Rumus jualan laris manis cuma satu kalimat ini. Rumusnya adalah produk Anda mampu menjadi solusi bagi target market. Allahumma salli ala Muhammad wa ala alihi rasulillahi ajma'in inna allaha huwa razzak dhulqu wa tilmatin Bapak-Ibu semuanya yang dihormati Allah dimanapun berada Allah yang rezekinya tidak ada habisnya dan Allah maha perkasa, maha bijaksana memberikan kita kesempatan, waktu, dan konsentrasi untuk bisa ikut dalam acara malam hari ini malam yang luar biasa, tunas, ya, bantu UMKM naik kelas yang mana acara ini sudah rutin kita lakukan hampir nggak terasa nih, udah satu tahunan. Jadi episode-nya sudah lumayan banyak, dan alhamdulillah banyak UMKM yang sudah tercerahkan, bahkan omsetnya naik, bahkan beberapa menjadi klien kami, dan omsetnya luar biasa fantastis. Tadi saya chat-chatan sebelum ditunas ya, ada yang komen, Coach, saya bisnisnya fashion, ini kayaknya dunia fashion lagi turun deh Coach.
Kayaknya... Trendnya itu nggak seperti kemarin, ya kan? Dari lebaran, maaf, puasa, lebaran itu kan puncaknya banget, dan sekarang ini jauh banget drastis turunnya.
Ya, kata siapa sih, gitu? Iya, karena nggak pakai data, pakainya perasaan aja. Kalau dirasa-rasa, memang secara umum ya, secara umum, trend orang membeli fashion itu tidak seperti di saat lebaran.
Tapi ketika kita ngerti ilmunya, bisnis itu justru bisa... melejit, ya, tidak tidak hanya dikarenakan satu momen tertentu, tapi kita bisa meng-create momen itu. Buktinya apa?
Salah satu klien kami, jualan hijab anak bayi, ya, hijab anak-anak, itu omselnya bisa tembus 5 miliar sebulan. 5 miliar sebulan. Jualan hijab bayi, ya, itu di marketplace, dan di social media. Bayangin, kebayang nggak? Jual hijab bayi, jual produk-produknya ada baju, ada tas, ada, ya pokoknya seputar-seputar anak-anak balita dan batita, omosanya 5 miliar dan itu tidak di kondisi lebaran di kondisi lebaran lebih sadis lagi gitu ya dan ada salah satu klien kami juga di Makassar ya, itu brandnya namanya Hijacu ya, Bu Windy namanya, sorry Bu, siapa namanya ya?
Saya lupa, Ding, namanya. Itu sampai ngantri-ngantri ya, sampai membludak banget tokonya. Itu sampai nggak ketampung ya, ya di Makassar saya ingat saya. Ya saya lupa nama lokasinya karena ini ya.
Tapi poinnya adalah, Bapak Ibu, ketika kita memahami ilmu bisnis, ternyata jualan itu tidak sesulit yang kita bayangkan. Sebelum kita mulai pembahasan malam hari ini yang judulnya juga cara jualan semua barang itu bisa laris ya Saya menyambut dulu bagi Bapak Ibu yang baru pertama kali masuk Zoom, baru pertama kali mengikuti sesi acara Tunas ini Kita akan kenalan dulu nih, Tunas ini apa sih gitu ya Dan kemudian pembahasannya topiknya seputar apa gitu Nah Bapak Ibu semuanya, baik saya akan bagikan dulu ya Nah, kita lihat di layar. Nah, di sini Bapak-Ibu semuanya sudah ada, saya susun tunas ini menjadi materi yang tersistematis, terintegrasi, dan semuanya mudah dipelajari dan mudah diterapkan.
Di pertemuan pertama kita membahas tentang fundamental mindset dan mental business sukses. Bagaimana kita memulai bisnis dengan cara yang tepat. tepat dengan mindset yang benar.
Dan kedua, kita hijrah dari pedagang ke pebisnis. Kita meninggalkan cara-cara lama yang cuma sekedar jagain toko, yang cuma sekedar posting-posting terus berharap ada hasil, yang cuma berharap ketika jualan itu hanya momen-momen tertentu, itu kita ubah. Kita hijrah dari pedagang ke pebisnis.
Kita mulai membangun aset. Tadi ada yang cerita mulai membangun database. Itu satu bagian dari aset.
Yang banyak orang nggak ngerti. Yang orang kepikir itu, membangun aset itu, oh saya udah punya tokonya, coach. Saya udah punya barang dagang yang banyak, saya udah punya tanah sendiri, gitu ya. Itu tangible asset, atau aset yang terukur, aset yang nampak.
Tapi ada aset yang lebih vital dari itu, yang sebenarnya menggerakkan roda bisnis kita. Itu kita bahas di Hijrah dari Pedagang ke Pembisnis. Kemudian kita membahas di episode ketiga, bagaimana menjual lebih mahal dan konsumen antri membeli. Nah Bapak Ibu ketika terlambat mengikuti ini, Bapak Ibu bisa mengikuti di rekaman Youtubenya, yang kita share nanti rutin. Kemudian, Bapak Ibu, di pertemuan keempat minggu lalu, kita membahas rahasia menciptakan bisnis tanpa persaingan.
Iya, Blue Ocean Strategy. Bagaimana ternyata menjual furniture, menjual hijab, menjual produk-produk itu tidak mesti harus banting-bantingan harga. Kita bahkan bisa menciptakan pasar tersendiri.
Nah, kemudian di hari ini kita akan membahas semua produk bisalaris. Bagaimana cara jualan yang... mudah, simple, dan aplikatif. Kemudian di episode mendatang, besok kita akan membahami sales funnel, bagaimana omset dan profit itu bisa melejit. Kemudian berikutnya, kita akan membahas lagi mengubah konsumen menjadi pelanggan setia.
Nah, ini yang banyak banget UMKM miss di sini. Kerjaannya cuma nyari konsumen terus. Kerjaannya cuma ngiklan, bagi-bagi brosur.
Tapi konsumen yang sudah setia itu tidak didata dengan baik, tidak dipelihara dengan baik. Akhirnya ketika pindah ke kompetitor, kita nggak tahu kok tiba-tiba setia. Kok tiba-tiba yang biasa datang nggak datang lagi ya.
Gimana cara manggil mereka? Nah, maka dari itu kita akan belajar di pertemuan ke-7. Pertemuan ke-8, kita belajar bagaimana melejari omset di situasi krisis. Yang alhamdulillah dengan izin Allah kami sendiri menjalani ini.
Saya dengan istri... Itu jualan kue lebaran di saat pandemi, di saat tidak ada lebaran. Seumur hidup nggak pernah ada lebaran itu di pandemi itu. Dan Alhamdulillah kita menjual ribuan toples gitu ya, kue lebaran.
Justru di saat lockdown, di saat pandemi. Kok bisa? Dan Alhamdulillah saya membantu klien saya, King Copper namanya ya, perusahaannya di jualan copper. Bayangin jualan copper di saat pandemi bisa omset naik 5 kali lipat.
Gimana caranya coach? Kita bedah di pertemuan ke-8. Di pertemuan ke-9 kita akan belajar bagaimana jualan B2B.
Nah, kemudian bagaimana di pertemuan ke-10 bagaimana cara closing hingga omset miliaran, teknik closing. Ini yang banyak para owner, para CEO, bahkan para sales itu tumpul ketika closing. Akhirnya sibuk menebar leads, sibuk menebar jaring, tapi omsetnya nggak besar gitu ya.
Alias tak di situ-situ aja. Di pertemuan ke-11, kita belajar menjadi pemimpin yang tegas namun dicintai. Nah, ini kan dua hal yang kontradiktif. Karena biasanya pemimpin yang tegas itu dibenci. Dan justru yang dicintai itu kan pemimpin yang banyak toleransinya, banyak berusaha memahami, tapi ya begitulah kira-kira.
Nah, di sini kita akan belajar. bagaimana seorang pemimpin itu bisa efektif dan efisien. Di pertemuan ke-12 kita akan belajar tentang 5-5 level kepemimpinan.
Nah ini buat Bapak-Ibu yang bisnisnya sudah memiliki karyawan puluhan, ada 20, 30, sampai 50 karyawan, bahkan ratusan karyawan, itu kuncinya tidak lagi di marketing, kuncinya tidak lagi di SDM, tapi kuncinya di kepemimpinan Bapak-Ibu sendiri. Semakin efektif Anda memimpin, semakin efektif bisnis Anda. Tapi semakin Anda tidak mampu memimpin tim dengan kapal yang besar, siap-siap, kapal itu akan stuck, bahkan bisa turun dan mati perlahan. Baik, di pertemuan berikutnya, Juru Sakti membangun tim yang profesional.
