Intro Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh Sahabat seiman yang dirahmati Allah Pada kesempatan kali ini akan menguak siapakah Wali Songo itu? Apakah para Wali Allah ini sejaman? Atau apakah para Wali Allah ini ada kaitan saudara satu sama lainnya?
Mari kita simak video ini sampai selesai. Wali Songo adalah para Wali Allah yang berjumlah sembilan orang, yaitu diantaranya, Syekh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonan, Sunan Derajat, Sunan Kalijaga, Sunan Hudud, Sunan Mulia, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan, namun satu sama lainnya mempunyai keterkaitan yang erat, yaitu ikatan darah atau saudara, dan juga dalam hubungan guru. dan murid.
Sheikh Maulana Malik Ibrahim adalah yang tertua. Sunan Ampel adalah anak dari Sheikh Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan dari Sheikh Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu dari Sunan Ampel.
Sunan Bonang dan Sunan Derajat adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid dari Sunan Bonang. Sunan Muria adalah anaknya Sunan Kalijaga. Sunan Kudus adalah murid dari Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung Jati adalah sahabat para sunan kecuali Syai Maulana Malik Ibrahim yang lebih dulu meninggal. Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16 di tiga wilayah penting yaitu daerah Surabaya Gersik Lamungan yang berada di Jawa Timur, Demak Kudus Muria yang berada di Jawa Tengah, serta Cirebon yang berada di Jawa Barat.
Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru, mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan. Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu.
Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan Sunan Kudus adalah kreator karya seni, yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang.
Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata. Era Wali Songo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Buddha dalam budaya Nusantara, yang digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia.
khususnya di tanah Jawa. Tentu saja banyak juga tokoh lain yang ikut juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas, serta dakwah secara langsung, membuat sembilan mal ini lebih banyak disebut dibandingkan dengan yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran agama Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai tabib dari Kerajaan Hindu Majapahit, Sunan Kiri yang disebut para Polonis sebagai Paus dari Timur, hingga Sunan Kalijaga yang menciptakan karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami oleh masyarakat Jawa. Yang pertama adalah Syekh Maulana Malik Ibrahim.
Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Maklum Ibrahim Ar-Samarkandi diperkirakan lahir di Samarkan, Asia Tengah, pada awal abad ke-14. Syekh Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Beliau bersaudara dengan Syekh Maulana Ishak, ulama yang terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri atau Raden Paku.
Syekh Maulana Malik Ibrahim dan Syekh Maulana Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia yang bernama Syekh Maulana Jumadil Kubro yang menetap di Samarkan. Maulana Jumadil Kubro diakini sebagai keturunan ke-10 dari Saidina Hussein, cucu Nabi Muhammad SAW. Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Champa, yang sekarang Kamboja, selama 13 tahun sejak tahun 1379 Masehi. Beliau menikahi putri raja yang memberinya dua putra.
Mereka adalah Raden Rahmat atau yang dikenal dengan Sunan Ampel, dan Said Ali Murtada alias Raden Santri. Karena merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, pada tahun 1392 Masehi, Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa, meninggalkan keluarganya untuk berdakwah dan menyebarkan Ajaran Islam, daerah yang ditujunya pertama kali yaitu Desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang adalah daerah heran kecamatan Manyar, 9 km utara kota Gresik.
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga yang murah Selain itu secara khusus Syekh Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masalah masyarakat secara gratis. Sebagai kabib, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari campak. Besar kemungkinan permasyuri tersebut masih kerabat istrinya. Beliau juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah, kasta yang disisihkan dalam Hindu.
Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai memperbaiki membangun dan menetap pondokan tempat belajar agama di Lera. Pada tahun 1419 Masehi, Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di Kampung Gapura, Kresik, Jawa Timur.
Yang kedua adalah Sunan Ampel. Ia adalah putra pertama dari Syekh Maulana Malik Ibrahim. Menurut Bapak Tanah Jawi dan Sisila Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat.
Ia lahir di Campa pada tahun 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri diidentikan dengan nama tempat di mana ia lama bermukim, di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya, kota Wonokromo. Sunan Ampel masuk ke Pulau Jawa pada tahun 1443 Masehi bersama Sayyid Ali Murtado Sang Adi.
