Bayangkan sebuah dunia dimana kematian tidak lagi menjadi takdir yang tak terhindarkan. Dunia dimana manusia tidak lagi takut akan waktu, karena kita bisa hidup selamanya. Apakah ini hanya mimpi?
Atau sesuatu yang sedang kita ciptakan secara nyata? Jika kita berhasil hidup abadi, apakah kita benar-benar akan bahagia? Ataukah keabadian justru akan menjadi kematian?
Ketika kita berada di sebuah kota, kita akan menelusuri kisah para penguasa yang memorbankan segalanya untuk hidup lebih lama. Dan akhirnya, kita akan melihat bagaimana teknologi modern membawa kita semakin dekat dengan keabadian. Sejak manusia pertama kali bisa berpikir, Mereka sudah dihantui satu ketakutan besar, kematian. Dan dari sanalah lahir mitos, agama, dan kepercayaan tentang kehidupan setelah mati. Mereka percaya bahwa selama nama mereka terus diucapkan, mereka akan tetap hidup meskipun hanya dalam ingatan manusia.
Di Yunani kuno, para dewa hidup abadi, sementara manusia terjebak dalam lingkaran kehidupan dan kematian. Namun, ada satu legenda yang menarik. Legenda tentang Prometheus yang mencuri api dari para dewa dan memberikannya kepada manusia.
Tapi yang tak banyak diketahui, ada versi lain dari kisah ini. Bahwa Prometheus... juga ingin memberikan rahasia keabadian kepada manusia. Tapi Zeus menghukumnya sebelum itu terjadi.
Di belahan dunia lain, Kaisar Chin Tse-Huang, pemimpin pertama Tiongkok yang menyatukan seluruh negeri, menghabiskan hidupnya mencari ramuan keabadian. Dia mengirim ribuan orang untuk mencari air mancur keabadian. Namun yang dia temukan justru adalah kematiannya sendiri. Sungguh ironis bukan?
Pil yang seharusnya membuatnya abadi ternyata terbuat dari Merkurizat yang justru membunuhnya perlahan-lahan. Tapi manusia tidak hanya mencari keabadian dalam tubuh fisik. Dalam banyak agama, keabadian bukan berarti tubuh yang tidak pernah mati, melainkan jiwa yang hidup selamanya. Dalam agama Hindu dan Buddha, kehidupan adalah siklus tanpa akhir. Kematian hanya adalah siklus tanpa akhir.
hanyalah sebuah pintu menuju kehidupan berikutnya di dalam agama Kristen dan Islam. Konsep keabadian dikaitkan dengan surga dan neraka, tempat di mana jiwa akan hidup selamanya sesuai dengan perbuatan mereka di dunia. Jadi, sejak awal sejarah manusia, kita selalu percaya bahwa kehidupan tidak benar-benar berakhir, tapi apakah ini hanya mitos?
Ataukah ada cara untuk benar-benar menaklukkan kematian? Tapi mitos hanyalah awal dari perjalanan ini. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, manusia tidak lagi puas hanya dengan kepercayaan. Mereka mulai mencari cara nyata untuk mengalahkan kematian dengan sains.
Di bab berikutnya, kita akan melihat bagaimana para raja dan ilmuwan sepanjang sejarah mencoba menemukan kunci kehidupan abadi. Dari alkemis yang mencoba mengubah logam menjadi emas, hingga eksperimen gila yang mendekati fiksi ilmiah. Apakah mereka berhasil?
Atau apakah mereka justru menemukan sesuatu yang lebih gelap? Ketika mitos dan agama memberikan harapan tentang kehidupan setelah mati, para ilmuwan punya pendekatan berbeda. Mereka bertanya, apakah ada cara untuk benar-benar menaklukkan kematian?
Bukan dalam dunia roh, bukan dalam ingatan, tetapi dalam tubuh fisik yang nyata. Dari alkemis yang percaya bahwa emas adalah kunci keabadian, hingga dokter-dokter di abad ke-19 yang mulai mengotopsi tubuh manusia untuk mencari rahasia kehidupan. Sejarah kita dipenuhi oleh orang-orang yang tak pernah menyerah dalam pencarian ini.