Jadi ini kita mulai bicara bisnis dengan skala puluhan orang, ratusan orang. Kemudian di pertemuan ke-14, bekerja dengan efektif dan efisien, karena kunci dari pemimpin yang hebat itu adalah bagaimana dia bisa memimpin dirinya, memimpin timnya, dan menggerakkan kapalnya tadi untuk mencapai goals dari omset yang sudah mungkin miliaran. Jadi kalau dilihat dari kurikulum yang tadi, mulai dari membangun bisnis sampai omsetnya miliaran itu kita kupas. Dan kemudian di pertemuan ke-15, kita membangun empat pilar. sistem bisnis.
Kemudian yang ke-16, kita membangun kemitraan dan fokus kepada spesialisasi. Dan terakhir di kepertuan ke-17, jurus sakti agar bisnis Anda dikejar-kejar investor. Nah ini adalah pembahasan sedikit dari episode Tunas ini, di mana kita sudah susun dengan sistematis dan mudah-mudahan nantinya bisa membantu Bapak Ibu semuanya, sehingga nantinya rekaman ini bisa diulang-ulang, bisa dipelajari lagi, dan nantinya bisa dipraktekan.
Baik! Bapak-Ibu semuanya, kita kembali ke topik pada malam hari ini ya. Bismillahirrahmanirrahim. Di pertemuan kelima, semua produk bisa laris. Jadi, laris itu kan artinya habis laris itu sampai orang mengantri, laris itu dikejar-kejar konsumen.
Rahasianya gimana, Coach? Pahami konsumen kita. Sebelum kita memahami bagaimana konsumen kita, siapa target market kita, bagaimana sales funnel-nya, bagaimana tahapan agar punya omset yang miliaran tadi, Bapak-Ibu semuanya, siapa di sini yang punya masalah? Coach, jualan itu kok susah ya? Nah, siapa nih?
Boleh komen di bawah dong. Saya mau tahu nih siapa yang ngalamin jualan itu sekarang ini masih susah banget. Ya, Coach?
Ini salah satu klien saya kemarin itu omsetnya membluda banget ya Mbak Alea sampai stop iklan tuh Mbak Alea ya kemarin ya Luar biasa banget momentumnya bisnisnya Ya mudah-mudahan bisa segera menyusul ke 1 miliar pertama ya Mbak Alea ya Mana nih Mbak Alea suaranya? Ya maaf ya ada kendala teknis Mungkin bagi Bapak Ibu semuanya, kedengarannya aneh gitu ya. Coach, kok jualan bisa sampai semulus itu ya? Mbak Alea tuh bisnisnya luar biasa, udah menginjak ratusan juta, padahal umurnya baru 19 tahun gitu ya. Kok bisa sih?
Dan apa rahasianya produk itu bisa laris walaupun tidak di musimnya? Coach, ini fatal banget. Jualan yang dulunya laris, Sebelum pandemi, bisnis saya itu rame banget.
Tapi setelah pandemi, makin merosot. Padahal pandemi udah selesai dari 2 tahun yang lalu. Atau 1 tahun yang lalu lah.
Kan kita pandemi masih 2022 gitu ya. 2023 kita udah keluar. Bahkan katanya 2023 itu gelap, krisis.
Eh, justru perekonomian Indonesia itu bertumbuh, Bapak Ibu. Beberapa klien kami itu sampai tembus omsetnya puluhan miliar. Itu di 2023. Nah ini justru bisnis itu turun drastis. Apa nih masalahnya? Sudah ngiklan, tapi tidak berdampak signifikan.
Kemarin saya coba evaluasi salah satu klien kami juga, iklannya itu sampai belasan juta. Waduh, Masya Allah gitu ya. Tapi hasilnya nggak signifikan gitu coach. Nah bayangkan ketika tadi juga saya coaching dengan klien kami, Budget iklannya cuma 2% dari omset.
Omsetnya 2 miliar, budget iklannya cuma 2%. Tapi, omsetnya itu signifikan banget naiknya. Orang biasanya punya budget iklan itu 5-10%. Tapi dia di 2% itu sangat efektif, sangat efisien, dan hasilnya, penjualannya itu bisa miliaran. Di mana?
Di marketplace. Padahal coach di marketplace itu Ngeri banget lautan merah Berdarah-darah Jualannya himpit-himpitan Betul memang Tapi ketika kita ngerti ilmunya Nggak ada yang sulit Bapak Ibu Nah coach Ini lebih parah lagi Kok keliatannya produk sebelah itu laris manis ya Kok kayaknya jualan koper itu enak banget ya Coach Didi kliennya jualan koper Punya omset 3,5 miliar Ya tadi barusan cerita salah satu klien saya di Ngawi itu punya omset untuk hijab itu sampai 5 miliar sebulan gitu ya kemudian jualan skincare kayaknya enak banget coach omsetnya juga miliaran saya jualan fashion saya jualan keripik saya jualan es krim saya jualan travel umroh gini-gini aja apa yang salah coach? aduh ini udah minta ampun banget nih rasanya ya Nah Bapak Ibu semuanya, sebenarnya apa sih yang membuat produk itu bisa laris?
Insya Allah ya, dengan izin Allah, apa sih yang membuat produk itu bisa laris manis? Nah sebenarnya rumusnya cuma satu kalimat ini. Rumus jualan laris manis cuma satu kalimat ini Perhatikan baik-baik Rumusnya adalah Produk Anda mampu menjadi solusi bagi target market Cuma itu doang Cuma satu kalimat ini Dicatat, distabilo, ditempel di dinding Jurusnya Jadikan, pastikan produk Anda jadi solusi bagi target market Ya Bagi Bapak Ibu yang jualan madu, saran saya jangan jualan madu, tapi jualan solusi.
Kalau jualan madu, semua orang bisa jualan madu, Bapak Ibu. Kalau Bapak Ibu jualan skincare, semua orang bisa jualan skincare. Tapi jualan solusinya, apa masalah dari konsumen Anda? Oh, masalahnya dia punya penyakit jantung. Oke, jual madu yang kemudian bisa mengobati penyakit jantungnya dia.
Ya kan, salah satu kaset madu kan... bisa mengobati penyakit jantung gitu kan ya jadi kita tembak masalahnya jangan jualan produknya gitu, nah kebanyakan UMKM itu fokus jualan produk dia pikir dengan posting di sosmed dipikirnya dengan posting di WA terus berharap ada yang baca ada yang ngeliat statusnya, terus ada yang beli sesimpel itu, enggak Bapak Ibu enggak, ketika kita gak pernah interaksi dengan konsumen kita, kita gak punya database, ya... Kita asal jualan dengan general, dibandingkan dengan kompetitor kita juga jualannya general juga, hasilnya ya udah, banting-bantingan harga.
Tapi ketika kita bisa memberi solusi yang spesifik bagi target market kita, insya Allah nggak ada produk yang mandek. Saya kasih contoh. Di sini ada tiga produk. Yang sebenarnya produk ini sama.
Yaitu apa? Bakso. Di mana-mana bakso mah gitu-gitu aja. Tapi ketika dia punya diferensiasi, kualitas dagingnya beda, kualitas kuahnya beda, mie-nya beda, udah ya. Setiap gigitannya tuh, baksonya tuh memang pulen banget dagingnya.
Nah, ini dijual berapa juga laris. Di Pekanbaru tuh ada bakso populer. Saya lupa nama jalannya.
Mas Pras tau gak sih bakso populer? Gak tau ya. Di belakang hotel...
aduh saya lupa lagi nama hotelnya ya, itu laris manis banget satu mangkok bakso ini Bapak Ibu, harganya Rp25.000 sampai Rp35.000 eh, Rp30.000, seingat saya ya seingat saya, sorry kalau saya salah tapi seingat saya itu, bakso itu Rp25.000 sampai Rp30.000 nah, kualitas bakso yang seperti ini ya, ini punya segmen target market sendiri ya, sementara bakso biasa di pekan baru... Itu jualannya di angka Rp13.000-Rp15.000 Nah dia pede jualan bakso di angka Rp25.000-Rp30.000 Dan itu ngantri orang yang beli Nah sementara ada produk yang lain Itu bakso frozen Ini sebenarnya punya solusi yang berbeda Terhadap permasalahan yang ada Kalau tadi yang ini Ini solusi bagi mereka yang ingin dine in Makan langsung Panas hujan-hujan, dingin, pengen makan bakso, cari yang berkualitas Dengan target market menengah ke atas, cocok target ini, bakso ini Tapi bagi ibu-ibu, dengan segmen ibu-ibu menengah ke atas ekonominya di kota besar Mereka ingin siap saji ketika ada tamu Ingin siap saji ketika bikin nasi goreng, mereka beli bakso frozen Itu beda lagi target marketnya. Beda lagi masalah yang ingin diselesaikan.
