Gen Z tidak lagi memiliki kesadaran tentang dirinya bagian besar dari komunitas teman-teman seusianya. Jadi kayak hidup di bubble algoritmanya sendiri. Kita mulai dari mana, Sal, kalau ingin memperbaikin itu?
Kalau hal lain, literasi di dua negara ini tinggi. Baca buku. Ternyata ya? Baca buku.
Jadi pada akhirnya hanya mau bekerja sesuai passion. Yang sebetulnya nanti ada salah tafsir dari mengejar passion. Jadi mengejar sesuatu yang nyaman bagi saya. Nah ada fase berikutnya fear of better option.
Fobo. Fobo? What lagi? Fear of better option?
Saya rasa ini isunya tadi kan, kabur aja dulu. Karena social media membuat komparasi sosial kan. Hai hadir di studio saya satu anak muda ya keren banget banyak sharing Terus memberikan pemikiran-pemikiran Iya juga ya terutama masalah parenting Masalah Gen Z Ya adalah generasi alfa Yang sekarang mewarnai Percakapan ya Orang tua mengatakan ini gimana sih Sementara mereka juga Alah lu jadul banget ya Jadi ini adalah Doktor ya Mohd Faisal Sudarir Terima kasih Dadir Semoga tidak salah introduksi saya Tidak tidak salah Terima kasih Baik, baik.
Alhamdulillah. Apa yang terjadi pada anak muda ya? Mereka dikatain sandwich lah, dikatain strawberry. Apa yang terjadi pada mereka?
Mungkin kita berangkat dari pemahaman tentang generasi dulu. Oh iya, iya. Karena generasi itu kan juga ada yang mengatakan hanya konstruksi sosial aja.
Hanya konstruksi sosial? Diciptakan saja. Ada yang bilang sebetulnya itu ada.
Nah istilah generasi itu berkembang di Amerika sebetulnya. Ada dua tokoh namanya Neil Howe dan William Strauss. Yang mengkaji sejarah Amerika Dari tahun 1500 Dan dia memprediksi ke depan Sampai 2020 sekian Generasi muda akan seperti apa Dia udah prediksi sudah? Dan banyak yang benar Jadi kalau Neil Howe itu memang konsultannya White House Untuk isu-isu sosial terkait dengan generasi Kayak Black Lives Matter Itu salah satunya yang dia sudah tulis Akan terjadi di Amerika Serikat Nah dia menemukan bahwa generasi itu ketika ada peristiwa-peristiwa besar.
Itu yang terjadi, bahwa itu sosial politik revolusi yang mempengaruhi kehidupan sebuah bangsa, itu akan mewarnai anak-anak muda, sehingga itu bisa dianggap sebagai satu unit. Unit generasi. Sehingga lahirlah unit generasi boomers.
Gue boomers. Generasi pasca perang dunia kedua, yang ada trauma perang, ada juga generasi yang... Apa namanya?
Lost generation? Sebelumnya, itu. Silent generation. Silent generation yang setelah perang dunia. Mereka silent bingung antara harus bersorak gembira mereka menang atau bersedih karena peristiwa Nagasaki Hiroshima gitu.
Lalu ada flower generation, tidak mau seperti orang tuanya, ingin bebas, jadi pasifis, perdamaian, ingin hanya mendengarkan sesama usianya. Zaman John Lennon. Zaman John Lennon.
Nah istilah-istilah ini pada akhirnya digunakan sebagai diksi di... Apa namanya di Indonesia oleh media, oleh akhirnya pengambil kebijakan, sehingga muncul istilah-istilah baru, Strawberry Generation, Gen Z, Alpha, dan sebagainya, dan ada stigma-stigma serotip yang melekat pada generasi. Padahal belum tentu betul.
Belum tentu benar. Karena kita harus melihat juga, generasi kita kan punya peristiwa yang berbeda sama di Amerika. Kalau di kita kan ada... Kalau makanya saya tulis di buku saya, Generasi Kembali Kakar, itu ada 1901, terpapar pendidikan, lahirlah tokoh-tokoh seperti Bung Karno, Tan Malaka, dan sebagainya.
