Transcript for:
Sejarah dan Pengaruh Kolonialisme

Dari masa Vios yang menjajah negeri ini demi monopoli rempah-rempah hingga era modern yang dipenuhi kelicikan segelintir elit politik dan ekonomi, Indonesia tidak pernah benar-benar lepas dari cengkeraman kekuasaan. Jadi, apakah rakyat sudah benar-benar merdeka atau hanya mengalami pergeseran bentuk dari kolonialisme bersenjata menuju penjajahan struktural oleh oligarki? Kali ini kita akan menelusuri kembali jejak kekuasaan dari era kolonial hingga modern untuk melihat dan membuktikan Kalau penjajahan masih terus berlangsung hingga hari ini, membuat rakyat tidak dapat lepas dari cengkeraman kekuasaan dan penderitaan.

Setiap tahun kita merayakan kemerdekaan untuk kembali mengingat bahwa Indonesia telah bebas dari penjajahan kolonial. Namun sebenarnya, kemerdekaan macam apa yang sedang dirayakan? Apakah hanya berarti lepas dari penjajahan bangsa asing atau juga memiliki kedaulatan atas?

tanah, ekonomi, dan keputusan politik kita sendiri. Dalam pidato Soekarno pada tahun 1966 ia pernah mengatakan perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri. Kalimat ini yang banyak dikutip dikutip ulang di berbagai kesempatan khususnya di postingan-postingan sosial media menunjukkan bahwa kemerdekaan dari penjajah asing bukanlah sebuah garis akhir melainkan awal dari perjuangan yang akan jauh lebih kompleks seperti melawan ketidakadilan yang dilakukan oleh bangsa sendiri oleh sistem yang dibangun pasca kemerdekaan maka untuk membicarakan Indonesia hari ini kita harus membicarakan juga tentang oligarki menurut ilmuwan politik Jeffrey Winters dalam buku berjudul Oligarki yang rilis pada tahun 2011. Oligarki adalah... bentuk kekuasaan dimana sekelompok kecil elit menguasai sumber daya luar biasa besar dan mampu mempengaruhi arah kebijakan negara.

Ini bukan sekadar teori asing sebab Jeffrey secara eksplisit menyebut Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi yang dikendalikan oleh oligarki. Pernyataan dan pengamatan yang dilakukan Jeffrey ini sudah seharusnya membuat masyarakat Indonesia mulai bertanya ulang mengenai makna kemerdekaan jika yang berkuasa ternyata bukanlah rakyat melainkan hanya segelintir elit Apakah kita sudah benar-benar merdeka? Kemerdekaan dalam artian yang formal, yani pengakuan sebagai negara berdaulat, memang sudah dicapai oleh Indonesia.

Namun, kemerdekaan dalam artian yang subtantif atau kemerdekaan di mana rakyat punya kendali atas hidupnya sendiri, terbebas dari penindasan struktural, dan punya akses yang setara terhadap sumber daya, masih jauh sekali dari genggaman rakyat Indonesia saat ini. Jika melihat kenyataan hari ini, masih sangat banyak rakyat Indonesia yang terjebak dalam kemiskinan sistemik, sulit mengakses pendidikan dan layanan kesehatan yang layak, serta nyaris tidak punya ruang untuk menyuarakan kepentingannya di ranah politik, tanah, Dikuasai segelintir korporasi, harga kebutuhan pokok ditentukan pasar global, dan kebijakan yang dibuat negara justru seringkali lebih ramah pada investor dibanding pada petani, nelayan, atau buruh. Dalam praktiknya, banyak kebijakan lahir bukan dari musyawarah yang mencerminkan kepentingan bersama, melainkan dari lobby-lobby kepentingan ekonomi dan politik.

Fenomena ini disebut oleh banyak pengamat sebagai oligarki demokratis, di mana sistem demokrasi tetap ada secara prosedural, tetap ada pemilu, ada DPR, ada PPR. partai tetapi kekuasaan sejatinya terpusat pada elit yang punya modal lebih besar dan jaringan kuat dalam konteks ini kemerdekaan sesungguhnya tidak lagi bisa diukur dari sekadar ketiadaan penjajah asing tetapi harus ditimbang dari sejauh mana rakyat punya kuasa atas tanah kehidupan dan masa depannya sendiri Akar ketimpangan kekuasaan dan ekonomi di Indonesia hari ini sudah ada sejak abad ke-17 ketika penjajah terhadap bangsa ini tidak dimulai oleh negara, melainkan oleh sebuah perusahaan dagang yang kita kenal sebagai VOC. Perusahaan ini didirikan pada tahun 1602 oleh oleh pemerintah Belanda sebagai perusahaan dagang berskala besar yang diberi hak istimewa luar biasa, termasuk hak untuk membuat perjanjian, mencetak uang, memungut pajak, bahkan memelihara tentara dan berperang atas nama Belanda.