Beda lagi dengan bakso yang ekstra pedas. Yang pedasnya sampai beberapa level. Kalau bakso yang pedas dan beberapa level dengan atribut-atribut pendukungnya, mereka itu memberikan solusi kepada para millennials atau anak-anak muda yang ter-challenge dengan rasa pedas yang bertingkat-tingkat. Dengan aneka topping. Ada toppingnya ini, toppingnya itu.
Dan target marketnya jelas. Keluarga atau anak muda yang memang mereka ingin menikmati bakso kekinian. Beda lagi dengan bakso frozen di mana segmen atau target marketnya adalah ibu-ibu muda yang dia nggak mau ribet.
Ketika ada tamu, sajikan bakso, beres. Beda lagi dengan bakso daging yang berkualitas yang saya ceritakan tadi. Seperti bakso populer yang ada di Pekanbaru. Nah, Bapak-Ibu semuanya, ketika tiga produk ini dengan tiga masalah dari...
segmen yang berbeda-beda itu solusinya berbeda ini yang disebut dengan positioning nah Bapak Ibu ketika jualan madu jualan skincare, jualan baju jualan apalagi keripik positioningnya apa? positioning itu sederhananya adalah kita nyelesaikan masalah apa bagi konsumen, kita bukan jualan produk ya, konsumen itu pengen ketika nonton Korea, ada cemilan Ketika santai dengan keluarga, ada cemilan. Ketika sambil kerja, ada cemilan. Dan mereka nggak kepingin gendut. Itu yang dijual.
Bukan cemilannya. Tapi masalah dari problem itu yang terselesaikan. Akhirnya pesannya sampai di mereka.
Ketika ngeliat iklan, eh, iya ya, ternyata kalau bahkan cemilan itu bikin gendut. Oh, ternyata ini ada yang cemilan nggak bikin gendut. Nah, ya. Insya Allah tuh laris, Bapak Ibu. Jadi sekali lagi, coba jawab pertanyaan ini.
Apa masalah yang ingin Anda selesaikan melalui produk atau layanan Anda? Coba komen di bawah. Apa masalah yang ingin Anda selesaikan melalui produk Anda? Jadi fokusnya kepada masalah yang ingin diselesaikan. Artinya Anda sebagai penyelamatnya.
Produk Anda itu sebagai penyelamatnya. Nah, coba perhatikan, apa profesi dan aktivitas dari konsumen Anda? Pahami apa yang mereka harapkan dari produk Anda.
Contoh, Anda jualan hijab. Profesi dan aktivitas mereka ini adalah ibu-ibu kantoran yang dia ini sudah ngaji, sudah hijrah, kepinginnya bajunya tertutup. Hijabnya full, tapi nggak bau badan, nggak bau ketia, gitu ya.
Nah, tapi tetap trendy, gitu ya. Nah, ini yang diselesaikan dari hijab ini, gitu. Dan apa yang mereka harapkan?
Contoh yang tadi saya sebutkan. Ibu-ibu, ibu-ibu karir, atau profesional, profesional yang ingin... Ya, mereka tetap cantik. Nih, maaf ya. Saya hilangin aja.
Ya, ibu-ibu yang ingin tampil cantik, syari'i, namun tetap trendy. Ya, bagaimana aktivitas sehari-hari tanpa bau badan. Masya Allah, Bapak Ibu, ini, satu setel hijab ini, ini dijual harganya jutaan. Ya, bisa 2 juta, bisa 3 juta, dan itu antar.
Tri yang beli Itu Masya Allah banget Sementara Bagi sebagian orang Jualan hijab itu Jualan baju itu kalau gak lebaran Gak laku atau trendnya Gak munca Kenapa? Karena kerjanya cuma nongkrong Doang di toko, ngosip Kita bayar karyawan Karyawannya main HP Main WA, main Instagram Syukur kalau dia main Instagram untuk membesarkan bisnis kita. Eh, dia main Instagram untuk cari kesenangan sendiri.
Kenapa? Karena nggak ada program kerja. Sementara, Bapak Ibu, ketika kita jualan produk, dengan menyelesaikan masalah konsumen, ketika kita menghadirkan konten ini di Instagram, jadi kontennya bukan konten jualan, tapi konten solusi, ini dikejar orang, Bapak Ibu.
Nah, nanti kita akan belajar bagaimana cara menghadirkan konten solusi sehingga orang melihat bahwa, oh ini nih produk yang pas banget buat saya. Bapak Ibu, kita coba kenali dulu. Kenali dulu siapa konsumen kita. Bapak Ibu boleh tulis. Ambil kertas, ambil buku tulis, tulis siapa konsumen saya.
Dimana mereka berada? Kenapa mereka beli produk kita? Kapan mereka membelinya?
Bagaimana cara mereka membeli? Berapa banyak uang yang mereka punya? Dan seterusnya. Coach, produk saya yang konsumsi itu anak-anak yang beli orang tuanya.
Saya punya salah satu produk bisnis, itu bimbel. Bimbel untuk anak kecil, untuk anak TK, untuk anak... usia dini, yang beli orang tuanya yang bayar orang tuanya, tapi yang sekolah anaknya gitu, ya segmen yang saya bidik adalah segmen menengah ke atas, bukan berarti ketika saya Membuat segmen menengah ke atas, terus saya nggak peduli dengan segmen menengah ke bawah. Bukan berarti saya kemudian membuat harga yang mahal itu, bukan yang mahal ya. Ketika saya membuat harga pantas itu, kemudian saya nggak peduli dengan pendidikan Indonesia, kasihan anak-anak terpinggirkan, enggak.
Saya peduli dengan mereka, bahkan kita memberikan layanan pendidikan gratis buat kaum dua alfa dan anak yatim. Tapi ini bicara segmen. Ketika Bapak Ibu mengatakan, Coach, segmen saya siapa aja.
Segmen saya ini bisa dinikmati semua orang. Mau yang kaya, mau yang miskin, siap-siap Bapak Ibu, bisnis Anda akan sepi. Percaya sama saya.
Bisnis Anda akan sepi. Kenapa? Karena segmen menengah, segmen bawah, segmen atas, itu pelayanannya beda.
Beda banget. Segmen bawah, mereka fokusnya dengan volume. Fokusnya yang penting barangnya ada. Segmen atas, mereka fokus dengan kualitas.
Buktinya, Bapak Ibu, ketika kita beli burger, tahu burger ya, hamburger, itu burger di sekolahan, tempat anak SD, yang, maaf, dijual di sekolah-sekolah itu harganya cuma Rp5.000, itu kan kalau kita beli Rp40.000, itu kan dapat Rp9.000. Maaf, dapat Rp8.000. Nah, burger McD itu dapat 1 biji 40 ribu Pertanyaan saya, mau nggak kita beli burger sekolahan SD Ada 8 biji Dan kita nggak beli burger McD Saya nggak membahas tentang boykot, saya nggak membahas tentang apapun Isu-isu, tapi poinnya adalah Burger McD itu segmen menengah ke atas, dan yang mereka cari adalah kualitas, dan burger anak sekolahan yang mereka cari cuma kenyang.
Itu dua hal yang berbeda, Bapak Ibu. Dua hal yang berbeda. Nah, kita menyasar segmen yang mana? Ini tidak ada yang benar, gitu.
Tidak kemudian, wah, saya mau cari segmen bawah, Coach, supaya orang-orang miskin bisa menikmati karya saya, bisa menikmati produk saya. Iya. Tapi orang kaya juga, dia punya segmennya sendiri.
Nggak dosa juga ketika kita membidik mereka. Bukan berarti kita membidik segmen yang menengah ke atas, terus kita nggak peduli dengan segmen bawah. Enggak. Ini hanya pilihan. Saya punya cerita.
Ini salah satu klien kami di Pekanbaru. Beliau ini, bayangkan punya tiga... cabang toko fashion.
Omsetnya yang tadi saya cerita. Tadinya omsetnya gede, terus sekarang ini jadi sepi. Saya lihat apa ya masalahnya ya. Ternyata dia menggabungkan segmen ini. Jadi semua segmen itu digabung sama dia.
Segmen yang tengah, segmen yang bawah, segmen atas digabung semua dalam satu toko. Oke? Bayangkan, awalnya beliau ini main segmen bawah.
Harga baju 100 ribuan. Awalnya main segmen bawah. Rame ini. Rame banget. Terus dia lihat kompetitor.
