Transcript for:
Pacaran Dalam Perspektif Islam

Assalamualaikum beres. Selamat datang kembali di Guru Gembul Channel. Di episode yang lampau sekali saya pernah jelaskan bahwa pacaran itu sebenarnya adalah tradisi Islam dan tradisi yang sangat islami, sangat dianjurkan bahkan mungkin juga sebenarnya diwajibkan. Tapi kalau misalnya kita melihat sekarang para ulama dari Sabang sampai Merauke pasti menyebut bahwa pacaran itu haram gitu kan. Nah, kenapa bisa seperti itu? Karena ternyata sudut pandang, paradigma, dan praktiknya serta situasi yang terjadi saat ini berbeda sama sekali dengan pacaran di era-era awal. Nah, bagaimana ceritanya kok bisa pacaran itu dianggap sebagai tradisi Islam yang wajib untuk dijalankan? Jadi ceritanya begini, Baray ya. Dalam Islam ketika ada laki-laki dan perempuan mau menikah dan kemudian misalkan si laki-laki dengan anggota keluarganya sudah melamar si perempuan itu, maka si perempuan itu tidak boleh didekati oleh laki-laki yang lain. Itu sudah menjadi etika universal sebenarnya. Kalau ada perempuan sudah sepakat dan dirinya dalam situasi dilamar, maka tidak boleh ada laki-laki yang mencoba mendekati apalagi melamarnya. Kan begitu. Nah, tetapi dalam tradisi atau etika ini ada masalah, yaitu para laki-laki yang lain tidak tahu persis perempuan mana yang sudah dilamar sehingga tidak boleh didekati dan mana yang belum dilamar sehingga bisa didekati. Begitu kan? Nah, maka di zaman dulu kemudian muncullah tradisi hena atau di Indonesia tradisi pacar gitu. Itu kan tanaman ya. Tanaman itu bisa dibuat untuk tato temporer. Di Timur Tengah perempuan-perempuan sudah membiasakan diri untuk mentato temporer tangannya begitu dengan menggunakan hena itu. Nah, ketika ada seorang perempuan yang dilamar oleh laki-laki dan dia setuju dan karena itu tidak boleh ada laki-laki lain yang akan mendekatinya maka dia akan menandai tangannya dengan hena itu. A dalam bahasa Indonesia pacar. Jadi ketika perempuan ada pacarnya, teman-temannya, sahabatnya cie udah pacaran. Maksudnya itu sudah dilamar dan dalam waktu 1 bulan itu akan dilangsungkan pernikahan. Begitu. Jadi pacaran yang dimaksud itu adalah tanda bahwa perempuan itu sudah dilamar dan akan melangsungkan pernikahan. Kenapa tidak langsung menikah saja? Ya, karena di masa lampau pernikahan itu bukan hanya antar dua individu, tetapi melibatkan anggota keluarga yang lebih besar bahkan klen dan kabilah. Nah, karena itu walaupun katakanlah si laki-laki dan perempuan itu sudah bersepakat bahwa mereka saling mencintai dan menikah, tetapi butuh waktu jeda agar keluarga besarnya mempersiapkan prosesi pernikahan yang lebih megah dan bisa dilihat banyak orang, bisa mengundang banyak orang. Begitu ceritanya. Nah, karena jeda antara lamaran dan kemudian pernikahan itu biasanya antara 1 bulan sampai 3 bulan, maka itu cocok dengan hena atau pacar yang juga akan bertahan di tangan perempuan itu umumnya 1 bulan sampai 2 bulan. Begitu ceritanya. Jadi, pacaran sebenarnya adalah penanda khitbah, penanda bahwa si perempuan itu sudah dilamar. Nah, baraya saya yakin tidak banyak mendengarkan cerita dari ustaz-ustaz semacam ini. Iya kan? Kenapa? Ya, karena banyak, saya mohon maaf ya, tidak semua tapi banyak sekali di Indonesia ustaz-ustaz itu tidak pernah memberi solusi, tidak pernah memberi gambaran, tidak pernah menyebabkan sebab akibat. Mereka biasanya mendoktrin. Jadi ketika ada pertanyaan, "Bolehkah pacaran sebelum nikah?" Haram. Titik. Nah, udah kayak gitu. Mendekati zina, titik gitu. Nah, sebagai pemilik kanal ini yang semua di antara baru sudah mengetahuinya, saya tidak akan pernah mendoktrin orang lain. Karena itu, kita akan melihat pacaran dalam perspektif yang lebih luas biar baraya bisa