Kebiasaan berkarya buat saya sangat penting ya. Tidak ada tekanan dari mana. Tekanan entah dari pabrik luas yang lebih luas, tekanan dari pasar, tekanan dari ketabuan juga. Saya mungkin mengutip dari motor SMA saya, rites tapi ya bertakung jawab.
Saya sih ingin tetap berkarya terus. Berkarya dengan sukacita, berkarya tanpa paksaan. Itu ide saya.
Saya sih ingin tetap liar. Waktu itu belum ada pikiran untuk jadi seniman sekali karena toh saya juga sudah bekerja sebagai desainer grafis, sebagai kreatif direktur gitu-gitu kan. Itu butuh waktu yang lama.
Cocoknya di seni rupa deh, yang gak ada kompromi dengan klien. Saya pernah satu rumah dengan fotografer, saya sebutin Erick Prasetya yang dia. Kadang-kadang muterat angle-angle wajah saya, terus dari situ kemudian timbul, kenapa tidak dari fotografi wajah saya yang sudah ada stocknya kadang-kadang. Saya kadang-kadang semacam berakting untuk ide saya, misalnya berakting jadi semacam itu akan selada sama kodok untuk kritisi saya terhadap.
Misalnya ketamakan orang yang makan segala hal. Kebetulan beberapa karya saya kan semacam kritik sosial. Saya harus lebih baik bercermin dulu sama diri saya sendiri.
Self-kritik dulu sebelum memutarkan kritik. Menekuni sel-fotret, potret diri saya sebagai ekspresi seri rupaan saya, itu jalan lebih dari 10 tahun. Kemudian saya bosan dengan itu, saya menggambar orang lain, yang mungkin tokoh-tokoh, ada priode tokoh-tokoh, kemudian saya bosan juga, saya menggambar tentang, mungkin ada pertanyaan tentang kematian, kemudian kalau sekarang, Terus dunia binatang saya juga, karena saya penyayang binatang dekat sama binatang. Gubah, gubah.
Makanya aku takut sekali kalau di pet shop atau di mana pasar, kalau lihat anjing, oh aku pengen adopsi terus. Istri hati saya saya isi dengan musik, referensi musik itu kayak recharge, recharge daya hidup saya. Kebetulan nemu alat baru yang kemudian saya bisa mengeksplorasi musik saya sendiri, kadang-kadang main sendiri. bisa jamming dengan diri sendiri, tetap aja tetap jadi individual sekali.
Kadang-kadang sambil melukis, pasang lagu, kemudian ya gitu, mengalir aja. Menggambarnya itu harus bidang datar dan yang jadi masalah kadang-kadang tubuh, kelenturan, otot-otot dan tulang-tulang saya sudah tidak mengizinkan. Saya pernah sampai sakit sekali dan itu harus terapi sampai sekarang sebenarnya belum sembuh sekali. Di perkarya kadang-kadang saya menemukan, wah ini masterpiece. Waktu itu ya?
Tapi kadang-kadang setelahnya biasa-biasa aja. Menurut saya masterpiece adalah kesenangan ya. Tapi kadang-kadang karya yang sudah pergi, misalnya dibeli atau dikolek.
Dan saya lihat lagi bahwa itu saya merasa kayak gereng sekali, merasa nemuin lagi kayak anak yang hilang.