Masalahnya adalah gini, masalahnya kita tuh hidup di dunia yang continuously evolving. And kita tuh bukan cuma hidup di dalam, kayak bukan katak dalam tempurung doang gitu, yang cuma, yaudah cuma muter-muter sini aja gitu kan. Tapi ada variable-variable lain yang kita nggak bisa kontrol. Negara lain kayak gimana, trend kayak apa gitu kan, evolving taste gitu kan. Sehingga pada akhirnya if you're not continuously hacking, yang terjadi adalah we are not gonna be relevant anymore.
Inilah Endgame. Teman-teman, hari ini kita kedatangan Iman Usman, teman dekat saya dan juga co-founder dari Ruangguru. Iman, terima kasih bisa datang di Podcast Endgame. Selamat datang, Pak. Pertama kali.
Saya mau ngobrol mengenai masa kecil dulu. Boleh. Sebelum kita ngobrol mengenai hal-hal yang lebih bersubstansi.
Lahir di Padang, tanggal 21 Desember tahun 1991. Itu membuat Anda Sagittarius. Iya. Iya kan?
Kakak saya Sagittarius. Oke. Dan saya cocok banget dengan dia. Oke. Dan kalem, tapi tajam.
Cerita deh, waktu kecil gimana? Jadi saya lahir dan besar di Padang. Lahir anak ke-6 dari 6 bersaudara. Orang tua saya jadi datang dari keluarga yang sederhana nih Pak.
Jadi bapak itu lulusan SMP, ibu lulusan SMA. Jadi sebenarnya kalau orang sekarang bilang, wah kamu ngerjain pendidikan, sering kali orang bilangnya, wah pasti anak pejabat ya, pasti anaknya siapa ini? Ya anak orang biasa-biasa aja sih. Dan sebenarnya untuk sampai akhirnya terjun ke pendidikan itu juga apa ya, quite an outlier lah.
Karena di keluarga saya sendiri, justru sebenarnya saya orang pertama di keluarga saya yang punya gelar sarjana. Jadi di keluarga saya tadinya, bukan artinya pendidikan nggak penting, tapi mungkin bukan hal yang paling penting lah. Kalau ada hal-hal yang harus diprioritasiin, ya mungkin hal lain dulu. Jadi, Saya tumbuh di keluarga yang seperti itu, tapi di saat yang sama juga ngasih banyak kebebasan buat saya untuk nentuin apa yang saya mau. Dan itu yang akhirnya ngebentuk saya jadinya sekarang seperti apa karena saya ngerasa saya punya kebebasan yang cukup, saya punya ruang yang cukup untuk eksplorasi, untuk akhirnya nyobain sana-sini.
Jadi akhirnya bisa nyemplung kemana-mana dan akhirnya bisa lebih jauh nentuin, oke ini yang saya mau. Terus kakak-kakak gimana ngelihat Anda selama ini? Karena saya juga anak paling kecil. Saya mau coba ngebandingin.
Jadi menariknya ya, jadi mungkin memang ini kan kalau anak bungsu biasanya kan persepsinya bahwa pasti ini paling dimanja, pasti paling disayang, segala macam. Kalau paling disayang mungkin iya. Tapi pada saat yang sama, karena juga mungkin cowok satu-satunya, dan jaraknya kebetulan cukup jauh sama kakak-kakak yang lain. Jadi ada ekspektasi untuk Gimana akhirnya bisa mengawasi keluarga. Dan akhirnya itu yang mungkin membentuk saya untuk jadi lebih mandiri, jadi lebih disiplin, karena tahu dari kecil bahwa, oke, nanti akan ada waktu di mana saya harus mengawasi.
Jadi identitas itu akhirnya mempengaruhi banyak cara saya berpikir, keputusan saya. Dan mungkin secara nggak langsung jadinya kakak-kakak saya melihat saya juga, oke, kalau ada apa-apa, saya akan pergi ke tempat ini. Kalau saya lihat prestasi Anda itu luar biasa.
Waktu dari SD, SMP, SMA, sampai kelas sekolah. Itu bingung nggak sih mikir dan milih dimensi mana? Karena Anda bukan hanya aktif tapi aktivis. Iya kan? Nah itu aktivisme yang Anda rangkul selama ini, itu pasti mengekspos Anda dengan banyak hal kan?
Betul. Jadi mungkin kalau dulu, Saya kebetulan punya interest banyak banget, Pak. Jadi maksudnya saya tertarik dengan seni, saya tertarik sama sastra, saya tertarik sama film, saya tertarik sama teknologi, dsb.
Dan kalau dulu saya nggak pernah ngebatasin bahwa, oke saya itu skopnya cuma di sini doang nih atau saya harusnya cuma di sini aja. Dan justru mungkin karena dulu justru karena nggak tahu juga, nggak kepikiran juga apa yang lebih menjanjikan, Akhirnya, ya udah nyemplung dan nyobain macam-macam gitu. Ditanya apakah dulu bingung, mungkin nggak ya.
Karena pada prinsipnya saya senang aja nyobain macam-macam itu. Jadi nggak sampai di titik gimana, oke akhirnya bingung mau yang mana gitu, nggak. Dan mungkin saya itu juga orang yang tertantang ketika belajar sesuatu dan ketika kemudian ngerasa bahwa, oh saya sebenarnya tidak bisa menjadi baik di sini, gitu ya.
Akhirnya... Yang dilihatnya bahwa, oh, dimanapun nanti mau ditaruh atau mau ngerjain apa, harusnya bisa versatil cukup, bisa fleksibel cukup untuk bisa bagus di hal ini. tersebut gitu.
Saya waktu baca buku Anda masih belajar itu ada beberapa episode yang bisa dibilang mungkin memalukan untuk Anda kan? Dan itu menjadi titik poin atau bahkan titik infleksi. Coba deh diceritain satu atau dua. Oke. Jadi ada mungkin ada dua kali ya mungkin yang yang lumayan signifikan gitu.
Jadi yang pertama ketika saya SMA Pak, waktu itu tahun 2006. Jadi saya itu dibesarkan di lingkungan di mana saya itu dididik kalau hasil itu nggak akan nyanatin usaha. Jadi kamu kalau kerja keras, kamu kalau belajar terus-terusan, pasti akhirnya bisa dapat yang kamu mau. Dan selama saya dari SD sampai SMP, saya ngerasa, oh ini tuh this mantra works.
Karena saya belajar, saya juara kelas. Saya tekun serius, saya menang lomba. Jadi saya nggak pernah terpikir bahwa, oke kalau saya mau masuk sekolah, nanti sekolahnya ini...
Saya nggak akan keterima itu kayaknya nggak ada di bayangan saya, karena saya tahu saya belajar. Sehingga ketika waktu itu tahun 2006, waktu itu masuk sekolah itu lewat ujian nasional, dan saya sama sekali nggak tahu kalau orang itu semua lagi pada pakai kunci jawaban. Semua orang pakai kunci jawaban. Saya juga nggak ngerti dari mana dapatnya, bisa belinya gimana, tapi semua orang pakai kunci jawaban. Jadi saya nggak tahu.
Jadi saya waktu itu lulus SMP, nilainya bagus, 9,2 atau berapa rata-ratanya. Jadi saya pikir itu cukup untuk saya bisa masuk. Meskipun saya tahu nilai orang itu ada yang 10, ada yang... yang saya juga nggak ngerti, ini kayaknya nggak bisa bahasa Inggris, tapi kenapa bisa 10?
Kayaknya belajar matematika nggak pernah muncul, tapi kenapa bisa 10? Nah singkat cerita, waktu saya daftar ke sekolah yang saya mau, saya ada di urutan 262, yang diterima 260. Jadi saya orang cadangan nomor 2. Beda selisih 0,01. Jadi itu... mungkin bagi sebagian orang, oh ya udahlah.
bisa ke sekolah yang lain. Tapi bagi saya itu kayak kali pertama saya kemudian dihadapkan pada posisi di mana, loh kok saya sudah kerja keras, dan saya sebenarnya memberikan hasil yang bagus, tapi kenapa saya nggak bisa masuk? Kenapa saya nggak bisa dapat yang saya mau? Jadi saya disyukur waktu itu, dan sudah siap-siap, oke yaudahlah mungkin nyari ke tempat lain saja gitu ya.
Tapi singkat cerita, ada yang mundur diri, dan akhirnya saya masuk. Jadi saya keterima. Tapi di hari pertama masa orientasi siswa, saya baru menyadari ternyata yang keterima itu ada 320. Jadi ada 60 orang yang masuk lewat jalur belakang.
Jadi ada yang anak pejabat lah, ada yang dia anak guru lah, pokoknya segala macam. Itu muncul. Dan yang ada di pikiran saya waktu itu saya marah.
Jadi saya nggak kepikiran, oh ini harusnya gimana, tapi ekspresi yang saya bisa gambar itu saya sangat marah sekali. Dan yang saya bisa lakukan waktu itu adalah saya datang ke ruang kepala sekolah, saya kemudian bilang sama kepala sekolahnya, Dia juga nggak tahu siapa saya kan."-Kamu siapa?""-Saya anak baru, Pak. Kelas 10.""-Ada apa?"gitu. Bapak tahu nggak, saya sekarang ini tekniknya orang paling bodoh di sini, gitu. Dan saya hampir nggak bisa masuk di sini kalau tadinya nggak ada yang mundurkan diri. Ini kenapa bisa jadi 320?
Oh dia berkilah lah kemana-mana, gitu. Akhirnya saya kesel, saya cuma bilang,"-Tekniknya saya orang paling bodoh di sini, Pak. Tapi saya akan buktiin ke Bapak. Saya akan dulu jadi orang nomor 1." Terus saya banting pintu. Drama sih Pak.
Akhirnya saya banting pintu, terus saya keluar. Dan setiap hari dari saat itu, selama saya tinggal di sekolah, saya melihatnya itu kayak saya berperang. Itu bukan sebab yang baik, sebenarnya untuk mencari pengapasitas bahwa saya bisa dan sebagainya.
Tapi di saat itu, di kepikiran saya adalah gimana saya bisa ngebukti bahwa saya sebenarnya berada di tempat ini. Saya pantas ada di tempat ini. Dan akhirnya saya selama SMA, mungkin saya ikutan lomba kayak 30 atau 40 kali Pak. Bukan cuma di Padang, karena Padang kan juga nggak banyak lomba. Jadi saya ke Jakarta, saya sampai ke Cina, saya sampai ke Malaysia, Singapura, lomba.
Dan akhirnya saya lulus, ujian nasionalnya nomor 1, Sumatera Barat, keterima di UI sebelum lulus, apa segala macam, intinya bisa melakukan situasi itu. Dan itu yang akhirnya membuat saya ngerasa bahwa, oh sebenarnya mau dihadapi di posisi kayak apapun, bisa kok. Tapi memang ada hal-hal yang di luar.
dan salah satunya kayak tadi. Tapi itu tidak berarti Anda buruk. Jadi mungkin itu salah satu contohnya. Orang tua tahu nggak waktu Anda kepala sekolah?
Tahunya pas saya baca buku saya. Jadi pas baca buku saya juga baru kayak, emang ada kayak gini? Ada.
Jadi saya dulu memang orangnya, jadi saya berfokus dan aktif gitu di luar, tapi saya mungkin nggak banyak cerita kayak perjuangan atau apa yang saya pendam gitu ya. Karena saya ngerasa, saya nggak mau nambahin beban orang lah, jadi ya udah gitu. Itu sih.
Dan sama juga sih sebenarnya, Pak. Sama kayak ketika saya mau bikin ruang guru, gitu. Waktu itu saya berpikir, saya lulus, jadi gini, waktu itu saya lulus kuliah dari UI, Saya ngerasa saya punya segalanya di sisi saya.
Saya lulus jadi speaker komponen, saya jadi mahasiswa berprestasi nasional, nilai saya kumlaut, saya lulus 3,5 tahun. Selama kuliah saya nggak pernah cuma kupu-kupu doang kuliah pulang-kuliah pulang, tapi saya sibuk banget. Jadi intinya saya melakukan segalanya yang orang-orang bilang saya lakukan. Sehingga saya nggak pernah kepikiran bahwa kalau saya mau cari kerja juga akan susah.
Tapi waktu itu saya ditanyakan mau kerja apa, Saya tak tarik sama dunia pendidikan waktu itu dan saya berpikir bahwa oke kalau suatu saat saya akan ngurusin pendidikan, ngurusin kebijakan, atau apa gitu, saya nggak mau jadi orang yang sok tahu tentang pendidikan tapi nggak pernah punya pengalaman di ruang kelas itu kayak apa. Dan akhirnya saya berpikir, oke pengalaman paling dasar bagi saya adalah jadi guru. Jadi saya daftar buat jadi guru di beberapa tempat.
Singkat cerita, nggak ada yang terima Pak. Macam-macam alasannya. Saya dianggap kelebihan kecil, ada yang saya nggak punya kelebihan kecil, gitu ya. Jadi saya, oke saya nggak terima. Terus saya nggak nyerah di situ aja.
Oke, selama hidup saya, saya selalu bikin apa-apa sendiri. Saya membangun organisasi, bikin komunitas, gitu ya. Jadi saya berpikir, yaudahlah mungkin saya tetap harus kerja nih sama orang. Saya nggak boleh, masa saya jadi bos terus, gitu.