Di abad ke-18, seorang ilmuwan bernama Luigi Galvani menemukan sesuatu yang mengejutkan. Dia menghubungkan listrik ke kaki katak yang sudah mati. Dan tiba-tiba, kaki itu bergerak lagi. Pada saat itu, temuan ini mengguncang dunia. Jika listrik bisa menghidupkan kembali jaringan mati, mungkinkah ini juga bisa menghidupkan manusia yang sudah meninggal?
Seiring berkembangnya sains, para ilmuwan mulai memahami tubuh manusia lebih dalam. Mereka menemukan bakteri, virus, dan cara kerja organ tubuh. Obat-obatan mulai diciptakan untuk memperpanjang hidup. Tapi masih ada satu hal yang belum bisa mereka atasi, yakni penuaan.
Beberapa ilmuwan percaya bahwa penuaan bukanlah sesuatu yang alami, melainkan penyakit yang bisa disembuhkan. Maka dimulailah perlombaan. untuk menemukan obat anti tua pertama di dunia. Tapi bagaimana jika kita belum bisa menemukan obat keabadian dan hanya perlu menunggu teknologi masa depan?
Disinilah lahirnya. Ide Cryonex, membekukan tubuh manusia dengan harapan bisa dihidupkan kembali suatu hari nanti. Konsepnya sederhana, saat seseorang meninggal, tubuhnya langsung dibekukan dalam nitrogen cair.
Suatu hari nanti, ketika teknologi telah maju, mereka bisa dihidupkan kembali. dengan tubuh yang sama atau mungkin dalam bentuk yang lebih baik. Hingga saat ini, sudah lebih dari 300 orang yang dibekukan dalam cryonik, termasuk beberapa miliarder dan ilmuwan ternama. Tapi, pertanyaannya adalah, apakah ini benar-benar bisa berhasil ataukah mereka hanya tidur dalam kematian tanpa harapan? Tapi, jika tubuh kita memang tak bisa bertahan selamanya, bagaimana jika kita tidak lagi membutuhkan tubuh?
Di bab berikutnya, kita akan masuk ke ranah yang lebih gila. Dari kecerdasan buatan, hingga upload kesadaran ke komputer, inilah era baru keabadian digital. Selama ribuan tahun, manusia selalu terjebak dalam batasan fisik.
Kita menua, kita lemah, kita mati. Tapi bagaimana jika keabadian bukan soal mempertahankan tubuh, melainkan soal mengunggah pikiran kita ke dunia digital. Disinilah muncul ide gila yang akan mengubah segalanya, mind uploading.
Bayangkan kesadaran kita bisa dipindahkan ke komputer, hidup selamanya tanpa tubuh yang fana. Kita menjadi data, kita menjadi abadi. Beberapa dekade terakhir para ilmuwan mulai bereksperimen dengan ide ini.
Mereka mengembangkan teknologi pemindaian otak yang bisa menangkap pola pikir manusia. Dari MRI berkecepatan tinggi. Hingga AI yang bisa meniru kesadaran manusia, eksperimen ini semakin nyata. Ini adalah langkah pertama menuju era baru.
Tapi, pertanyaannya, apakah mengunggah kesadaran benar-benar berarti kita bisa hidup selamanya? Atau hanya sekadar menciptakan salinan yang mirip dengan kita? Jika kesadaran bisa diunggah, maka langkah berikutnya adalah menciptakan dunia tempat kesadaran itu bisa hidup. Itulah konsep Metaverse on Steroids. Sebuah dunia digital yang lebih nyata daripada dunia fisik.
Disinilah dilema besar muncul. Jika kita bisa mengunggah kesadaran ke dunia digital, apakah kita masih bisa disebut manusia, atau kita hanya sekadar program yang berjalan di komputer aksasa? Banyak ilmuwan dan filsuf yang memperdebatkan ini.
Jika kesadaran kita bisa dikopi dan dipindahkan, maka siapa yang asli? Apakah kita yang hidup di dunia nyata? Teknologi terus berkembang. Mungkin dalam beberapa dekade ke depan, konsep ini akan menjadi kenyataan. Generasi kita mungkin adalah generasi terakhir yang harus menghadapi kematian.