mengambil sendiri keputusan apakah pacaran itu masih relevan di zaman sekarang atau tidak. Simak videonya sampai tuntas. Yuk, kita bahas. Sudah sering sekali saya sampaikan di berbagai kesempatan dan video bahwa saya berpikir bahwa manusia sebagai pribadi itu hanya sekedar cangkang dari sebuah kesadaran yang jauh lebih luas. Manusia sebagai pribadi hanya sel dari manusia sebagai sebuah spesies. Dan karena itu maka manusia sebagai pribadi itu selalu didorong, ditekan sedemikian rupa sehingga dia bisa memenuhi kebutuhan manusia sebagai spesies dalam ruang lingkup kesadaran yang lebih besar. Salah satunya adalah manusia secara pribadi dibebani rasa dan dorongan untuk bereproduksi. Walaupun mereka sebenarnya kadang-kadang juga tidak mau dan tidak berkesesuaian dengan kepentingan mereka, tapi kadang-kadang dorongan untuk bereproduksi itu begitu kuatnya. Jadi kesadaran manusia sebagai spesies itu jauh lebih kuat daripada kesadaran manusia sebagai pribadi. Makanya misalkan ada bapak-bapak yang dia tahu kalau mencabuli anak gadis itu dia akan digebukin, akan dihukum, akan berisiko besar ee berikut-berikutnya. tetapi dia tetap aja melakukan pencabulan karena tidak tahan terhadap nafsu yang merupakan dorongan dari manusia sebagai spesies pada dirinya. Kan begitu ya. Nah, jadi dorongan yang sangat kuat di antaranya untuk apa? Untuk bereproduksi agar apa? Agar manusia sebagai spesies itu bisa bertahan selama mungkin walaupun manusia sebagai pribadi itu mati. Begitu kan? Nah, akhirnya apa? manusia itu didorong untuk bereproduksi. Tetapi ketika manusia bereproduksi, ada masalah berikutnya. Apa itu? Beban reproduksi hampir sepenuhnya dibebankan kepada si perempuan, bukan kepada laki-laki. Laki-laki hanya menyuntikkan ya itu ya benihnya kepada si perempuan. Sudah itu selesai. Dia mau pergi, dia mau bunuh diri, dia mau joget dangdut, dia mau cari perempuan yang lain. Itu benar-benar diberikan kekuasaan dan kewenangan untuk dirinya. Sedangkan si perempuan setelah dia dibuahi, maka dia akan menanggung resiko besar selama 9 bulan. Kemudian melahirkan dalam prosesi yang sangat menyakitkan. Kemudian 2 bulan berikutnya dia akan terikat secara biologis dengan anaknya. Dan setelah itu selama 7 tahun dia akan terikat secara emosional dengan anaknya. Dan setelah itu pokoknya mah panjang sekali. Nah, ada kesenjangan yang sangat besar di mana laki-laki hampir tidak memiliki tanggungan reproduksi sedangkan perempuan memiliki semuanya. Kalau memang ini dipertahankan dengan mekanisme yang sama seperti ini terus-terusan, maka manusia tidak akan lestari. Karena ketika perempuan mengandung dan kemudian melahirkan dan seterusnya, sedangkan si laki-lakinya hilang, laki-laki akan bertahan hidup sedangkan si perempuannya tidak. Kalau perempuannya tidak bertahan hidup, maka si anaknya juga tidak bertahan hidup. Kalau perempuan dan anaknya tidak akan bertahan hidup, maka manusia sebagai spesies juga akan terancam. Begitu kan? Nah, makanya alam semesta ini mendorong ada sebuah mekanisme tambahan di mana si laki-laki itu harus memiliki tanggungan yang sama. Dalam bahasa biologinya, dalam teori evolusi seksual, teori ini disebutkan sebagai eh investment parental di mana perempuan memiliki investasi yang besar dan karena itu laki-laki didorong untuk membayar kompensasi yaitu apa? melindungi si perempuan, menafkahi si perempuan, dan membuat si perempuan itu tetap nyaman di masa-masa paling kritis dalam hidupnya ketika reproduksi itu. Nah, bagaimana cara si laki-laki itu terikat kepada si perempuan di era masa paling krisis dalam hidupnya itu? Maka muncullah sebuah lembaga yang namanya pernikahan. Jadi, pernikahan pada dasarnya sebenarnya adalah ee janji setia dari kedua belah pihak untuk