Dengan kata lain, Viosi adalah korporasi tersebut. Pertama dalam sejarah dunia yang memiliki kekuasaan negara. VOC memiliki wilayah operasi yang luas di Asia, terutama di Kepulauan Nusantara yang kaya rempah seperti di Maluku.

Kedatangan VOC di Indonesia sebenarnya bukan hanya perkara urusan dagang. Mereka membawa misi untuk menguasai pasar rempah-rempah global dan menyingkirkan saingan mereka dari bangsa lain. seperti Portugis dan Inggris.

Namun, untuk mencapai misi mereka dan mendapatkan keuntungan, VOC tidak akan segan-segan menggunakan cara kekerasan, manipulasi politik lokal, dan penguasaan atas wilayah. Salah satu contoh paling brutal adalah pembantaian penduduk bandara pada tahun 1621 yang diperintahkan oleh Gubernur Jendal Ian Peterson Kuhn. Ribuan orang dibunuh atau dijadikan budak demi memonopoli pala, komoditas yang saat itu lebih berharga dari emas. Praktik monopoli dan pemaksaan ini kemudian menyebar ke berbagai daerah di Kepulauan. pulauan Indonesia seperti di Ambon, Maluku, Jawa, hingga Sumatera.

Ia menjadi target VOC untuk memaksakan sistem tanam paksa rempah-rempah, bahkan mengontrol harga dan jalur distribusi agar rakyat tidak bisa berdagang secara mandiri. Petani hanya boleh menjual hasil mereka kepada VOC dengan harga yang ditentukan sepihak dan jika mereka menolak, maka mereka akan menghadapi hukuman berat. Ini bukan hanya penidasan ekonomi, tetapi penghilangan kedaulatan lokal atas hasil bumi dan ruang hidup. VOC kemudian menjadi cikal bakal bentuk kolonialisme korporat, yaitu bentuk penjajahan yang tidak selalu dilakukan oleh negara secara langsung, tetapi melalui wujud bisnis besar yang diberi kekuasaan untuk mengeksploitasi wilayah dan sumber daya alam demi keuntungan segelintir orang di pusat kekuasaan.

Praktik serupa pun sebenarnya masih terus berlangsung hingga hari ini, meski dalam bentuk dan wajah yang berbeda. VOC juga kemudian mewariskan pola relasi kuasa yang menempatkan elit lokal sebagai perpanjangan tangan kekuasaan kolonial. beberapa bangsawan dan penguasa pribumi diberi hak istimewa. asal tunduk pada perintah dan kepentingan VOC. Mereka menjadi semacam kelas perantara yang melanggengkan sistem kolonial.

Dalam analisis sejarawan Sartono Kartodirio, sistem ini mewariskan struktur kekuasaan patrimonial kolonial yang sangat bertahan lama, bahkan setelah kemerdekaan. Warisan itu sebelumnya diteruskan oleh pemerintahan kolonial Belanda setelah VOC bangkrut dan bubar pada tahun 1799. VOC menciptakan struktur sosial yang timpang dengan memusatkan kekain pada segelintir. dan membuat sebagian besar rakyat hidup dalam ketergantungan.

Pemisahan akses terhadap tanah, pendidikan, dan kekuasaan yang dimulai sejak masa VOC perlahan menjadi fondasi dari sistem kolonial yang lebih luas dan masih membayangi hingga masa kini. Setelah Indonesia merdeka, struktur kekuasaan yang dibangun sejak zaman VOC tidak serta-merta dibongkar. Justru banyak praktik kolonial dipertahankan, baik secara sengaja maupun karena keterbatasan sumber daya serta tekanan geopolitik. bahkan dalam banyak hal kekuasaan ekonomi elit politik nasional melanjutkan pola-pola eksklusi dan eksploitasi yang serupa. Misalnya dalam sektor agrarian, konflik tanah yang berakar sejak zaman POC masih berlanjut hingga hari ini.