Budi Utomo itu ya. Budi Utomo, lalu ada peristiwa 66, kita masuk ke era baru, warga baru, lalu para aktivisnya. Akhirnya jadi birokrat, teknokrat yang membangun Indonesia dari formasi. Jadi ini sebetulnya patahan-patahan yang membentuk generasi kita.
Nah generasi yang disebut sebagai Gen Z sekarang ini patahannya kan COVID. Patahannya COVID ketika COVID. Harus di rumah terus, tidak mengalami tekstur pergaulan di sekolah, tidak bersentuhan, tawuran, atau pacaran, kebulusan-bulusan.
Jadi tidak menemukan peristiwa-peristiwa penting yang harusnya mereka alami. Sehingga setelah COVID selesai, mereka mencari kompensasi. Mencari bentuk-bentuk perasaan-perasaan itu untuk yang memenuhi kebutuhan sosial, juga pertumbuhan mereka.
Zaman COVID itu kan banyak merubah perilaku ya sebuah generasi. Bayangin sekolah pun kayaknya semua sepakat. untuk dilulusin tuh, gak ada ujian gitu.
Jadi tuh saya pikir juga mengurangin daya kompetisi mereka ya. Betul. Nah jadi kalau COVID ini yang menarik, harusnya kalau menurut saya pengambil kebijakan banyak berkaca ke apa sih COVID ini membentuk anak-anak muda. sudah menjadi generasi seperti apa.
Contoh kalau di Amerika itu ada namanya Fauci Effect. Jadi ketika COVID, jumlah anak muda yang berdaftar di sekolah keperawatan, dokter Fauci itu pernah sehat, kesehatan untuk gedung putih, itu meningkat pesat. Meningkat? Iya, karena melihat bahwa Di keluarga mereka banyak yang meninggal, banyak yang sakit Karena covid, aspirasinya ke sana Oke, oke, oke Nah, di Indonesia, ketika covid Semuanya online Lalu ada boom tuh, boom Apa namanya, e-sport ya, online game Ada boom streaming Ada boom wibu Mas Helmi, wibu tuh yang suka jejepangan ya Anime, manga, dan sebagainya Karena streaming itu Pada akhirnya mereka bingung mau ngapain Ditonton semua Oke Anim-anim Jepang yang dulu, kalau zaman saya harus nunggu hari Minggu kan. Untuk satu seri ini bisa langsung selesai dalam satu minggu.
Jadi efeknya setelah COVID-19, Ada peristiwa anak-anak tawuran kembali. Jadi ada boom tawuran. Sekarang ada boom juga nikotin. Vape.
Ada boom juga wibu. Ada boom festival. Festival tiba-tiba jadi rame. Itu sebetulnya dirunut kembali ke critical momentnya ketika COVID. Apa sebetulnya yang dialami?
Apa restrictionnya? Dan apa kompensasi yang mereka cari? COVID juga mungkin mengajarkan anak-anak untuk menjadi makhluk yang asosial. ya tidak bertemu ya kan mereka lebih asyik di depan layarnya ya gitu bisa jadi salah satunya jadi salah satunya adalah ada bagi sebagian merasa bahwa kebutuhan sosial itu sudah terpenuhi di media online ya ada juga yang pada akhirnya berusaha untuk adapt makanya ada Boom apa namanya Tauran itu waktu itu setelah bebasnya kayak jadi euphoria gitu euphoria dipendam tiga tahun gitu betul dipendam berusaha untuk juga mencari itu Nah, saya rasa tahun 2024, 2025 ini masih proses moderasi setelah itu. Masih mencari.
Dan itu butuh sebetulnya stakeholder juga memperhatikan. Dan banyak orang tua yang mempunish mereka ya. Sebuah generasi yang gak ada harapan gitu. Gampang meletot, lembek, gampang mutung. Gak bisa komunikasi dengan baik, gak hormat sama orang tua.