Eh, kompetitor kok jualan baju-baju yang menengah juga ya? Yang harga-harga 150, 200. Ah, saya juga mainlah ke segmen yang tengah. Terus dilihatnya lagi, ih kayaknya kalau saya nggak garap segmen atas sayang deh. Kenapa?
Karena segmen atas ini sekali belanja itu jutaan. Akhirnya dia garap juga segmen atas. Masalahnya adalah ketika kita survei ke pelanggan, kenapa pelanggan nggak balik lagi ke sini, ke toko ini?
Ternyata segmen bawah ngerasa malu ketika mau belanja di sana. Sungkan, kenapa? Ih barangnya mahal-mahal. Barangnya itu branded-branded, saya takut nanti nggak kebayar.
Terus yang segmen atas, kenapa nggak mau datang? Ketika dia datang, barang pilihannya nggak banyak. Banyak yang segmen bawah dan segmen tengah.
Akhirnya dia bilang, ii barangnya jelek-jelek, barangnya kayaknya kurang kualitasnya, kurang. Saya ke toko yang lain aja. Nah, ketika dia nggak fokus dengan satu segmen ini, inilah yang akhirnya membuat omsetnya hancur. Hancur banget, Bapak Ibu.
Ketika kita bilang, bu, fokus di satu segmen Lelang baju-baju ini, jual murah, jual yang penting balik modal, ada untung sedikit, nggak apa-apa Fokus di segmen bawah Kemudian fokus dengan B2B. Nanti kita akan bahas bagaimana cara B2B. Ya, business to business.
Bangun reseller. Akhirnya apa Bapak Ibu? Omsetnya kembali pulih.
Yang tadinya omsetnya itu drop banget sampai dia mau tutup salah satu cabangnya. Akhirnya dia berhasil tidak sampai harus tutup toko. Omsetnya naik.
Kenapa? Karena dia fokus. Fokus dengan menggarap satu segmen. Akhirnya apa? persepsi itu muncul persepsi dari konsumen oh disana bajunya itu murah ya oh disana bajunya murah tapi tetap berkualitas loh oh disana banyak ya pilihannya ya oh disana itu update terus model-modelnya itu hanya persepsi persepsi dari konsumen jadi ketika semakin kita mengenal konsumen kita semakin produk kita akan laris.
Nggak ada salahnya juga ketika dia sepakat, misalnya dia bilang, Coach, saya mau fokus main di segmen atas aja. Nggak ada masalah juga. Kalau dia memang mau fokus main ke segmen atas, yaudah.
Rubah layout tokonya, latih karyawannya untuk lebih ramah, untuk bisa melayani para ibu-ibu sosialita, perbanyak barang yang memang segmen atas, ya. Kemudian iklankan, insya Allah laris. Nah, jadi justru yang membuat bisnis itu kacau itu adalah ketidakfokusan kita dalam menggarap segmen.
Terus pertanyaannya coach, ini nih, Toyota itu kan jualan Alphard, jualan Fortuner. jualan Innova, jualan Avanza, jualan Ayla, itu di satu showroom yang sama kok. Kata kursus tadi harus dipisah-pisah. Nah, ini bagi yang nggak ngerti ilmunya, dia akan mikir, iya ya, Toyota aja satu brand, dia jual di satu showroom.
Nah, Bapak-Ibu semuanya, Toyota itu dia punya brand yang sudah besar, dan mereka punya strategi bagaimana menjualkan unit-unit ini dengan cara yang berbeda. Pertanyaan saya, pernah nggak Alphard dipajang di mall? Pernah lihat nggak?
Minimal lihat aja deh, Alphard aja dipajang di mall, pernah lihat nggak? Nggak pernah, Bapak Ibu. Nggak pernah. Ada nggak Alphard di iklan itu balehonya segede gaban gitu ya di jalanan, dijual Alphard model baru, hybrid, ada nggak? Nggak ada, Bapak Ibu.
Nggak ada. Mau cari dari ujung Indonesia sampai ujung Indonesia lagi, nggak ada dijual dengan baleho segede gitu. Tapi ketika kita lihat Aila, Innova, itu kenapa kok apa sih namanya itu ya, balehonya itu atau iklan itu mentereng banget. Avanza iklannya mentereng banget. Kita nggak pernah ketemu Fortuner dengan iklan sementereng itu.
Karena mereka punya strategi marketing yang berbeda untuk setiap produknya. Dan sayangnya para UMKM nggak ngerti itu. Kita masih mikir bahwa, oh mereka jualannya buktinya sama kok. Padahal nih, segmennya Alphard itu tidak mau membeli Aila meskipun satu unit Alphard itu bisa dapat berapa biji Aila sih?
Kira-kira bisa dapat berapa biji Aila ya? Mungkin dapat 4 atau 5 biji Aila gitu kali ya. Logikanya kan dia bisa punya 5 mobil. Kenapa dia harus beli Alphard?
Dia bisa beli 5 mobil gitu. Ya. Nah. Dan Aila. Ya.
Segmennya Aila. Juga gak mau beli Alphard. Meskipun Alphardnya didiskon 50%.
Diskon besar-besaran. Alphard Hybrid. Terbaru.
Ya. Diskon 50%. Gak mau. Segmennya Aila.
Untuk membeli Alphard. Kenapa? Karena mereka punya persepsinya sendiri.
Ya. Mereka punya persepsinya sendiri. Segmen Aila akan berpikir bahwa, Ih, ketika saya beli Alphard, pajaknya berapa ya?
Bensinnya berapa ya? Terbeli nggak sama saya ya nanti ya? Perawatannya gimana ya? Sementara yang segmen Alphard, ketika beli Aila, dia mikir, Aduh. Saya bukan mau beli mobil, saya mau beli gengsi, saya mau beli kenyamanan, saya mau beli, saya mau menikmati pencapaian saya.
Saya mau operasional kegiatan sehari-hari, tapi dengan kondisi yang nyaman. Itu dia. Makanya Bapak-Ibu semuanya, kita coba kembali ke slide ya.
Bapak-Ibu, Coba lihat, dari kacamata konsumen, konsumen itu punya kacamata, dia punya gain itu apa sih? Gain itu artinya apa Bapak Ibu? Gain itu artinya pleasure, aduh bahasa Indonesia-nya susah banget ya. Bahasa Indonesia-nya itu gain itu harapan.
Harapan, keinginan. Harapannya dia apa? Terus pain. Kesakitannya dia apa? Ke yang dia hindari itu apa?
Saya kasih contoh. Ketika dia mau beli madu produknya Bapak Ibu, atau dia mau beli hijab dari yang Bapak Ibu jual, itu harapannya dia apa sih? Yang ada di benaknya dia.
Oh, ketika dia pakai bajunya, nggak bawa ketia. Oh, ketika dia pakai bajunya, cuttingnya fit. Cuttingnya enak dipakai. Gitu kan ya.
Oh ketika dia beli bajunya itu Keringatnya bisa nyerap gitu ya Nggak bikin bau gitu ya Terus kemudian painnya apa sih? Pain kesakitan ketika dia pakai itu Kesakitannya Duh kalau saya pakai baju ini Cutting itu nggak enak gitu Saya pakai baju ini nih Aduh agak malu kalau keluar rumah Aduh kalau saya pakai baju ini nih Rasanya itu kayak barangnya murahan banget gitu Nah, painnya apa? Di kepala mereka itu apa? Jadi, ini yang kita tulis, Bapak Ibu.
Nah, terus jobnya mereka apa? Customer job atau pekerjaan mereka, profesi mereka, kegiatan mereka sehari-hari itu apa? Ada yang kita jualan ke anak-anak, ada yang kita jualan ke orang tua, ada yang kita jualan ke remaja. Remaja itu terbagi-bagi lagi, ada anak sekolah. Ada mahasiswa.
Nah, remaja yang anak sekolah, mereka tuh punya kegiatan apa aja sih? Mengkonsumsi produk kita tuh di jam-jam berapa sih? Nah, ketika kita memahami ini, kita siapkan produk untuk melengkapi itu.
Melengkapi gain creator ini. Jadi, harapan yang dia mau itu ada di produknya kita. Kita nggak jualan hijab.
Kita jualan solusi bagaimana ketika Anda pakai hijab, kepala Anda itu dingin. Hijabnya dijual 1 juta, nggak apa-apa. Daripada kepalanya berketombe, daripada rambutnya berketombe.