Banyak wilayah adat dan tanah rakyat yang diambil alih oleh negara atau perusahaan besar atas nama, pembangunan. Hal ini seperti yang diurahkan oleh pakar agrarian Gunawan Wiradi, bahwa akar ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia saat ini adalah warisan kolonial yang tidak pernah dirombak secara tuntas, bahkan semakin diperparah oleh kebijakan investasi. dan industrialisasi modern.

Kekuasaan ekonomi pun nyatanya masih sangat terkonsentrasi. Menurut data dari laporan Oxfam dan Invit di tahun 2021, 1% orang terkaya di Indonesia itu menguasai lebih dari 45% kekayaan nasional, sementara 50% rakyat terbawah hanya memiliki akses terhadap kurang dari 10% kekayaan nasional. Sementara dalam laporan terbaru dari Kelios pada September di tahun 2024, kekayaan 50 triliuner teratas di Indonesia setara dengan 2.000 triliuner. 2,45 persen APBN Indonesia di tahun 2024 dan setara dengan kekayaan 50 juta orang Indonesia.

Lalu masih dari laporan Oxfam yang rilis pada Januari 2025, diketahui bahwa 60 persen kekayaan miliar der dunia termasuk di Indonesia berasal dari warisan, monopoli, atau kolusi. Ini bukan hanya soal kesenjangan ekonomi, tetapi juga cerminan dari sistem politik yang berpihak pada elit dan pemilik modal besar. Suatu pola yang memang sudah dipraktikan VOC berabad-abad lalu.

Meski VOC memang telah lama bubar, tetapi logika kolonial korporatnya masih hidup terus dalam banyak bentuk modern. Mulai dari perusahaan tambang raksasa hingga investasi asing yang mendapatkan hak istimewa atau sumber daya alam Indonesia yang seringkali dengan mengorbankan lingkungan dan komunitas lokal serta masyarakat adat. Dalam arti inilah, jejak VOC masih tampak jelas dalam kehidupan Indonesia hari ini. Contohnya saja di era pasca Orde Baru. Terlihat, Indonesia semakin membuka diri terhadap investasi asing dan swasta besar.

baik dalam bentuk tambang, perkebunan, maupun infrastruktur. Meskipun dibalut dalam narasi pertumbuhan ekonomi, banyak dari proyek ini berjalan dengan pola yang mirip dengan cara kerja VOC. Seperti perusahaan menguasai lahan luas, mendapat izin istimewa dari negara, dan seringkali mengorbankan masyarakat lokal serta lingkungan.

Contoh nyatanya masih dapat dilihat sekarang dalam berbagai konflik agraria di Kalimantan dan Papua, di mana perusahaan sawit dan tambang masuk ke wilayah adat dengan perlindungan hukum dari negara, masyarakat kehilangan tanah, hutan rusak, Terima kasih. hidupan mereka ditutup. Dalam banyak kasus, aparat negara justru membela kepentingan perusahaan ketimbang rakyat. Ini menjadi pengulangan sejarah VOC, di mana korporasi bertindak seolah memiliki negara atau bahkan lebih berkuasa dari negara.

Sebagaimana ditulis oleh oleh Ariel Haryanto dalam bukunya identitas dan kenikmatan politik budaya layar Indonesia yang membahas bahwa kolonialisme hari ini tidak selalu hadir dalam bentuk penjajah asing tapi bisa hadir dalam bentuk struktur dan relas yang menyingkirkan rakyat dari pengaruh atas kehidupannya sendiri dalam pengertian ini fiosi bukan sekadar bagian dari masa lalu tetapi pola yang diwariskan dan terus direproduksi dalam sistem hari ini Ketika bangsa ini memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, kolonialisme asing memang berakhir. Namun kenyataan yang lebih kompleks telah menyelimuti Indonesia. Transisi kekuasaan dari penjajah asing ke elit nasional, ternyata tidak serta-merta membebaskan rakyat. lakiat dari struktur penindasan. Pada awal kemerdekaan, Republik Muda ini menghadapi tantangan luar biasa.