Asosial. Nah, ini agak beda. Karena waktu zaman. Saya dulu, akses terhadap hiburan itu kan sedikit, Mas Helmi. Betul.
Channel saya cuma ada dua dulu kan, swasta dan TVRI. TVRI, RGTI. Kalau saya ada masalah, saya cerita ke orang tua juga. kamu selesaikan sendiri, pada akhirnya saya di kamar pasang musik keras-keras gitu aja kan kalau sekarang ketika ada masalah begitu banyak jalan keluar saya bisa, yaudah seharian saya main game online, atau saya bisa menghabiskan seri di Netflix, atau atau saya bisa pesan makanan yang bisa langsung datang ke rumah, gitu kan. Atau googling mencari solusi.
Atau googling mencari solusi, atau curhat ke AI, sekarang aku juga memikirkan. Sekolah tiba-tiba menjadi banyak dibutuhkan ya. Banyak dibutuhkan. Jadi kalau respon basic manusia flight or fight, pada akhirnya kan flight.
Karena begitu banyak medium untuk flight. Jadi kalau dibilang, oh ini nggak, kurang resilient nih, kurang. Karena memang tantangannya sekarang Distraksi untuk bisa kabur Dari apa yang harus kita selesaikan Itu terlalu banyak Jadi kata Mas Pais itu Distraction itu godaannya terlalu banyak Terlalu banyak Zaman saya cuma TVRI doang Gak ada headset Atau teman di komplek Jadi ini dengerin ya Terutama orang tua Saya kemarin hadir di sharing Hampir 2 jam Depan ikatan orang tua Masih suai TV Asik mereka Kadang-kadang mereka pikir saya mencapai Gans sesuatu yang kadang-kadang mereka belum dengar tuh.
Saya bilang, ibu kita jangan menang sendiri. kebenaran kita itu udah berubah, Bu. Betul. Di sini kan saya tahu tuh, ada S1, S2, S3.
Betul. Nah, saya mau tanya tuh, S3 itu tamannya kapan? Dapat pelajaran dari siapa?
Dari buku-buku dari profesor yang lebih tua dari ibu, ya kan? Iya. Ilmunya udah berubah.
Betul. Gitu. Jadi menurut saya, kenapa sih nggak berhenti sejenak mendengarkan apa yang disampaikan oleh anak-anak?
Iya. Ya. Jangan-jangan mereka lebih minta dari kita, loh ya. Betul.
Ini yang terjadi, ya, Salih? Saat ini, sebetulnya, Ada satu teori Jadi waktu jaman Flower generation Era John Lennon, The Beatles, Jimi Hendrix Itu ada satu antropolog namanya Margaret Mead Dia meneliti tentang Gap generasi Generation gap Generation gap itu lahir dari Margaret Mead Nah dia melihat nih, kenapa ya Flower generation tuh gak mau sama sama Ayah-ayahnya yang pak lawan perang Nah dia membuat ada 3 pola Prefiguratif, kogel figuratif, pos figuratif. Jadi kalau generasi sebelumnya itu melihat orang tua atau siapapun yang dianggap sebagai otoritas di sekitar itu sebagai idola.
Jadi kayak saya, cita-cita kampus, jurusan, sekolah saya, nggak jauh dari ayah saya. Karena orientasinya ke sana Atau kayak dulu Semisal kayak weekend Makan malam keluarga Pasti yang menentukan yang paling tua Di rumah Kita menurut aja Nah sekarang era dimana Disebutnya prefiguratif Jadi anak dianggap Lebih ngerti tentang masa depan Sehingga orang tua pun sebetulnya sekarang lebih banyak keseret-seret sama anak. Jadi kalau cari makan sama Selmy, pasti anak yang lebih tahu.
Liburan mereka nentuin tuh. Mereka nentuin. Pilih laptop, akhirnya ayahnya, oh ini aja lebih bagus.
lebih paham gitu. Jadi sebetulnya tantangannya sekarang orang tua itu keseret-seret sehingga berusaha menarik kembali anaknya. Kamu kenapa gak dengerin saya? Jadi ini lagi-lagi butuh penjembatan antara generasi. Bahwa sebetulnya yang muda butuh wisdom dari ayah ibunya.