Saya harus jadi anak bos itu kayak gimana. Jadi saya daftar ke beberapa non-profit, meskipun di saat itu saya juga punya non-profit sendiri. Singkat cerita juga nggak ada yang terima.
Dan itu sangat menarik. Itu sangat mengecewakan karena teman-teman saya kayak udah mulai kerja, udah mulai apa, dan orang nanya kan, misalnya orang, antisipasi lah, kamu abis ini ngapain? Dan di titik itu saya kemudian sempat agak terlalu terlalu sedikit karena ngerasa kayak, oke apa yang salah? Tapi kemudian justru di titik bawah itu akhirnya itu yang kemudian yang menginspirasi saya karena bikin ruang guru, terus ngobrol sama Belva juga. Lanjut sekolah lagi, mungkin akhirnya oh saya ada yang kurang, sambil sekolah lah gitu.
Dan akhirnya bikin ruang guru. Jadi akhirnya gimana ya? Sekarang saya kalau ngelihat kayak titik-titik rendah atau misalnya lowest point gitu, ya itu bukan pengalaman yang menyenangkan gitu kan, tapi di saat yang sama, saya tahu ketika ada di posisi itu, itu sebenarnya bisa jadi turning point, jadi tipping point untuk sesuatu yang jauh lebih besar lagi.
Saya waktu baca, saya nggak percaya Anda nggak diterima sebagai guru. Dan yang saya penasaran, kalau Anda nggak masuk ke SMA, kalau umpamanya waktu itu emang tetap 260 bukan 262 plus 60-an, apakah ada ruang guru? Menarik. Mungkin iya, mungkin nggak. Mungkin nggaknya dalam tanda kutip, saya mungkin akan tetap bisa masuk UI, mungkin tetap akan bisa belajar, tapi gerakannya akan beda.
Beda banget. Jauh lebih dikit. Jauh lebih dikit. Karena saya ngerasa selesai.
Maksudnya nggak ada situasi di mana ada hal yang berada di luar kontrol saya dan itu kemudian membuat saya untuk jadi lebih, lebih apa ya, lebih berhati-hati, lebih bersiap untuk hal-hal yang saya nggak bisa duga. Oke. Waktu kecil Anda fanatik banget mengenai Harry Potter. Saya nggak bisa nahan ya. Terus coba deh cerita kenapa dan saya mau tahu rumah mana yang Anda paling suka?
Oke. Jadi, kalau rumah nggak bisa yang paling suka, tapi kan takdirnya di mana? Kalau saya udah ngikut tes berulang-ulang. Tapi sebagai penggemar atau konsumen, mana yang paling keren?
Griffin Door lah. Ini bakal banyak orang ini sih. Saya baru terserah Griffin Door sama Ravenclaw biasanya.
Cuma akhirnya Griffin Door sih. Tapi itu nyambung dengan hidup Anda? Menurut saya nyambung.
Karena saya kalau dibilang jenius, pinter banget, itu juga nggak. Tapi saya berani, dan saya juga loyal, persisten, bodo amat, lumayan smart, jadi akhirnya ya makanya Gagal Gryffindor karakteristik lah. Cuma balik lagi ke pertanyaannya, saya dulu tuh Dulu kan saya suka baca, Pak, dari kecil. Cuma saya dulu tuh jarang sebenarnya bacaan fiksi. Itu sebenarnya jarang.
Sampai akhirnya saya nemu buku ini, si Harry Potter ini di meja kakak saya. Dan ini udah bukan kayak buku kedua atau berapa. Dia beli atau dia dapat?
Pinjam. Jadi kemudian ada di meja kakak saya, akhirnya saya coba baca, penasaran kan. Karena kayaknya semua buku di rumah udah saya baca.
Jadi ya udah saya mau baca aja. Dan saya itu intrigue karena selama ini kan bacaannya jarang fiksi ya. Tiba-tiba aku kayak, wah ini kayak dunia imajinasi yang kayak saya nggak pernah temuin sebelumnya ini apa gitu.
Jadi akhirnya yaudah saya... Saya penasaran, saya baca. Waktu itu saya baca dari nomor 2 kan.
Baca lagi dari nomor 1-nya, terus baca terus-terusan. Sampai akhirnya saya itu kalau sudah suka dan penasaran sama sesuatu, saya memang agak all out sih. Jadi, agak bodoh-bodoh gila.
Jadi, saya akhirnya nggak sabaran, karena kan nunggu versi bahasa Inggrisnya keluar itu lumayan lama, Pak. Jadi, kayak mesti nunggu setahun, dua tahun untuk diterjemahkan dulu. Jadi, akhirnya saya yang pas buku.
buku kelima kalau saya nggak salah, atau keempat ya. Waktu itu saya beli versi bahasa Inggrisnya. Mahal, udah nabung setahun lah gitu ya untuk beli buku ini.
Dan saya tuh baca nggak ngerti pakai kamus. Jadi saking saya nggak mau nunggu setahun sampai dua tahun. Jadi saya baca, ada bagian yang saya ngerti, karena saya suka bahasa Inggris juga, tapi ada lebih banyak lagi yang saya nggak ngerti.
Jadi literally saya bacanya itu lama banget karena ini katanya apa, pakai kamus. Jadi cari satu-satu. Jadi itu salah satu contohnya.
Terus kemudian saya akhirnya tertarik, saya ngoleksi merchandise Harry Potter lah. Cuma kan di Padang, nyarinya di mana Pak? Nyari misalnya mau beli tongkat sihir gitu, kayak mana ada gitu, mau nyari figurin apa gitu.
Belum ada marketplace lagi? Nggak ada. Nggak ada. Jadi akhirnya saya kemudian akhirnya kayak bilang ke orang tua saya, saya boleh nggak ya ke Jakarta atau ke Jakarta? Jadi saya nyari merchandisenya di Jakarta.
Jadi saya nabung. Saya buat di Jakarta, saya ke Tanah Abang, saya ke Myastic, kemana gitu, gitu ya. Ada yang toko-toko buat game gitu, ada yang ada, ada yang enggak.
Sampai akhirnya saya berpikir, yaudahlah kalau enggak ada, saya bikin aja, gitu. Jadi saya akhirnya mulai bikin tuh, Pak. Jadi ini mungkin agak-agak melanggar copyright sih sebenarnya ya.
Cuma itu sih nggak kepikiran. Jadi saya akhirnya.. Nanti kita akan edit bagian ini.
Oke. Jadi saya udah tuh akhirnya pas balik ke Padang, saya mengikuti penjahit, saya bikin jubah. Saya bikin jubah buat saya dulu.
Oke, saya mau pesan nih. Saya bikin jubah, saya panggil tukang kayu lah, bikin magic wand gitu kan. Terus saya bikin pin-pin apalah gitu ya. Saya pakai gitu, apa, saya foto-foto segala macam. Ternyata orang suka.
Akhirnya saya berpikir, yaudah perjadiin bisnis aja ya gitu. Jadi akhirnya saya bikin. Dan dulu belum ada marketplace. Jadi akhirnya saya belajar bikin online shop kayak gimana gitu.
Bikin shipping process seperti apa, packaging gimana gitu ya. Dari situ akhirnya saya belajar bikin acara-acara lokal buat Harry Potter cosplay-ing lah atau apalah gitu. Dia nggak ada lah kayak di Padang gitu.
Jadi akhirnya saya lakukan itu semua karena saya sudah suka sama suatu. Makanya saya bilang Harry Potter itu lumayan berinfluensi di dalam hidup saya karena dari situ saya belajar bahasa Inggris, dari situ saya belajar bisnis, belajar komunitas gimana gitu ya. Dan orang tua saya tuh nggak ngerti awalnya sampai akhirnya tahu kayak, oh ini tentang sihir. Jadi ini warahin.
Baru akhirnya ya udah. Cuman ya itu. Jadi makanya sampai sekarang kalau orang nanya, siapa nih tokoh paling berpengaruh dalam hidup Anda?
Misalnya orang kan ngomong Mahatma Gandhi, Barack Obama, gitu. Saya sih Harry Potter. Udah.
Karena itu karakter yang akhirnya punya impact dan tanggung jawab ke dalam kemampuan saya, ke dalam cara berpikir saya, dan di saat yang sama juga membuat saya jadi imajinatif. Anda lebih terpengaruh oleh karakter Harry Potter atau? tulisannya J.K. Rowling, karyanya J.K.
Rowling. Jadi bukan karakter Harry Potter persenya. Karena kalau ditanya karakter favoritnya siapa, favoritnya Snape.
Cuma, apa namanya, cuma, saya pikir seluruh dunia Harry Potter, yang saya membuat merasa bahwa, oh semuanya tidak ada limit. Semuanya bisa, semuanya bisa. Sama ada itu menginfluensi saya.
Siapa, siapa yang kamu pikirkan? Siapa adalah ekvivalen Indonesia dari JK Rowling? Oh susah nih.
Meskipun saya sekarang juga banyak beda pendapat sama JK Rowling ya Pak. Cuma, kontroversial sekarang soal JK Rowling. Cuma, saya suka karya-karyanya Mbak Di Lestari. Top.
Ya, saya akan bilang Di Lestari sih. Itu top of mind. Betul.
Gitu. Dia akan datang ke show nanti. Tapi iya, imajinasinya luar biasa. Oke, langsung aja. Terus masuk ke Universitas 2009, selesai 2013 ya?
Betul. Terus kenapa keluar negeri? Hmm, itu pertanyaan yang bagus. Karena belum pernah keluar negeri atau pengen keluar negeri?
Jadi saya dulu pertama kali keluar negeri itu 2007. Saya dapat pertukaran belajar ke IFS ke Jepang waktu itu. Cuman yang ini, jadi ada beberapa sih alasannya. Yang pertama, kan memang tadi ya, lagi terlalu depresi, lagi frustasi, gitu kan.
Saya ngerasa bahwa kayak, aduh, kayak saya ngerasa saya butuh, ini agak salah sih motivasinya, tapi Saya ngerasa saya butuh satu pencapaian yang membuat saya bisa ngerasa bahwa saya benar-benar bagus. Karena saya ngerasa, apa yang salah? Dan waktu itu akhirnya, saya pede aja, saya coba, jadi daftar aja. Saya daftar, jadi keterima di Columbia, di Ivilik School dengan penelitian penuh, bagi saya itu kemudian ngasih afirmasi bahwa saya sebenarnya tidak terlalu baik.
Ada yang salah, tapi saya sebenarnya tidak terlalu baik. Cuma yang kedua, sebenarnya, dan mungkin saya jarang cerita ke orang sih, Itu sebenarnya adalah kesempatan untuk saya. Saya kabur sih Pak sebenarnya. Karena waktu itu saya di titik dimana ya mungkin juga nggak dikenal, sekarang juga nggak dikenal sih, mungkin sekarang orang lebih banyak kenal. Cuma dulu tuh saya di titik dimana saya sadar bahwa ada banyak setidaknya orang-orang seumuran saya tahu saya gitu.