Selain menghadapi agresi militer Belanda yang ingin kembali menguasai wilayah jajahannya, Indonesia juga mewarisi struktur birokrasi kolonial, sistem ekonomi eksploitatif, dan kekuatan sosial politik lokal yang telah dilatih untuk tunduk pada tatanan lama. Dalam banyak hal, struktur warisan kolonial itu justru dimanfaatkan oleh elit politik Indonesia untuk membangun basis kekuasaan mereka sendiri. Masa transisi dari kolonialisme ke negara merdeka bukanlah proses pemutusan total dari masa lalu, melainkan menjadi proses reproduksi struktur kekuasaan kolonial dalam bentuk nasionalis. Ini dapat dilihat dari bagaimana lembaga-lembaga kolonial seperti tentara, birokrasi sipil, hingga sistem agraria tetap dijalankan. bahkan tanpa reformasi besar, sehingga menciptakan ironi sebagai bangsa merdeka dengan sistem kolonial yang diwariskan kepada pemerintahan yang baru.

Salah satu institusi warisan kolonial yang paling cepat mengambil alih kekuasaan pasca kolonial adalah militer. Tentara Indonesia yang awalnya dibentuk dari sisa-sisa KNIL atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda, segera menjadi salah satu aktor utama dalam perpolitikan Indonesia. Di masa revolusi, kejadian seperti ini mungkin tidak dapat dihindari. tetapi pasca revolusi, militer tidak hanya mempertahankan fungsi militer, Institusi pertahanannya menainkan juga mulai masuk ke dalam urusan ekonomi dan pemerintahan.

Pada masa Orde Lama, militer mulai mendapatkan konsesi bisnis sebagai kompensasi atas perannya dalam mempertahankan negara. Tapi di bawah Orde Baru, militer menjelma menjadi kekuatan ekonomi politik yang masif. Militer selama puluhan tahun telah mengendalikan berbagai sektor usaha dari logistik, perkebunan, hingga pertambangan.

Di mana ini menyerupai pola yang dilakukan oleh Fiosi, hanya saja kini dilakukan oleh institusi negara. Demikian Dan pula dengan birokrasi. Setelah Belanda hengkang, banyak posisi dalam struktur kolonial diisi oleh pejabat lokal tanpa perubahan mendasar terhadap fungsinya.

Struktur birokrasi yang tadinya digunakan untuk mengontrol rakyat, kini tetap digunakan tetapi oleh penguasa nasional. Birokrasi pun akhirnya bukan dibangun untuk melayani rakyat, melainkan untuk menjaga stabilitas kekuasaan. Ketika Belanda benar-benar hengkang, Soekarno melakukan nasionalisasi terhadap aset-aset Belanda yang tampaknya seperti langkah anti-kolonial yang radikal. Namun dalam Dalam praktiknya, banyak perusahaan asing yang kemudian kembali masuk melalui pintu lain, terutama setelah perubahan politik ke Orde Baru di masa Soeharto.

Dengan dali stabilitas dan pembangunan ekonomi, Indonesia semakin membuka lebar-lebar pintu untuk modal asing. Investasi dari Amerika, Jepang, dan negara-negara Eropa masuk ke sektor-sektor strategis seperti tambang, minyak, dan perkebunan. UU penanaman modal asing yang dirismikan pada tahun 1960 menjadi tonggak penting dari fase ini. Kebijakan ekonomi Orde Baru menempatkan negara sebagai fasilitas facilitator kepentingan korporasi besar, baik asing maupun nasional, tanah-tanah rakyat diberikan sebagai konsesi pada perubahan besar, dan masyarakat lokal seringkali dipaksa keluar dari ruang hidupnya sendiri.

Bagian paling menyedihkan dari transisi kekuasaan ini adalah kenyataan bahwa para elit nasional menggantikan peran kolonial tanpa membongkar struktur penindasnya. Mereka justru menjadi pemilik baru atas tanah, perusahaan, dan kekuasaan politik. Ini berarti lahirnya kelas konglomerat di Indonesia bukan berasal dari kekuatan pasar yang sehat, tapi dari kedekatan dengan kekuasaan negara alias melalui Petronas bukan meritokrasi. Jeffrey Winters dalam Oligarki pun menyebut bahwa Indonesia ini merupakan contoh jelas dari oligarki dalam demokrasi, di mana segelintir elit ekonomi memegang pengaruh besar terhadap keputusan politik, bahkan dalam sistem pemilu sekalipun. Hal ini bukan kebetulan, melainkan warisan dari transisi kekuasaan yang tidak pernah benar-benar menyentuh akar ketidakadilan struktural.