Tapi yang tua juga harus Apa yang menyadari bahwa anak-anak ini lebih paham masa depan daripada yang lain. Lebih tangible. Betul.
Tadi ada tiga ya? Ada tiga. Satu apa?
Prefiguratif, postfiguratif, kofiguratif. Oh, kalau prefiguratif itu? Kalau prefiguratif yang sekarang.
Yang sekarang. Yang tua. yang pos figuratif itu yang muda ikutin ada configuratif itu hanya mendengarkan teman sebaya aja configuratif ini menarik ada di buku tentang apa namanya culture and commitment dari Margaret Mead Faisal nulis tentang ini? Saya mencuplik sudut pandang Margaret Mead di buku mu?
Iya, dalam buku saya kan saya menulis tiga buku tentang generasi Indonesia apa aja? Jadi generasi kembali ke akar buku pertama ada generasi V judulnya, buku kedua generasi kembali ke akar, dan yang terakhir pasar dan karir kembali ke akar tentang pekerjaan dan masa depan kerjaan anak muda keren, keren terus tadi di luar ini kita sempat bicara bahwa, oke saya resume dulu ya jadi mungkin ya pengertian apa Gen Z millennial antara di Indonesia dengan di Amerika asal penggenerasian itu pengkota-kota itu mungkin beda juga karena environmentnya berbeda ya karena environmentnya berbeda, peristiwa yang membentuk generasi juga berbeda sehingga sebetulnya pembagian apa namanya critical moment tanggal pun menjadi berbeda dan ini Ini dibahas juga saya dengan beberapa peneliti di BRIN juga. Mulai ada sudut pandang untuk melihat seperti itu.
Jadi kalau di BRIN dari sisi demografi, demografi apa yang sebetulnya memisahkan generasi sekarang dengan generasi ayah ibunya. Jadi tidak serta-merta kita bisa katakan lahir tahun 1981 milenial. Lahir tahun sekian kamu Genzi. Itu kan kayak baca horoskop. Kayak hitungan kuantitatif.
Kayak hitungan kuantitatif. Tidak seperti itu. Bahkan di Perancis.
Tahun lalu saya juga baca bahwa mereka mendorong agar tidak lagi menggunakan istilah milenial dan Gen Z tapi menggunakan istilah Ong Fong the numeric untuk generasi di Pajang. Yang sekarang. Yang sekarang. Ong Fong itu kan artinya anak, the numeric angka.
Yang angka itu asosiasinya ke digital. Bahwa ini ada generasi yang lebih paham tentang dunia digital. Sehingga labeling stigma, stereotype yang melekat seperti tadi.
Mager, kurang resilient itu Tidak menjadi sesuatu yang diserap dan dihayati oleh generasi muda di Perancis. Oke. Kalau kita ingin memperbaiki, apalagi sekarang ada kabur aja dulu gitu ya.
Sesuatu. Kalau saya pikir kabur aja dulu karena di sini kerjanya susah. Peluang di luar lebih besar.
Menurut saya sih fine-fine aja nih untuk saya. Cuma kalau ada yang sampai ganti keluarga negaraan. Ini mulai terjadi, menurut saya ini serius tuh.
Gimana dokter Faisal? Permasalahan ini kan bukan hanya terjadi di Indonesia. Di beberapa negara kemarin sempat sudah ada.
pembahasan juga diantaranya kalau tidak salah saya baca antara di The Economist atau di majalah Time tentang Gen Z tidak lagi monolit istilahnya. Tidak lagi monolit artinya Gen Z tidak lagi memiliki kesadaran tentang dirinya bagian besar dari komunitas teman-teman seusianya. Jadi kayak hidup di bubble algoritmanya sendiri.
Oke. Nah ini jadi Masalah kenapa? Pada akhirnya perasaan kolektivisnya itu kurang terbangun.