bisa bereproduksi secara sehat. Begitu kurang lebihnya. Nah, maka dari itu pernikahan itu adalah salah satu di antara sekian banyak tradisi atau budaya universal. Begitu. Makanya kalau baraya sekarang bertanya-tanya, kenapa sih perempuan itu sangat baper kalau menyangkut masalah hari jadi pernikahan mereka gitu. Laki-laki biasanya lupa kapan hari mereka menikah, tapi perempuan itu mengingat-ngingat dan bahkan berupaya untuk e menjadikan itu sebagai sesuatu yang sakral gitu kan ya. Karena pada waktu itulah titik di mana si perempuan itu akan mendapatkan jaminan dari laki-laki bahwa si laki-laki itu akan setia padanya di masa-masa yang paling kritis dalam kehidupannya. Begitu. Jadi kebaperan perempuan sampai zaman modern ini pun sebenarnya ada landasan evolusinya begitu. Nah, tapi ada masalah yang berikutnya lagi seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa pernikahan di zaman dulu itu bukan hanya hubungan dua pribadi, tetapi reproduksi. Reproduksi itu akan menentukan ada dan tidaknya, lestari dan tidaknya, kuat dan tidaknya sebuah kabilah, sebuah keluarga, bahkan sebuah bangsa. bangsa tidak bisa ada kalau tidak ada reproduksi. Begitu kan? Nah, karena itu maka masyarakat itu menciptakan pranata yang sangat luar biasa dan sangat ketat terkait dengan pernikahan dan reproduksi itu. Makanya ketika ada dua orang yang memutuskan untuk menikah sebenarnya bagian terbesar dari keputusan itu justru diambil oleh keluarganya. Nah, lalu kapan pernikahan itu dilaksanakan? pernikahan dilaksanakan itu karena tujuan tadi ya ingat tujuannya itu adalah reproduksi maka pernikahan dilangsungkan begitu si perempuan dan laki-laki dinyatakan bisa bereproduksi. Kapan itu? Perempuan begitu dia mengalami menstruasi, oke selesai. dia harus segera dinikahkan karena itu sudah menandakan dirinya siap untuk dibuahi. Begitupun si laki-laki. Ketika si laki-laki ini misalkan sudah menunjukkan karakteristik-karakteristik sekunder ee kematangan kelamin, maka dia akan segera dinikahkan. Maka pernikahan di zaman dulu itu mudah-mudah semua. Umur 10 tahun, 11 tahun, 12 tahun, 13 tahun itu adalah pernikahan yang lumrah. Karena apa? Karena sekali lagi tujuannya adalah reproduksi gitu kan. Nah, tepat di saat itulah orang-orang pada zaman dulu tidak membutuhkan pacaran. Iya kan? Karena ya untuk apa pacaran gitu? Karena hubungan pernikahan itu ditentukannya sama pihak lain, sama orang tua, sama tante dan sebagainya. Kadang-kadang juga untuk arasan politik. Kemudian ee pernikahan itu adalah tujuannya langsung reproduksi ya sudah selesai. Dan pada waktu itu tidak ada yang namanya sekolah yang membuat perempuan tidak boleh ee putus sekolah sebelum usia 12 tahun misalkan. Tidak ada aturan seperti itu. Jadi begitu menstruasi langsung dikawinkan langsung punya anak beranak dan anaknya banyak. Pada umumnya seperti itu. Nah, tetapi di zaman sekarang ada satu fenomena yang belum terjawab. Nah, pada bagian inilah Pak Ustaz, Pak Ustaz yang ada itu hanya memberikan doktrin tapi tidak memberikan solusi. Saya mohon maaf ya. Yaitu apa? Di zaman sekarang perempuan dan laki-laki dipaksa untuk menunda masa reproduksi mereka demi kesehatan, demi kemungkinan hidup yang lebih besar, dan demi pendidikan dan karir. Perempuan usia 12, 13, 14 tahun tidak boleh menikah karena harus berpendidikan dulu. Begituun laki-laki bukan hanya harus berpendidikan dulu, tetapi juga harus menitik karir. Makanya di dunia modern batas minimal pernikahan antara laki-laki dan perempuan biasanya lebih atas laki-laki. Laki-laki misalkan baru boleh menikah di atas 21 tahun, perempuan di atas 19 tahun. Gitu. Kenapa? Karena dalam sistem yang berlaku dalam masyarakat kita khususnya masih dipengaruhi oleh nilai-nilai