Lihat ke saya, kemudian saya aktif dimana-mana gitu. Sehingga ada keharusan yang orang pengen, harusnya kamu jadi gini nih, harusnya kamu gini nih."Dan saya menyadari bahwa waktu itu saya lumayan banyak secara nggak sadar saya melakukan berbagai macam hal itu karena tekanan umum. Dan saya ngerasa saya butuh jeda, saya butuh waktu jauh dari segala hingar-bingar ini dan jauh dari perhatian orang, meskipun mungkin dulu saya aja ngerasa kepedean diperhatikan orang. Dan menurut saya salah satu caranya adalah saya pergi ke tempat yang jauh. Dan saya selalu dari dulu pengen coba tinggal di New York tuh kayak apa. Makanya dulu kayak, oh kalau Stanford di Palo Alto kayaknya agak desa. Meskipun dulu mikirnya ya, kayaknya Palo Alto juga nggak desa juga. Cambridge, Harvard, itu suka. Karena New York sekarang kota yang gede. Kalau mau mirip-mirip Harry Potter, ke Oxford. Oxford. Dulu sempat mikirnya gitu. Cuma abis itu kayak nggak suka sama program studi di sana. Terlalu akademik. Jadi akhirnya kayak, akhirnya ya udah. Akhirnya... akhirnya ya ke Amerika lah gitu. Jadi agak-agak kabur juga sih sebenarnya. Oke. Terus 2 tahun kan? 1 tahun. Jadi harusnya programnya 2 tahun, cuman karena waktu itu lagi bikin Ruangguru juga. Jadi kan bikin Ruangguru itu bersamaan ketika saya di Columbia, Belva di Stanford. Jadi kita tuh LDR bikin Ruangguru ini gitu. Dan kita mengundur orang di Jakarta sebelum kita berangkat, 2 orang. Jadi supaya kita berkomitmen lah. Jadi nggak cuma nanti asal-asalan aja. Jadi itu konsepsualisasi. Ruangguru itu 2013 atau sebelumnya? 2013. Jadi 2013 kita punya ide, itu di tengah-tengah saya lagi ditolak apa segala macam, Belva masih di McKinsey waktu itu, terus berpikir kayak, kita mau ngapain ya, gitu. Jadi 3 bulan sebelum kita berangkat sekolah, kita udah mulai ngerjain ruangguru, terus kita mengundang orang, kita dari Amerika kita ngerjain. Jadi tiap malam saya, di sini kan jam pagi ya, jadi tiap malam di sana saya ngerjain bikin, ngerancang ruangguru ini kayak gimana, desain produknya, nyari... Tutornya dulu gitu ya. Terus kemudian ngeliat bahwa, oke kayaknya ini sesuatu yang bisa saya kerjakan. Makanya saya berusaha ngecepetin kuliahnya. Agak gila juga waktu itu, cepetin kuliahnya, terus balik supaya akhirnya bisa full time di Jakarta. Kenapa Belva? Kenapa Belva jadi co-founder waktu itu? Saya itu... Atau mungkin saya tanya dia, kenapa Iman? Oh itu bisa saya tanya sih. Kalau dia sih kayaknya nggak ada opsi lain gitu. Kalau saya waktu itu, jadi gini, saya tuh... Saya ingat dulu saya pernah diajarin sama salah satu mentor saya, ketika nyari kerjaan pertama, jangan fokus sama apa yang dikerjain, tapi kamu kerja sama siapa. Karena dari situ sebenarnya bisa banyak belajarnya. Saya itu meskipun bekerja sama Belva, meskipun Belva 2 tahun di atas saya, cuman saya dari dulu tuh saya kagum sama dia. Maksudnya dia juga dari mana saja, dia bekerja dengan sangat keras, salah satu orang yang paling keras yang saya kenal. Pintar, strategis ketika ngapain segala macam. Dia punya kemampuan yang saya nggak punya. Dan saya selalu berpikir, Gimana rasanya kalau saya kerja sama Belva sebagai pasangan? Jadi saya lebih, sejujurnya, saya punya semangat untuk dan tertarik karena itu pendidikan. Itu yang saya penasaran. Tapi juga saya pikir itu juga faktanya bahwa saya akan bekerja dengan Belva. Dan jadinya saya melihat itu sebagai peluang pembelajaran, peluang peningkatan. Yang mana saya tahu bahwa waktu itu saya nggak ngerti startup. Jadi saya nggak ngerti teknologi. Saya kayaknya dengar startup itu pertama kali ya pas Belva ngajakin bikin ruang guru. Saya nggak pernah dengar sebelumnya, saya nggak tahu bahwa nanti saya harus ngurusin fundraising, saya harus ketemu investor, harus ngurusin setelan kewangan, saya nggak pernah kebayang. Jadi saya menerbangkan, karena saya pikir ini akan menjadi kesempatan pembelajaran yang bagus buat saya. Dan kemudian setelah saya ngejalanin sambil sekolah, jadi kerjaan juga agak kecil, karena sambil sekolah, saya baru sadar bahwa, ternyata saya benar-benar menikmati ini. Saya bisa melihat ini. Saya bisa melihat ini menjadi besar. Saya bisa melakukan bantuan orang. Jadi akhirnya saya mulai juga bukan cuma sekedar ngelihat, oke saya belajar dari Belva, tapi apa yang saya bisa bawa ke atas. Apa yang Anda bawa ke atas? Waktu itu ya. Kalau waktu itu, saya bisa mengatakan beberapa hal. Jadi pertama, saya itu, jadi kalau misalnya ibadahnya gini, kalau orang ngomongnya startup, Ada pembentukan startup yang bagus, ada pembentukan hacker, ada pembentukan hustler, ada pembentukan hipster. Delphi akan menjadi pembentukan hacker dan pembentukan hustler. Hustlernya lebih kayak strategis. Saya pembentukan hustler yang bodo amat, mau ke pasar mau kemana, bikin apa saya tidak peduli, dan pembentukan hipster. Jadi waktu itu saya... Saya sangat menarik dengan desain. Jadi, produk Al Ruangguru saya desain, saya bawa banyak jaringan dari tutor-nya, yang mana mungkin buat sekarang ya tidak relevan juga. Cuma kalau dulu ya akhirnya ya komplementingnya di situ. Saya menikmati komunikasi dengan publik, berbicara dengan pasangan luar, membawa partai luar ke atas. Terus, Apa sih di awal waktu itu yang paling menantang di Ruangguru? Kan udah cocok dengan Belva, terus rencana bisnisnya udah ada, terus apa sih? Di awal, menyadari bahwa memiliki ide yang bagus itu tidak cukup. Bahwa, oh kamu mungkin punya ide yang bagus, kamu mungkin punya kerja tim yang bagus, gitu kan. Tapi belum tentu pasarnya menjawab. Dan waktu itu dihadapkan juga. Jadi kan awalnya Ruangguru sebelum kayak sekarang ya. Dulu itu kita modelnya itu marketplace untuk guru privat. Jadi kayak Gojek atau Grab, tapi ini orang nyarinya guru privat. Jadi dulu itu kita menyadari bahwa untuk kemudian bisa scale, itu tuh akhirnya susah banget karena akhirnya tergantung sama supply-nya yang juga sangat terbatas, yang bagusnya. Jadi akhirnya menyadari bahwa, oke ini bagus, kita menghasilkan pendapatan, dan di saat yang sama kita membantu orang, tapi satu, kemudian bahwa ini sangat tergantung untuk affluent. karena yang akhirnya bisa mencoba cuma orang-orang tertentu. Dan yang kedua adalah bahwa sangat sulit untuk mengatasi. Jadi kita tidak mendapatkan kemampuan yang kita cari. Dan itu akhirnya nyoba macam-macam, dan ada hal yang berfungsi, ada hal yang tidak berfungsi, dan kadang-kadang saya sampai berpikir bahwa, ini apa yang akan saya lakukan sampai kapan nih? Jadi ada hasratnya gitu. Sama yang kedua, bukan gitu. Nyaris berputus asa atau lagi mikir-mikir saja? Mau berputus asa? Mikir-mikir. Tapi belum sampai yang kayak, oke, kalau ini besok nggak ini saya berputus asa deh. Karena saya ngerasa juga, nggak tahu ya, waktu itu juga mungkin, apa yang terburuk yang bisa terjadi sih kalau saya melakukan hal ini? Hampir tidak ada. Jadi akhirnya ya sudah, saya tetap kerjain. Dan satu lagi mungkin waktu itu awal susah-susahnya juga adalah karena Anda bukan orang lain, kan? Jadi waktu itu saya banyak banget, Pak. Waktu kita bikin produk-produk baru, kita coba mencoba untuk mempercayai. Saya kan pribadi, jadi apapun yang sekarang tim saya kerjain, saya pernah ngerjain. Saya jadi pembantu pelanggan, saya mesti ketemu pemerintah, ketemu sekolah, saya pernah semua. Dan ada di satu cerita, ini kayaknya tahun ke-2 Ruangguru, saya janjian ketemu sama salah satu gubernur di salah satu daerah, saya nggak usah sebutin namanya. Saya janjian. Dan saya udah terbang nih, dan ini kan waktu itu kita gak punya banyak duit ya, jadi saya terbang itu actually udah mahal, cuman saya gak, yaudah ini jarang-jarang nih, misalnya bisa gitu. Tim saya udah set up meetingnya, saya datang ke sana, janjinya jam 9 ketemu saya. Jadi saya datang sama satu orang tim saya. Kita disuruh tunggu, gitu kan. Tunggu, tunggu, tunggu, terus. Saya ngeliatin aja orang ganti-ganti masuk, padahal ini saya dari luar yang datang, gitu. Ada macam-macam. Sampai jam 12 belum disuruh masuk juga. Sementara kelihatannya jam 2. Jadi saya waktu itu bilang kayak, aduh ini gimana ya, saya mesti ini, saya mesti terbang, gitu. Akhirnya diselipin, saya masuk ke ruangannya ini. Terus hal pertama yang ditanya adalah, bosnya mana? Karena dia ngerti, ini ada anak kecil, ini ngapain? Dan saya kan dulu kan juga, ya nggak ada pakai jas, pakai apa gitu, juga nggak ada pakai kemeja aja gitu kan. Bosnya mana? Terus tim saya, oh ini Pak yang punya. Jadi saya perhatikan berubah ekspresinya, kayak ngerasa, oh ini kayaknya anak-anak gitu. Oh, terus tiba-tiba langsung kebetulan ada kepala dinasnya di sana. Kepala dinas mereka juga ada di sana. Oh, nanti ngomong sama si bapak ini aja, si yang kepala dinas ini aja. Jadi dia pergi. Dia pergi, dia tinggalin, terus saya, ya sudah, saya harus meeting kan. Saya ngomong sama kepala dinasnya, saya jelasin apa segala macam, dan perjumpaan hanya terakhir satu menit. Habis itu dia pergi, karena dia bilang, oh saya juga ada agenda, nanti ngomong sama timnya ini aja ya. Setelah ditinggalin, habis itu saya ngomong lagi sama... Kepala dinas? Bukan kepala dinasnya lagi nih, mungkin kadef-kadef apalagi itu ada kepala divisinya ini. Dan itu cuma kayak nggak sampai 5 menit, oh ya sudah, nanti kalau gitu kirim aja proposalnya apa segala macam. Terus baru... kemudian formalitas aja, kemudian saya pergi keluar, terus tim saya ngomong gini, kayak saya nggak akan mau lagi sih datang ke tempat ini, blablabla. Saya bilang, nggak apa-apa, kayak kita yang butuh, kita apa segala macam, coba untuk menjaga tim saya, tapi di situ saya marah banget sih. Dan cuma ya itu. Jadi saya ngerasain momen-momen di mana ya kayak gitu, atau ada ceritanya saya ketemu investor, terus kemudian... Ini saya ingat, seri A, investor. Saya kenal investor sampai sekarang. Saya jelasin, oh ini ruang guru gini, mau apa, ini baru reser funding, mau ke seri A. Terus dia nanya satu akronim yang saya nggak pernah dengar, ini akronim itu apa. Yang saya juga, apa ya? Saya bingung. Akhirnya saya nanya, apa maksudnya? Maksudnya apa? Dia ngejelasin. Tapi dia nggak ngejawab, dia cuma bilang, oh, you do not know that, kamu nggak tahu ini, gitu ya. Kalau gitu gimana caranya kamu mau run company apa segala macem, gitu. Intinya, akhirnya dia jelasin, intinya itu sama dengan daily active user, cuma dia ngomongnya bukan DAU, jadi dia pakai istilah apa, saya nggak ngerti, gitu. Akhirnya dia bilang ke saya gini, I think you need to read more. Kayak kamu perlu baca deh. Kamu tahu nggak cara nyari buku yang bagus gimana? Kamu pergi ke Amazon, lihat ratingnya. Kalau ratingnya 4-5 itu tandanya buku-buku bagus. Kalau ratingnya berarti nggak buku bagus. Jadi kamu baca lebih banyak, kalau kamu nggak bisa. Terus saya, ya udah bagus ya, advice. Cuma saya yang kayak, gimana? Ya waktu itu kayak, gila, saya... Cuma nggak mungkin sombong juga. Saya dari Columbia, saya baca banyak buku. Saya membeli mungkin lebih banyak buku dari Anda. Cuma nggak mungkin bisa ngomong gitu. Cuma yang kayak waktu itu ngerasa kayak, oh... Itu benar, gitu. Maksudnya bahwa orang ngerasa bahwa dia sangat jauh di atas dan kemudian bisa mengganggu orang-orang karena apa pun alasan, apakah karena umur, apakah karena status, apakah karena perbedaan pengetahuan, atau apapun itu. Dan itu akhirnya ngajarin saya bahwa apa pun posisi yang Anda ada, itu tidak membenarkan Anda untuk melihat ke bawah orang, untuk