Nah, ini yang kemudian membuat ketika orang melihat konten kita itu, ih, ini cocok banget. Ini yang saya cari. Kemudian pain relief. Pain relief ini adalah apa yang membuat ketika orang membeli produk kita, masalah ketakutan-ketakutan yang mereka hindari ini selesai semuanya. Ketika mereka merasa, tadi ketika beli hijab, takut panas, nggak nyerap keringat, kemudian bau, kemudian gerah, kemudian apa lagi, cutting-nya nggak pas.
Dudukannya nggak enak di kepala, di badan gitu ya. Pain relief-nya apa? Pain relief-nya bahwa ketika mereka pakai itu udah terjamin barangnya ketika dipakai itu enak, nyaman.
Motifnya lucu-lucu, motifnya itu kekinian. Nah, ini yang Bapak Ibu tulis. Tulis di kertas, ya.
Dan nanti kita akan temukan produk kita value-nya apa. Sehingga produk itu seperti gift, seperti solusi. seperti solusi yang kita sodorkan ke konsumen kita nah Bapak Ibu semuanya sampai disini ada yang mau ditanyakan kira-kira jadi coba dipahami sekali lagi kita menjual itu jual ke orang yang tepat orang yang membutuhkan tadi saya sedikit menyinggung bagaimana produk kita itu terbagi dari beberapa segmen Ada segmen bawah, segmen fisiologis.
Mereka ini yang membeli, dah yang penting volumenya. Yang penting ada mobil. Yang penting ada hijab.
Mau mobilnya kaleng kerupuk juga, ya yang penting nggak hujan, nggak kepanasan. Ini segmennya. Jadi bahasa yang kita gunakan juga sesuai dengan segmen kita. Begitu juga dengan segmen yang rasa aman.
Maksudnya rasa aman gimana? Mereka terhindar dari ketika beli mobil itu nanti gimana ya perawatannya ya. Nanti gimana ya after sales-nya?
Mercy, BMW, Audi, kenapa harga second-nya jatuh banget? Karena buat orang rasa aman, ini mereka takut ketika beli BMW, beli Mercy, beli Audi, spare part-nya gimana ya? Nanti perbaiki servisnya mahal. Sekali ganti oli aja jutaan.
Belum lagi perawatan bodinya, kalau lecet. Kalau kena baret, kalau kena ini dan itu. Nah, ini yang membuat value dari produk tadi hancur harganya.
Padahal kalau kita pakai mobilnya yang second, ya BMW yang second baru 5 tahun, baru 3 tahun, itu masih seder banget. Bayangin, BMW second 5 tahun itu harganya sama kayak Innova. Padahal fiturnya dari segi kenyamanan, dari segi...
aduh, apa ya saya bilang ya, kualitas material, BMW-nya kita sama-sama paham bahwa BMW itu masih layak banget dipakai untuk beberapa tahun ke depan. Kita nggak menghina Avanza, cuma kita sama-sama tahu build quality-nya. Nah, Bapak-Ibu semuanya, kenapa BMW tadi atau Mercedes-Benz tadi ketika second harganya jatuh, karena di segmen rasa aman ini terganggu rasa aman mereka?
Nanti kalau saya pakai, suspensinya tiba-tiba jebol, aduh, bolong kantong saya. Akhirnya apa? Mercy di Lego dengan harga yang murah. BMW di Lego dengan harga yang murah.
Padahal barangnya nggak murahan. Cuma karena segmennya tidak tepat. Tapi ketika segmennya tepat, segmen yang dibidik adalah sosialita, BMW yang harganya mahal, itu terasa murah. Madu. yang satu botolnya harganya 300 ribu, itu terasa murah.
Ketika yang dibidik adalah orang-orang sosial. Kenapa? Karena ketika mereka pakai, ini mereka merasakan manfaat yang bukan cuma sekedar sehat.
Tapi ada hal yang lain yang mereka dapatkan, ada value yang lain yang mereka dapatkan. Apalagi ketika mereka di level pencapaian tertentu. Mereka beli baju bukan untuk nutup tubuh. Mereka beli baju itu untuk dipamerkan.
Untuk tampil cantik. Untuk Instagramable. Apalagi aktualisasi diri, itu lebih tinggi lagi.
Nah, permasalahannya Bapak Ibu jual di segmen yang mana? Ketika, saya mohon maaf, jual travel umroh. Di segmen fisiologis, segmen yang bawah. yang harganya memang udah press banget. Terus hotelnya jauh.
Terus pake shuttle bus. Terus pelayanannya bla bla bla bla, kurang. Terus konsumennya komplain.
Iya jangan komplain, harganya juga harga fisiologis. Ya mereka yang penting berangkat umroh gitu loh. Ya. Nggak bicara pelayanan di sana.
Jadi ketika mereka yang penting berangkat umroh, sampai ke Tanah Suci, mau itu pake shuttle bus kek, mau hotelnya jauh kek, ya... Kan yang dijual yang penting bisa umroh, toh. Kan begitu.
Tapi ketika kita jualnya itu benefitnya, rasa amannya, Bu, kalau ketika travel, kalau Ibu nanti umroh sama kita, itu hotelnya deket loh, jaraknya bisa jalan kaki, nggak pakai shuttle bus. Bu. Kalau ibu berangkat dengan kita, nanti pelayanannya itu, uh, luar biasa loh. Ibu nyaman, di Madinah ibu aman, makanannya enak, rasa masakan Indonesia-nya juga enak. Nanti kita kasih bonus ini, ini, ini, ini.
Pokoknya ibu udah tinggal berangkat deh. Ya, nggak usah mikir-mikir yang lain. Ketika harganya selisihnya 5 juta, wajar. Atau 3 juta, itu wajar.
Karena mereka... Ada di level rasa aman. Atau bahkan ketika mereka ingin private umroh.
Atau ketika mereka ingin ketika umroh itu buka pintu langsung masjidil haram. Mereka ketika foto, ketika berpose, itu dipose yang sangat ikonik di masjidil haram atau di masjid Nabawi. Yaudah kita jual di segmen sosial. Dengan harga berkali lipat. Cara jualan ini punya pendekatan yang berbeda Nanti kita akan bahas Gimana cara jualan di segmen tengah Di segmen atas, di segmen bawah Jadi jangan semuanya dipukul rata dengan promo Orang-orang di segmen menengah ke atas denger promo, mereka justru aneh gitu.
Mereka justru takut, duh ini barangnya original nggak sih? Coba, sekarang Bapak Ibu ketika ada yang jual iPhone, ya, berapapun iPhone-nya, tapi lebih murah 5 juta. Jadi iPhone 15 kek, mau iPhone berapa kek, mau serinya apa, tapi iPhone-nya itu lebih murah 5 juta daripada harga pasaran.
Bapak Ibu mau beli nggak? Coba komen di bawah, mau beli nggak? Saya yakin banyak yang curiga, ini barang tadahan nggak ya? Ini barang curian nggak ya?
Kok bisa murah banget? Ini iPhone-nya beneran nggak sih? Ini iPhone-nya kualitasnya kayak mana? Dijual 5 juta di bawah harga pasaran. Itu orang bertanya-tanya, Bapak Ibu.
Karena orang tahu, image-nya iPhone itu bagaimana? Persepsinya iPhone itu bagaimana? Solusi yang ditawarkan iPhone itu apa?
Nah, sama ketika jualan smartphone di set level fisiologis. Namanya Xiaomi. Saya nggak sedang membahas brand. Tapi ketika jualan smartphone, Xiaomi, dia bukan jualan HP, dia jualan iklan. Sumber pendapatan terbesar Xiaomi itu dari iklan, Bapak Ibu.
Ketika Bapak Ibu beli HP, mau buka galeri, ketemu iklan. Mau buka YouTube, apa lagi? Mau buka telpon, ketemu iklan. Mau buka WA, ketemu iklan.
Karena memang dia sumber pendapatannya dari iklan. Jadi HP itu penuh dengan iklan. Lah, jangan salahin juga dong. Kenapa? Karena Xiaomi itu memberikan harga yang sangat bawah, dengan spek yang sangat dewa.
Permasalahannya kemudian banyak iklan. Kemudian HP-nya penuh dengan iklan, memorinya penuh dengan iklan, ya udah, resikonya sendiri. Kalau mau-mau dapet yang bagus, ya beli yang di level tengah.
