Intro Kenapa saya ingin menjadi arsitek? Dan apa yang saya cari selama ini? Saya menemukan jawaban untuk menjadi arsitek yang menjadi diri sendiri, yaitu pada saat kami melakukan perjalanan ke dalam negeri, ke Wairbo, pada tahun 2008. Sebelumnya perjalanan itu sifatnya hanya perjalanan...
Visual, ya seperti seorang turis. Tapi di Wairubo kami menemukan sebuah desa yang luar biasa, nggak pernah ada di buku-buku sebelumnya, nggak pernah ada di catatan, seperti desa yang hilang, dan arsitekturnya menuju ke punahan. Dan di situ, tiba-tiba saya seperti menemukan sebuah jalan, masyarakatnya... Hidup di hutan dan tidak memiliki cukup uang untuk membeli kayu dan sebagainya.
Oleh karena itu, tugas saya mencari donatur. Nah, secara tidak langsung saya menemukan formula, inilah asitektur Indonesia yang selama ini kita cari-cari tidak pernah ketemu. Kenapa?
Karena cara kita belajar di bangku kuliah perguruan tinggi kita itu beda sekali ternyata. Perguruan tinggi kita itu datangnya dari budaya tulisan dibawa oleh Belanda. Belanda mengajarkan budaya tulisan dengan material-material industri. Dan kita disiapkan menjadi arsitek siap pakai. dengan mindset dari budaya tulisan yang disebut arsitektur modern.
Jadi kita mempelajari semua arsitektur dari budaya industri, mulai dari struktur, material, dan sebagainya. Bahkan kehidupan kita yang dua musim, malah kita pelajari kehidupan empat musim. Kehidupan empat musim itu apa?
Lebih bernuansa indoor. Artinya lebih tertutup. Kita manusia Indonesia lahirnya datang dari budaya dua musim. Dua musim itu menghasilkan manusia outdoor.
Manusia outdoor adalah manusia sosial. Manusia sosial adalah manusia gotong royong. Jadi DNA manusia Indonesia itu adalah manusia gotong royong. Sehingga cara membangunnya bottom up. Nah kita belajar arsitektur luar negeri yang datangnya dari budaya tulisan, dari empat musim, materan industri.
Dan itu adalah budaya instruksi. Instruksi itu apa? Top, down. Makanya kita tidak pernah ketemu mana arsitektur modern sama arsitektur tradisional dua-duanya berjalan sendiri. Padahal budaya kita adalah budaya yang sangat kaya, terdiri dari ribuan pulau.
Suku kita ada 800, belum sub-etniknya. Bayangkan dengan tetangga kita Singapura, Malaysia, nggak ada apa-apanya sama Indonesia. Tapi secara mindset, mindset kita tuh Dirubah supaya menjadi mindset manusia modern industri yang akhirnya kita harus mengikut bagaimana orang luar mengajari kita bikin arsitektur. Sedangkan arsitektur kita sendiri itu luar biasa kearifan lokalnya, bahkan sangat dikagumi oleh di luar negeri.
Tapi anehnya kita sendiri orang Indonesia tidak mengagumi arsitektur kita sendiri. Dianggap itu semua peninggalan masa lalu. Bahkan pada saat aspektur Nusantara, bagi saya aspektur Nusantara kita, aspektur tradisional kita, itu sudah hadir ribuan tahun yang lalu sebelum pergeluhan tinggi itu masuk ke Indonesia yang modern. Jadi kalau kita nggak mau mempelajari itu semua, kita bagaikan kacang lupa kulitnya.
Jadi aspektur tradisional bukan masa lalu, kita balikkan mindsetnya, ini adalah masa depan kita. Jadi karifan lokal kita akan membimbing kita ke masa depan. Dan kita masih belum banyak mempelajari apa itu kelebihan-kelebihan dari aslektur kita sendiri.
Yang jelas, aslektur kita itu memang dibangun secara gotong royong bersama masyarakat, materialnya material alam, kemudian kelebihannya juga adalah aslektur dengan struktur tahan gempa dan rumah-rumahnya itu tidak berpager karena memang masyarakatnya masyarakat outdoor. Bayangkan kita menjadi masyarakat modern tinggi. Tinggal di real estate, berpager, sama tetangga pun kita tidak kenal.
Jadi beda sekali. Tapi saya bukan asetek yang merasa, oh saya harus jadi asetektur modern atau asetektur tradisional. Kita beruntung, kita sangat beruntung bahwa kita memiliki dua keilmuan itu.
Tugas kita mensinergikan, menghubungi. Supaya... inspirasi-inspirasi kita itu datangnya dari diri kita sendiri.
Kita tetap menjadi Aztek Modern, tapi dengan inspirasi dari Aztek Tour kita sendiri. Tugas kita membawa inspirasi itu ke masa kini, dan tugas kita juga membawa itu ke masa depan. Setelah Wehrebo, kami lestarikan kembali, bahkan... 2013, mendapat penghargaan UNESCO.
UNESCO selama ini memberikan penghargaan terhadap bangunan-bangunan tektonik. Diberikan kepada sekelompok ahli. Tapi Wairbo adalah bangunan-bangunan yang dibangun oleh masyarakat.
Bahkan UNESCO bilang, kami ingin belajar dari Wairbo. Bagi saya sangat menggairahkan sekali, karena begitu banyak harta karun yang keluar ya, dan itu perlu dicatat, dan sekarang perguruan tinggi pun juga sudah melakukan hal itu, bahkan semua kementerian pada dasarnya visinya adalah Astritor Nusantara, melalui kementerian pariwisata, kementerian pendidikan budayaan, kementerian PU, bahkan ibu kota kita sendiri juga ibu kota Nusantara. Nah jadi...
Di situ kami melihat memang arahnya mencari aspektur Indonesia yang selalu saya bertanya, itu kemudian sekarang sudah mulai menemukan jawabannya dan itulah masa depan kita. Terlebih lagi di era pandemi terbukti sudah bahwa manusia outdoor itu manusia yang paling survive dengan adanya pandemi. Tentunya dari pembelajaran manusia outdoor, saya juga membuat kota-kota kita dilengkapi dengan ruang-ruang publik.
Ruang-ruang terbuka hijau untuk publik. Tidak lagi publik itu harus berkumpulnya di mal, seperti pada umumnya selalu. Tapi di ruang-ruang terbuka hijau, karena disitulah proses sosial berlangsung.
Dan proses sosial itu adalah juga suatu proses gotong royong. Jadi masyarakatnya juga bisa lebih berinteraksi satu sama lain dan tidak terkotak-kotak.