mengganggu orang-orang. Karena Anda tidak pernah tahu. Jadi ya sudah, Anda hilang di seri A. Tapi hidup-hidup adalah pengalaman yang mengalami kesembuhan. Oh, itu adalah pengalaman yang mengalami kesembuhan. Dan dalam dunia usaha itu perlu kulit tebal. Oh iya, harus sih. Baik, kamu harus... Ya, saya juga. Anda harus menangkapnya. Anda harus memiliki kulit yang tebal. Tapi bagus banget loh Anda bisa melewati episode-episode seperti itu, dan justru hal-hal seperti itu menjadi infleksi. Iya kan? Nah mungkin langsung saja sedikit. Ini anggaplah isu skalabilitasnya udah terobati kan tadi di awal-awal fase awal di Ruangguru ini. Kalau akhir-akhir ini kan kita selalu dengar skalabilitas, keuntungan. Coba deh bicara dalam dua konteks tersebut. Kedepannya nih 5 tahun ke depan. Oke. Jadi mungkin memang banyak orang fokus Intinya orang banyak berkira bahwa kualitas dan keuntungan itu bukan konsep yang tangan-tangan. Cuma saya percaya sebenarnya bisa tangan-tangan. Maksudnya, oke, misalnya ada orang yang, kita harus menangkap pasar dulu, mencoba menjadi pemimpin pasar dulu, lalu menyacar di aspek keuntungan, akhirnya terbakar saja. Cuma saya percaya semuanya harus dikalkulasi. Jadi nggak bisa kayak cuma asal, ya udah penting burning aja, yang penting coba nggak apa-apa, harga pengiriman pelanggan mahal, yang penting dapat marketnya, gitu. Tapi soalnya mesti dikalkulasi juga. Jadi misalnya bahwa, mesti tahu bahwa apa margin Anda, gitu kan, dan kenapa sih isinya kemudian menjadikan itu, gitu. Kemudian atau misalnya, apa nilai penyelenggaraan Anda, gitu. Sehingga akhirnya make sense untuk kemudian bisa bisa mencoba CAC yang mahal, misalnya. Jadi itu sesuatu yang kita melihat secara religius di Ruangguru. Jadi kita juga nggak mau asal sekedar itu. Meskipun pada saat yang sama kita tahu dalam konteksnya Ruangguru, waktu itu, terutama dalam 2 tahun terakhir, kita banyak berinvestasi di perusahaan dan membangun kepercayaan di pasar. Kita tahu bahwa pendidikan ini bukan komoditas. Ini bukan... Sebuah bisnis yang dimana peningkatan antara satu produk sama produk lain itu cuma harga. Jadi kalau orang kasih harga lebih murah, maka orang akan pindah. Kalau pendidikan itu enggak. Harvard adalah Harvard. Jadi nggak akan bisa saya bilang bahwa saya bikin kayak Iman University dan seperti Harvard, dan saya mencari 10 kali lebih rendah dan saya mengharap orang akan pergi ke saya daripada Harvard. Bisa juga kan? Jadi, dan kita lihatlah. Jadi di tambahan dengan konten kita, produk kita, kita juga perlu berinvestasi di brand. Dan itu kenapa selama 2 tahun kita banyak berinvestasi dalam membangun kepercayaan kepada masyarakat, mendapatkan perusahaan di luar sana, jadi orang-orang tahu sama perusahaan kita, sehingga di kondisi sekarang itu, orang kalau misalnya ngomongin ibaratnya pembelajaran online, itu hampir bergantung dengan ruang guru, ibaratnya. Dan itu membantu. Dan jadinya sekarang bisa lebih, apa ya, bisa lebih kurang agresif dalam hal marketing atau apa, karena brand-nya udah ada. Tapi itu dikalkulasi dan itu masuk akal karena juga model bisnis kita yang memungkinkan kita untuk melakukan seperti itu. Saya tidak akan melakukan itu jika margin kita cuma 5%. Itu tidak berharga. Tapi gini loh, anggaplah nggak ada elastisitas harga. Gimana Anda mencari keseimbangan antara elitisme dan kemasan ke masyarakat? Saya tidak akan mencari keseimbangan. Karena ketika misalnya saya ketemu investor atau segala macam, dan mereka melakukan penelitian sendiri, mereka selalu bilang, kenapa Anda menawarkan dengan murah? Mereka menganggapnya itu murah. Karena jika mereka membandingkan ke India atau ke China yang mungkin marketnya relatif sama, nggak ada tuh harga segini untuk apa yang kita tawarkan. Dan dari studi mereka, mereka ngelihat bahwa keinginan untuk membayar sebenarnya masih ada. Kenapa Anda menawarkan di sini? Tapi saya pikir itu juga kembali ke misi kita. Maksudnya kita mau membuat produk yang dapat dikendalikan. Kita nggak mau bikin produk yang sekedar untuk gratis karena kita bukan pendidikan publik. Dan kita juga nggak mau produknya dikendalikan. Dan kita pernah nyobain di awal ketika ngasih gratis dan segala macam, kerjaannya sangat rendah, orang-orang tidak mengambil secara serius, orang-orang mengambil secara berlebihan. Dan kemudian dengan... tapi dengan... Jadi mencari keseimbangan antara apa yang membuat arti sebagai bisnis, tapi juga bagaimana kita memiliki impact. Dan akhirnya kita menemukan opsi bisnis yang memungkinkan produknya itu punya peningkatan dan punya penonton sendiri. Jadi kita punya produk yang memang target ke masyarakat yang mungkin harganya lebih rendah, tapi kalau misalnya orang-orang ingin membayar lebih, Kita juga punya produk untuk segmen itu. Karena kalau saya perhatiin ini akhir-akhir ini sekolah-sekolah yang mahal ya, itu udah terlalu elitis, sehingga menjadi kebaikan luas, daripada kebaikan publik. Dan saya agak-agak kritis. Kenapa justru kita bisa dapat pendidikan yang bermutu di sekolah-sekolah yang nggak dipersepsikan sebagai Luxury Good. Iya kan? Nggak usah sebut nama lah. Tapi itu kalau menurut saya, ya kalau kita lihat inflasi tuisyen di sekolah-sekolah yang elitis ya, itu nggak masuk ke akal. Dan nggak simpan dengan kualitas pendidikannya kan. Padahal kualitas pendidikannya juga paling naik 5% dari 30 tahun yang lalu. Tapi harga tuisi sudah naik ratusan persen atau berapa persen. Dan makanya itu akhirnya bikin gap yang signifikan. Makanya menariknya sebenarnya gini, banyak orang yang mengira misalnya pengguna ruang guru itu adalah orang-orang yang mampu, orang-orang yang kaya. Tapi sebenarnya kalau kita lihat demografi subscribernya kita, 70% itu belum pernah kebimbingan belajar, berasal dari latar belakang ekonomi menengah dan ke bawah. Dan setelah kita pikir-pikir, masuk akal karena bagi mereka, ya mereka tidak punya alternatif lain. Jadi, Kalau yang mampu, ya mungkin mereka bisa bayar private tutor one-on-one gitu. Kenapa kamu belajar online gitu misalnya gitu kalau kalian mampu gitu. Tapi bagi kelompok ini, ya mereka ngelihat bahwa ini hanya harapan saya gitu, ibaratnya gitu kan. Dan kita kemudian ngelihat bahwa bagaimana kemudian ya akhirnya teknologi ini, ya itu adalah argumen antara teknologi apakah equalizer atau divider gitu ya. Cuma ketika misalnya itu bisa diakses, it's actually equalizing. Akses gitu. Emang akhirnya orang-orang yang tadinya nggak punya kesempatan, yang tadinya susah banget dapet ya, akhirnya sekarang jadi seimbang. Dan ini sebenarnya kembali ke pengalaman pribadi saya. Karena saya itu dulu Pak masuk UI, saya ingat banget, saya tahun pertama di UI, jumlah mahasiswa dari Sumatera Barat yang masuk UI itu cuma 40-an, Pak. Wow. Dari total berapa? Total mahasiswa baru di UI. Dari ratusan orang atau ribuan orang? Berarti orangnya mungkin 10.000 atau berapa gitu kali ya. Cuma 40.000. cuma 40 orang. Oh untuk satu tingkat gitu? Satu tingkat dari satu provinsi. Dan itu mengejutkan. Karena pas saya tahu, kan kita ngumpul semua yang masuk, kita cek dari sekolah mana, cuma 43 atau 40. Tapi mungkin yang keturunan Sumatera Barat yang udah tinggal di Jakarta udah banyak juga. Mungkin. Tapi kan kita ngomongin tadi, misalnya sekolahnya di Padang kan gitu. Sementara saya ngelihat bahwa satu SMA di Jakarta bisa ngirim orang 100 orang lebih. Gimana ceritanya satu sekolah bisa ngirim orang lebih banyak dibanding satu provinsi. Menurut saya itu sangat mengarut. Dan ketika ditelusuri lagi lebih dalam, ya akhirnya memang, dan ketika ngelihat lagi profilnya, ya ini orang yang punya akses ke bimbingan belajar, orang yang punya akses ke ini, gitu ya. Dan akhirnya ya kalau akhirnya nggak dimungkinkan dengan teknologi, kita mau nunggu sampai kapan gitu, sampai akhirnya semua orang punya akses, gitu kan. Oke, ini saya mau coba kupas sedikit nih. dalam COVID atau konteks COVID. Ini kan semakin dikedepankan kan digitalisasi. Bagaimana itu membuat Anda... Maksud saya, lebih besar atau lebih cepat membesarnya akhir-akhir ini? Mungkin secara... tentu saja ada peningkatan, gitu kan. Cuman mungkin karena kita juga udah punya demografi yang udah cukup, jadi mungkin dikali-kali lebih tinggi lah, gitu. Maksudnya kenaikan. Maksudnya kita bisa mencapai target kita. Cuman mungkin yang saya lebih khawatirnya juga adalah yang tidak terlalu baik mungkin di banyak negara ya, misalnya di India, atau di China, atau di mana yang ketika justru COVID ini, orang kayak semuanya berasa kayak, oh saya harus belajar lebih, justru karena tekanan mungkin lebih intens, kemudian saya nggak bisa menangkapnya, gitu ya. Kalau saya justru melihatnya, Pak, orang lumayan tenang banget sih Pak di Indonesia. Yang agak menarik buat saya. Karena, dan saya agak merasa bahwa pembelajaran tidak terjadi, terutama di tahun ini. Dan agak menakutkan, gitu. Karena, dan saya nggak kenyalin siapa-siapa juga ya. Karena misalnya kayak pertama gitu, misalnya di Sekolah. Saya tahu banyak guru bekerja dengan sangat keras. Mereka juga beradaptasi, mereka juga beradaptasi. Cuma juga banyak juga yang akhirnya kalau udah pusing juga mesti ngapain, anak-anak juga udah nggak nyima, gitu ya. Akhirnya ngasih PR doang, ngasih tugas doang. Dan akhirnya karena modelnya gitu aja, gitu ya, akhirnya anak-anak juga merasa, oke apa solusi yang segera gitu. Yang terjadi sekarang orang copy and paste. Jadi orang-orang hanya pergi ke internet, gitu kan, let Google, gitu ya, nyari apa. Every answer is there. copy paste nilai 100. Dan itu akhirnya.. Oke, terus ada software yang bisa mendeteksi. Betul. Tapi sekarang juga ada lagi Pak, banyak juga software yang bisa kayak, oh gimana caranya supaya paraphrasenya itu nggak kedetek copy paste-nya, juga ada lagi yang kayak gitu. Tapi saya dengar ada software yang canggih yang bisa mendeteksi hal-hal yang settle. Betul. Cuma kan di guru-guru kita banyak yang belum bisa punya kapabilitas untuk melakukan itu ya. Nah jadi akhirnya bahkan misalnya pertanyaan saja masih banyak pilihan yang berlalu. Jadi nggak bisa ada itu juga gitu. Jadi.. Akhirnya anak-anaknya merasa bahwa, oh saya bisa mendapatkan hasil segera tanpa membuat usaha yang signifikan. Dan itu akhirnya jadi saya agak khawatir karena takutnya jadi nggak punya growth dan nggak punya growth mindset lagi. Jadi ini misalnya kalau nanti mungkin kena dengar-dengar katanya Januari atau apa misalnya mau buka sekolah gitu ya, mau sekolah balik lagi gitu. Saya yakin banget tuh hari pertama banyak banget yang bakal bengong sih Pak. Karena, dan mengadakan bahwa 6 bulan atau 7 bulan terakhir mungkin nggak belajar apa-apa. Oke, saya akan menekankan ini. Saya nggak terlalu khawatir mengenai keuntungan. Tapi keuntungan, sekali lagi nih. Karena kita punya kepentingan kan supaya lebih banyak orang di Indonesia itu terdidik atau berpendidikan kan. Kalau menurut saya keuntungan itu penting untuk negara seperti Indonesia. Sekali lagi kalau dibungkus dalam konteks COVID-19. 