Beli Oppo atau yang semisalnya. Kalau nggak mau diribetkan lagi, tinggal pakai. Bebas dari virus, beli iPhone. Nah, ini pembahasan segmen yang mana akhirnya ketika kita jualan, itu kita nggak ngibul. Masa iya jualan madu murah Terus mau minta yang kualitas ini Kualitas itu Ya konsumen juga paham kok Ketika kita jualan madu Dengan literan Terus harganya juga murah Ya mereka berharap apa sih Dari madu itu Saya punya salah satu klien Namanya Pak Amin dari Jogja Kita dulu buat namanya Madu itu kardioni kardioni ya kardioni ini diambil dari dua nama kardio dan honey kardio itu dari jantung dan honey itu dari madu ini sebenarnya madunya itu madu aduh saya lupa namanya lebah yang kecil-kecil itu apa sih bukan aduh udahlah ya Kelanceng Madu kelanceng Sorry kalau saya salah Karena saya gak pakar madu juga Jadi madu biasa sebenarnya Cuman ditambah dengan Zat-zat yang plus-plus Yang baik untuk jantung Dan dia branding dengan namanya Kardioni, ini madu khusus Untuk penyakit jantung Dan laris Jualannya kemana?
Jualannya ke bapak-bapak tua, atau ke anak-anak muda yang orang tuanya rentan kena penyakit jantung. Dia buat komunitas jalan sehat, dia buat rutin pengecekan jantung, tensi darah, dan segala macam. Free konsultasi, dia bermitra dengan dokter jantung, buat webinar, jualan madu, laris Bapak Ibu.
Karena dia jualan solusi. Bukan jualan produk. Oke, sampai disini bisa difahami ya.
Nah, kita lanjut lagi. Jadi Bapak Ibu, sekarang tulis siapa segmen Anda. Mulai dari segmen geografis, di mana daerahnya, jangkauannya dari Anda berapa. Ini kalau Anda jualan bakso, seperti yang saya contohkan tadi.
Coach, saya jualan bakso yang dine-in. Bisa nggak saya pakai Facebook Ads? Bisa banget. Ketika Bapak Ibu tembak, iklannya itu radiusnya maksimal 5 kilo dari titik Bapak Ibu jualan.
Jadi 5 kilo dari titik itu, dari tempat Bapak Ibu jualan bakso, iklan pakai Facebook ads itu laris manis. Tapi jangan iklan ke kota yang berbeda. Kenapa?
Ya karena segmennya tadi. Dia mau makan yang bakso langsung siap saji. Ngiklannya jangan jauh-jauh.
Pakai selebgram, ya selebgram yang kotanya juga. Ya jangan selebgram yang nasional. Dan promonya, itu bukan promo-promo yang sampai banting-banting harga. Gunanya promo itu hanya untuk mengajak orang mencicipi. Sekedar mereka datang untuk mencoba.
Selanjutnya, database-nya dikelola supaya mereka jadi pelanggan. Oke ya? Jadi, saya kembali lagi ke slide yang tadi.
Bapak-Ibu, silahkan detailkan. Yuk, coba sekarang kerjain yuk. Di mana mereka, di daerah mana, jangkauannya berapa. Kalau Bapak-Ibu punya produk yang produknya bisa menjangkau seluruh Indonesia, maka jangan sasar seluruh Indonesia.
Sasar titik-titik yang kira-kira bisa free ongkir dulu. Kalau Bapak-Ibu di sekitaran Jakarta, maka daerah Jabodetabek yang kira-kira bisa free ongkir, yang nggak memberatkan, gitu ya. Atau kalau Bapak Ibu di daerah Kalimantan, yang jangan dulu terlalu, wah saya bisa menggarap Indonesia Timur, saya bisa menggarap seluruh Indonesia. Nanti dulu, ya. Fokus dulu, ya, kita lihat market size-nya ada berapa, ya.
Kemudian berdasarkan demografis, ya, usia, ya, usia, jenis kelamin. Agama, pendidikan, ras, etnis, pendapatan, status pernikahan, pekerjaan. Ini coba diisi dengan detail. Ini yang membuat kita bisa memahami konsumen kita dengan baik. Saya kasih contoh.
Yang jualan hijab anak bayi tadi. Jualan hijab anak-anak, maaf gitu ya. Kenapa omsetnya bisa laris manis?
Dia membidik ibu-ibu kelas menengah ke atas. Yang mana ibu-ibu ini memang senang gemes. Fotoin anaknya pake hijab.
Akhirnya apa? Dia buat konten, anak-anak yang pake hijab tadi gemes. Ya, uduh.
Anaknya pokoknya gebesin banget deh kalo pake hijab itu. Terus dengan embel-embel, kita ngajarin anak sedari dini untuk tutup aurat. Ya Allah, Bu.
Anak bayi diajarin tutup aurat. Ya gimana juga. Namanya juga anak-anak. Tapi itulah brandingnya. Itulah cara edukasi ke konsumennya.
Ibu, ini lucu banget ya anaknya ketika Pakai hijab kayak begini, bawa ke jalan ke mal, nanti jadi pusat perhatian orang. Nah, otomatis bahkan ras yang dia pilih ketika Bapak Ibu kita jualan ke orang Jawa, gunakan bahasa Jawa. Ketika kita jualan ke target market ibu-ibu millennial atau ibu-ibu...
millenial, gunakan bahasa kekinian jangan gunakan bahasa-bahasa yang berat nah, secara psikografis, gaya hidup mereka bagaimana, kelas sosial mereka bagaimana merek yang biasa mereka pakai apa, value yang mereka cari itu yang mana, berdasarkan behavior, gemar belanja online mereka bagaimana bagaimana mereka nongkrong di cafe, budgetnya berapa Kalau ke salon itu budget mereka berapa? Jadi ada Bapak Ibu, kalau spendingnya biasanya itu mereka ke salon, ketika mereka sekali nyalon itu 500 ribu, maka kecenderungan ketika mereka beli baju, beli hijab, ya itu hitungannya juta. Tapi ketika mereka jarang nyalon, jarang memperhatikan kesehatan rambutnya, jarang memperhatikan kesehatan tubuhnya, mereka mau cari baju, yaudah cari baju yang sekedarnya aja.
Nah itu adalah similar atau kemiripan. Jadi cara kita mengidentifikasi konsumen itu melalui kita melihat benchmarking namanya. Benchmarking. Atau kita melihat model.
Kita melihat contoh. Kalau orang itu sekali nongkrong duduk di kopi itu, di warung kopi itu, dia keluar 100 ribu, berarti kalau dia beli cemilan itu budgetnya berapa? Nah, jadi kita cari yang similar begitu. Baik Bapak Ibu semuanya, ketika kita sudah mendetailkan siapa segmen kita, siapa target market kita, selanjutnya Bapak Ibu, bagaimana cara mendapatkan omset 1 miliar pertama? Bagaimana mendapatkan 1 miliar per bulan?
Nah, ini pertanyaan yang menarik banget. Ini pertanyaan yang menarik banget. Coach, saya mau dapat 1M pertama saya. Nah, pertanyaannya adalah... Ketika Bapak Ibu mau dapatkan 1 miliar pertama, Bapak Ibu jualan produk yang kuantitas atau jualan produk yang kualitas?
Mana yang Bapak Ibu jual? Karena 1 miliar itu bisa didapat ketika 1 unit x 1 M. Udah langsung dapet.
Contoh tadi ketika Bapak siapa tadi ya? Jualan mesin fotokopi, jualan mesin printer, jualan mesin-mesin industri. Yaudah, jualan 1 mesin juga udah dapet 1 miliar. Jualan satu unit rumah juga udah langsung dapat 1 miliar.
Tapi, cara menjual satu unit itu prosesnya panjang. Ada sales funnel namanya. Ini yang harus dikerjain.
Nah, Bapak Ibu, apakah produk kita itu kita kuantitas atau kualitas? Jangan menyamakan jualan mobil dengan jualan rumah. Jualan mobil 10 unit kali 100 juta, ya 1 miliar juga. Nah, ketika kita melihat segmen, oh orang yang mau beli rumah harga 1 miliar, ini segmennya di mana? Mereka biasa nongkrong di mana?
Mereka biasa membahas pembahasan apa? Kita masuk ke sana. Kita bukan jualan rumah, tapi jualan impian mereka. Mereka punya impian punya rumah 1 miliar. Kita nongkrong, kita didik sales kita untuk bisa nongkrong dengan orang-orang yang punya penghasilan itu.
Tapi ketika kita mau jualan motor, jualan mobil, atau jualan yang unitnya itu 10 unit x 100 juta, ya 1 miliar juga. Nah, maka pertanyaannya lagi-lagi, kita harus nongkrong dengan siapa? Sales kita, itu kita harus ajarkan bagaimana melakukan pendekatan dengan orang-orang itu.
Atau 100 unit dikalikan 10 juta, itu juga 1 miliar. Mungkin Bapak Ibu jualan motor, mungkin Bapak Ibu jualan HP. Jualan HP, ya, 1000 unit dikali 1 juta, ya dapat 1 miliar juga. Atau jualan yang lebih receh lagi nih, ya, 100 ribu unit dikali 10 ribu, 1 miliar juga.