Sementara itu, rakyat tetap terjebak dalam siklus kemiskinan, penggusuran, dan ketidakpastian. tidak berdayaan politik, rakyat disebut telah merdeka, tapi tidak pernah sungguh-sungguh punya kuasa atas tanah, pendidikan, kesehatan, atau suara mereka sendiri. Secara konstitusional, Indonesia memang negara demokrasi.

Pemilu, kebebasan pers, dan partisipasi publik senormalnya memang menjadi pilar-pilar yang menjamin kedaulatan rakyat. Namun masalahnya, pilar-pilar tersebut hanyalah topeng untuk terlihat demokratis dan terus menyembunyikan kenyataan pahit bahwa proses politik Indonesia hari ini semakin dikuasai oleh segelintir elit. yang memegang kekuasaan ekonomi besar yang disebut para oligark. Mereka sudah bukan lagi menjadi bayang-bayang kekuasaan, melainkan menjadi wajah resmi dari bangsa ini. Fenomena ini bukan tanpa akar sejarah, melainkan kelanjutan dari proses transisi kekuasaan yang tidak menumbangkan struktur lama.

Semenjak era reformasi, oligarki mengalami transformasi bentuk dan kekuatan. Jika dulu mereka berlindung di balik layar, kini mereka justru berada di panggung utama sebagai politisi, pemilik partai, atau sponsor utama kampanye politik. Kehadiran mereka membuat demokrasi Indonesia hari ini lebih menyerupai demokrasi prosedural di mana rakyat hanya diminta hadir 5 tahun sekali di bilik suara tanpa memiliki kendali atas proses pengambilan keputusan yang menyangkut hidup mereka sehari-hari. Dalam pemilu, pilihan rakyat seringkali terbatas pada figur-figur yang disokong oleh kekuatan modal besar bukan berdasarkan rekam jejak atau visi yang benar-benar berpihak pada rakyat.

Samsuddin Haris, peneliti politik LIPI dan orang yang pernah ditunjuk Jokowi sebagai Dewan Pengawas KPK pada tahun 2019 Terima kasih. Dalam banyak tulisannya menekankan bahwa Indonesia telah mengalami penyusupan oligarki dalam sistem demokrasi. Partai politik yang seharusnya menjadi wadah aspirasi rakyat justru berubah menjadi kendaraan elit untuk mengamankan kekuasaan dan bisnis mereka. Kandidat yang maju seringkali bukan hasil kaderisasi tapi hasil dari kompromi modal.

Fenomena ini diperkuat oleh sistem pembiayaan politik yang mahal. Untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau anggota legislatif saja, seseorang harus mengeluarkan biaya yang sangat besar selama kampanye. Akibatnya Hanya mereka yang punya akses terhadap sumber daya ekonomi Atau punya donatur besar yang bisa bersaing Inilah yang menjadi pintu masuk oligarki ke dalam sistem demokrasi di Indonesia Semenjak runtuhnya Orde Baru, kekuatan oligarki tidak lenyap Akan tetapi beradaptasi dengan sistem demokrasi yang baru Mereka mengganti strategi represi menjadi kuptasi atau menyusup ke dalam partai politik Lembaga legislatif dan bahkan gerakan masyarakat sipil Hal ini tampak jelas dalam struktur partai politik Indonesia yang sangat sentralistik dan berbiaya tinggi.

Ketua umum partai memegang kendali penuh atas pencalonan, alokasi dana, hingga arah kebijakan partai. Dalam banyak kasus, posisi ini dipegang oleh tokoh-tokoh yang juga merupakan pemilik media, pengusaha besar, atau bagian dari dinasti politik. Beberapa sumber seperti Tembo, Alwai, dan media lainnya telah berusaha memetakkan keterkaitan antara para pemilik tambang besar, penguasa politik daerah, dan elit nasional.

Banyak kepala daerah berasal dari latar belakang pemilik usaha tambang, sawit, atau properti. dan kebijakan mereka pada akhirnya seringkali berpihak pada kelangsungan bisnis pribadi, bukan kepentingan warganya. Hal ini memberi dampak yang luar biasa besar dalam keberlangsungan politik dan negara.