tradisi, perempuan berpendidikan dululah tapi karir mereka sunah. Sedangkan laki-laki silakan berpendidikan dan kemudian berkarirlah. Maka mereka harus punya waktu yang lebih lama untuk persiapan menikah. Begitu kan? Nah, di satu sisi ketika orang-orang zaman sekarang itu diwajibkan untuk menunda pernikahan, di sisi lain justru mereka itu memiliki libido seksual yang lagi tinggi-tingginya. Kan usia remaja usia 12 tahun, usia ya sampai 18 19 tahun itu kan lagi tinggi-tingginya libidoseksual. dulu itu langsung dikawin sekarang tidak boleh kawin karena harus mengejar karir, mengejar pendidikan dan sebagainya. Nah, jedanya menjadi semakin panjang. Tetapi dari jeda itu justru ada situasi di mana libido seksual menjadi semakin tinggi. Sok akhirnya apa? Akhirnya orang-orang mencari pelampiasan, bikin aturan baru, bikin tradisi baru, bikin budaya baru, yaitu apa? Pacaran. Hubungan antara laki-laki dan perempuan. sebelum menikah dan diproyeksikan akan menikah, makanya mereka akan melakukan persiapan-persiapan dan adaptasi terhadap orang yang sebelumnya asing buat mereka gitu kan. Iya. Walaupun idenya begitu, pada praktiknya sebenarnya ini adalah dorongan biologis seperti yang tadi saya jelaskan di mana hasrat seksual sangat tinggi tetapi mereka belum boleh menikah. Maka pacaran pada akhirnya sekarang digunakan alat pelampiasan tapi bocor-bocor ringan saja gitu. Gitu kan. Jadi kalau misalkan baraya sekarang nyari perempuan dan laki-laki, kamu pacaran statusnya? Iya statusnya pacaran. Kenapa harus pacaran sama ini? Ya karena dia lucu ya karena dia imut. E bohong semuanya baraya. yang sebenarnya terjadi adalah karena mereka membutuhkan pelampiasan hasrat karena dorongannya memang lagi tinggi-tingginya tapi tidak boleh menikah atau mereka didesain oleh masyarakat untuk tidak siap menikah pada usia itu gitu kan. Dan ditambah atmosfer yang baru di zaman modern yaitu apa? Pernikahan menjadi urusan yang sepenuhnya pribadi. Kalau dulu pernikahan itu konsekuensinya reproduksi. yang berhubungan dengan masyarakat, berhubungan dengan bangsa, berhubungan dengan sumber daya alam yang bisa dikelola. Nah, sekarang umat manusia menjadi terlalu banyak dengan teknologi yang sudah mumpuni, dengan efektivitas untuk mendapatkan pangan yang sangat luar biasa. Maka alasan-alasan reproduksi sebagai ee lembaga sosial bagian dari masyarakat itu sudah tidak lagi relevan. Maka sekarang pernikahan, pacaran dan sebagainya itu urusan pribadi. Iya kan? Nah, kalau itu adalah urusan pribadi, bahkan orang tuanya pun sebenarnya tidak terlalu ambil pusing dalam hal itu. Lalu kalau ada sebuah pranata yang memberikan penghakiman bahwa pacaran itu boleh atau enggak ini hukumnya begini, itu sah atau tidak? Kan sebenarnya relevansinya sudah tidak ada lagi gitu. Karena dulu mah pernikahan dan hubungan antar lawan jenis itu adalah urusan sosial. Sekarang jadi urusan pribadi. Nah, lalu ada atmosfer yang ketiga. Apa itu? bahwa di zaman dulu hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam hubungan seksual misalkan itu konsekuensi pasti logis keniscayaan adalah mereka akan bereproduksi. Jadi seks sama dengan reproduksi gitu kan. Sehingga seks harus dibatasi karena reproduksinya pun harus disesuaikan dengan kebutuhan di zaman dulu. Sekarang kita memiliki berbagai alat pengaman, termasuk Pak Gubernur Jawa Barat juga sudah bikin aturan begini dan begitu soal pemandulan laki-laki. Ya, intinya di zaman sekarang itu adalah seks dan reproduksi 100% atau 99,9% itu sudah terpisah. Bisa aja kita melakukan aktivitas seksual tanpa harus menanggung konsekuensi akan adanya reproduksi baik itu laki-laki maupun perempuan. bisa saja bersenang-senang menikmati hasrat mereka tanpa harus khawatir bahwa mereka