Pada tahun 1440 sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui memiliki bibinya seorang putri dari campai yang bernama dua rawati yang dipersunting oleh salah seorang raja majapahit yaitu Prabu Sri Kertawijaya Suran Ampel menikah dengan putri seorang Adipati dituban dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putra dan putri diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Derajat ketika kesultanan Demak hendak didirikan Sunan Ampel turut membantu lahirnya kerajaan Islam pertama di pulau Jawa itu ia juga yang menunjuk bibinya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit untuk menjadi Sultan Demak pada tahun 1475 Masehi. Di daerah Ampeldenta, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun dan mengembangkan sebuah pondok pesantren dan beliau merangkul masyarakat sekitarnya.
Pada pertengahan abad ke-15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan manca negara diantara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarkan untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura. Sunan Ampel adalah ahli pikih, namun pada santrinya ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah.
Dialah yang mengenalkan istirahat Moklimo, yaitu seruan untuk tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotika, dan tidak berjina. Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 Masehi Didemak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya Yang ketiga adalah Sunan Giri Beliau dijuluki yaitu Raden Papu alias Muhammad Ainul Yakin Sunan Giri lahir di Belambangan yang sekarang adalah Banyuwangi pada tahun 1442 Masehi Ada juga yang menyebutnya dengan julukan Jakasa Mudra Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya seorang putri raja berambangan yang bernama Dewi Sekerdadu Kelaut. Raden Paku kemudian diangkat anak oleh Nyai Semboja.
Ayahnya adalah Syekh Maulana Ishak, saudara kandung dari Syekh Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil mengislamkan istrinya, tetapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga istrinya berkelana hingga ke Semudera Persai. Sunan Giri Kecil menuntut ilmu di pesantren misalnya Sunan Amal.
Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan desa Sidomukti, selatan Gresik.
Dalam bahasa Jawa, bukit adalah giri, maka ia dijuluki Sunan Giri. Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit konon karena khawatir Sunan Giri akan melakukan pemberontakan Maka Sang Raja memberi kelaluan kekuasaan kepadanya untuk mengatur pemerintahan.
Maka pesantren itu pun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Sat Mata. Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Tanah Jawa. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak.
Hal tersebut tercatat dalam babar Demak. Dan selanjutnya demak tidak lepas dari pengaruh dan nasihat dari Sunan Giri Yang diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan setanah Jawa Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun lamanya Salah seorang penerusnya adalah Pangeran Singosari Yang dikenal sebagai tokoh paling gigih yang menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada abad ke-18 Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau Kauyan, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebaran Islam ke Sulawesi Selatan, Sunan Giri mengutus Datuk Ribandang dan dua sahabatnya. Mereka adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu piki. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pencipta karya seni yang luar biasa.
Permainan anak seperti jelungan, lil-ilir, dan cublak suam yang disebut. sebagai kreasi Sunan Giri demikian pula dengan gening Asmaradana dan kucung yang bernuasa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam yang keempat adalah Sunan Bonang ia anak dari Sunan Ampel yang juga cucu dari Syekh Maulana Malik Ibrahim nama kecilnya adalah Raden Magdum Ibrahim Sunan Bonang lahir diperkirakan pada tahun 1465 Masehi dari seorang perempuan yang bernama Nyi Ageng Manila putri seorang adipati di Tuban Raden Magdum Ibrahim Ibrahim adalah penemu salah satu jenis gemelan dengan tonjolan di bagian tengahnya atau yang kerap disebut bonang. Dari situlah julukan sunan bonang disematkan kepada Raden Magdum Ibrahim. Beranjak remaja, Raden Magdum Ibrahim pergi ke negeri Pasai Aceh untuk berguru kepada Syekh Maulana Ishak. Ayahanda dari Sunan Giri Sejak kecil sudah tampak kecerdasan dan keulatan Raden Maktum Ibrahim dalam menuntut ilmu Selain dibimbing oleh Sunan Ampel dan Syemma Ulana Ishak Raden Maktum Ibrahim juga berguru kepada banyak ulama lainnya Hingga akhirnya Raden Maktum Ibrahim diakui keilmuannya yang mumpuni dalam penguasaan fikir Tesawuk, seni, sastra, arsitektur, dan bela diri Kelak keterampilan silat Sunan Bonang Berguna ketika ia mengalahkan seorang perampok yang bernama Raden Said Raden Said pun tunduk dan bertobat Kemudian ikut menyebarkan dakwah Islam Dan menjadi anggota wali Songo yang dikenal dengan nama Sunan Kalijagar Dakwah dari Sunan Bonang dimulai dari kendiri Jawa Timur Yang mendirikan langgar atau musola di tepi sungai Brantas Tepatnya di desa Singkal Sunan Bonang sempat mengislamkan Adipati Kediri, Arya Wirenata Pada dan putrinya.