Efek paling nyata dari dominasi oligarki dalam demokrasi adalah akhirnya kebijakan-kebijakan yang menguntungkan pemilik modal, bukan rakyat. Masalah UU Cita Kerja atau Omnibus Law pada tahun 2020 misalnya, merupakan salah satu contoh paling gamblang disusun dengan sangat terburu-buru melibatkan minim partisipasi publik. dan menguntungkan pemilik usaha besar dengan mengorbankan hakak buruh serta perlindungan lingkungan. Dalam laporan dari Indonesian Center for Environmental Law pada tahun 2020, banyak pasal dalam UU Cipta kerja yang secara eksplisit melemahkan izin lingkungan, memperpanjang masa konsesi tambang dan perkebunan, serta mempermudah penggusuran atas nama investasi. Ini menunjukkan, bahwa kekuasaan politik kita lebih responsif terhadap kebutuhan korporasi besar dibanding jeritan masyarakat yang terdampak langsung.

Meskipun kini, omnibus law sudah resmi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, tetapi kebijakan lainnya, seperti kebijakan dan antara yang dibuat pada Februari 2025 lalu, yang konon dibuat untuk mengelola dan mengoptimalkan investasi negara, khususnya aset-aset BUMN, guna mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan, justru dikhawatirkan kalau lembaga ini akan menjadi alat pemilik modal besar, bukan instrumen kesejahteraan rakyat. Ketika kekuasaan dijalankan atas nama rakyat, tapi dikendalikan oleh elit ekonomi politik, maka demokrasi telah kehilangan substansinya. Kita tidak hanya menghadapi krisis representasi, tetapi juga krisis legitimasi.

Rakyat yang seharusnya menjadi subjek, kini hanya menjadi objek yang dijadikan alat legitimasi melalui pemilu. Demokrasi seperti ini memunculkan paradoks. Rakyat memiliki hak pilih, tetapi tidak punya pilihan. Suara mereka digunakan untuk mengesahkan kekuasaan yang justru terus menyingkirkan mereka dari ruang-ruang pengambilan keputusan. Padahal demokrasi sejati bukan sekadar soal pemilu, tetapi juga soal akses yang setara terhadap sumber daya, perlindungan terhadap kelompok rentan, serta keberanian membongkar dominasi modal atas politik.

Dalam pengertian ini, demokrasi Indonesia jelas masih sangat jauh dari kata ideal. Pertanyaan mengenai siapa yang menguasai tanah dan sumber daya alam di Indonesia saat ini bukanlah hanya persoalan kepemilikan fisik saja, tetapi juga mengenai kedaulatan rakyat atas ruang hidup dan sumber daya penghidupannya. Sayangnya, jika ditanya demikian, kita semua tahu bahwa jawabannya tidak berpihak pada rakyat. Sejak era kolonial, penguasaan tanah dan sumber daya dilakukan oleh korporasi asing, seperti VOC yang memang menjadi simbol paling awal dari bentuk eksploitasi. Namun setelah Indonesia merdeka, sistem ini tidak benar-benar berubah.

bagian yang mengalami perubahan hanyalah aktor-aktornya saja, sehingga tidak mengherankan jika kini sebagian besar tanah, hutan, tambang, dan perairan Indonesia justru dikuasai oleh korporasi raksasa nasional dan asing yang beraliansi dengan elit politik. Menurut data yang termuat dalam catatan-catatan akhir tahun konsorsium pembaruan agraria atau KPA sepanjang tahun 2000 hingga tahun 2023, terjadi lebih dari 4.000 konflik agrarian di seluruh Indonesia yang mayoritasnya melibatkan antara warga dan korporasi. perusahaan-perusahaan besar terutama di sektor sawit, tambang, dan properti memiliki izin hingga jutaan hektare, sementara petani kecil dan masyarakat adat justru terusir dari tanahnya sendiri.