Tapi pertanyaannya adalah, apakah kita sudah siap untuk itu? Bab berikutnya akan membawa kita ke tahap terakhir dari perjalanan ini ketika manusia bukan hanya hidup di dunia digital tapi juga mulai berevolusi menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar manusia. Inilah era post-humanism. Kita telah berbicara tentang kehidupan Hidupan digital yang abadi.
Dunia tanpa rasa sakit dan batasan fisik. Tapi, apakah hidup tanpa kematian benar-benar hidup? Apakah kita siap menghadapi masa depan di mana kematian bukan lagi bagian dari takdir manusia? Bayangkan. jika kita bisa hidup selamanya.
Kita tak perlu lagi mengkhawatirkan usia, tubuh yang renta, atau bahkan kerusakan fisik. Kita bisa berkeliling kemana saja, menjelajahi dunia tanpa batas, berinteraksi dengan siapa saja, bahkan menghadirkan kembali orang yang telah pergi dalam bentuk digital. Ini bukan lagi fiksi ilmiah. Ini adalah kemungkinan nyata di masa depan.
Terima kasih. Namun, ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar menghindari kematian. Jika kita berhasil mengunggah kesadaran, maka kita akan memasuki fase singularitas.
Masa ketika manusia dan mesin menjadi satu. Evolusi bukan lagi hanya tentang genetik, tapi tentang kecerdasan yang tak terbatas. Singularitas adalah titik di mana teknologi melampaui kapasitas manusia.
Dan saat itu tiba... kita mungkin akan melihat evolusi manusia yang tak bisa kita bayangkan. Manusia akan berkembang menjadi sesuatu yang jauh lebih canggih, lebih kuat, lebih tak terhingga. Bukan dalam tubuh, tapi dalam pikiran dan kecerdasan. Dengan potensi keabadian ini, muncul pula pertanyaan moral yang tak terhindarkan.
Apakah manusia berhak hidup selamanya? Jika kita melunggah kesadaran, apakah kita masih tetap manusia? Atau menjadi sesuatu yang lain? Selain itu, Siapa yang berhak mengakses dunia ini?
Apakah hanya orang-orang kaya yang bisa membeli keabadian mereka? Ataukah hanya orang-orang tertentu yang bisa mengakses kehidupan digital? Dunia ini bisa berbahaya seperti dunia nyata yang sudah penuh ketidaksetaraan.
Hanya kali ini kita tidak bisa lari dari pertanyaan etis yang lebih besar. Satu hal yang tak bisa kita abaikan adalah kenyataan bahwa hidup di dunia digital berarti meninggalkan dunianya. Tak ada lagi sentuhan fisik, tak ada lagi interaksi dunia nyata, tak ada lagi rasa sakit dan kebahagiaan yang datang dari pengalaman yang nyata. Jika manusia hidup selamanya di dunia digital, apakah kita masih bisa merasakan emosi yang sejati? Apakah kita akan kehilangan keindahan dari keterbatasan waktu?
Mungkin, dalam pencarian kita untuk menghindari kematian, kita malah kehilangan esensi dari hidup itu sendiri. Mungkin kita tidak tahu pasti apa yang akan terjadi di masa depan. Teknologi berkembang dengan cepat, dan kita mungkin akan menjadi bagian dari dunia yang tak terbayangkan oleh generasi sebelumnya. Kematian yang selama ini menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup kita, bisa saja menjadi hal yang tidak relevan di masa depan. Dalam pencarian kita untuk hidup selamanya, kita lupa bahwa yang membuat hidup ini berharga adalah keterbatasan.
Kematian mengajarkan kita untuk menghargai setiap momen, setiap hubungan, setiap detik yang kita miliki. Jika tidak ada lagi yang terbatas, apakah kita masih akan melihat keindahan dalam hidup? Kematian memberi kita kesempatan untuk memahami arti sejati dari hidup, bahwa tidak ada yang abadi. Dan itu yang menjadikan setiap pertemuan dan setiap perjalanan memiliki makna yang mendalam. Sekarang, di akhir perjalanan ini...
Kami ingin bertanya kepada Anda, pilihan apa yang akan Anda buat? Jika diberi kesempatan untuk hidup selamanya, apakah Anda akan mengambilnya? Atau akankah Anda memilih untuk hidup dengan keterbatasan, dengan segala suka duka yang mengiringinya?