Kurang terbangun. Kalau di generasi saya, kolektivis itu sangat terbangun, Mas Yali. Bahkan di SMA-nya kita ada pride sekolah, kan ya?
Iya, iya. Saya sekolah dari mana? Atau kamu anak mana? Jaksal apa Jakus?
Anak menteng atau anak blok M, gitu. Jadi ada kolektivitas itu, gitu. Nah ini permasalahnya generasi ini karena paparan bubble algoritma kurang punya perasaan dia attachment ke lingkungan, ke nation-nya, ke bangsanya. Lihatnya hanya apa yang dia lihat di dunia digital Itu jadi masalah tersendiri Nah masalah lain menurut saya adalah Menghubungkan nasionalisme Karena isunya akhirnya lari ke nasionalisme Menghubungkan nasionalisme dengan Negara, karena menurut saya Nasionalisme itu lahirnya Dari masyarakat, dari bangsa Bukan dari negara Jadi kalau negaranya lagi Kurang baik-baik saja Dianggapnya nasionalismenya kita Itu Bahwa tidak baik juga Padahal kan tidak ada hubungan Nasionalisme itu lahir dari rakyat Kecintaan kita, romantisme kita Perasaan kita terhadap tanah Kelahiran kita Nah ini mungkin cara berpikir asosiasi Yang perlu kita ubah Bahwa nasionalisme itu tidak ada kaitan sama negara Kita mulai dari mana Kalau ingin Memperbaikin itu Supaya kita tidak terjadi brain drain Dan sebagainya Ya harus, yang paling efektif tentunya dari institusi pendidikan.
Institusi pendidikan itu harus menciptakan kecintaan. Ini beberapa kali juga saya sampaikan di forum. Satu, kecintaan terhadap ilmu.
Lalu kedua, kecintaan terhadap Indonesia. Jadi melihat Indonesia itu dengan satu romantisme sendiri. Bukannya ada kajian kata anak-anak milenial itu lebih cinta kepada Indonesia, lebih peduli, lebih peduli lingkungan. Jadi kita lihat kalau tim Nasmain yang nonton anak muda itu.
Wah, cewek pun sekarang... bisa menjadi penonton fanatik yang mempersatukan bangsa. Nggak bisa dilihat begitu. Bisa, Pak Sen. Makanya saya suka bercanda tentang bahwa Indonesia itu, generasi sekarang ini akan mencapai cita-cita yang disebut generasi emas, kalau dua hal itu rapi.
Satu, timnas. Karena itu akan menciptakan satu kecintaan luar biasa, persatuan perasaan tentang Indonesia. Dan dua, pendidikan.
Karena pendidikan akan melahirkan anak-anak yang lebih sadar tentang keindonesiaan, tentang potensi wilayahnya. Dan tidak semua anak muda itu sadar juga potensi wilayahnya, kekayaan Indonesia seperti apa. Ada beberapa konten di TikTok yang saya lihat, wawancara di jalan, street interview, anak-anak muda tidak tahu wilayah ini di mana. Dan Indonesia kalau disadari betapa hebatnya, besarnya bangsa ini, tentu ya gak akan ada yang keluar. Maupun bila keluar pun, itu juga pasti pasti niatnya untuk kontribusi kembali untuk Indonesia, membanggakan Indonesia.
Tetap romantisme hatinya ada di Indonesia. Itu yang saya tulis di buku Generasi Kembali Ke Akar Sutera. Jadi ada kemungkinan kita kembali ke Indonesia. Itu ya?
Takes time? Takes time dan juga mungkin peristiwa-peristiwa juga yang nanti akan membentuk itu. Faisal juga kan dosen ya, pengajar ya? Di mana ngajar sekarang?
Sekarang di Unika Atmaja. Unika Atmaja. Ada juga satu kritik ya, bahwa ada penurunan dari kepercayaan orang terhadap lembaga perguruan tinggi di Indonesia. Kemarin ada research bahwa plagiarism di Indonesia itu, di perguruan tinggi itu nomor dua di dunia. Banyak sekali plagiat-plagiat dan masih terjadi sekarang.