19. Ini kan konektivitas kan sangat dibutuhkan. Wi-Fi, broadband, atau 4G lah minimum kan. Kan masih banyak di desa. Dan itu nggak akan bisa terobati dalam waktu dekat. Satu. Dua, Fisikal mobilitas juga akan terus terbatas sampai setiap orang itu tervaksinasi. Itu mungkin bisa makan waktu 2-3 tahun lagi. Nah itu gimana tuh? Iya. Jadi pertama, on accessibility. Kita di Ruangguru tuh banyak banget mikirin tentang gimana membuat produk kita tuh jauh lebih ramah lagi dan jauh lebih aksesibel lagi. Dan itu bisa macam-macam. Yang pertama adalah Satu, gimana caranya misalnya membuat konsumsi data di kita itu rendah. Jadi kita membuat algoritma yang memungkinkan video-video belajar kita itu dikompres, tapi nggak kompromis pada kualitas. Tapi tetap harus lewat 4G kan? Iya, tapi kan mereka bisa download dulu. Jadi di kita tuh bisa kalau ada ketemu internet, mereka download dulu, sehingga bisa nonton di kondisi offline. Jadi mirip-mirip kayak beberapa video on demand yang lain lah. Kemudian yang kedua, kita juga lagi mengeksplor bahkan gimana caranya kita membangun kemampuan offline, tapi nggak kemudian membuang kebenaran atau pirasi, dll. Jadi, berpikir-pikir tentang offline. Karena memang nggak bisa dipungkinkan banyak banget masyarakat yang masih offline. Yang ketiga, bagaimana kita memusuhkan untuk lebih banyak persatuan, akhirnya ke pengantar terkait, jadi akhirnya dengan pengurusan, membuat jadinya... Jauh lebih ramah, dan seterusnya. Kemudian yang keempat juga adalah gimana misalnya, dan kita udah nyobain ini beberapa tahun, jadi misalnya bahkan di kita pake namanya Ruangguru On The Go. Jadi ada USB, dikoneksi ke mobil phone, jadi ketika dia mau nonton video, videonya itu terload dari USB. Tapi USB-nya ini tuh terungkap. Jadi kalau dia taruh USB-nya ke laptop atau ke device yang lain, Dia nggak bisa nggak baca si file ini. Dan ini kita udah banyak banget dipakai justru di daerahnya 3T. Jadi banyak banget mereka ngirimin. Contohnya misalnya anak-anak di Atambua gitu misalnya. Pakai satu TV, belajarnya malam karena listriknya adanya baru malam gitu ya, kumpul di kelas, mereka connect ke satu, nontonnya bareng-bareng di TV. Jadi, ya akhirnya, dan banyak kali akhirnya kita lihat bahwa, wah gila masyarakat kita tuh sebenarnya juga lumayan kreatif sih ya, maksudnya mikirin gimana akhirnya supaya bisa tetap belajar dengan berbagai situasi terbatas itu. Cuman akan lebih baik lagi kalau misalnya lebih banyak pihak yang bisa memfasilitasi agar hal itu makin memungkinkan gitu. Oke, saya mau dorong lagi nih mengenai STEM. Iya kan? Akhir-akhir ini saya sering ngomong lah mengenai gimana kita bisa meningkatkan kuantitas dan kualitas STEM. Apa pendapat Anda? Iya. Jadi menurut saya itu ngedorong STEM erat kaitannya sama ngedorong gimana mendorong critical thinking gitu kan. Karena kan sebenarnya root-nya dari situ lah gitu ya. Maksudnya gimana membangun Masyarakat yang jauh lebih ilmiah, yang nggak percaya sama hoax, yang akhirnya bisa berdiri data, akhirnya banyak ke situ. Dan sebenarnya untuk ketika kita mau bilang kita mau memajukan STEM, itu juga di saat yang sama gimana akhirnya memainkan STEM. Jadi bukan cuma melihat STEM sebagai subjek atau sektor singkir, tapi kemudian juga ada kaitannya dengan sektor-sektor yang lain. Gimana misalnya interlink-nya dengan dengan literasi, dengan interlink-nya dengan seni, gitu kan. Jadi hal-hal seperti itu juga sih yang menurut saya juga akhirnya jadi tidak kalah penting. Kemudian yang kedua adalah akhirnya butuh juga kesadaran. Karena nggak dipungkiri masyarakat kita tuh lumayan, ya nggak tau ya, ini agak transaksional. Jadi maksudnya ketika saya mau ngerjain sesuatu, pertanyaannya adalah, jadi apa? Apa yang akan saya dapatkan kalau saya melakukan ini? Jadi mesti kemudian juga ada usaha yang signifikan untuk gimana menunjukkan bahwa karir dalam STEM sangat berharga juga. Seperti kita ingin mengatakan bahwa pendidikan itu bukan untuk pekerjaan dan segala macam, tapi di saat yang sama juga kita harus berpikir tentangnya. Bukan lebih jelas bahwa berkarir dengan latar belakang STEM itu lebih berharga. Betul. Tapi kan yang jadi persoalannya adalah ketika kemudian Profil, sampel, model rol, itu juga kemudian terbatas. Jadi saya masih ingat, misalnya dari saya berasalah di Padang, karirnya dia nggak berharga apa sih? PNS, Pak. Karena memang nggak banyak. Oke. Saya mau tanya nih, ke berapa jauh Anda memotong itu dalam model bisnis Anda? Iya kan? Kalau di ruang guru kita mau anggaplah mau ngedorong kurikulum yang lebih berat di STEM, itu tentunya terpengaruh kan? Betul. Oleh persepsi masyarakat luas. Kalau di Padang itu dulu PNS lebih keren daripada non-PNS. Tapi itu kan bisa diubah lewat pipa ruang guru kan. Nah itu ada nggak upaya-upaya atau langkah? Jadi kalau di kita macam-macam. Jadi yang pertama setiap kita ngajarin sebuah konsep, kita coba untuk mengajarin. Jadi kayak kenapa sih kalian belajar tentang listrik? Kenapa sih kalian belajar tentang gerak? Apa ini relevansinya? Misalnya gitu. dalam contoh nyatanya dipakai dalam kasus apa. Jadi, membuatnya lebih praktikal. Seorang bukan belajar sesuatu yang abstrak saja, gitu satu. Kemudian yang kedua, banyak banget, misalnya, edukasi tentang opsi karir, kemudian tentang, orang bahkan kan banyak nggak tahu dia kalau kuliah jurusan ini itu akan belajar apa, maksudnya buat ngapain, gitu ya. Jadi, banyak banget juga edukasi-edukasi ke situ. Selain kemudian juga kita menyadari bahwa selain mendidik dari bawah, ada banyak juga nih orang-orang yang mungkin udah kuliah dan kemudian nyemplung di industri, gitu. Dan juga mungkin nggak punya kemampuan yang perlu terutama di area STEM ini juga. Makanya kita ada namanya skill academy juga yang akhirnya fokus pada benar-benar kemampuan tanggung dan keras di bidang-bidang termasuk STEM tadi. Sehingga akhirnya orang kalau misalnya mereka kelepasan, ya mereka bisa tetap mengejar. Oke. Sekarang kurikulum yang ditawarin, itu coba deh di-breakdown mana yang paling populer, mana yang nggak terlalu populer. Jadi kan kalau di kita mau nggak mau kita harus ngikutin kurikulum nasional. Jadi sekarang ada 3 kurikulum yang dipakai. KTSP, K13, K13 Revisi. Jadi belum ada satu kurikulum yang dipakai di Indonesia. Meskipun semua orang nanti akan ideanya adalah move ke K13 Revisi ini. Dan mungkin sekarang K13 Revisi ini juga akan ada banyak adjustment dengan pendekatan Merdeka Belajar, Kampus Merdeka, dan segala macam. Jadi akan ada adjustment-adjustment yang... yang terjadi gitu. Cuman kalau kita ngelihat dari sekarang, sebenarnya, kalau Anda bertanya, apa subjek yang paling populer di tempat kita, Ya, sains dan matematika sih, Pak. Karena juga itu yang mungkin banyak orang-orang nggak ngerti sih. Jadi ketika mereka di sekolah, dan memang kalau kita ngelihat profil guru sains kita di Indonesia, itu banyak banget yang sebenarnya tidak punya kualifikasi yang relevan. Jadi kita tuh nggak kurang jumlah guru. Kita punya 4 juta guru secara rasio guru-studio bagus banget. Tapi kualitas. Kualitas dan relevan dan distribusi. Jadi akhirnya karena dia nggak mendapatkan aspek-aspek itu dan dia merasa berjuang di situ, maka akhirnya ketika mereka belajar di Ruangguru, akhirnya dicari stand. Dan fokusnya akhirnya banyak ke situ. Kalau kita lihat rangkaian Indonesia di PISA, agak kurang berkenan kan? Apa visi Anda? 5-10 tahun ke depan, ada harapan nggak sih kita bisa masuk top 10? Wow. Ambitius ya. Top 10, kita harus ambitius. Kita jawabannya dari 72 ke top 10 kan. Agak Harry Potter-ish lah. Iya. Saya akan bilang dalam 5-10 tahun, itu agak sulit. Maksudnya kalau mau ke top 10. Karena, jadi gini. Oke, saya mau tanya, apa yang akan kita butuhkan untuk menjadi top 10? Jadi, ini, jadi ada penelitian dilakukan sama profesor di Harvard Kennedy School, namanya Len Pritchard. Jadi dia meneliti, basically, khusus anak-anak di Jakarta aja, bahkan dia nggak ngomongin Indonesia, ketertinggalannya dengan rata-rata negara OECD itu berapa banyak sih. Dan dia menemukan bahwa anak-anak di Jakarta untuk bisa setara aja dengan rata-rata OECD butuh 128 tahun. Saya akan mati, Anda akan mati. Iya. Gitu kan. Ketika kita cuma bisnis seperti biasa. Jadi nggak ada apa-apa yang berubah. Kemudian yang kedua adalah dia bilang bahwa, eh bukan dia bilang sih, dan ini juga dari riset lainnya juga, bahwa Kualitas anak-anak sekarang misalnya lulusan kelas 9 itu sebenarnya ketika ditanya waktu pelajaran yang efektifnya itu di Indonesia itu cuma, eh maaf, ketika orang kelas 12 itu cuma setara dengan orang lulus kelas 9. Jadi 3 tahun itu sudah hilang. Jadi dia mungkin lulusan SMA, tapi sebenarnya secara rata-rata kualitas sama kayak lulusan SMP. Dan ini kan sebenarnya problematik ya. Maksudnya gimana caranya gitu. Satu, Yang saya percaya pasti akhirnya guru. Dan kemudian kan guru akhirnya nggak mungkin dalam 5 tahun kita tiba-tiba 4 juta pekerjaan kita tiba-tiba jadi semuanya jadi bagus gitu juga nggak bisa. Dan ketika ngelihat guru, kita sebenarnya berbicara tentang seluruh, sama kayak jenis kapital manusia lah. Dari bagaimana kita mengikuti, bahkan latihan guru sebelum diikuti, kemudian penempatannya kayak gimana, sistem keuntungannya gimana, manajemen performa-manajemennya seperti apa, kemudian retrainingnya, upskillingnya, dsb. Jadi sama sebenarnya ngelihatnya. Jadi bagaimana kita mengubah ini? Ini satu. Yang kedua, jika kita melakukan bisnis seperti biasa, kayak kata Lann Pritchett tadi, ya nggak akan bisa kemana-mana, karena negara kita terlalu besar dan terlalu beragam untuk kemudian bisa mengandalkan berbagai penekatan konvensional. Dan itu di mana teknologi masuk. Justru gini loh, maaf ya untuk menerjemahkan, tapi... Kalau kita terlalu stick dengan 4 juta tersebut dan kualitasnya udah nggak bisa diubah lah ya dengan secara signifikan, tapi dengan pipa digital yang baru ini, sebetulnya kita bisa lebih.. Bisa diakselerasi. Iya kan? Bisa direkayasa lah. Betul. Jadi bisa diakselerasi. Jadi bisa.. Makanya akhirnya gimana membuat orang sebenarnya ngelihat bahwa teknologi itu bukan cuma.. Makanya ini saya juga takutnya ya. Karena si Covid ini, orang oke akhirnya jadi sedar bahwa bisa belajar online dan segala macam. Tapi orang ngelihatnya bahwa cuma, oh ini tuh substitusi. Jadi ketika orang nggak bisa belajar secara secara secara secara secara, maka online. Padahal sebenarnya yang efektif adalah ketika kemudian itu tuh diintegrasi. Jadi pembelajaran berkumpul, kemudian gimana guru menggunakan data, gitu kan, untuk tahu performa anak, gimana akhirnya dengan penggunaan teknologi misalnya kayak ruang guru bisa belajar jadi jauh lebih personalisasi, kita bisa identifikasi di mana missing. atau peringatan yang mereka nggak selesai. Jadi sebenarnya ya itu tadi, gimana mengintegrasikannya sih. Dan ini akhirnya butuh komitmen dan keinginan yang sangat besar bukan cuma dari pemangku kebijakan tapi benar-benar sampai ke jalan ke depan gitu. Karena kalau misalnya ada kebijakannya tapi di bawahnya nggak mengikuti itu, ya susah sih. Tapi saya justru melihat ini hikmahnya ada loh, Covid. Iya kan? Karena ini memaksa penyelarasan. atau streamlining dari pipanisasi. Iya kan? Dan pipa-pipa yang bagus itu diberdayakan, pipa-pipa yang nggak bagus ya nggak diberdayakan. Dan ya kita fokus ke guru-guru yang berkenan. Dan itu dimasukin ke pipa-pipa yang pas. Terus tinggal kita mikirin broadband access aja. Bisa lalu dititik di Indonesia kan? Itu bisa game changing loh. Bisa. Jadi makanya akhirnya bener saya Internet akses adalah kunci. Dan sebenarnya, ya mungkin saya teori sih ya, maksudnya kayak harusnya itu nggak susah gitu. Tapi oke lah, kalau dengan begini-begini aja, kapan kita bisa masuk top 10 di PISA? Kalau begini-begini aja susah, karena itu target yang bergerak. Semua orang bergerak dan kita hanya