Usai dari Kediri, Sunan Bonang pergi ke Demak, Jawa Tengah. Oleh Raden Pata, pendiri sekaligus pemimpin pertama Kesultanan Demak, Sunan Bonang diminta untuk menjadi Imam Mesjid Demak. Sebagai mana wali Songo lainnya, Sunan Bonang menyebarkan agama Islam melalui media seni dan budaya. Ia menggunakan alat musik gamelan untuk menarik simpati rakyat.
Warga berbonong-bonong ingin mendengarkan alunan tembang dari gamelan yang dimainkan oleh Sunan Bonang. Ia merubah sejumlah tembang tengahan mecapak, seperti Kidung Bonang, dan sebagainya. Hingga akhirnya banyak orang yang bersedia untuk memeluk agama Islam tanpa paksaan.
Sunan Bonang juga mahir memainkan wayang, serta menguasai semi dan sastra Jawa. Dalam pertunjukan wayang, Sunan Bonang menambahkan rizikan, yaitu kuda, gajah, harimau, garuda, kereta perang, dan rampogani untuk memperkaya pertunjukannya. Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 Masehi.
Beliau dimakamkan di kompleks pemakaman desa Kutorejo, Tuban, Jawa Timur atau berada di barat Alun-Alun dekat Masjid Agung Tuban. Yang kelima adalah Sunan Kalijaga. Dialah wali yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa.
Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Aryawilatika. Adipati Tuban keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Rombolawe Pada masa itu, Aryawilatikta diperkirakan telah menganut agama Islam Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, atau Raden Abdurrahman Terdapat beragam versi menyangkut usul-usul nama Kalijaga yang disandangnya Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari busun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati.
Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam atau bungkung di Sungai Kali atau Jaga Kali. Namun ada yang menyebut... Istilah itu berasal dari bahasa Arab, Qodli Zaka, yang menunjuk statusnya sebagai penggulu suci kesultanan. Usia dari Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit.
yang berakhir pada tahun 1478 Masehi, Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon, dan Banten. Bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada tahun 1546 Masehi, serta awal kehadiran Kerajaan Mataram yang dibawah pimpinan penembahan Senopati. Ia juga pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang tatal atau pecahan kayu yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi dari Sunan Kalijaga.
Dalam berdakwah, ia punya pola yang hampir sama dengan sahabat dekatnya yaitu Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung berbasis salaf bukan sufi. Ia juga memilih kesenian dan kebudayaannya sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus dekati secara bertahap mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga ini terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, gerebek maulud, layang kalimah sadat, serta lakon layang petruk jadi raja. Pusat kota berupa keraton alun-alun dengan dua beringin serta masjid diakini sebagai karya dari Sunan Kalijaga. Metode dakwah tersebut sangat efektif.
Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah adipati pada naran, karta surat, kebumen, banyumas, serta pajang yang sekarang kota gede Yogyakarta. Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu daerah Selatan Demak Yang keenam adalah Sunan Gunung Jati Sunan Gunung Jati atau Sarip Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 Masehi Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari Raja Pejajaran Raden Manah Rarasa atau yang dikenal dengan Prabu Siliwangi.
Sedangkan ayahnya adalah Sultan Sharif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hashim dari Palestina. Sharif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara, menyusul berdirinya ke Sultanan Bintorodemak.
dan atas restu kalangan ulama lain ia mendirikan Kesultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kesultanan Paku Muwati. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan. Dalam berdakwah, Ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas.
Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah. Bersama putranya Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat kucuk umum menyerahkan Soekarela penguasaan wilayah Banten tersebut, yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarian. Pada tahun 1568 Masehi, Sunan Gunung Jati wafat pada usia 120 tahun di Cirebon. Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung.
Gunung Jati sekitar 15 km sebelum kota Cirebon dari arah barat. Yang ketujuh adalah Sunan Raja. Nama kecilnya adalah Raden Kosim.
Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Sunan Derajat lahir pada tahun 1470 Masehi.
Sunan Derajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelok, pesisir Banjarwati atau yang sekarang Lamongan. Tapi setahun berikutnya Sunan Derajat berpindah lagi 1 km ke selatan dan mendirikan padepokan santri dalam Duwur, yang kini bernama Desa Derajat, Paciran Lamongan.
Dalam pengajaran tawhid dan akidah, Sunan Derajat mengambil cara ayahnya langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasikan cara kesenian yang dilakukan oleh Sunan Muria, terutama seni suluk. Maka ia mengubah sejumlah suluk.
Di antaranya adalah seluk petua, berilah tongkat pada si buta atau beri makan pada yang lapar atau beri pakaian pada yang telanjang. Sunan Derajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrenya, ia banyak memelihara anak-anak yatim piatu dan fakir miskin.
Yang kedelapan adalah Sunan Kudus. Nama kecilnya adalah Jafar Sadik. Ia putra dari Sunan Mudung dan Sharifah, adik Sunan Bonan, anaknya Ageng Maloka.
Yang disebutkan bahwa Sunan Mudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga ke Tanah Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi panglima perang. Sunan Kudus banyak berguru kepada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah yang tandus di Jawa Tengah seperti Seragen, Simo, hingga Gunung Kidul.
Cara berdawahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga, yaitu sangat toleran pada budaya setempah. bahkan lebih halus Sunan Kudus mendekati masyarakatnya dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Buddha hal itu terlihat dari arsitektur Masjid Kudus bentuk menara, gerbang, dan pancuran atau padahasan Buddha yang melambangkan delapan jalan Buddha sebuah wujud kompromi yang dilakukan oleh Sunan Kudus sewaktu-waktu ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabliknya untuk itu ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebobomarang yang disimpan di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagumkan sapi menjadi simpati, apalagi setelah mereka mendengar penjelasan sunan kudus tentang surat al-Baqarah yang berarti sapi betina.
Sunan kudus juga mengubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tepatnya mengadopsi cerita seribu satu malam dari masa kekholifahan Abasyah.
Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya Bukan hanya pendakwah yang seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus Sebagai mana ayahnya yang juga pernah menjadi panglima perang Sultanan Demak Ia juga bertempur saat Demak dibawah kepemimpinan Sultan Perawata Bertempur melawan Adipati Jipang Arya Panangsang Dan yang ke sembilan adalah Sunan Muria Sunan Muria adalah putera dari Dewi Saroh adik kandung Sunan Kiri Sekaligus anak seh Maulana Ishak Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di rarai Gunung Muria, 18 km ke utara Kota Kudus. Daya berdawahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga.
Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam. berdagang, dan melaut adalah kesukaannya.
Sunan Muria adalah salah satu wali songo yang berdakwah pada masyarakat di sekitar Gunung Muria. Ia menggunakan pendekatan budaya dalam menyampaikan ajaran Islam. Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak pada tahun 1518-1530 Masehi. Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah. Betapapun rumitnya masalah itu Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru Sunan Muria berda'wah dari Jepara, Tayu, Juwana hingga sekitar Kudus dan Pati Beberapa hasil kesenian peninggalan Sunan Muria yang masih dipelajari hingga saat ini adalah Tembang Kinanti dan Sinom Tembang Kinanti menceritakan tentang bimbingan dan kasih sayang orang tua kepada anaknya Sedangkan Tembang Sinom menceritakan tentang kehidupan masa remaja Di dalamnya berisi nasihat-nasihat untuk anak-anak remaja.
Dalam kisah pewayangan, Sunan Muria mengubah beberapa kisah yang memasukkan unsur-unsur islami di dalamnya. Salah satu kisah yang dibawakannya adalah Dewa Ruchi. Teknik bercerita yang digunakan Sunan Muria, membuat masyarakat dari kelangan pedagang, nelayan, pelaut hingga rakyat biasa mudah menerima ajangannya. Sunan Muria wafat sekitar pada tahun 1551 Masehi.
Beliau dimakamkan di atas Gunung Muria Demikianlah sejarah singkat dari Wali Sembilan atau Wali Songo Semoga bermanfaat Wassalamualaikum Wr Wb