu yang harus ditonjolin dan disikapi. Yang paling gampang gini deh: kalau kita melihat Greta Thunberg, tokoh perubahan iklim dari Eropa itu follower Instagramnya mungkin 18-20 juta. Tapi follower-nya Kylie Jenner yang selebriti yang terkenal banget, itu bisa 200-300 juta. Dari situ kita sudah melihat pulsa masyarakat luas itu lebih dekat dengan siapa pun yang mengemiskan karbon dibandingkan siapa yang lebih takut mengemisikan karbon. Nah untuk ke depan ini kita harus menunjukkan sikap yang menyehatkan kita.
  • Iya, itu yang saya bilang tadi. Jadi yang viral itu banyak hal-hal yang dangkal, hal-hal yang dalam, yang penting ...
  • Kita sepakat. Mutlak harus ada penyikapan kalau menurut saya. Nggak di rumah tangga, di sekolah, di kantor atau di pemerintahan. Kalau nggak, kita bakal begini-begini saja. - Nggak hanya bakal begini, nanti panennya di belakang. Di belakang kita akan panen mungkin generasi dengan karakter misalnya tadi yang abai lingkungan, generasi yang tidak saling peduli sesamanya, generasi yang tidak dalam dalam berpikir Ini PR-PR kita semua sebenarnya. Dan itu tadi, kalau ingin cepat, ya tetap memanfaatkan kekuasaan. Jadi selain kita sendiri berjuang di lingkungan yang kita punya kuasa, tapi juga yang pemegang-pemegang kuasa besar itu menurut saya jadi kunci juga di segala tatarannya. Apalagi tadi mentalitas masyarakat masih mentalitas siapa idolanya. Dan geraknya harus bareng-bareng; kesadaran ini. Sulit kalau yang gerak satu-dua, sementara yang lain tidak ikut gerak atau mengisi dengan sesuatu yang tidak relevan. Jadi kita capek-capek, dia bikin yang lain atau mengarahkan ke yang lain sehingga kalau bahasanya anak hari ini, akhirnya terdistraksi ke sana, anak-anak itu tidak lagi fokus ke yang baik ini. Tapi ini juga sekaligus tantangan pada konten-konten kreator hari ini Kayak Sunan Kalijaga tadi; kita ikut viral tidak apa-apa, kita mengejar disukai banyak orang nggak apa-apa, tapi jangan tenggelam. Jadi kita harus punya prinsip dan punya idealisme. - Itu keren filsafat. Saya baru dengar itu. Boleh mengalir tapi jangan tenggelam.
  • Jangan tenggelam. Karena kalau kita mengalir, tenggelam, mengikuti arus saja, kita kayak ikan mati akhirnya. - Mas, saya mau tanya pertanyaan-pertanyaan terakhir. Tolong dibelikan definisi filsafat untuk teman-teman yang dengar ini. Iya. Jadi saya itu sering mendefinisikan dua filsafat itu: Yang pertama, berpikir yang benar, sederhananya itu. Yang kedua, cinta kebijaksanaan. Ini sederhana sekali tapi maknanya dalam. Jadi berpikir yang benar itu banyak di antara kita merasa bisa berpikir, tapi sebenarnya belum. Jadi banyak orang yang bilang, "Halah mikir saja ya semua orang bisa." Tapi banyak orang yang bahkan tidak mau berpikir, tidak sekedar tidak bisa berpikir. Justru PR besar kita antara lain tadi: berpikir, termasuk masalah viral, dsb., tadi. Kalau orang mau berpikir sebentar saja, itu akan ketemu banyak lubang-lubangnya. Saya melihat kecenderungannya itu tinggi sekali untuk banyak sekali di sekitar kita, bahkan di diri kita juga untuk tidak bisa berpikir secara objektif. Makanya filsafat dulu lahir di Yunani itu mendobrak cara berpikir serba mitos. Orang Yunani punya dan percaya Zeus, Hercules, dsb. Nah dia datang untuk, "Masa menjawab persoalan hidup kok pakai mitos-mitos." Dia datang dengan logos-nya, berpikir yang benar. Itu kalau bahasa saya, filsafat itu lahirnya dulu memberantas TBC; Takhayul, Bid'ah, Khurafat versi Yunani tapi. Karena orang sering pakai kalimat ini takhayul, bid'ah, khurafat, tapi di Yunani dulu. - TBC
  • Iya. Nah, menurut saya, ini perlu dihidupkan lagi karena takhayul-takhayul kita, khurafat kita, mitos-mitos kita, hari ini termasuk TikTok tadi, termasuk Instagram itu, banyak jadi mitos-mitos hari ini. Mitos adalah yang kita terima begitu saja tanpa berpikir, tidak kita teoritisi. Nah itu sekarang jadi itu lawannya. Mari kita runtuhkan dengan berpikir yang benar. - Dan cinta kebijaksanaan.