kelak akan bertanggung jawab tentang anak yang akan dilahirkan. Ya, sekali lagi ya, seks dan reproduksi sekarang sudah benar-benar terpisah. Nah, dari tiga faktor itu, soal usia pernikahan, soal ee statusnya sebagai urusan pribadi, dan kemudian soal seks dan reproduksi sekarang sudah dipisah. Apakah itu meniscayakan kita membuat etika baru dalam hubungan lawan jenis, interaksi lawan jenis? Kalau misalkan kita lihat di negara-negara Barat ee mereka tuh sudah menganut etika baru. Sudah misalkan seks tanpa pernikahan itu baik-baik saja. Misalkan menikah tidak butuh izin dari orang tua dan sebagainya, mereka sudah ngambil sendiri etikanya. Nah, sedangkan di Indonesia kita bukan mengambil salah satu opsi, kita menganggap itu sebagai doktrin sehingga sampai detik ini kita tidak bisa memberikan jawaban dari tiga hal yang berubah tadi. Apakah kita ngambil keputusan untuk menciptakan etika baru atau menggunakan etika lama? Enggak ada. Ketika kita bertanya kepada para pemuka agama, ya ujung-ujungnya balik lagi doktrin lagi, doktrin lagi. Saya sekali lagi ya, saya tidak menganggap pacaran itu halal atau haram. Saya tidak menganggap bahwa pacaran itu terlarang agama atau tidak dan sebagainya itu mendekati zina atau tidak. Ya, bukan, bukan seperti itu. Itu bukan poinnya. Poin saya adalah ketika zaman sudah berubah karena urusan pernikahan dan reproduksi serta hubungan antar lawan jenis itu sudah sepenuhnya berbeda. Kenapa kita sampai sekarang justru malah tidak menciptakan etika baru atau tidak beradaptasi terhadap hal itu? Atau kita tidak mengambil keputusan apakah kita tetap menggunakan etika lama atau etika baru. Enggak apa-apa asal kita ngambil keputusan gitu. Masalahnya kan kita enggak ngambil keputusan, kita ngambil doktrin sehingga kalau misalkan terjadi hubungan, maaf, maaf ya, kita ngambil persektif perspektif yang lebih religius. Kalau misalkan kita sudah membangun hubungan di zaman sekarang, hubungan haram misalkan, itu haramnya jadi doble. Misal perzinaan di Amerika Serikat itu dosanya cuman satu. Perzinaan di Indonesia itu dosanya bisa sampai tiga. Kenapa bisa seperti itu? Ya, misalkan ya hubungan di Amerika Serikat perzinahan itu enggak memunculkan fitnah, enggak memunculkan gosip, enggak memunculkan komplain dari pihak lain. B aja. Sedangkan di Indonesia ada perzinahan, kalau ketahuan itu jadi gosip. Jadi dosanya dua, kan. Kemudian kalau misalkan di Amerika Serikat dari perzinahan itu punya anak tidak akan ada yang dibully, tidak akan ada yang dipersekusi, bahkan itu sudah ada dalam peraturan undang-undangnya. Sehingga apa? Katakanlah mereka berzina dan berdosa, tapi dosanya di situ selesai. Sedangkan kalau misalkan ada perzinahan di Indonesia kemudian melahirkan anak, anaknya bisa dibully atau bahkan anaknya dibunuh dan dimutilasi sama orang tuanya sendiri atau si anaknya itu akan dibuang atau kalaupun misalkan dibawa si orang tuanya yang dibully dan dipersekusi. Jadi setelah ada perzinahan lalu ada bullying atau ada pembunuhan atau ada mutilasi atau ada pembuangan terhadap anak. Nah, lagi-lagi dalam hal ini karena kita tidak mengambil etika mana yang kita gunakan, maka kita akhirnya mendapatkan dosa yang bahkan jauh lebih besar daripada orang-orang yang kita sebut sebagai liberal, disebut sebagai orang yang keterlaluan dan sebagainya. Begitu. Jadi, sekali lagi ya, saya tidak bilang apakah ee pacaran itu halal dan haram dan sebagainya. Ini mah kita mendekonstruksi kalau semuanya sudah berubah tapi kita belum mengambil keputusan etika mana yang kita gunakan. Jadi menurut Bar bagaimana? Ayo diskusikan di kolom komentar. Terima kasih karena sudah menyimak. Saya Guru Gembul pamit. Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Yeah.