Orang-orang hebat ternyata karyanya, desertasinya dari mana gitu ya, ngambil dari mana. Nomor dua, terjadi. Jadinya kasus korupsi, ada rektor ketangkep, ini apalah gitu, ada bullying dilakukan oleh para pengajar.
Terakhir bayangin ada universitas nyetak duit palsu gitu, jumlahnya triliunan gitu. Ini gimana nih, Anda sebagai seorang akademisi? Kalau saya mantan akademisi, bekas, saya tidak lagi menjadi dosen.
Emang sekarang dunia di mana kita mengajarnya di kampus perguruan tinggi itu nuas. Nuasanya beda, Mas Yami. Mahasiswa berbeda sama era-era sebelumnya. Pada saat kamu belajar ya? Pada saat belajar, itu kita datang ke kampus, bawa bulpen, mencatat.
Dulu, almarhum Fuad Hasan itu kan, terkenal karismatik, ngajar di kampus saya. Itu kalau kita ngelamun aja, itu pasti kapurnya dilempat. Nah sekarang, dosen mengajar, mahasiswa ada yang browsing, ada yang akhirnya doom scrolling, lalu slide-nya difoto.
Nuansa sangat berbeda sekali Oke Nah itu satu hal Lalu berkaca juga ke hal lain Tadi saya juga sempat cerita Tahun lalu ada tes IQ seluruh dunia Ternyata yang paling tinggi satu IQ rata-rata Cina nomor 2 Iran nah ini menarik untuk di highlight karena dua negara ini tidak ada Facebook, tidak ada Twitter dan dimusuhin barat dan dimusuhin barat lalu hal lain, literasi di dua negara ini tinggi baca buku ternyata ya baca buku kalau Iran saya udah pernah kesana ya kita pernah sama-sama ke Esfahan ya kota itu hidden gem betul-betul tuh ya jadi saya sih ya saya pernah meeting dulu dengan 20 orang 16-nya dokter ya ya kalau kita Iran kan Persia kan penemu-penemu semua algoritma segala macem ya abisena semuanya dari orang-orang Persia saya enggak itu tapi di Cina emang segitu ya Iya saya rasa itu tadi kaitannya dengan menemukan Jadi ketika kita masuk perguruan tinggi, ada satu doktrin bahwa ilmu yang diajarkan itu untuk memajukan peradaban. Memajukan peradaban. Dan saya rasakan ketika diskusi dengan mahasiswa di Isfahan waktu itu seperti itu.
Jadi ilmu ya untuk kemajuan masalahat manusia. Jadi tidak ada kaitannya dengan ini ijazahnya kamu bisa pakai untuk kerja di sini, sini, sini. Betul.
Jadi itu dipisah. Sehingga orang mengawalkan segala macam cara di sini ya. Betul.
Ijazah. Aza palsu, ya kan, desertasi yang kita nggak tahu ngambilnya dari mana. Betul.
Jadi sense long life learner itu kan lahir dari kecintaan. Dan bahwa belajar sains itu sesuatu yang mulia untuk kemanusiaan, untuk peradaban. Nah itu yang kayaknya harus...
Bukan hanya untuk meningkatkan harga diri ya? Bukan, hanya untuk mencari satu lembar kertas yang bisa dipakai nanti untuk meningkatkan jabatan kita atau yang lainnya gitu, Mas Helmi. Saya rasa itu sih.
Pak Esel berdegar kan satu jog, jadi ada satu orang... dia jadi bupati, ijazahnya palsu itu ada beberapa tuh, begitu cek ijazahnya palsu ya Pak? enggak dong, waktu saya beli itu katanya asli tuh waktu saya beli itu dari orangnya katanya ini asli jadi segitunya tuh betul, ya karena itu bercampur baur antara pendidikan, perguruan tinggi terutama dengan ya tadi untuk pekerjaan ini tantangan besar dong untuk para apa akademisi yang ada di kampus bagaimana memurnikan lagi atau meninggikan lagi harkat dari sebuah perguruan tinggi ya, Saleh?