berada di tempat yang sama. Jadi ketika orang bergerak, dan kita mungkin juga bergerak, tapi kita bergerak secara inkremental banget. Akhirnya beda banget. Saya pernah ke banyak negara, dan bukan cuma mengunjungi negara, tapi berbicara dengan para guru, para guru, dan para ibu di banyak tempat. Satu hal yang menurut saya akhirnya bisa jadi sangat mengingatkan tentang Indonesia adalah tentang motivasi belajar. Jadi kita itu salah satu negara, dan ini juga ada penelitiannya, dengan mindset pembesaran yang paling rendah. Kalau tidak ada mindset pembesaran, Ya mau dibikin kayak apa akhirnya nggak bisa sih. Jadi, dan ini jadi karena mungkin untuk sederhananya buat yang nonton juga adalah kayak banyak orang mindset tuh mungkin dalam sederhananya adalah kalau dalam belajar, orang merasa bahwa, oh saya tidak bagus di matematika, maka saya akan selamanya teruk di matematika. Saya nggak bisa fisika berarti yaudah saya nggak bisa fisika aja. Padahal sebenarnya kan dengan dengan belajar bisa diubah gitu. Itu bukan kondisi permanen gitu. Oke tadi kita udah ngobrol STEM. Yang kedua, gimana kita bisa membudayakan baca buku? Ini semuanya dalam bungkusan scalability nih. Iya betul. Gak usah ngomong profitability deh. Kita buang aja itu, kita ngomong scalability. Gimana orang bisa belajar matematika dan sains, terus gimana orang bisa baca buku? Satu adalah gimana, pasti akhirnya ngomongin akses dulu. Jadi gimana membuat akses terhadap buku itu jadi jauh lebih ramah. Dan bagaimana membuat kegiatan atau aktivitas membaca itu menjadi sesuatu yang sangat integratif juga dalam proses belajar. Jadi misalnya, ini mungkin membandingkan, dan mungkin nggak sederhana ini juga, tapi misalnya gaya pendidikan di Amerika. Orang ketika masuk kelas kan mesti baca dulu ya. Karena pendidikannya adalah ya... bukan cuma ngejelasin doang guru pada akhirnya, tapi fasilitasi gitu. Ketika orang datang di kelas diharapkan mereka justru sebenarnya udah ngerti. Dan akhirnya tinggal gimana mendiskusikan bagaimana itu diaplikasikan dalam praktik gitu kan. Nah, tapi dengan metode atau cara belajar kita saat ini yang berat buku, maksudnya benar-benar akhirnya belajar untuk memori, gitu ya. Ya akhirnya membaca itu tidak dilihat sebagai sesuatu yang... sesuatu yang akhirnya harus, yang harus diintegrasi dalam proses belajar itu sendiri. Karena belajarnya itu baru pas mau ujian. Jadi itu satu. Yang kedua adalah bagaimana juga kemudian menurut saya perlu akhirnya memberikan insentif lebih kepada industri ini, terutama di industri literaturnya. Bagaimana kita membuatnya lebih menarik? buat penulis, gimana caranya mungkin... Pemilikan intelektual. Pemilikan intelektualnya gimana, gimana kita ngomongin masalah perpajakannya bahkan buat mereka, gitu kan. Gimana membuat konversi dari buku ke format-format yang lain, apakah ke digital, dan segala macamnya itu bisa jadi lebih cepat, gitu. Sehingga pada akhirnya membuat penyelenggaraannya juga banyak dan berlimpah, dan akhirnya gerakan literatur itu menjadi mainstream, bukan sesuatu yang hanya kayak sekelompok orang yang peduli sama literatur. Itu yang sebenarnya, mungkin nggak terlalu mungkin kalau dalam apa yang kita lakukan di Ruangguru, sebenarnya itu yang mungkin bagi sebagian orang ini konsep yang agak nyeleneh. Karena misalnya gini, ketika kita di Ruangguru, banyak orang itu nanya sama kita, kenapa sih menginformasikan Ruangguru tapi pakai brand ambassador-nya gamer? Atau pakai artis-artis yang nggak intelektual dalam tanda kutip. Justru saya bilang bahwa target audiens saya yang mau saya edukasi justru adalah orang-orang yang beda sekali sama saya. Yang sering terjadi dalam berbagai macam inisiatif adalah kita berdoa ke panggung ikut. Kalau saya pakai misalnya, ya bukan dengan namanya sih, misalnya saya pakai Pak Gita, misalnya jadi panggung ikut gitu, ya bagus sih, misalnya bisa jadi model peran. Cuma ketika saya tanya apakah anak-anak di mana gitu akan bisa berhubung, belum tentu. Karena dia akan bilang, oh iya lah, Pak Gita. Sekolahnya bagus, ini segala macam. Justru saya ingin membuat gimana percakapan, diskursus tentang pendidikan itu menjadi sesuatu yang jadi mainstream. Orang dimana aja ngerasa bahwa ide ngomongin ruang guru, ngomongin apa ya nggak masalah. Dan itu yang menurut saya pada akhirnya sama dengan gerakan literatur atau gerakan-gerakan lain yang mau kita coba populerkan. Memang pada akhirnya ada reduksi substansi. Karena kita nggak bisa mencoba mau dapetin semuanya. Tapi ya bertahap sih menurut saya. Saya pikir Anda bisa memainkan peran besar dalam mendapatkan banyak orang untuk baca. Karena pipanya Anda tuh udah pervasif, udah cukup masif kan? Dan tinggal gimana dimainkan aja supaya orang tuh berbudaya baca buku. Karena ya sulit banget sekarang untuk... Gimana ngerakin orang untuk bisa lebih baca buku. Ya kan? Mereka lebih suka ngelihat ya apapun lah di HP-nya mereka yang mungkin catchy atau apa, dan itu membuahkan satu, eco chamber, dua, membuahkan... asimetri informasi, dan itu kalau menurut saya ya sulit. Dan ini juga karena tadi ya, misalnya banyak konten di luar sana, dan orang-orang berjuang untuk perhatian yang sama. Dan akhirnya juga ketika kita ngomongin buku juga adalah gimana membuat membacanya jadi baca utuh juga sih, Pak. Karena orang baca terpotong-terpotong dan merasa bahwa, oke, saya sudah mendapatkan titiknya. Padahal sebenarnya kan yang membuat buku itu Buku itu menarik dibandingkan medium lainnya adalah karena dalamnya. Karena kapasitasnya untuk kemudian bisa mengelaborasi, bisa membawa data, dan segala macam, sehingga tidak direduksi. Saya berpikirnya gini loh, akhir-akhir ini kan kita melihat polarisasi percakapan di banyak negara. Negara maju, negara berkembang. Dan akhir-akhir ini saya berhipotesa itu sedikit berkorelasi. dengan kesenjangan atau rasio gini, yang semakin naik, semakin senjang atau kesenjangan semakin tinggi, itu semakin terpolarisasi dan Anda sebut eco chamber. Yang di sini hanya mau dengerin yang di sini, yang di sini hanya mau dengerin yang di sini, nggak ada interaksi. Dan itu mungkin karena kurangnya pengetahuan. Dan pengetahuan itu kan banyak sekali bisa diraih dari buku. Jadi saya agak khawatir gimana nih supaya ini bisa interaksi dan itu perlu keterbukaan. Apa pendapat Anda? Iya sih. Jadi makanya tadi salah satunya adalah ke masalah akses tadi sih. Karena pada akhirnya gimana membuat hal-hal yang sifatnya core dan substansial tadi bukan jadi cuma konsumsi kelompok tertentu doang gitu. Dan yang kedua juga adalah bagaimana tadi memasyarakatkan dan membuat itu menjadi relevan bagi kelompok-kelompok yang tadinya nggak punya ketertarikan terhadap bidang ini. Sehingga itu relevan buat dia. Jadi samalah kita kayak kita ngomongin perubahan klinik, kita ngomongin isu-isu lain, kayak bagaimana kita mengatasi itu secara dasar? Iya. Masih banyak yang harus dilakukan mengenai perubahan iklim. Banyak anak-anak muda itu yang nggak ngerti bahwa jumlah karbon yang tersisakan itu sangat terbatas. Nah ini saya mau ngobrol mengenai, saya tuh sering kali kalau kasih ulasan, saya menggambarkan atau mengilustrasikan Indonesia 2045. Ya kan? 25 tahun dari hari ini di mana oke lah kita bisa menjadi perekonomian terbesar nomor 4, katanya sih. Kita boleh tepuk tangan lah. Tapi yang saya mimpikan tuh gimana kita bisa sudah menang 5 tahun. 5-10 Nobel, 5-10 Grammy, 5-10 Oscar, top 5 di teli olimpiade. Iya kan? Kalau kita udah jadi negara demokrasi terbesar nomor 3, ekonomi terbesar nomor 4, nggak ada alasan kan nggak bisa untuk berprestasi di hal-hal yang multidimensional. Nah itu berkorelasi dengan pendidikan kan yang berdasarkan kebanyakan. Dan gimana nih ruang guru ke tahun 2045? Oke, itu pertanyaan yang bagus. Menurut saya mungkin paling mendasarnya adalah gimana pada akhirnya kita sebagai sebuah bangsa itu nggak cepat selesai dengan mediokriti. Dan itu pada akhirnya terkait dengan gimana caranya kita ngebangun meritokrasi di berbagai tempat, orang-orang yang memang akhirnya layak berada di tempat yang layak, kemudian nggak cepat puas, karena ini saya juga sering bilang sih, misalnya ke tim atau ke yang mana gitu, Gimana caranya kita apapun posisi kita, apapun tanggung jawab kita, tapi punya standar kebaikan yang sama tentang apa yang mau kita kerjain. Misalnya kalau Anda sekarang dalam sektor keuangan, gitu kan, terus kemudian misalnya bikin laporan keuangan buat kantor, bisa bagus banget, bisa sesuai prosedur, tapi gimana menggunakan prinsip yang sama, ketika misalnya jadi... ngurusin keuangan buat acara 17-an di kampung gitu misalnya, ketika punya tanggung jawab itu di RT gitu. Bisa kamu lakukan yang sama gitu kan. Nah entah kenapa, kalau kita enggak, kita seolah-olah, oh kalau berarti enggak ini perannya bisa direduksi, kualitasnya bisa direduksi. Padahal sebenarnya mentalitas bahwa saya butuh untuk menghasilkan kebaikan yang sama, kualitas yang sama, tidak kira apapun yang saya kerjain itu penting gitu. Karena tadi kita masih suka menyelesaikan dengan keuntungan, itu oke, cukup bagus gitu. Gimana jadi bangsa yang nggak cepat puas sama cukup baik. Itu akhirnya penting. Dan itu menurut saya bahaya juga dengan segala narasi 2045 kita jadi apa dan segala macam ini, karena jangan sampai kita kemudian terjebak dalam persepsi dan wacana bahwa kita itu besar dan cukup. Padahal sebenarnya itu adalah metrik yang sangat superficial dan artifisial juga. Maksud saya, sekarang kita meskipun kita bukan nomor berapa, tapi kita sekarang udah nomor 3 demokrasi terbesar. Tapi apakah kemudian itu tercermin nggak dalam proses kita berdemokrasi misalnya? Ketika kita ngomongin bahwa kita secara ekonomi, kita bagus, kita positif, ketika orang semua pada defisit, kita berdekatan, kita berdekatan, kita berdekatan, kita berdekatan, kita berdekatan, kita berdekatan, kita berdekatan, Emang maksudnya kehidupan di jalan lantai, mereka merasakan itu apa enggak. Jadi akhirnya hati-hatinya juga jangan sampai kemudian terjebak dalam wacana bahwa kita besar itu. Itu bagus, maksudnya bahwa kita punya kapital yang besar, punya kapital sosial yang luar biasa, tapi jangan sampai itu kemudian jadi ya udah. Itu baik. Iya, setuju. Iya, itu sih. Setuju. Dan kita bisa ngelihat Korea lah. Iya. Iya kan? 50 juta manusia, tapi gila loh. Suruh nyanyi oke, suruh dansa oke, suruh akting oke, di laboratorium oke, iya kan? Iya. Oscar menang lagi, iya kan? multidimensional. Dan itu kalau menurut saya berkorelasi dengan kerja keras ya. Dan mereka tuh jabanin apa aja. Pembangunan untuk sukses di setiap dimensi. Gimana tuh supaya membudaya kayak begitu tuh di Indonesia? Dari Sabang sampai Merauke. Dan Anda tuh udah punya pipanya lho. Anda dikendalikan. yang dilihat oleh jutaan orang. Ya. Maksudnya, saya juga terkawal dengan... Maksudnya, Anda bisa menguruskan pipa. Dan itu bisa berperan pipanya. Iya. Kalau saya ngelihatnya, mungkin balik lagi ke hal yang tadi, Pak. Mungkin yang membuat Korea itu juga jadi menarik adalah bahwa karena mereka nggak inferior juga sih ya. Jadi nggak ada inferioritas kompleks terhadap bahwa, Wah! bahwa bahasa Barat lebih baik dari kita. Jadi kalau misalnya ada apa gitu misalnya. Tapi itu lewat proses yang incremental. Iya betul. Nggak. Instantaneous. Dia nggak eksponensial. Karena ada itu ter-ter-ter-incooperate di pendidikan mereka, di kemudian secara budaya juga gitu ya. Dan mereka bertahap