Laporan studi kasus yang diterbitkan oleh Auri Ganusantara pada tahun 2022 dengan judul Kerentanan Korupsi Dalam Sistem Perizinan Perkebunan Sawit, Studi Kasus di Provinsi Papua dan Papua Barat, mengungkap bahwa 1 persen pemilik hak guna usaha atau HGU menguasai hampir 60 persen lahan perkebunan sawit di Indonesia. Ini menunjukkan betapa timpangnya distribusi tanah yang menjadi sebuah warisan kolonial yang belum benar-benar diubah. Bahkan, banyak dari HGO itu berada di atas wilayah adat yang belum diakui secara hukum, seperti di Kalimantan, Papua, dan Sulawesi.

Situasi ini diperparah dengan lemahnya implementasi reforma agraria dan tumpang tindi kebijakan yang membuat masyarakat kecil sulit mendapatkan hak atas tanah mereka, program sertifikasi tanah masal, seperti pendaftaran tanah sistematis lengkap atau PTSL. seringkali hanya menjadi penguatan penguasaan lahan oleh elit baru, bukan sebagai alat redistribusi keadilan. Singkatnya, dalam urusan tanah dan sumber daya, kemerdekaan kita masih semu.

Rakyat belum merdeka dari penghisapan dan ketimpangan. Perannya masih menjadi sebatas penonton di tanah sendiri. Merdekaan ekonomi atau kemampuan bangsa mengelola dan mendistribusikan kekayaan secara mandiri dan adil masih menjadi mitos yang jauh dari kenyataan.

Sebab kendali atas sektor-sektor vital ekonomi Indonesia saat ini masih berada di tangan segelintir golongan. Sebagian dari mereka adalah pewaris kekayaan zaman order baru. Sebagian lagi adalah pengusaha reformasi yang dekat dengan kekuasaan politik.

Permasalahan mengenai ketimbangan sosial bukan lagi hanya persoalan kesinjangan tetapi juga mengenai kekuasaan tentang siapa yang bisa mempengaruhi kebijakan. pasar, dan hingga opini publik. Perusahaan-perusahaan besar di sektor tambang, perbankan, energi, dan infrastruktur memegang peran dominan. Mereka tidak hanya menjalankan bisnis, tetapi juga semakin terlibat dalam politik elektoral. Mereka menyumbang kapanya, mempengaruhi undang-undang, hingga menjadi bagian dari kebijakan nasional.

Dalam sistem seperti ini, ekonomi bukan hanya soal produksi dan konsumsi lagi, tetapi juga soal kekuasaan. Dan kekuasaan itu, ironisnya, tidak dimiliki oleh rakyat banyak. Lebih jauh, sistem ketenaga kerjaan di Indonesia pun lebih menguntungkan pemilik modal ketimbang pekerja, upah minimum yang tidak sebanding dengan biaya hidup, sistem kerja kontrak tanpa jaminan, serta penghilangan hak-hak dasar buruh dalam ucipta kerja adalah indikator jelas bahwa ekonomi Indonesia dirancang untuk pertumbuhan, bukan pemerataan. Akhirnya, ekonomi bangsa ini tumbuh, tapi hanya untuk yang di atas, sementara yang di bawah tetap tertinggal, terpinggirkan, dan tergantung pada sistem yang tidak berpihak.

Jadi, dengan kondisi yang demikian, apakah kita sudah merdeka? Jawabannya, Tidak sesederhana menjawab tidak, ada faktor yang membuatnya kompleks dan menyakitkan. Sebab sebenarnya secara formal Indonesia sudah merdeka. Negara ini memiliki presiden, parlemen, dan melaksanakan pemilu. Namun secara substansial rakyat Indonesia belum sepenuhnya merdeka.

Karena kekuasaan masih dipegang oleh segelintir elit yang mengatur negara ini mengatasnamakan rakyat. Tapi bukan demi rakyat. Padahal kemerdekaan sejati bukan sekadar simbol atau seremoni tahunan.

Melainkan kedaulatan atas hidup, atas tanah, atas suara atas penghidupan yang layak. Jadi, selama rakyat masih menjadi objek pembangunan, bukan subjek yang menentukan arah pembangunan itu, maka kemerdekaan hanya akan menjadi narasi kosong. Oligarki yang sudah berakar sejak VOC dan bertahan di era Orde Baru, hari ini sudah menjelma dalam wajah baru, yang di demokrasi, yang dibajak oleh modal. Sistem yang mempermudah eksploitasi atas nama investasi, memperlancar proyek atas nama pembangunan, dan memperkuat kepemilikan atas nama efisiensi.