Atau 1 juta unit dikali seribu perak, ya, 1 miliar juga. Buat Bapak Ibu yang jualan keripik, jualan hijab, atau jualan yang receh-receh, jangan merasa minder. Coach, saya cuma jualan popcorn, bisa nggak dapat 1 miliar?
Ya bisa. Caranya gimana? Jual 100 ribu unit. Dapat juga 1 miliar.
Nah, capeknya Bapak Ibu, capeknya jualan 1 unit dengan cara jualan 100 unit sebenarnya sama. Capeknya jualan 1 unit dengan jualan 1000 unit atau 100 ribu unit, capeknya sama. Capeknya sama.
Caranya sama. Ini yang banyak orang nggak paham. Nah Bapak Ibu, gimana cara jualannya Coach? Ada namanya sales funnel, yang ini akan kita bahas lebih lengkapnya besok Sales funnel itu adalah proses dari orang yang tidak tahu menjadi tahu Dari yang tadinya tidak tahu kemudian menjadi tertarik Kemudian ingin mencoba, ingin langganan dan akhirnya mereka mereferensikan produk kita Ketika Bapak Ibu mau jualan motor mau jualan mobil, maka iklannya awareness dulu. Berapa banyak orang yang tahu.
Kalau bahasanya di sini, bagaimana kita menjaring mereka, tadinya mereka bukan target market kita, akhirnya kita jaring, kita saring mereka, menjadi target market kita. Ini yang disebut dengan customer yang cool. Berapa orang yang tahu tentang produk kita. Salah satu klien kami di Ngawi, kita bantu mereka bagaimana jualan properti di saat pandemi dalam hitungan bulan laku 7 unit. Bayangin Bapak Ibu, itu nggak mudah.
Jualan di musim biasa aja, jualan 7 unit dalam hitungan 3 bulan, itu nggak mudah. Apalagi itu di saat pandemi. Caranya gimana?
Jumlah orang yang tahu itu harus 100 orang. Dari 100 orang yang tahu tentang produk kita, kita menyaring lagi 50 orang yang tertarik. Dari 50 orang yang tertarik, yang visit dengan produk kita paling-paling cuma 10. Dari 10 yang visit, itu deal 1 rumah.
Berarti kalau mau deal 3 rumah, gimana caranya coach? ya dikali 3 dong, berarti yang yang tau harus 300 orang maka kalau 300 orang yang yang tau, maka yang visit 150 orang yang telepon 150 orang yang datang akan 30 orang yang beli 3 orang gimana caranya coach? ya tinggal kita cari, dimana sumber mereka orang-orang ini, target market kita contoh, ya...
Yang properti tadi. Di Ngawi, kita bantu salah satu klien kami. Ngawi itu kota kecil, Bapak Ibu. Itu kita membidiknya ke target marketnya dokter dan praprofesional seperti TNI, karyawan, TNI, NAKES, tenaga kesehatan. Ini di saat pandemi, mereka yang lagi banyak duit.
Polri, itu lagi banyak duit. Dapatkan database mereka, dan kita fokus jualan ke mereka, dekati mereka. Satu orang sales itu harus bisa dapatkan sekian database, dan harus bisa nyebar brosur atau informasi ke minimal 100 orang, atau sekian orang dalam satu hari.
Maka dalam sekian bulan, akan terkumpul sekian leads atau calon pembeli. Dari sekian calon pembeli, maka yang akan menghubungi sekian orang. Dan itu angkanya insya Allah terukur.
Makanya ketika orang yang tadinya sudah kita dapatkan database-nya, orang yang tadinya sudah dapat kita sharing menjadi target market kita, selanjutnya kita sharing dengan mereka. Kita bukan jualan, tapi kita sharing bagaimana mengajak mereka untuk bisa mencoba dulu produk kita. Nah seringkali Orang terjebak disini Mereka pikir dengan mereka Memberikan diskon orang akan beralih Padahal diskon itu hanya Untuk mencoba Hanya untuk men-trigger konsumen Supaya mau mencoba beralih Nah setelah mereka beralih Setelah mereka Hangat nih Selanjutnya bagaimana cara mereka Supaya langganan dengan produk kita otomatis kita harus kelola database itu, Bapak. Nah, sehingga apa?
Ini alur, inilah yang kita kontrol. Kita punya manajer marketing, kerjaan manajer marketing itu mengontrol sales funnel ini. Berapa leads yang masuk?
Berapa calon potensial customer? Berapa yang closing? Besok, bulan depan, target KPI-nya apa? Kalau nggak punya ini, kalau manajer marketingnya juga masih ikut jualan, ikut terjun ke lapangan, pecah aja manajer marketing. Itu bukan kerjaan manajer, itu kerjaan sales.
Nah, baik. Mungkin begitu Bapak-Ibu ya. Nah, selanjutnya tadi kursi cerita ada sales, ada yang ke lapangan gitu ya.
Nah, Bapak-Ibu semuanya saluran penjualan itu dibagi dua. Ada yang B2C. bisnis to customer, yang kita sebut dengan jualan retail, ada yang bisnis to bisnis, yang disebut dengan jualan ke secara pulaan atau secara reseller, atau secara ke perusahaan-perusahaan ini punya karakter yang berbeda dengan cara pendekatannya, Bapak Ibu pendekatannya ketika kita mau melakukan B2C atau retail tadi Bentuk dan jasa produk yang kita tawarkan itu standar.
Makanya tidak ada kue yang paling enak. Tidak ada kue yang lebih enak. Yang ada adalah kue yang standar.
Konsumen paham standar produknya kita itu bagaimana. Jangan sampai ketika hari ini dia beli, rasanya enak, besok dia bawa ke mertuanya, kok agak gosong ya. Nah, ini fatal ketika kita jualan retail. Ketika kita jual B2B, misalnya Bapak Ibu nih... jualan makanan, jualan snack masukkan ke perusahaan jadi snacknya untuk perusahaan, kita bisa buat custom orang-orang di perusahaan itu semennya yang mana lebih banyak mana, lebih banyak mau yang pedas, atau mau yang original, atau mau yang mana itu kita custom dan pihak penjual yang terlibat salesperson, kalau di sini, di B2C lebih banyak salespersonnya yang keliling, Bapak Ibu.
Yang masukin barang, jualan retail. Tapi ketika mau jualan untuk B2B, maka kita siapkan tim. Nah kemudian, untuk pihak pembeli yang terlibat di sini, paling-paling yang dibutuhkan untuk meyakinkan, ya satu dua orang.
Artinya apa, Coach? Untuk kita, untuk seorang itu memutuskan pembelian, mau beli barang kita atau enggak, ya paling Kalau nggak ibunya, atau bapaknya, atau anaknya, atau mertuanya, ya paling satu dua orang itu aja yang harus kita yakinkan. Konten-konten kita itu menyasar ke mereka.
Tapi ketika kita mau jualan B2B, kita harus meyakinkan jenjang atau level atau satu organisasi itu. Nggak bisa kita cuma jualan ke HRD-nya. HRD akan nembusin lagi ke atasannya. atasannya akan punya atasan lagi punya CEO, nanti mereka rapat mereka akan bandingkan mana produk yang bagus, mana produk yang paling efektif untuk mereka, maka kita butuh tim yang komplit untuk bisa melakukan presentasi ke perusahaan makanya kalau yang retail, yang B2B tadi penjualannya melalui individu tapi kalau yang pembeliannya B2B ini pembeliannya kolektif Banyak orang yang harus kita yakinkan.
Dan hubungannya yang kita bangun juga kalau yang B2C, jangka pendek. Tapi kalau B2B itu jangka panjang, Bapak-Ibu. Dan ukuran loyalitas konsumennya, kalau yang B2C, referal.
Mereka mereferensikan produk kita. Tapi kalau yang B2B, ukuran loyalitasnya adalah tidak banyak permintaan lagi. Jadi produk kita sudah diterima ketika kita berhasil masuk. Itu udah konsisten aja. Saya punya salah satu orang teman, dia orang tuanya bisnisnya itu catering, sudah terstandarisasi, masakannya luar biasa dengan standarisasi-nya, dia cukup meng-handle tiga perusahaan, itu omsetnya sudah ratusan juta cateringnya.
Ratusan juta, maaf. Ratusan juta. Hanya meng-handle tiga perusahaan saja. Tapi jangan ditanya bagaimana cara masuk ke perusahaannya.