kan sebenarnya nggak tiba-tiba juga langsung muncul di Oscar gitu kan. Tapi menurut saya peran besarnya juga adalah ketika kemudian apresiasi terhadap pembinaan lokal itu juga sangat besar. Dan saya pikir itu juga kultur. Dan sebenarnya kita tuh punya itu. Cuma saya juga punya.. Banget. Banget kan. Nah saya kadang juga berpikir gitu, apa yang salah, dan saya tidak punya jawabannya juga gitu. Karena.. yang membuat Korea jadi Korea adalah karena itu bukan berangkat dari orang luar yang mengkonsumsi dan tertarik, tapi orang di dalamnya mengkonsumsi dan menghargai karya-karya itu dan memberikan nilai terhadap apa yang dikerjakan. Sementara kalau kita selalu, nggak tahu website-nya, bukan selalu sih, tapi sering kali misalnya ketika ngelihat, jadi banyaklah. karya-karya batik atau art atau apa segala macam, oh ini tuh bisa diekspor. Ini tuh, misalnya ketika kita bikin jati, ini bisa diekspor. Pertanyaan saya adalah, apakah karena memang nggak ada daya belinya di dalam negeri, atau karena memang it's not our taste, which is juga enggak, gitu kan, atau apa gitu. Sehingga membuat kita juga selalu memikir ketika melihat sesuatu, ketika dia diekspor, ketika dia itu kemudian dikonsumsi di luar, Itu adalah ukuran keberhasilannya, itu adalah ukuran ininya. Itu yang saya juga, karena juga, saya tahu Anda bertanya pertanyaan, saya bertanya pertanyaan, cuma ini kayak, ya itu. Itu satu cara melihatnya. Tapi saya mau balik ke yang Korea tadi. Saya tuh pernah berkunjung ke pabrik baja di Korea. Itu di pintu masuknya ada poster segede bagong. Itu kopi surat tolakan dari Bank Dunia. Waktu mereka pertama kali minta loan, dan ditolak oleh Bank Dunia, dan rejection seperti itu, Sama dengan pengalaman Anda. Jadi pemicu. Iya kan? Untuk mereka mencari sumber alternatif dan mereka dapat dari dalam negeri pula, dan mereka sekarang sudah menjadi pabrik salah satu terbesar di dunia. Ibarat kata itu seperti, iya kan? Apakah karena kita gemah ripah, ya sudah. Maksudnya kita nggak pernah berada di kondisi di mana seperti hidup atau mati. Maksudnya kayak bahwa ya sudah, kita masih bisa bertahan hidup dan kita bahagia. Dan itu menarik. Kita sudah mengikhlaskan. Betul. Karena ketika kita ngomongin tadi misalnya kualitas pendidikan, kita adalah salah satu penampil, tapi pada saat yang sama kita juga bahagia. Ketika ditanya anak-anak paling bahagia di dunia, itu orang Indonesia. Kalau saya biasanya kalau ditanya waktu saya sekolah, kok bisa sih? Gimana ceritanya? Kalau saya, kebohongannya adalah, Ya karena banyak bolosnya, makanya senang. Baiklah, ini kita balik ke korporasi. Dalam 5 tahun ke depan nih, bakal ada pipa yang lain nggak seperti Ruangguru? Yang dilakukan oleh ruang guru atau di industri maksudnya? Di luar ruang guru. Yang dilakukan oleh orang lain. Menurut saya sih akan pasti ya. Kalau berapa banyak yang dipendidikan? Jadi kalau sekarang sebenarnya aja tuh di tahun ini apalagi mulai banyak. Dan mungkin juga karena di aselerasi dengan Covid, orang ngelihat potensinya. Dan pada saat yang sama juga mungkin karena kita berada di posisi dimana kita berada sekarang, sehingga orang melihat bahwa orang mulai tertarik nih sama sektor ini, bahwa ngelihat bahwa Ya, ya. Ya, ya. Olin, ini bukan cuma sektor yang menarik secara impact dan sosial, tapi secara bisnis juga. Juga sebenarnya menarik. Investor mulai menerima perhatian, kemudian juga banyak orang yang melihat ini. Jadi sebenarnya kita tahun ini saja sudah melihat jauh lebih banyak secara growth dibandingkan sebelumnya, kemunculan yang baru-baru. Pertanyaannya adalah, gimana caranya membuat itu semua menjadi sustainable dan bukan menjadi cuma Hissariya semata. Makanya kalau saya sebenarnya dibandingkan akan ada berapa banyak, dari 5 tahun ke depan saya lebih penasaran adalah akan berapa banyak yang bertahan. Karena menurut saya ketika bekerja di pendidikan, itu butuh banyak lebih dari hanya kesempatan dan segala macamnya, tapi butuh pasien. Tapi pasien sendiri juga tidak cukup. Jadi itu satu. Kemudian yang kedua adalah bagaimana, ini akan bergantung juga adalah apakah masyarakat kita juga kemudian bertumbuh dan bisa menerjemahkan atau menginterpretasikan nilai yang ditawarkan itu sehingga merasa bahwa oke ini bisa menjadi konsumsi yang permanen, bukan cuma sesuatu yang sifatnya insidental ataupun alternatif. Jadi akan tergantung sama dua faktor itu. Dan ketiga juga mungkin tergantung kebijakan juga. Apakah dia jadi lebih ramah terhadap ekosistem atau enggak. Cuman sih menurut saya dalam 5 tahun ke depan sih harusnya dan juga mungkin ngelihat bagaimana negara-negara lain berproses. Karena mungkin kita kalau ini kita ibaratnya kayak berapa tahunnya Cina yang lalu atau berapa tahun India yang lalu, arahnya pasti akan lebih banyak. Oke. Kalau di raih sharing kan ada dua. Di marketplace ada beberapa. Kalau di pendidikan kira-kira ada berapa? Sebenarnya kalau ditanya sekarang ada berapa jumlah perusahaan pendidikan lokal di Indonesia, jumlahnya mungkin ada sekitar 40-an, Pak. Tapi yang bakal berskala. Atau mindsetnya adalah, Anda adalah Facebook, nggak ada platform networking sosial nomor 2. Anda adalah Google, nggak ada platform pencarian nomor 2. Terakhir pakai Bing kapan? Atau.. ya.. Ya kalau mau aspiratif dikit ya. Ketika, terakhir kali pakai Bing ketika di Cina sih, Pak. Karena Google-nya nggak bisa, jadi pakai Bing gitu saya. Itu 2 tahun yang lalu, 1 tahun yang lalu. Tapi apakah mindsetnya founder-foundernya Ruangguru tuh kita mau jadi.. Winner takes all. The only dude in town. Enggak sih. Karena sebenarnya, lagi ketika kita ngomongin pendidikan, itu spektrumnya gede banget. Jadi misalnya kita bagus di K-12, dan kita mungkin juga sekarang mau masuk ke vertikal-vertikal yang lain, tapi belum tentu misalnya ada bahasa, masih ada kelas kecil, masih ada pendidikan, latihan korporat, bahkan STEM, aktivitas sekolah, jadi ada banyak banget spektrum-spektrumnya. Sebenarnya mungkin bagi saya yang menarik adalah bagaimana mendorong munculnya orang-orang yang berani nekat juga di hal-hal yang belum kesentuhin yang ada. Karena sekarang semuanya mungkin karena ngelihatnya kita baik di sini, semua jadi mengarahnya ke kita. Padahal sebenarnya diversifikasinya itu. Sehingga nanti menurut saya tetap akan kayak mungkin ada satu atau dua yang tapi di masing-masing tadi. Karena itu juga yang kita lihat di India, di China, di Amerika. Kayak di China, sekarang sudah ada... Mungkin 2, mungkin company yang di atas 10 jutaan dolar, gitu kan, di pendidikan, gitu ya. Dan masih di sektor yang sama sih gitu sebenarnya, gitu. Tapi apakah, jadi apakah cuma 1 doang atau 2 ya itu tetap diperhatikan lah, gitu. Bakal terjadi konsolidasi nggak antara pemain regional di pendidikan? Mungkin bisa. Karena... Apakah itu bagian dari pemikiran Anda untuk... kepentingan exit atau event kelebihan, atau apapun. Menurut saya sih, karena kalau saya sih terbuka, ya. Maksudnya tinggal orang ngopeng. Karena pada akhirnya, kita mengatasi masalah yang sama. Tadi saya bilang, misalnya, saya cuma menawarkan rasa yang berbeda, bukan seperti makanan. Tapi kita menutup masalah utama, sama. Jadi sebenarnya sangat mungkin, satu. Yang kedua audiensnya juga sama. Tapi di sisi lain, sebenarnya juga saya juga nggak tahu apakah konsolidasi juga, karena sebenarnya yang mempengaruhi inovasi adalah kompetisi. Jadi, fakta bahwa kita melakukan hal yang sama itu akhirnya juga mempengaruhi kita untuk berpikir lebih kreatif tentang apa yang bisa kita lakukan lebih. Jadi juga nggak setel sama hal yang sekarang. Jadi mungkin kita akan melihat konsolidasi lebih banyak, tapi itu tidak bermaksud kemudian akhirnya cuma ada satu pemain singkat. Apa yang membuat Anda terjaga mengenai kompetisi? Apakah kepikiran nggak tiba-tiba besok WhatsApp mau melakukan pendidikan? Saya sih nggak terlalu pusing sama kompetisi. Karena tadi saya bilang bahwa saya percaya bahwa pendidikan bukan komedi. Jadi meskipun Google, WhatsApp, Facebook tiba-tiba bikin, ya mungkin bisa. Dan tekniknya Google punya Youtube yang punya banyak banget juga video pelajaran segala macam. Tapi nggak membuat orang kemudian jadinya, oke orang tetap melihat Youtube adalah Youtube dan Ruangguru adalah Ruangguru. Saya pergi ke Youtube untuk sesuatu, dan saya pergi ke Ruangguru untuk hal lain. Jadi akhirnya dari sisi audiens, dari kemudian keinginan untuk membeli, gitu ya. apa yang ditangani, akhirnya juga berbeda. Dan itu membutuhkan waktu juga untuk mereka akhirnya bisa, bukan hanya membuat platform, dan tiba-tiba itu ada. Karena itu membutuhkan proses iteratif untuk mengetahui apa yang berkonten yang baik, apa data yang Anda kumpulkan, dsb. Tahu nggak, kemarin tuh saya lihat data di tahun 2018 yang nonton Netflix, itu jumlah jamnya 50 miliar jam. dalam satu tahun. Dan Anda tahu apa yang ada di sana dengan Netflix? Gaming. Gaming itu 51 miliar jam. Waktunya. Bayangkan kalau seluruh dunia melihat skrin selama 51 miliar jam untuk belajar. Itu seberapa lebih bijak atau lebih teredukasi planet itu akan menjadi? Makanya bagi saya kalau ngerjain pendidikan, Pak, itu sebenarnya, menurut saya, itu memenuhi kemampuan. Karena tidak ada yang seperti pembelajaran yang lebih besar. Itu bukan seperti saya di e-commerce, kemudian misalnya saya nyuruh orang untuk, saya konsumsi lebih banyak, atau misalnya saya untuk landing yang kayak, oh kamu perlu mengambil uang supaya bisa konsumtif, gitu ya. Tapi kalau di kita, lebih banyak kita memusuh orang untuk belajar, gitu kan, ya tidak ada yang, Itu sangat berbahaya. Jadi, jika Anda memiliki pilihan untuk dikeluarkan, apakah oleh Netflix, atau oleh perusahaan permainan, atau Google, atau Facebook? Ya. Karena kalau saya sekarang nonton Netflix, saya cari yang ada unsur sejarahnya, dokumenternya, dan segalanya kan. Mungkin aja. Saya tidak pikir itu tidak mungkin. Saya pikir hal tentang pendidikan adalah, dan mungkin dalam konteksnya tadi, misalnya ada pendidikan hanya untuk pengetahuan, gitu kan. Yang oke akhirnya ini bisa belajar hal baru, push for curiosity, dan segala macam. Sama kemudian ada yang memang misalnya seperti apa yang kita lakukan dimana harus terbentuk karena belajarnya nggak bisa lompat-lompat. Karena Anda perlu memahami peringkatnya apa untuk bisa kemudian memastikan sesuatu. Jadi saya pikir struktur itu dan pengalaman itu dimana bukan hanya tentang video, tapi kuis, notas, elemen sosialnya, yang membuat itu kemudian menjadi pengalaman penuh untuk belajar. Itu yang banyak platform video yang diperlukan atau platform fokus yang nggak punya. Karena diketahui bukan tentang platform, tapi tentang konten yang Anda produksi yang memiliki pengaturan yang spesifik untuk penduduk Anda. Saya mau nanya, filosofisnya mengenai pendidikan, apakah Anda seorang yang percaya dalam memulai pikiran atau memanjakan api di dalam pikiran? Karena pedagoginya kan beda. Jadi kalau saya, ini sih. Cuma saya percaya perlu diformulasi dulu supaya ada fundamental, tapi untuk formulasi terus-terusan tanpa kemudian ada elemen kejutan yang lampunya tadi dan segala makinnya tadi akan membuat kita jadi kayak robot aja. Tapi hanya lighting aja. Membuat kita responsif tapi nggak punya core, nggak punya substansi. Jadi, ya akhirnya... Saya tahu saya nggak jawab pertanyaan Anda. Tapi mesti tadi... Itu sekuensial. Harus ini dulu, baru ini kan. Betul. Itu bagian sekuensial. Oke. Anda menyebutkan