  • Dan cinta kebijaksanaan. Jadi kebijaksanaan itu melampaui sekedar kebenaran. Jadi bijaksana itu ngerti cara menggunakan dan mengaplikasikan kebenaran secara pas, tepat. Jadi misalnya dalam banyak omen kadang-kadang ini kalau saya sampaikan apa adanya, malah nambah masalah, meskipun saya tahu ini benar. Demi bijaksananya, saya sampaikan pakai simbol-simbol saja, ini namanya bijaksana. Kalau kamu saya tegur langsung, teguranku mungkin benar, tapi bisa jadi kamu tersinggung terus malah nggak jadi apa-apa dan nambah masalah. Nah saya pakai cara menegurnya, biar kamu tidak tersinggung, ini bijaksana, dan filsafat cinta yang semacam ini. Jadi tidak sekedar berhenti di kebenaran tapi masuk ke ranah kebijaksanaan. Mengerti strategi, mengerti retorika, mengerti jalan yang halus, yang pas, yang cocok, yang manfaat, karena kebenaran kalau kendaraannya tidak benar malah jadi masalah. Ini namanya tidak bijaksana. Ada kalimat bagus lagi dari Imam Ghazali yang saya ingat, "Orang melakukan kebenaran tapi jalannya tidak benar, itu seperti orang mencuci dengan air kencing." Mencucinya kan bagus, tapi karena pakai air kencing jadi tidak bersih, jadinya cuma tambah kotor dan tambah najis. - Whitewashing.
  • Makanya kebenaran harus kita gunakan kita jalankan dengan jalan yang baik yang benar. Ini kalau bahasa filsafat: kebijaksanaan tadi, cinta pada kebenaran yang tepat. Orang-orang Sophist tadi yang berargumentasi dengan logika itu benar pakai akal argumentatif, tapi dia tidak bijaksana karena hanya untuk kepentingannya sendiri, egoismenya sendiri. Nah ini namanya tidak bijaksana. Nanti dalam banyak kasus banyak itu orang yang menegakkan kebenaran dan membela kebenaran, tapi terus tambah masalah baru, karena tidak bijaksana tadi. Melakukan kebenaran dengan jalan yang nggak benar. - Iya. Itu sering jadi masalah. Ingin memberantas sesuatu yang buruk, tapi dengan cara yang buruk, itu sama saja. Yang terakhir Mas, dari sudut filsuf, kebahagiaan itu artinya apa? - Ini banyak sekali dibahas tentang kebijakan. Kalau saya waktu ngaji itu banyak sekali orang tanya tentang bahagia. Tapi menarik saya itu pernah coba-coba googling, itu kata-kata kebahagiaan dan kata-kata sukses. Ternyata kalau orang Indonesia itu lebih banyak yang dikejar sukses, kebalik dengan bayangan kita. Kita bayangin orang Timur itu ingin bahagia, tidak, mereka ingin sukses. Kebalikannya orang Barat. Itu kalau di googling antara kebahagiaan dengan ... - Lebih suka bahagia daripada sukses.
  • Iya. Lebih suka bahagia. Terus saya membacanya, "Oh mungkin memang begini. Orang itu mencari sesuatu yang belum dia miliki." Jadi di Barat itu orang sudah sukses, makanya ingin bahagia. Di Indonesia masih banyak yang belum sukses, jadi ingin mencari kesuksesan dulu, sebelum bahagia. Ada banyak sebenarnya perspektif tentang kebahagiaan, tapi intinya gini, ada bahagia atau tidak itu kuncinya dalam diri kita. Jadi tidak di luar diri. Jadi bahagia itu orang sering mendefinisikannya bahagia itu ketika kita bisa menerima, ketika kita bisa bersyukur apa pun situasi kita, itulah bahagia. Jadi kuncinya dalam diri. Cuma kemudian sering dimaknai yang kayak gini ini secara pasif. Jadi, kita menerima situasi apa pun tapi bukan berarti kita pasrah dengan situasi apa pun. Nah ini yang sering orang kemudian salah paham. Jadi kalau sudah bahagia berarti tidak ngapa-ngapain, terus begitu pemahamannya. Padahal tidak begitu. Ayo kita berjuang ingin hidup yang lebih baik, menuju sukses tadi, hasilnya nanti apa pun kita terima. Jadi memahaminya begitu. Kebahagiaan itu memang kuncinya dalam diri kita. Jadi penerimaan kita, rasa syukur kita, terhadap apa pun situasi, tapi bukan berarti pasif atau pasrah. - Dan kita ikhlas bahwa ini nggak kekal.
  • Iya. Jadi kita terima bahwa hidup ini memang sementara, hidup ini memang bisa berubah; bisa naik bisa turun. Kita terima apa pun, tapi bukan berarti terus kita diam saja. Banyak yang kemudian mengartikan kalimat bahwa "Bahagia itu dalam diri" terus berarti kita pasif saja, santai saja, diam saja, nggak usah meraih apa-apa. Ya sudah terus jadinya bahagia disamakan dengan pasrah total, nggak ngapa-ngapain. Akhirnya apa? "Ah, saya tidak sukses tidak apa-apa, yang penting bahagia." "Saya tidak berhasil nggak apa-apa, yang penting bahagia." Terus jadi begitu kalimatnya. Padahal maksudnya nggak begitu. Jadi berjuang sekeras mungkin, nanti baru hasilnya apa pun kita terima dengan bahagia. Nah ini yang sering teman-teman luput dalam memahami definisi bahagia itu. - Wow. Ada pesan-pesan akhir, Mas? Pesan saya pesan filsafat saja ya. Menurut saya kunci hidup ini tetap pada kemauan dan kemampuan kita untuk berpikir. Jadi begitu kita menutup pintu berpikir, kita tidak mau lagi terbuka untuk berpikir, itu alamat kita akan macet dan berhenti. Jangan lupa bahwa anugerah paling besar yang diberikan oleh Tuhan, oleh Allah pada kita, itu akal budi. Jangan sampai anugerah terbaik ini, kita diamkan, kita cueki begitu saja. Saatnya kita manfaatkan itu sebaik mungkin. Mungkin itu Pak Gita.
  • Terima kasih Mas Faiz - Iya. Terima kasih. Teman-teman itulah Dr. Fahrudin Faiz, dosen dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Terima kasih.