Wah, itu perjuangannya luar biasa. Harus meyakinkan beberapa orang. Tapi ketika dia berhasil membangun loyalitas yang bagus, efeknya jangka panjang. Bahkan catering tadi diwariskan ke generasi berikutnya, ke teman saya itu tadi. Nah, jadi kesimpulannya Bapak Ibu yang kita pelajari malam hari ini adalah...
Apa solusi yang Anda tawarkan kepada konsumen Anda? Sehingga itu yang Anda cantumkan di Instagram Anda, di Facebook Anda. Itu yang dicantumkan.
Siapa segmen Anda? Di mana mereka berkumpul? Berapa unit yang harus Anda jual untuk mencapai 1 miliar pertama? Dan apa saluran penjualan yang tepat? Nah bagi Bapak Ibu yang ingin konsultasi secara private atau one-on-one dengan saya, silahkan hubungi nomor saya di 0813-717-90331.
Atau nomor yang tertera, yang menginformasikan tentang event tunas ini. Itu langsung dari nomor saya. Save nomor ini, boleh ditanyakan langsung ke saya.
Kapan saya ada waktu, saya akan balas. Meskipun saya nggak janji akan balas cepat, tapi insya Allah saya akan balas. Dan bagi Bapak Ibu yang beruntung... yang ingin bisa one-on-one private, mudah-mudahan saya bisa bantu, saya akan bantu, insya Allah. Karena kalau sudah bicara banyak bisnis, itu memang dikupasnya harus satu per satu.
Makanya layanan yang kita berikan adalah layanan coaching, pendampingan one-on-one. Karena kalau seminar seperti ini, webinar seperti ini, ilmu yang didapat itu juga general. Tidak bisa dikupas tajam, setajam silet.
Itu juga branding sebenarnya ya. Nah jadi Bapak Ibu, jangan sungkan untuk menghubungi saya. Insya Allah mudah-mudahan apa yang bisa saya bantu, akan saya bantu.
Nah disini sudah banyak banget komentar. Nah silahkan Silahkan, oh ini ada Tante Mei Mei Lina Wu ya, ngadu kelulut Nah ya bener banget ya Tadi dibantu ya Silahkan, jika ada yang mau bertanya Ya, baik saya baca dulu nih Komen-komennya, ada yang bertanya gak nih ya Mungkin waktu kita, wah udah Sengat 10 ya, wah Pak Zumarin Pak Zumarin ini keren nih Susah transfer dan tarik tunai Di pelosok desa, itu problem yang kita pecahkan Nice! Itu yang di-brandwash ke para penduduk desa. Jadi ketika mereka punya saudara, bisnis di kota, itu yang kita bantu. Silahkan ini dari Pak Firman.
Jika disuruh pilih, kita fokus quantity, artinya fokus konsumen yang banyak, untungnya sedikit. Harganya murah, produknya murah. Atau quality, produknya dan biayanya mahal.
Bagaimana agar kita... Kita bisa menentukan dari pilihan tadi. Iya, Bapak Ibu punya resourcenya yang mana? Bapak Ibu punya resourcenya yang mana?
Itu dulu. Jadi, Bapak Ibu lihat resourcenya yang Bapak miliki itu yang mana. Kalau Bapak Ibu bisanya produksi ketela, produksi snek, yaudah.
Pilih yang kualitas. Eh, pilih yang kuantitas. Tapi ketika Bapak Ibu punya resource untuk jualan yang mahal, jualan yang kuantiti, yaudah fokus ke sana.
Begitu Pak Firman, jadi tergantung resource yang Bapak punya. Atau kalau Pak Firman mau nyalakan mic-nya untuk kita diskusi juga boleh, silahkan. Ini ada dari Ladea Workshop, silahkan kalau Bapak Ibu mau nyalakan mic-nya kalau mau diskusi.
Pertanyaan yang ditulis tadi, dengan cara apa menjawabnya Coach? Apakah survei atau minta pendapat pelanggan? Pertanyaan yang mana ya?
Bantu jawab Coach, itu pertanyaan untuk cari augen, itu segmen, segmentasi itu bagi pertanyaan itu. Kenapa segmennya Pak? Pemilihannya kita... sehari di segmentasinya itu melalui treatment apa? Kita tanya sama konsumen langsung atau menurut data?
Bapak, jualannya apa nih? Kalau saya ini di fashion sih. Oh, bisnisnya di fashion.
Bapak, segmennya yang mana nih Bapak pilihnya? Saya di produk atas nih. Ah, kenapa? Apa yang membuat Bapak memilih segmen atas?
Nggak enak kalau jualan yang produk kurang baik lah, maksudnya kualitasnya di bawah standar kayak agak malu itu loh, nggak berani bersaing, nggak berani taruh gitu loh. Wah, mantap. Iya, artinya sekali kita memilih nih, wah saya pilih yang atas nih. Kenapa? Karena kita mau menyajikan kualitas.
Joss, maka tinggal konsisten di segmen itu. Nah, omsetnya berapa sekarang Pak? Masih kecil, Masih di 200-300an 200-300an, Bapaknya jualannya online atau offline? Online, ini kita membangun database buat di offline-in Jadi kita punya retail yang bener offline gitu loh Ada user yang, kan kita juga pen-branding kita udah 2-3 tahun sih Iya, menarik Bapak punya omset 200-300 juta jualan fashion.
Fashionnya apa dulu nih? Fashionnya di Koko sama Sarung. Produk muslim.
Produk muslim. Koko dan Sarung. Nah, bisa nggak di kondisi yang tidak lebaran omsetnya melejit? Itu masalah masih yang pelik gitu. Masih 3 tahun ini masih di problem, di area situ.
Oke. Tapi kalau nanti ada... Oke.
Iya. Mantap ini Pak. Mantap ini.
Tapi belum tertentu loh maksudnya. Iya, jadi... Masih memang berpendurunan atau memang kita segmentasinya kurang?
Jadi itu kan bisa dari segmentasinya. Baik, ya itulah kenapa butuhnya coach. Coach itu bisa menangani personal, Pak, satu per satu. Jadi coach itu kan pelatih ya.
Saya posisi itu sebagai pelatih bagaimana bisa mencapai target, bisa menyelesaikan permasalahan Bapak. Nanti kita bisa diskusi one on one. Ya, mudah-mudahan saya bisa mengatasi masalah Bapak.
Bagaimana achieve di 1 miliar pertama? Sip? Itu 200-300 juta.
Iya. Bagaimana achieve bisa 1 miliar sebulan? Setiap 4 bulan itu lah. Sehingga itu 1 miliar sebulan.
Iya. Iya. Iya. Siap. Bapak di kota mana?
Kota Oman. Di mana? Kota Oman. Oh, Pekalongan, Jawa Tengah. Iya, iya.
Sorry, sorry. Di sini suah apa? Hujannya lumayan deras ya.
Agak kurang dengar. Baik, baik, baik. Sip, nanti kita coba bedah satu persatu ya. Permasalahannya secara private. Nah, ada lagi pertanyaan?
Silahkan. Iya, ini Pak Ibu Eladia Workshop. Sudah angkat tangan nih. Silahkan.
Iya, di Bu Ladia Workshop saya juga mau private kelas, boleh? Silahkan, tadi Bapak yang di Pekalongan, Pak siapa namanya ya? Pak Mas Ruri. Pak Mas Ruri, nanti hubungin saya atau hubungin Mas Ari untuk jadwalnya, karena jadwal saya lumayan padat, kadang-kadang sudah satu minggu ke depan sudah full, nanti dijadwalkan ya, Bu Ladia Workshop juga hubungin saja ke saya atau ke Mas Ari ya, untuk jadwal private. Baik, mungkin begitu dulu Bapak Ibu karena udah jam 9.45 di jam saya, jam 21.43.
Nggak terasa kita udah malam banget, mungkin di Indonesia Timur sudah malam banget. Alhamdulillah, mudah-mudahan di sesi turas kali ini Bapak Ibu banyak yang tercerahkan, banyak yang bisa terselesaikan permasalahan bisnisnya. Dan bagi yang ingin private, nanti jangan sungkan untuk menghubungi saya atau menghubungi mas Ari, tim saya. Mudah-mudahan kami bisa mengurai permasalahan Bapak-Ibu semuanya dan bisa membantu Bapak-Ibu mencapai goals-nya yang dirasa mustahil. Kalau rasanya satu miliar pertama itu masih jauh banget, Coach.
Insya Allah nggak sulit. Kenapa? Karena kita akan bimbing step by step. Mungkin itu dulu yang bisa saya bagikan malam hari ini.
kita tutup dengan doa katolik majelis supaya berkah majelisnya subhanallahumma wabihandika asyadu ala ilaha ila anta sampai jumpa lagi di sesi tunas berikutnya assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh