Banyak orang-orang seumuran saya dan sedikit ke atas atau banyak ke bawah itu sudah merasa kayak kita hidup di dalam kapal yang sedang tenggelam saat ini. Aduh. Kami merasa tidak berdaya banget hampir di semua bidang. Melihat berita politik, melihat berita iklim, melihat inflasi, melihat orang-orang yang tergantikan gara-gara AI. Saya pernah baca sekali di internet, ada yang bilang seniman sekarang jualan isu kesehatan mental banget. Maksudnya dikomersialkan banget jadi sebuah topik yang bisa dijual dan pasti laku. Saya rasa diplomat terbaik dari sebuah negara adalah atlet dan seniman, selalu begitu. GITA WIRJAWAN: Halo teman-teman hari ini kita kedatangan Baskara Putra, seorang musisi yang keren banget. BASKARA PUTRA: Suatu kehormatan bisa hadir di sini, pak. Ini akal-akalan tim media saya, bisa berhubungan sama Pak Gita. Nggak pernah kepikiran. Suatu kehormatan dan kebanggaan. Saya mau dengerin cerita Anda. Dari kecil itu gimana sih? Anda itu kalau saya baca biodatanya kayaknya anak sekolahan banget, tapi kok beralih jadi artis atau musisi? Silahkan. Saya tiga bersaudara dan kebetulan yang pertama di keluarga saya yang akhirnya masuk ke musik. Bapak saya di BUMN, 3 dekade lebih itu ada. Ibu saya dulu di BUMN, menikah dengan bapak saya menjadi ibu rumah tangga. Dan kedua kakak saya lama di perbankan. Pindah-pindah tempat segala macam, sekarang satu di properti. Yang diperbankan ini akhirnya ikut saya. Jadi awalnya yang bermusik itu dia, beliau. Seingat saya sempat ditawari sama ibu saya kayak, “Kamu mau sekolah musik nggak?” Cuman dianya nggak PD, takut, “Uangnya dari mana?” mungkin mikirnya. Jadi dia sudah sampai (sekolah) keluar. Maksudnya jalurnya akademisi banget. Saya lupa kayaknya terakhir dia S2 nya di Monash. Tapi akhirnya kemarin habis pandemi balik ke sini terus saya iseng saja pas lagi balik ke rumah orang tua lagi ada dia juga, saya bilang saya nyari basis, “Gue nyari basis, lu mau main lagi nggak?” Sebenarnya waktu itu ngomongnya bercanda, terus dia juga waktu itu responnya agak bercanda kayak, “Kasih gue satu bulan.” Tiba-tiba bulan depan dia respon balik, “Gue sudah resign.” Waduh. Oke deh jalan. Tapi sekeluarga saya sekolahnya itu sekolah yang kelas menengah. Sekolah swasta, saya SMP-SMA di Pangudi Luhur (PL), habis itu ke UI. Dari UI itu juga saya sempat kerja di beberapa tempat lain dulu sebelumnya. Saya bekerja selama beberapa tahun di British Council juga waktu itu. - Sebagai? - Salah satu anggota tim arts and culture nya. Lalu sebelum itu juga pas sebelum lulus juga beberapa kali suka “lepasan”, ikut dosen kalau misalnya beliau ada proyek freelance di luar. Jadi kayak ada semacam budaya di kampus kami yang suka mengundang anak-anak mahasiswanya yang menurut dosennya bagus kerjaannya dan tugasnya sekalian diajak, “Mau nggak lepasan part time atau kayak tambahan?” Saya sering ikut itu juga. Jadi sudah sebelum lulus sebenarnya sudah kerja beberapa kali dan beberapa lama (sebagai) marketing dan staf agensi digital waktu itu. Terus beralih ke British Council. Dari situ beralih ke musik. Jadi sebenarnya dari saya ngampus juga sudah… Kebanyakan anak cowok umur segitu kayak pengennya main musik, tanpa keterampilan dll. Ngerjain album pertama band pertama saya waktu itu di British Council. Terus sudah mulai masuk festival waktu itu, sekali dua kali. Cuman nggak ada yang meledak. Maksudnya secara angka nggak cukup buat hidup di Jakarta sendiri. Mulai terekspos dengan musik di usia berapa? Kalau kata Ibu saya dulu oma saya main musik dan ibu saya di rumah itu main piano. Jadi dari kecil itu terekspos dengan musik. Jadi banyak pengaruh musik saya juga apa yang Ibu saya dengar, saya dengar dari kecil. Kalau dijemput pas masih SD, di mobil dengerin Frank Sinatra segala macam. Jadi pengaruhnya itu dari situ. Dan kakak saya itu dia kayaknya saya rasa di keluarga saya yang sangat berbakat yang turun darahnya sebagai musisi itu kakak saya sebenarnya, yang sekarang ada di timnya Hindia juga. Dia kalau saya nggak salah ingat, dari SD sudah dimintai tolong sama gurunya yang mengajar ekskul gitar buat jadi kayak semacam asdosnya, buat ngajarin temen-temennya. Dan dia sangat berbakat dalam musik. Saya sampai bertahun-tahun di rumah, tiap kali mau mencoba mendalami dan belajar (musik) itu minder pak, karena kamar kita sebelahan. Dan anak umur segitu nggak ngerti cara nyolok gitar ke laptop jadi keluar outputnya di headset saja kan. Jadi kalau genjreng fals kedengeran di seberang. Dan tiap kali kayak lagi belajar gitar, dia sebenarnya mungkin nggak bermaksud jelek, cuman sambil ke toilet ngomong kayak, “(Kunci) C lu jelek banget. G lu nggak kayak gitu harusnya mainnya.” Jadi minder. Jadi kayak punya kesempatan buat beneran nyobain (main gitar) itu di luar rumah. Jadi saya nggak pernah punya kesempatan serius di hidup saya buat beneran mendalami musik. Nggak ada ruang aman buat saya di rumah. - Tapi jadi pemicu? - Tapi jadi pemicu buat ngejar nyari ilmunya itu di luar. Belajar (musik) itu di luar. Sampai akhirnya tahun 2018, rilisan keduanya band saya yang Feast ini ada yang meledak, itu judul lagunya Peradaban. Itu pertama kalinya saya main, manggung terus yang nonton itu 1000-2000 orang di salah satu festival besar nasional. Itu juga kebetulan untungnya pertama kali bapak ibu saya melihat saya main musik live itu di situ. Coba kalau dari beberapa tahun sebelumnya mungkin makin dipotong kayak, “Sudahlah nggak usah.” Karena kayak kebanyakan bapak yang puluhan tahun di BUMN saja, saya kerja di British Council, kerja di agensi, kami ke sana pakai baju bebas. Buat dia (bapak) kerja itu harus bangun jam 6 pagi dan satu set keseharian yang selalu diulang dari Senin sampai Jumat begitu. Jadi bahkan buat beliau saya itu belum kerja di era itu. Maksudnya kayak ini masih kerja-kerjaan, bukan kerja beneran. Jadi saya sangat bersyukur momen pertama mereka melihat saya sebagai musisi di panggung itu panggung gede yang baru banget meledak berapa bulan sebelumnya. Dari situ saya mikir ini gue sudah kerja di label musik saja, tapi waktu itu belum label sendiri, saya masih merasa waktu buat musik saya itu nggak cukup. Kayaknya bahkan 24 jam saja kalau misal lagi nggak masuk, lagi ambil cuti (kerja) itu nggak cukup buat band saya buat musik saya. Tapi lagi naik, lagi ada momentumnya. Jadi harus yakin saja, karena keluar saya sama salah satu teman yang kerja di label yang sama juga, kami partneran bikin Sun Eater, bikin label kami sekarang. Dan selanjutnya bergulir terus ada proyek kedua, proyek ketiga, sekarang sudah jadi label, label serius, manajemen serius. Sejauh ini bagus. Sejauh ini bagus. Ada pasang surut. Maksudnya sama seperti perusahaan kecil lainnya, cuman bisa menghidupi orang-orang sekitar setidaknya itu. Terus Anda itu bisa dibilang narator dari narasi yang agak beda dibanding musisi lainnya. Kenapa narasinya ke situ? Kalau buat saya sebenarnya jawaban paling simpelnya karena saya cuma bisa nulis kayak gitu saja, pak. Misalnya di band pertama saya, Feast. Kami banyak nulis sosial politik di era itu, dari sudut pandang orang biasa, dari sudut pandang mahasiswa, dari sudut pandang orang sehari-hari. Kalau bisa nulis lagu cinta, ingin nulis lagu cinta. Cuma kami nggak punya pengalaman yang mendalam di situ dan kalau lagi ngobrol di kampus segala macam, yang diobrolin itu berita dengan celetukan-celetukan anak-anak kampus umur segitu. Jadi yang kami tahu itu, yang kami bisa bicarakan itu. Sampai lama-lama jadi kebiasaan. Tapi di proyek-proyek yang lain seperti Hindia, saya suka ngerasa ini… Maksudnya manusia saya yakin banyak banget punya spektrum perasaan yang sangat spesifik. Tapi nggak pernah ada sebuah karya yang bisa menangkap emosi itu dengan sempurna dan saya mikir daripada nunggu itu ada mending saya yang buat. Saya melakukan itu utamanya untuk diri sendiri. Cuman ternyata pas sudah keluar banyak yang ngerasain itu semua. Makanya kesannya banyak topik-topik yang saya tulis itu dibaca sekilas kayak tentang hal-hal yang biasa. Cuman saya pikir itu saja yang kayak… Yang menarik adalah gimana caranya kita melihat keindahan di hal-hal yang sehari-hari sebenarnya. Saya makanya nggak pernah bisa nulis lagu pakai kalimat-kalimat yang Tesamoko, yang kayak ini padanannya apa. Susah. Harus sehari-hari banget. Kita bahas deh, tema-tema yang Anda sering angkat. Apa yang berulang-ulang (muncul) di benak Anda? Isu-nya atau temanya? Sebagian besar kalau Hindia, pasti karena kebanyakan sebenarnya cerita personal dan gejolak batin, bahasa kerennya kalau di internet. Sebagian besar tentang… Saya nggak merasa saya bilang saya ngomongin kesehatan mental. Saya bilang yang saya bicarakan adalah kesehatan mental saya, bukan kesehatan mental secara umum. Tapi bagaimana perasaan saya tentang berbagai hal. Cuma ternyata hal-hal ini banyak dirasakan sama orang. Di album pertama banyak banget spesifik, memang cerita pribadi. Saya fokus banget kayak ngomongin segala macam pasang surut jadi anak muda yang hidup di kota besar di Indonesia dengan segala macam konflik kecil-kecilnya, perihal kayak “Aduh ingin resign cuma gue nggak tahu kapan.” “Bayar ini gimana?” Sampai hal-hal yang lain. Dan di album kedua disaat saya masih kembali lagi ke psikolog saya dan masih “belum stabil”, belum sembuh. Saya mulai melangkah mundur yang kayak, “Berarti ada akarnya yang belum selesai diatasi.” Dan ternyata pas saya mundur ke belakang, banyak banget keadaan sekarang mungkin yang secara makro mempengaruhi keadaan mental. Mungkin nggak cuman saya, cuman orang-orang seumuran saya. Dan saya rasa saya perlu membahas hal itu setidaknya dari sudut pandang pribadi saya. Jadinya di album kedua ini misalnya masih juga banyak berkutat yang ngomongin keadaan mental saya, cuman juga saya berusaha mawas yang kayak, “Kenapa gue stress banget ya tiap kali kayak ada sesuatu yang berhubungan sama keadaan finansial? Emang sekarang iklimnya kayak gimana sih?” Maksudnya perihal ngomongin uang, apa yang dirasain nggak cuman sama gue doang tapi juga sama teman-teman gue atau orang-orang seumuran gue. Disaat sudah mundur 1-2 langkah ke belakang, jadi agak kayak melihat sesuatu secara keseluruhan jadi banyak ngomongin hal-hal yang ada di album tersebut. Menurut Anda apa yang menjadi penyebab kesehatan mental atau masalah kesehatan mental? Saya pernah baca sekali di internet, ada yang bilang seniman sekarang jualan isu kesehatan mental banget. Maksudnya dikomersialkan banget jadi sebuah topik yang bisa dijual dan pasti laku. Saya bisa bilang iya dan saya bisa bilang nggak. Kenapa saya bisa bilang iya, karena buat saya pribadi ada banget yang jualan nangis itu ada sekarang. Dan buat saya sudah nyerempet. Ini sebenarnya memang pemberdayaan atau sebenarnya ini penyalahgunaan topik semacam itu. Maksudnya sudah sampai level yang kayak kadang-kadang saya melihat menurut saya ini bukanlah pemberdayaan. Kesannya malah narasinya yang kayak, “Lu itu ada masalah tau. Coba lu pikirin deh. Lu itu ada masalah.” Bukan yang kayak… Jadi malah merendahkan. Tapi di saat yang sama saya juga bisa bilang nggak karena buat saya kita sekarang punya istilah yang benar secara politis untuk mengatakan hal semacam itu karena internet karena media sosial. Mungkin dari zamannya Stevie Wonder mereka sudah ngomongin ini, tapi zaman dulu belum ada label “Oh ini ngomongin kesehatan mental.” Tapi beberapa tahun terakhir ada judulnya, pak. Judulnya topik-topik seperti ini adalah topik-topik kesehatan mental. Maksudnya ngomongin penurunan kesehatan mental seseorang atau apa segala macam. Cuman saya rasa itu sudah jadi hal yang diomongin dari dulu sebenarnya. Ini cukup empiris ya. Dulu itu mungkin 10 sampai 20 tahun yang lalu, kalau kita tanya penyakit apa yang paling banyak dialami, ditakuti, itu kalau nggak kanker, serangan jantung, atau mungkin diabetes, kardiovaskular. Tapi sekarang itu kalau kita baca laporan-laporan dari ahli bedah umum di beberapa negara maju, justru depresi, kecemasan, bahkan bunuh diri. Ini bungkusan-bungkusan kecil dari bungkusan besar yang disebut sebagai kesehatan mental. Ini bisa dibilang penyakit, tapi apakah ini merupakan gejala dari sesuatu yang lebih struktural yang mungkin saja merupakan penyakit yang sebenarnya. Saya pikir begitu karena bagaimana Anda bisa merasa baik-baik saja ketika dunia yang Anda tinggali saat ini tidak baik-baik saja? Buat saya pribadi susah banget (untuk) nggak terpicu, nggak melihat berita jadi pemicu stres zaman sekarang. Buka internet (menjadi) pemicu stres. Maksudnya berita buruk jadi pemicu, buka TV pemicu juga. Pindah ke channel lain kalau misal cukup beruntung untuk punya tv kabel atau layanan serupa di rumah, buka channel luar pun pemicu stres juga. Maksudnya semuanya semakin memburuk dan kayak kesannya perlahan memburuk saja terus. Jadi saya pernah ngobrol sama teman saya dan dia mengibaratkan ini jadi sesuatu yang buat saya secara visual iya banget, seperti itu banget. Kayak perlahan ruangannya itu makin redup, makin redup, makin redup dan jadi nggak seterang dulu. Jadi kita sudah mulai nggak bisa melihat apa yang ada di ujung ruangan, di ujung koridor. Kita sudah nggak bisa melihat langit-langitnya bentuknya kayak gimana, karena mikirnya makin yang kayak, “Ya sudah deh besok gue makan apa?” “Bulan depan cukup nggak ya kalau misalnya gue ngambil proyek ini?” “Gaji gue cukup nggak ya buat hidup di Jakarta?” Makin pendek terus (pemikirannya). Dan saya bukan psikolog juga, tapi saya rasa ini anabel, analisa gembel. Nggak mungkin itu nggak berpengaruh ke bagaimana orang seumuran saya melihat diri sendiri. Setidaknya secara internal pasti berpengaruh. Itu jadi berat saja pak menurut saya melihat segala macam yang terjadi di sekitar kita dan benar-benar merasa baik-baik saja… - Anda melihat nggak generasi Anda itu mengambil alih kepemilikannya tinggi mengenai isu-isu kayak gini atau ini sebagai isu? Kecenderungan kekinian ini semakin meningkat. Kecenderungan untuk tidak memperhatikan masa depan jangka panjang semakin tinggi. Bahkan kecenderungan untuk mengedepankan kekinian dengan mengkreditkan masa depan itu semakin tinggi. Nah mengambil alih kepemilikan terhadap isu ini cukup tinggi nggak di kalangan masyarakat luas generasi Anda? - Kalau buat saya iya banget. - Karena laku lagunya. Albumnya laku. Nah Anda melihat ini menjadi atau bisa menjadi jembatan nggak untuk kepentingan kita memperbaiki atau mengobati diri? Kalau buat saya pada akhirnya pastinya tergantung narasi setelah itu bagaimana. Cuman saya bisa melihat kenapa ini jadi sesuatu yang kayak Pak Gita bilang. Maksudnya di generasi ini sesuatu yang kepemilikannya tinggi banget topik-topik kayak gini. Pertama kayak tadi, ini selalu jadi omongan tiap hari. Kalau jadi karya ini laku segala macam. Tapi apakah ini bisa dijadikan medium buat ngomongin hal lain atau benar-benar melakukan sesuatu tentang itu, itu tergantung narasinya bagaimana dan ada beneran apa nggak orang yang bisa memulai percakapan kayak, “Oke, apa yang dapat kita lakukan mengenai hal ini?” Betul. Karena yang keren banget kalau Anda baru nyanyi atau orang baru dengerin lagu Anda di spotify atau di mana. Dia tiba-tiba ngajak ngobrol di rumahnya sama adiknya, kakaknya, tantenya, keponakan, sepupu, orang tua mengenai isu yang Anda angkat. Nah ini diskusi yang idealnya menjadi diskursus terus ujung-ujungnya ini harus ada pengambilan kepemilikan politik. Karena kalau tanpa pengambilan kepemilikan politik, kerangka regulasinya dan kerangka undang-undangnya tidak akan bisa menyesuaikan dengan aspirasi Anda dan masyarakat luas yang merasa bahwa kesehatan mental sebagai isu ini kayaknya kurang diperhatiin. Tapi yang saya beberapa kali sampaikan, ini mungkin agak-agak nyambung dengan sosial media karena sosial media itu memaksa kita untuk hanya berkomunikasi sesama kita; 8 miliar manusia. Tanpa komunikasi dilakukan dengan pendahulu kita yang sudah meninggal selama ini sejumlah kurang lebih 107 miliar. Ini seringkali saya sebut namanya sejarah. Nah kita itu kayak kurang paham dan belajar dari sejarah, karena sejarah itu menyajikan banyak sekali pelajaran, plus dan minus nya untuk kita bisa hidup lebih bijaksana. Ini agak-agak spekulatif, saya merasa dengan defisiensi pemahaman mengenai sejarah, ini bisa nyambung dengan unsur gimana kita lebih mengedepankan kekinian yang bikin kita mungkin kurang bijaksana mengenai masa depan. Nah ini mungkin bagian dari gejala-gejala yang Anda sampaikan dalam masalah-masalah kesehatan mental. Kayak ingin ngomongin ini lebih dalam cuma saya khawatir saya akan menjadi terlalu politis. Ada satu hal yang saya temui dan buat saya lucu banget kemarin belum lama ini di media sosial juga. Ada salah satu kandidat, dia memposting sesuatu di sosial media dan atensinya banyak banget dari yang sekarang. Dia secara teknis itu labelnya masih Gen Z berarti kalau sekarang SMA. Pemilih pemula nanti itu berarti masih Gen Z ya Pak? - Masih. - Masih ya. Jadi ada kayak berantemnya antara para pengguna media sosial yang tua-tua sama mereka yang makan kontennya si salah satu calon ini, ngomongin yang kayak “Lu nggak tahu ya 20 tahun lalu yang kejadian apa segala macam?” bla bla bla gitu. Bahkan untuk sesuatu yang buat kita di kepala kita belum terlalu lama, masih yang kayak sejarah terbaru, orang sudah nggak tahu sekarang, orang-orang sudah lupa. Maksudnya gimana kalau kita mau belajar lebih serius lagi ngomongin kebijakan, ngomongin apa segala macam, itu sudah 1/2/3/4 level jauh di atas hal ini. Kalau misalnya pemilih pemula saja mereka benar-benar yang kayak kalau misalnya nggak ada minatnya sama sekali ke politik, milih pertama kali cap cip cup. Maksudnya mereka nggak tahu konteks, nggak tahu apa segala macam, nggak tahu si A ini dulunya siapa, si B ini dulunya siapa. Jelas banget dan itu cuman satu dari banyak banget yang lain. Saya melihat demografi yang A berantem sama demografi yang B di sosial media gara-gara yang A merasa yang B itu nggak tahu sesuatu yang sudah pernah kejadian di era dia dulu pas mereka masih seumur yang B ini. Dan itu tiap hari sekarang di (sosial media). Itu menguras tenaga banget untuk buka sosial media dan melihat orang-orang bertengkar tentang segala hal sekarang. Saya itu sudah nggak baca berita selama 9 tahun. - 9 tahun? - Saya nggak baca koran, saya nggak nonton berita di TV. Saya kalau mau dapat info kebanyakan dari primer, pelaku. Apakah itu ekonomi olahraga ataupun politik atau kebijakan. Jarang, saya paling ambil dari Twitter saja mengenai peristiwa terkini. Jadi waktu itu kebanyakan saya gunakan untuk baca, baca buku baca jurnal. Dan saya melihat fenomena bahwasanya orang itu… Ini sudah kayak berbusa (ngomongnya), fenomena orang itu melihat HP selama 10 jam sehari. Kebanyakan hanya melihat TikTok, Instagram, Facebook. Itu kanker. Dan itu banyak konten yang bagus tapi konten yang sampah itu jauh lebih banyak. Dan itu saya berani berspekulasi bahkan berhipotesa itu berkorelasi dengan kesehatan mental. Pastinya. Sudah ada studi nya, pak. Ngaruh banget. Saya lupa matriksnya apa, satuannya apa, tapi satu bulan nggak buka… bahkan cuman Twitter saja, itu turunnya jauh banget kemungkinan berapa persen kena depresi klinis. Saya yakin itu berpengaruh. Karena saya rasa generasi saya termasuk saya sendiri, kami sepenuhnya online sekarang. Dan itu banyak buruknya. Saya oke, sepenuhnya online itu oke selama pemilik teknologinya dan kreator kontennya itu bertanggung jawab. Karena secara eksplisit ataupun implisit, mereka punya kontrak moral, kontrak sosial, kontrak finansial, dan segalanya. Tapi saya nggak melihat adanya kerangka regulasi yang menata agar kontrak-kontrak tersebut itu memanifestasikan hal-hal yang menyehatkan kita. Nah jadi ujung-ujungnya ini, regulasinya ke depan itu harus ditata ulang. Kalau kita lihat media konvensional sekarang, itu kental sekali dengan apa yang sering kali saya sebut sensasionalisasi dan festivalisasi. Apalagi media digital yang jauh lebih kental dengan hal seperti itu tanpa adanya kepekaan dan penyikapan untuk ini ditata ulang agar anak-anak kita dan masa depan kita ini lebih sehat. Yang penting joget dan jualan shampo. Saya juga nggak tahu apakah adil untuk menyalahkan penonton, maksudnya anak-anak ini semua. Mungkin itu pelarian buat mereka sekarang. Kalau mau adil, kita harus menyalahkan semuanya; pengguna dan pemberi. Tapi ini harus ada kesadaran untuk kita menyajikan penangkal. Jadinya mudah-mudahan saja kanal ini bisa menjadi salah satu penangkal untuk bisa mendetoksifikasi apapun toksifikasi yang sudah terjadi. Tapi nggak gampang karena arusnya ini bukan hanya deras saja, tapi kuat secara keuangan, secara finansial, dan secara teknologi. Tapi saya percaya kalau orang-orang seperti Anda terus-menerus menarasikan narasi-narasi yang indah seperti ini, (akan) ada harapan dan syukur-syukur percakapan di rumah itu bisa berubah, terus percakapan di sekolah, terus RT, RW, kabupaten, kota, kantor. Tapi yang lucu kalau kita lihat orang-orang yang berpendidikan. Tadi saya ngobrol dengan teman Anda. Orang-orang yang berpendidikan saja, punya S2 sama S3, itu menderita dari amnesia historis, menderita dari berkurangnya imunitas kognitif, nggak bisa memilah antara fakta dari fiksi. Begitu gampangnya terjebak dengan hoax, begitu gampangnya dia meneruskan (hoax). - Sekarang sudah pasca kebenaran, pak. - Betul. - Bingung. - Betul. Pasca kebenaran ini sudah nyata bukan hanya di level non-elit, tapi di level elit. Tadinya saya pikir di non-elit saja karena mereka mungkin nggak berpendidikan atau nggak seberpendidikan seperti yang elit. Tapi yang elit saja sudah rentan dengan hal-hal seperti ini. Jadi ini yang membuktikan bahwasanya kanker ini sangat ganas. Dan kalau kita nggak ada menunjukkan kesadaran bahwasanya kanker ini ganas, wallahualam. Kenapa bisa gitu, pak? Apakah karena media literasi kita rendah apa gimana? Maksudnya kayak kalau bapak bilang tadi yang elit saja sampai kena. - Saya mendefinisikan literasi itu nggak semata hanya membaca saja. Literasi itu kalau mau lebih komprehensif itu harus bisa diukur bagaimana orang itu bisa membaca, memahami, dan memitigasi risiko. Itu literasi seutuhnya atau semestinya. Tapi kalau kita mendefinisikan literasi hanya sebatas dia bisa baca, dia bisa dengar, tapi dia nggak bisa menafsir dan dia nggak bisa memitigasi atau mengelola risiko, itu bukan literasi. Jadi kita salah parkir seringkali dengan definisi dan jargon. Tapi yang idealnya media literasi harusnya seperti itu definisinya. Maksudnya untuk tahu ini sumbernya dari mana, apakah itu kredibel atau tidak. Tapi satu, pemilik teknologi (atau) pemilik konten itu kalau menurut saya apapun harus dilakukan supaya mereka bisa jualan, apapun harus dilakukan supaya sensasionalisasi. Kata-kata Anda seperti tontonan, popularisasi, sensasionalisasi. Tapi keinginan untuk mereka meningkatkan proses intelektualisasi itu kurang sekali. Ini nyambung ke beberapa ranah atau banyak sekali ranah. Bukan ranah budaya saja, tapi ranah sosial, ranah ekonomi, ranah teknologi, ranah politik, ranah kebijakan, ranah spiritual, ranah apapun. Dan apalagi kita sudah menyaksikan bagaimana internet itu tidak mengekualisasi masyarakat luas, justru mengelitisasi. Jadinya yang 0,1% itu secara tidak proporsional menguasai jauh lebih besar persentase dari kue ekonomi daripada masyarakat luas yang 99%. Akhir-akhir ini kita dijejelin dengan kata-kata kecerdasan artifisial. Itu saja debatnya di beberapa bidang nggak selesai-selesai sekarang. Saya rasa, ini pandangan pribadi saya, barusan hal-hal yang kita obrolin masih belum banyak mitigasinya yang baik, gimana caranya bisa menciptakan lingkungan atau iklim internet atau media sosial yang lebih sehat, memperkenalkan kecerdasan artifisial ini sekarang ke publik itu sudah terlalu cepat buat saya. Dan itu jadi masalahnya banyak banget. Komunitas visual misalnya, lagi ribut-ributnya sekarang. Salah satu studio gede kemarin ngeluarin episode pertama salah satu seri mereka yang ditunggu-tunggu untuk bulan ini. Tadinya itu responnya bagus banget. Tiba-tiba di”cancel” habis-habisan gara-gara pembukaannya pakai AI. Cuman buat saya pribadi itu sebenarnya kontekstual dengan premis dari cerita yang mau diomongin. Tapi argumennya di internet dan echo chamber banget kan internet itu, seniman-seniman di luar sana yang bahkan bisa dianggap pemimpin saja sudah sampai bilang, “Gue nggak peduli argumen lo apa, Anda menggunakan teknologi ini dan itu salah.” Karena ide platform ini, alat ini dilatih untuk “mengambil" barang-barang yang tidak dia miliki seharusnya. Tapi siapa yang tahu? Orang nggak pernah diungkapkan ini mesinnya apa. Memang lu tahu dia melakukan stable diffusion ini sumbernya dari pencipta siapa segala macam, itu kita nggak pernah tahu. Cuman sekarang menurut saya kadang-kadang melihat pembicaraan di internet itu sudah biner saja, satu sama nol, nggak ada tengah-tengahnya. Jadi capek banget. Saya masih agak distopian mengenai kecerdasan artifisial. Saya melihat mungkin manfaatnya banyak. Tapi ini sangat menggeser, bukan hanya mengganggu. Dan menggeser terhadap banyak hal, bukan hanya banyak orang. Yang saya lihat ini sebagai masalah yang sangat struktural adalah kepentingan pemilik teknologi yang begitu gegabahnya sehingga mereka itu tidak mengmultidisiplinerkan diskusi dan diskursus ini karena mereka merasa yang paling pintar. Memang mereka pintar banget. Mereka cuek banget sama ahli budaya, ahli sosial, ahli lingkungan, ahli ekonomi, ahli spiritual, ahli filsafat. Dan kita sudah melihat bahwa AI ini proses halusinasi yang sangat tergantung dengan hipnosis yang harus diberikan oleh pengguna. Tapi kalau penggunanya ini, mohon maaf, agak-agak unik moralitasnya, agak-agak unik hatinya, agak-agak unik apapun, hipnosisnya ini salah parkir sehingga halusinasi berikutnya akan salah parkir. Ini bisa ganas penyakit ini. Yang pasti bahaya karena yang memberikan hipnosis ini unik. Kalau yang memberikan hipnosis ini bijaksana karena dia sudah mengmultidisiplinerkan, ada harapan untuk ini menuju utopia. Bahaya loh. Dan tadi saya sudah bilang internet sudah mengelitisasi. AI ini akan lebih memperkeruh elitisasi yang sudah kita lihat selama 30 tahun terakhir. Ini empiris kalau kita lihat rasio koefisien gini, kesenjangan ekonomi di negara maju, berkembang, dan miskin sudah mencuat ke atas, nggak ada keterkecualian yang mana itu stabil di bawah kesenjangannya. Jadinya balik lagi, gimana supaya anak-anak muda dengerin lagu Anda, mereka beraksi dan ujung-ujungnya kalau bisa setelah mereka dengerin lagu Anda mereka mengambil sikap untuk sambil ngopi, ngobrol, terus ber diskursus. Habis ber diskursus tanpa adanya pengambilan kepemilikan politik itu susah, karena nanti yang mengambil sikap kebijakan dan politik itu adalah orang-orang yang nggak memahami isu-isu yang relevan untuk masa depan jangka panjang. Susah juga karena banyak orang-orang seumuran saya dan sedikit ke atas atau banyak ke bawah itu sudah merasa kayak kita hidup di dalam kapal yang sedang tenggelam saat ini. Kami merasa tidak berdaya banget melihat keadaan politik sekarang, keadaan iklim sekarang. Melihat tiba-tiba mau beli barang sesuatu, ini kejadian sehari-hari banget, “Lho kok sekarang jadinya begini ya? Tadinya biasanya 50 dolar nggak segini jadi rupiah. Sekarang jadi segini. Gue harus ngeluarin pakai CC gue.” Kami merasa tidak berdaya banget, hampir di semua bidang. Melihat berita politik, melihat berita iklim, melihat inflasi, melihat orang-orang yang tergantikan gara-gara AI, kami merasa sangat tidak berdaya dengan hal itu. Idealnya memang kayak setelah “baranya” kebakar karena kesenian, dia jadi nggak cuma dipikirin. Ada yang kayak, “Oke, apa yang bisa kita lakukan tentang ini?” "Apa yang ingin kita bicarakan lebih panjang lagi?" Terus gimana caranya ngumpulin orang-orang yang berpikiran sama. Cuman kadang-kadang itu sudah berhenti sampai di situ saja yang kayak “Iya benar nih apa yang gue lihat di film ini, apa yang gue baca di buku ini, apa yang gue dengar di lagu ini, benar gue sangat berpikir dan sangat merasa seperti itu.” Begitulah. Karena sekarang kayak ujung pantainya sudah nggak kelihatan, ujung pesisirnya sudah nggak kelihatan, kapalnya sudah nggak begini, kapalnya begini sekarang rasanya. Jadi, saya rasa hal ini sangat bisa dimengerti oleh saya pribadi melihat orang-orang ini sekarang, melihat generasi saya secara umum depresif banget. Maksudnya pandangannya ya. Anda nggak melihat 2045 itu penuh dengan sinar dan cahaya? Nggak. Nggak banget. Maksudnya sesekali masih diingatkan “Jakarta masih menjadi kota yang paling cepat tenggelam di dunia.” Kita sudah lupa, 6 bulan kemudian keluar lagi artikel kayak gitu lagi dari media gede lagi, terus kayak dua bulan kemudian kita melihat apa gitu di berita politik, 3 bulan kemudian lihat apa. Sangat sulit untuk bisa yang kayak, “Oke nih kayaknya bisa ada perubahan.” Seenggaknya zaman dulu pikiran naifnya yang kayak, “Oh mungkin di saat orang-orang seumuran gue sudah sampai di level bisa menjadi pemangku kebijakan, kita bisa melakukan sesuatu tentang itu.” Cuman ternyata orang-orang seumuran saya yang sudah mulai masuk ke sistemnya, jadi orang yang mereka benci dulu juga kadang-kadang kami melihatnya. Melihat ketua BEM yang dulu dielu-elukan di kampus tiba-tiba ngomong apa di internet dan tiba-tiba jadi kayak gimana sekarang. Nggak heran nggak ada yang masih punya pandangan positif terhadap semuanya. Indonesia secara umum. Tema yang Anda sering angkat itu keadilan sosial. Elaborasi deh. Awalnya dulu begitu. Maksudnya masih ada semangat naifnya yang kayak kita bisa melakukan sesuatu tentang hal ini. Setidaknya jika kita tidak dapat melakukan sesuatu untuk mengatasi hal ini, kita dapat memberitahukan kepada lebih banyak orang bahwa masalah ini masih ada. Saya sering melakukan itu di lagu-lagu saya terutama di Feast, di band saya. Cuman lama-lama capek juga. Ada satu momen di mana kami waktu itu masih berlima, ngumpul di rumah saya malam-malam, sambil minum-minum tengah malam, keluar saja kalimatnya “Capek. Capek banget.” Terus ya sudah semuanya ngeluh saja di situ. Nggak berapa lama kemudian ngumpul lagi tanpa ada agenda yang sangat spesifik juga, keluar kalimat kedua yang kayak “Gue sudah nggak mau ngomongin ini lagi. Gue sudah capek.” Itu tidak mengubah apa pun, tidak akan pernah mengubah apa pun. Semoga kami salah. Cuman levelnya itu sudah di titik itu rasanya sekarang; capek saja tidak ada yang berubah. Bangsa dan negara itu bisa maju kalau keseimbangan antara negara dengan masyarakat itu terjadi. Yang saya dengar dari Anda ini kayaknya nggak terlalu seimbang. - Oh sangat tidak seimbang untuk saya sekarang. Dan salah satu hal yang bisa menyeimbangkan atau meningkatkan keseimbangan itu adalah penegakan hukum. Saya sangat percaya bahwa semakin hukum itu tegak semakin kita bisa berdemokrasi. - Karena yakin kayak sejauh apa gue bisa ngomong, sedikit apa gue masih bisa apalah segala macam. Sejauh ini kami nggak tahu pak yang kayak “Ini ngomong ini salah apa nggak?” Karena pernah ada yang ngomong kayak gitu dan nggak apa-apa. Tapi ada juga yang pernah ngomong hal yang sama, tapi kenapa-napa. Jadi maksudnya itu satu dari banyak bidang yang lain. Kalau misalnya kita ngomongin kayak pidato di depan umum, kalau kita ngomongin kayak opini di publik, belum lagi di contoh-contoh lain di bidang-bidang lain. Saya sangat merasa hidup di sini sekarang semuanya terus ditebak, garisnya itu di mana. Nggak jelas, kabur, ada kabutnya. Jadi benar kata Pak Gita tadi, karena kami nggak tahu sampai batas apa sejauh apa penegakan hukumnya jadi mau gerak juga bingung. Ibaratnya pelari terus dia nggak tahu treknya itu di mana, “Ini gue belok apa nggak sih?” “Ini boleh di atas 80 nggak ngebutnya?” Kita nggak pernah tahu. Jadi kekhawatiran mengenai apakah hukum ini tegak atau tidak, itu yang menyebabkan keolengan atau ketidakseimbangan antara negara dengan masyarakat, dan ini termanifestasi dalam mungkin tidak adanya keadilan untuk kepentingan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, teknologi, dan lain-lain. Yang pasti ekonomi. Ekonomi ini bisa diukur dari penanaman modal. Modal yang masuk ke sini kalah jauh dengan modal yang masuk ke Singapura per orang nya dan secara total. Modal masuk ke Singapura jauh lebih banyak per orang dan secara total karena orang itu tahu Singapura itu lebih bisa dipercaya daripada Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, Indonesia, dan lain-lain. Jelas karena penegakan hukumnya jelas. Nah kalau nggak ada kepastian mengenai ekonomi ke depan, lebih sulit untuk mencari kepastian terkait dengan budaya, sosial, lingkungan, teknologi, dan lain-lain. Nah, saya mau tanya nih, apa menurut Anda yang bisa dilakukan untuk mengobati kejenuhan Anda? Kelelahan yang dirasakan oleh anak-anak muda? Karena gini, kalau Anda mengangkat isu-isu dalam lagu, tapi lagi ngobrol sambil ngopi saja sudah capek, gimana kita bisa berharap bahwa itu akan disikapi secara regulasi, secara politik, secara apapun. Entah gimana caranya kebijakan perlu diubah. Maksudnya banyak yang harus berubah yang menurut saya yang levelnya itu sudah struktural, yang kekuasaannya sudah jauh di atas orang biasa seperti saya. Dan kami merasa tidak pernah melihat perubahan seperti itu (dalam) berapa tahun ke belakang. Setidaknya tidak ada yang substansial. Tapi yang pasti harus ada sesuatu yang berubah secara struktural dan kami merasakan itu secara substansial untuk setidaknya kayak mulai pelan-pelan kabutnya hilang, mulai kelihatan lagi ujungnya. Karena sekarang begitu pak, rasanya kayak nggak pernah ada yang berubah menjadi lebih baik. Atau mungkin ada cuman tidak dilaksanakan dengan baik. Mungkin harapannya adalah gimana kita itu nggak terlalu gampang berfiksi. Kita lebih menggunakan fakta daripada fiksi. Gimana kita itu lebih tidak amnesia terhadap sejarah. Gimana kita itu lebih secara kognitif itu imun terhadap fiksi supaya nanti waktu kita milih, itu yang dipilih benar-benar orang yang bisa menggunakan fakta daripada fiksi. Gimana orang itu bisa lebih menggunakan intelektualisasi daripada sensationalisasi ataupun festivalisasi. Banyak banget sebenarnya gagasan yang bagus dan kayak tadi Pak Gita bilang juga ada sebenarnya berkeliaran di dunia maya. Cuman sekarang berantakan. Maksudnya lebih banyak sampah dibandingkan yang ada faedahnya untuk penonton, untuk siapapun yang mengkonsumsi itu. Cuman mediumnya itu kalah. Saya selalu merasa kayak gagasan yang bagus dari orang yang pintar, dari orang yang memang benar-benar kredibel untuk membicarakan sesuatu, pemasangannya jelek. Satu hal yang harus kita akui kalau tiap kali kita ngomongin kayak kekacauan di media sosial, ngomongin yang kayak isinya orang jualan sensasi dan orang jualan fiksi di era pasca kebenaran ini, mereka itu jualannya jago, kinerjanya bagus. Saya tidak berpikir ngebikin sesuatu jadi meriah, kesannya jadi mencolok itu juga serta merta hal yang buruk. Itu juga cuman alat saja, sama seperti bagaimana kita berbicara tentang AI. Pada akhirnya pistol bukanlah pembunuhnya, dia cuman alat doang. Jadi sebenarnya gimana caranya menciptakan kemasan yang baik untuk gagasan-gagasan yang bagus dan topik yang memang sebenarnya harus dilempar ke orang. Tapi lagi-lagi itu masalah yang dari dulu saya melihat dan jarang banget ada yang bisa mengobati itu dengan baik. Saya beberapa kali melihat dari media luar, yang muatannya materinya bagus banget. Sebenarnya kayak nonton video esai yang beneran kayak data itu dari jurnal segala macam, jelas semuanya, rujukannya jelas, rapi. 12 menit nggak kerasa. Kayak nonton acara di salah satu OTT saja, yang kayak sudah kelar 12 menit. Visualnya sangat bagus, skor nya sangat bagus, tapi sebenarnya ternyata dia ngomongin asal muasal konflik Ukraina-Rusia tapi bisa dikemas sedemikian rupa (sehingga) anak SMP bisa nonton. Kita jarang banget lihat itu di sini, menurut saya. Semuanya dibikin lagi yang laku lagi, semuanya dibikin lagi yang sudah pasti dimakan sama orangnya cepat. Dan tiap kali mungkin ada sesuatu yang kesannya berat itu isinya fiksi, seperti yang Pak Gita bilang. Dan susah banget mungkin untuk kebanyakan orang bisa membedakan fakta dengan fiksi dikarenakan echo chamber. Saya pernah melihat waktu itu datanya, ternyata di Twitter orang-orang Demokrat sama orang-orang Republik nggak pernah saling bersinggungan di timeline. Jadi mereka kira mereka memenangkan perlombaan karena tiap hari di timeline yang dilihat itu terus, Trump terus. Ternyata nggak. Di sisi yang sebelah sana juga yang mereka lihat Biden terus segala macam. Jadi yang kayak nggak… Ya echo chamber. Kalau di negara-negara maju itu jelas percakapannya atau perdebatan itu seringkali mengenai ideologi. Dan ideologi itu dituangkan dalam postur kebijakan, apakah itu moneter, fiskal, luar negeri, dan lain-lain. Di sini kekhawatiran saya itu diskusi ideologi saja nggak pernah kejadian. Mereka sendiri nggak tahu ideologi mereka apa. Dan kalau terjadi koalisi itu persekutuannya bukan ideologi, (tapi) pembagian kekuasaan. Jadi kalau persekutuannya itu pembagian kekuasaan atau kekuasaan bukan ideologi, makin sulit untuk kita menyeleksi talenta berdasarkan meritokrasi. Lebih berdasarkan patronase dan loyalitas. Melihat pelaksanaan koalisi dan aliansi beberapa tahun ke belakang, pasti kita masih ingat dulu siapa main sama siapa sekarang tiba-tiba gimana, terkadang sangat sulit bagi saya untuk tidak merasa bahwa negara ini adalah sebuah penipuan. - Buat saya sebagai warga negara. - Saya ingin Anda merasa optimis. Gimana nih? Apa yang kita bisa lakukan supaya Anda lebih optimis? Karena Anda itu jauh lebih muda daripada saya. Masih usia 29 tahun, 2045 itu kita mestinya sudah keren banget kalau jumlah produk pendidikannya jauh lebih banyak daripada sekarang, kalau kapasitas kita untuk menginternasionalisasikan diri itu lebih bagus, kalau kita bisa melakukan apapun untuk kita bisa merangkak di rantai nilai. Saya merasa beberapa tahun ke belakang, lagi-lagi sebagai orang awam/pelaku industri musik, optimisme saya di beberapa bidang terutama di bidang kesenian masih ada banget. Melihat perfilman sepesat apa berkembangnya berapa tahun terakhir, melihat musik juga sepesat apa perkembangannya berapa tahun terakhir. Sampai batas tertentu walaupun saya juga bukan pelaku, cuman banyak kerabat saya dan orang-orang terdekat saya itu pelaku di teks. Saya bisa merasa sedikit optimis tentang hal itu. Tapi saya rasa, kalau misalnya pertanyaan tadi yang kayak gimana cara buat saya merasa pandangannya jadi lebih positif secara umum. Satu dua hal yang bikin saya kayak melihat “Oh ini bisa nih bisa berubah jadi lebih baik.” Dan itu kejadiannya di musik, di film, di teks segala macam, ini harus kejadian dan harus ada yang kayak mungkin muatan dampaknya itu sama tapi di level yang memang kebijakan, maksudnya memang di atas yang sudah kebijakan dan sudah diterapkan. Bukan yang kayak di industri yang bener-bener kayak… Kadang-kadang saya bahkan nggak merasa kayak negara hadir untuk membina kesenian dengan baik beberapa tahun terakhir. Musisi zaman sekarang, sudah bertahun-tahun berkarya, masih bisa buta sama royalti penerbitan atau royalti penulis yang diatur ada undang-undangnya dari negara. Buat saya itu agak gila. Tapi nggak pernah ada apapun cara untuk bisa memfasilitasi itu. Jadi agak susah juga kayak merasa “Oh kalau misalnya orang-orang di musik bisa ngelakuin ini bakal berkembang, harusnya di bidang-bidang lain, tempat-tempat yang lebih atas terutama, bisa berubah juga karena ini bisa kejadian, lagi-lagi kami tidak melihat ada peran negara di situ yang substansial.” Jadi susah juga untuk merasa kayak “Oh nggak, kita diperhatiin kok. Semuanya akan berubah.” Saya hanya minta mungkin Anda lebih bisa berpikir jangka panjang saja. Seringkali episodik stres ini kita alami dan kita menginginkan solusi yang instan. Nggak gampang memang. Dalam hidup itu nggak begitu. Tapi saya tetap berkeyakinan yang penting itu isu-isunya itu terus didorong. Terus yang kedua, isu-isu itu didiskursuskan, jangan hanya diobrolin saja. Tapi kalau itu terdiskursuskan, itu saya percaya niscaya itu akan tertangkap dalam diskusi kebijakan dan syukur-syukur diskusi politik. Dan yang mana itu kalau kejadian dengan baik, terjadi dengan baik, itu akan bantu kita ke depan. Apakah itu 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun, dan Anda masih muda. Dan saya melihat sudah ada kok contoh-contoh baik di negara tetangga kita namanya Singapura. Gimana mereka itu sukses banget mencari interseksi antara talenta dan kekuasaan. Kalau menurut saya kita kurang menemukan interseksi antara talenta dan kekuasaan, bukan hanya untuk kepentingan pemerintahan tapi juga kepemimpinan, untuk kepentingan beberapa vertikal; apakah itu kewirausahaan, budaya, kebijakan, politik, apapun. Nah kalau kita fokus ke situ untuk gimana supaya interseksi antara talenta dan kekuasaan ini lebih banyak kejadian, jadi itu barang. Apa lagi pesan-pesan akhir sebagai budayawan? Saya cuma merasa itu aja sih, pak. Kadang-kadang kayak… Bahkan mungkin sepanjang percakapan, saya nggak tahu mungkin bahkan ada secerah frustrasi dari Pak Gita yang kayak, “Ini anak pandangannya jelek banget.” Nggak juga. Saya optimis melihat Anda karena Anda adalah pencerita yang hebat. Kita itu kurang pencerita. Dan tanpa pencerita, negara ini nggak akan bisa terbang. Kita itu kurang bisa bercerita, berdongeng. India itu jago berdongeng, Singapura itu jago berdongeng, Amerika jago berdongeng. Dan kalau di Asia itu yang jago dongeng itu India, kalau menurut saya nomor 2 itu Singapura bukan Korea, bukan Jepang, bukan Tiongkok. Secara relatif dengan skala kecil 5,5 juta, orang Singapura itu didengerin di seluruh dunia karena orang itu beranggapan orang Singapura itu cerdas dan orang Singapura itu bisa mengartikulasikan kecerdasannya. Tinggal Anda bercerita saja supaya orang itu kena emosinya dan kognisinya, dan apa yang Anda narasikan itu kena dengan hati dan kognisi. Dan saya percaya kemajuan manusia itu hanya bisa kejadian kalau IQ dan EQ nya digosok. Itu mungkin hal pertama yang ada di benak saya juga pas pertama kali pindah masuk musik. Pernah ditanya sama keluarga saya, “Kenapa musik?” Saya bilang “Karena saya suka cerita.” Di musik saya punya waktu 3 menit bisa cerita 10 tahun. Itu tidak akan terjadi dalam film, itu tidak akan terjadi dalam buku, tapi cuman musik doang bisa punya waktu 5 menit, lu bisa tahu cerita orang dari masih kecil sampai meninggal dan nggak kepotong ceritanya. Maksudnya ceritanya lengkap. Ada manfaatnya menurut saya, format atau narasi penceritaan dalam musik, dan saya nggak tahu gimana, cuman saya ngerasa sebenarnya kayak banyak ilmu yang saya pelajari dan dipakai dalam menjalankan musik dan mungkin promosi musiknya itu sebenarnya bisa banyak dicontoh sama muatan cerita lain untuk bisa bercerita dengan lebih efektif. Nggak harus bentuknya musik. Cuman buat saya, logika-logika yang dipakai oleh artis-artis besar zaman sekarang, global maupun nasional, itu bagus banget dan harusnya dicontoh. Maksudnya kayak lu mau ngomong efektif itu begini, harusnya caranya begini. Orang susah banget ingat politikus dari negara A atau negara B, cuman dia selalu ingat atlet NBA, dia selalu ingat musisi Korea segala macam. Saya rasa diplomat terbaik dari sebuah negara adalah atlet dan seniman, selalu begitu, karena bentuk hiburan saja kadang-kadang. Maksudnya jauh lebih bisa berbicara dengan bahasa yang lebih universal ke semua orang. Tapi budaya dan keatletisan itu tidak akan bisa tereksternalisasi tanpa kekuatan ekonomi. Tentu saja. Itu dia. Jadinya fokus ke fulus. Jadi cerita Anda ke depan mengenai isu apapun itu gimana supaya isu-isu yang diangkat itu berkorelasi dengan peningkatan kapasitas orang untuk nyari fulus. Dan nyari fulus, seperti tadi yang kita bahas, itu akan lebih gampang kalau penegakan hukum itu lebih jelas. Keadilan sosial itu akan lebih terjadi kalau ada penegakan hukum, demokrasi itu akan lebih jelas kalau ada penegakan hukum. - Sepakat? - Sepakat. Sangat sepakat. - Anda harus optimis. Semoga saja. Saya optimis tergantung hari apa. Hari ini optimistik, mungkin besok nggak, lusa iya lagi. Menurut saya jadi warga negara sehari-hari, grafiknya nggak harus selalu yang kayak “Gue cinta Indonesia” tiap hari. Itu cinta buta. Itu juga salah buat saya. Anda harus bersikap kritis. Anda harus memikirkan ini: Anda harus patriotik, tapi patriotisme itu hanya bisa termanifestasi dalam berpikir kritis. Jadinya semakin orang itu kritis, itu sebetulnya manifestasi dari patriotismenya dia. Kalau orang itu menyebut dirinya patriot, dia hanya memuji-muji saja tanpa kapasitas untuk berkritik, itu patriotisme yang salah parkir. Jadi, Anda terdengar kritis tetapi sebenarnya Anda bersikap patriotik. Siapa yang nggak mau melihat… Nggak cuman di musik bisa maju banget dan kayak benar-benar bersaing dengan industri lainnya sama [inaudible] kita. Di bangsa ini secara umum, siapa yang nggak mau? Cuman saya rasa kita sudah nggak bisa berekspektasi lagi yang muda-muda sekarang untuk tidak bersikap kritis karena sudah ada yang kena sekarang, “Kayaknya nggak gitu deh. Gue melihat negara sudah nggak kayak gitu.” Tapi dalam jangka panjang, saya juga pengennya melihat semuanya maju. Maksudnya di musik juga banyak yang harus masih dibenahi. Apapun nggak akan maju tanpa berpikir kritis. Itu saja pesan saya. Iya. Saya setuju. Terus berjuang. Jangan menyerah. Amin. - Ya? - Ya. Terima kasih, Bas. Terima kasih, pak. Ini sebuah kehormatan. Ini sangat menyenangkan. Teman-teman, itulah Baskara Putra, musisi keren dari Indonesia. Terima kasih.