kata robot. Saya mau agak-agak mengecewakan lagi nih. Saya bersasgripsi. Untuk berapa? Kita perlu nge-hack diri kita sendiri supaya kita bisa menjadi bangsa yang lebih hebat dan besar. Sekarang kan kalau kita, ya ini beberapa kalilah saya angkat topik ini dengan beberapa narasumber, dengan pemberdayaan genome sequencing sama artificial intelligence. Nah itu saya cukup percaya dengan teori singularity bahwasannya kecerdasan biologis itu bakal berinterseksi dengan kecerdasan artifisial. Dan itu... Exciting tapi juga mengerikan. Iya kan? Kalau salah asuh. Bahkan saya percaya ke depannya itu akan terjadi interseksi antara intelijens yang ada di dunia ini dengan intelijens yang ada di... Karena itu tidak mungkin bahwasannya ada sesuatu yang hidup di luar. Nah itu gimana tuh kalau Indonesia di tahun 2045 mau keren banget lah seluruh dunia. yang seluruh dunia itu udah fanatik mengenai dangdut, kita udah menang 5-10 Oscar, 5-10 Grammys, 5-10 Nobel, dsb. Tanpa nge-hack diri bisa nggak? Atau kalau emang nggak bisa, apa kita konten saja atau kita perlu nge-hack diri kita sendiri? perlu nge-hack. Kita harus nge-hack diri kita. Itu kembali ke dalam bahasa Indonesia, lifelong learning. Itu yang saya maksud dengan nge-hack. Karena ketika kemudian kita berdiri dengan, oke ini yang saya tahu, kita baik dengan ini, gitu kan. Dan masalahnya kita hidup di dunia yang terus berkembang. Dan kita tuh bukan cuma Hidup di dalam katak dan tempurung doang, ya udah cuma muter-muter sini aja. Tapi ada variabel-variabel lain yang kita nggak bisa kontrol. Negara lain kayak gimana, tren kayak apa, cinta berkembang, gitu kan. Sehingga pada akhirnya kalau kita nggak terus-terusan menghack, yang terjadi adalah kita nggak akan relevan lagi. Jadi pertanyaannya adalah, bagaimana kita membuat apa yang kita lakukan itu selalu relevan ke... ekosistem. Wow. Oke. Anda berani. Yang bagus. Oke. Sekarang kapan nih mau IPO Ruangguru? Atau udah ada amanah dari investor harus IPO sebelum kapan atau apa? Belum sih. Maksudnya, karena soalnya misalnya orang ngeliat IPO, Jadi akhirnya tujuannya apa? Apakah untuk keluar dari negara? Apakah karena kita butuh kapital untuk akhirnya bisa mencapai tujuan kita, dsb. Karena soalnya ada banyak intrikasi dan kompleksitas dengan membuat perusahaan publik. Dan tidak perlu kita harus menjadi perusahaan publik juga. Kita masih bisa menjadi perusahaan pribadi yang baik dan menghasilkan output dengan cara yang tidak terpaksa juga. Jadi kalau bagi saya, kita harus memiliki kekuatan yang baik. Pemimpinannya bukan kayak, oke saya harus kapan IPO-nya. Tapi lebih kepada bahwa milestone apa misalnya di perusahaan yang mau kita capai, gitu kan. Sehingga kemudian akhirnya kita bisa bilang bahwa kita siap. Kalau ditanya sekarang siap, ya belum siap sih. Masih banyak banget PR-nya. Kapan bakal jadi unicorn? Belum tahu ya. Maksudnya, hal ini begini, maksudnya saya... Mungkin lebih gampang jawabnya kalau pra-COVID ya. Iya. Mungkin itu benar. Karena gini, kalau investor bertanya, saya pasti ada pertanyaan, yang mana investor Anda? Mungkin saya punya jawabannya. Cuma bagi saya pribadi, Dan ini bukan tipikal entrepreneur banget sih. Saya tidak pernah tergolong oleh itu sih, bahwa saya harus jadi unicorn. Dan akhirnya kan status unicorn itu dicapai ketika Anda berlari atau ada partai eksternal yang menghargai Anda di situ. Pertanyaannya adalah apakah kita kemudian mau berlari hanya karena berlari untuk mendapatkan status itu. Karena pada saat yang sama itu artinya dilution, artinya Anda tidak memiliki kontrol, artinya Anda membawa lebih banyak orang ke keluarga Anda, gitu kan. Dan baik kita, karena kita kebetulan baru berlari juga di Desember tahun lalu, jadi war chest-nya masih lumayan lah. Jadi belum ada kayak urgensi harus segera di awal tahun depan jadi unicorn atau apa gitu. Kalau saya sih ngelihat, Nggak ada alasan Anda nggak bisa jadi unicorn dalam waktu dekat. Pertambahan pertama itu luar biasa kan? Dan Anda sudah cukup dengan jalan jalan. Nah enaknya kalau begitu tuh kita bisa berpikir, atau Anda bisa berpikir rasional. Nggak terlalu tergesa-gesa. Dan semakin kita nggak tergesa-gesa, semakin kita bisa fokus. Makanya berjuang saat Anda tidak perlu berjuang kan sebenarnya. Iya, benar. Saya ingin bertanya-tanya Anda. Oke. Gimana? Gampang saja. 10 juta dolar valuasi dalam 5 tahun untuk Ruangguru. Ini jawabannya apa nih? Maksudnya? Iya atau tidak? Atau tidak? Atau tidak? Oke. Bagaimana? Itu rapid fire ada penjelasan ya. Bukan begitu mudah, Man. Oke. Tanpa menghentikan terlalu banyak. Maksudnya kalau kita terus menyampaikan nilai, gitu kan, dan di mana sekarang pun sudah punya sudah punya pasarnya dan sudah punya dasarnya, saya percaya pada efek jaringan. Jadi lebih mudah untuk mendapatkan dari 100.000 ke 1 juta, daripada dari 1 juta ke 5 juta atau 10 juta. Karena sudah ada efek jaringan tadi menurut saya. Jadi saya pikir dengan itu, itu bisa. Dan pada saat yang sama, kita juga melakukan banyak hal lain di luar dari jaringan. di luar bandara ini. Kita sekarang ada di Thailand, ada di Vietnam juga, yang juga berjanji. Jadi saya pikir dalam agregat, dari segala yang kita lakukan, itu mungkin. Saya tidak mau terlalu yakin, cuma ya mungkin dan ya bisa. Kalau valuasi sudah 10 miliar dolar, itu sudah berapa jam waktu penontonnya? Ini menarik. Karena sebenarnya di kita, kita tidak tergantung oleh Matriks yang satu yang kita lihat bukan waktu penonton dan bukan kompetisi. Agak beda sama kebanyakan perusahaan pendidikan. Karena di kita, kita percaya bahwa kalau orang nggak perlu, misalnya ya, dalam tanda kutip, nggak perlu kayak belajar panjang-panjang dan dia bisa mengerti sesuatu, itu lebih baik. Jadi mereka bisa melakukan dan mengeksplorasi hal lain. Jadi apa yang kita coba lakukan, menjelaskan kita adalah gimana cara dalam waktu yang singkat kita bisa ngasih penjelasan, pemahaman yang bisa dimengerti dengan cepat oleh anak, gitu. Jadi, Karena kalau misalnya matriksnya cuma sekedar waktu tontonan, apa yang akan saya lakukan adalah membuat video lebih panjang dan tidak efisien. Bisa kayak gitu juga. Atau kenapa misalnya bukan kompletion karena kita supplementary, orang nyari ke kita ketika misalnya dia nggak ngerti di bagian tertentu. Kita bukan kayak orang harus nyaliskan sebuah kursus yang mereka harus ngerti dari awal sampai akhir. Jadi itu pendekatannya agak beda. Makanya mungkin kalau ditanya waktu tontonan, itu bukan sesuatu yang saya fokus pada secara agama. Nggak saya intuitif aja. Karena saya pikir semakin banyak tuh semakin kita berpendidikan. Tidak perlu. Oke. Itu bagus untuk diketahui. EV di Indonesia kapan? Bakal masif? EV maksudnya apa? Elektrik. Oh, elektrik. Saya bukan salah satu dari investasi serius A. Oke, oke. Itu kayak, apa itu EV? Itu kayak, kamu nggak tahu ini? Dan kamu sudah membaca banyak buku. Oke, oke. Elektrik. Hmm, menarik. Bergantung pada kebijakan, Pak. Maksudnya apakah... Itu pertanyaan selanjutnya. Tergantung kebijakannya, apakah kemudian memberikan insentif lebih untuk elektrik dan seterusnya, kan? Tapi untuk menjadi mainstream, itu akan mengambil waktu yang lebih panjang dari di tempat lain, menurut saya. Karena keadilan, kemudian kayak... Itu sangat mesti dia edukasi banget, gimana orang bisa keluar dari zona nyaman dia yang sekarang. Tapi pada saat yang sama, bagaimana Anda membangun infrastruktur untuk memungkinkan orang bisa diperlukan di mana-mana. Jadi, itu akan mengambil waktu untuk kemudian itu menjadi masalah menurut saya. Tapi bukanlah tidak mungkin. Saya pikir akan terjadi. 5-10 tahun. Nah, cuma tinggal horizon-nya aja berapa lama. Saya berprediksi 5-10 tahun lagi orang bakal malu. Kalau pakai fossil fuel. Oke. Itu keren untuk memandu EV. Tapi definisi masnya berapa persen? Seperti kebanyakan atau jadinya? Kita kan cuma jualan produksi beli 1 juta mobil setahun. Kalau menurut saya. Jadi, sekurang-kurangnya setengah orang itu... Iya. Oke. Itu doabel. Dan gini loh, mobil tuh di dunia ada 2,5 miliar. Produksi 100 juta kalau kita mau ganti seluruh mobil yang ada tuh butuh 25 tahun kan? Yang mana itu penipuan. Tapi saya percaya statistik di mana penggunaan mobil itu cuma 4-5 persen. Itu di garasi, di tempat parkir. Iya kan? Kita nggak pakai mobil tuh 24 jam, cuma 4-5% per hari. Jadinya kalau menurut saya produksi mobil tuh akan lebih streamline. Apalagi kalau autonomi udah mulai masuk. Iya. Itu masuk akal. Singularitas. Iya atau tidak? Iya. Oke. Pertanyaan selanjutnya. Jika Anda diberi... Untuk berada di pemerintah. Nggak sekarang. Satu hari sebelum IPO atau satu hari sebelum satu perangkor perusahaan untuk Ruangguru, apa yang akan Anda lakukan? Tidak akan saya lakukan. Tidak akan menerima pekerjaan pembuatan kebijakan? Iya. Kalau satu hari sebelum perangkor perusahaan, ya. Karena itu di mana Anda... di mana Anda paling diperlukan, dan juga saat yang bisa Anda beristirahat. Buat sementara. Oke, yang terakhir. Pendidikan itu semestinya gimana sih di Indonesia? Agak panjang nih jawabannya. Tapi dari pandang kebijakan, dari hormat kepada teman-teman kita. Supaya orang Indonesia itu cerdas. Gimana tuh? Saya percaya bahwa there should be a... ada balasannya antara pragmatisme dan kemudian kebebasan. Jadi kalau bagi saya, asumsi bahwa pendidikan itu harus dibebaskan, ya, saya setuju. Bahwa orang kemudian bisa punya pilihan, kemudian bisa meneliti banyak hal, saya setuju. Tapi pada pertanyaannya juga adalah, Apakah kita memperbaiki orang dengan kemampuan untuk membuat pilihan atau tidak? Apakah kita membuat pilihan yang cukup atau tidak? Jadi menurut saya pada akhirnya segala usaha yang dilakukan itu mesti gradual. Jadi kemudian ketika bilang bahwa misalnya contoh, kita mengeliminasi ujian misalnya, apakah itu bagus atau buruk? Saya memahami semua argumen dari proponan misalnya bilang bahwa Oh, exam itu ngasih tekanan, exam itu bikin orang jadi krem, exam itu bikin orang jadi cuma ngafal doang, nggak ngerti konsep dan segala macam gitu kan. Tapi pada saat yang sama adalah juga kayak, pada saat ini, misalnya, itu satu-satunya motivasi yang kebanyakan anak-anak punya. Kenapa dia belajar? Karena ada itu juga. Jadi ketika Anda mengambil itu, yang oke, bukan bilang nggak masalah ini juga. Jadi itu sebagai milestone itu pentingnya. Apa alternatifnya? Dan seberapa cepat Anda bisa menemukan alternatifnya? Jika tidak, yang terjadi adalah orang bisa nggak ada motivasi juga. Karena dia merasa bahwa, apa poinnya saya masuk sekolah tergantung rumahnya tinggal di mana. Kalau makin dekat ke sekolah, saya bisa masuk sekolah yang saya mau. Itu tidak penting. Buat apa saya belajar? Saya akan semuanya lulus juga. Buat apa juga. Jadi hal-hal kayak gitu pada akhirnya juga penting karena di dalam hidup kita juga akan ada sekuensi... ada banyak tes yang menentukan kemudian apakah kita bisa atau nggak bisa. Jadi itu yang saya sering pikirkan. Makanya bagi saya pada akhirnya, harus ada balans, saya ingin menjadi pragmatis bahwa kemudian, dengan belajar orang bisa mengambil kemahiran ini, mengambil pengetahuan ini, dan dengan kemahiran itu, dia bisa gini, gini, gini. Tapi di sisi ekwasi lainnya, saya juga mau bilang bahwa Ya mesti ada pilihan gitu. Ya cuma gitu. Jadi itu yang saya rasakan, gimana mungkin pendidikannya. Oke. Eh terima kasih loh. Ini menarik. Teman-teman, itu Iman Usman, Co-Founder dari Ruangguru. Terima kasih.