Betul. Jadi kok ada perkataan dari Tan Malang kan idealisme adalah harta termahal yang dimiliki generasi muda. Jadi kita harus kembalikan idealisme itu ke anak-anak muda ini. Jadi jangan lagi sepragmatis itu.
Karena diskursusnya misalnya di sosial media itu satu M pertama. Bagus. Tapi pada akhirnya menghalalkan segala cara.
Jadi ada judul, ada yang masuk di OnlyFans, mohon maaf gitu kan. Lakukan segala cara untuk mendapatkan satu M pertama. Iya, iya. Ada yang bikin investasi abal-abal. Iya, betul sekali.
Itu tantangannya sih. Medsos itu merubah semuanya gitu ya? Banyak kajian.
Jadi kalau bicara iya, tentu dasarnya apa? Iya, iya. Salah satunya sekarang yang menjaga... di referensi utama itu ada Profesor Jonathan Haidt. Dia yang pertama melempar isu bahwa medsos ini gak boleh untuk anak-anak di bawah usia yang mereka belum matang secara internasional.
Australia udah gak boleh, Sal. Jadi di tahun 16 tahun gak boleh bermedsos. Yang punya platform akan dipenalti.
Yang saya tahu di Perancis dan juga di beberapa bagian di Inggris itu hanya boleh membawa dumb phone. Dumb phone itu yang cuma boleh untuk nelfon dan SMS. SMS, ya.
Ketika masuk sekolah tidak ada Ketika tahun lalu saya juga sempat ke Perancis Di Paris saya melihat anak-anak Lagi ngantri mau masuk sekolah Tidak ada yang megang handphone Ngobrol aja, wow, bercanda satu sama lain. Di jalanan juga tidak ada yang sambil scrolling. Jadi attachment ke teknologi digital, sosial media tidak sekuat itu. Banyak aktivitas lain, dan mereka merasa interaksi temu langsung itu masih penting. Nah, saya rasa ini juga butuh moderasi, sebuah literasi tentang sosial media kapan boleh dipakai.
Dan itu harus di lingkungan sekolah, di lingkungan rumah juga. Dr. Vasselan nulis buku tergombang itu sebarin. Saya sekarang jadi ketua asosiasi Kreator konten seluruh Indonesia Kita baru bentuk Di inisiasi oleh Kementerian Ekonomi Kreatif Dan saya Ini kan pro bono Malah pakai duit-duit kita sendiri Bikin akun Saya aja pakai duit-duit kita sendiri, tapi saya, karena saya pikir saya udah ya, udah mencapai begini lah ya, umur udah 61. Time to give it back lah Terlalu banyak hutang saya kepada negara Jadi saya pikir ini perlu dirapiin tuh Gak bisa gitu Konten kita di pelintir Pelintiran konten saya itu Masuk ke elit-elit loh Ya elit-elit gitu Yang saya di Di pelintir menyindir Pak Prabowo Begitu dibaca Didengerin pun saya ngomong gak itu Saya ngomong tentang leadership Kalau gak jangan ngomong-ngomong doang Kita harus action gitu.
Jadi, wah dipasang foto beliau. Wah berani banget ini mantan penyiar TVRI ini. Udah kenceng salah lagi.
Dan itu menyebar kemana-mana. Saya terangin, Bu, itu di pelintir. Itu pelintiran.
Oleh karena itu saya... mengiakan begitu diminta untuk menjadi ketua asosiasi. Faisal, ikut dong.
Ini bicara tentang media kan juga menarik. Ada report dari World Economic Forum terakhir kan juga mengatakan salah satu tantangan ke depan itu satu, ada kemungkinan masyarakat itu terjadi polarisasi. Polarisasi, betul.
Kedua, misinformasi di media. Nah, kalau kita kaitkan dengan generasi, kita dulu punya media-media acuan anak muda. Masih ada. Ada majalah Hai. Itu kalau teman saya punya majalah Hai di sekolah itu, bisa satu majalah itu akhir dibaca satu kelas.
Benar ya? Dan dipinjemin. Kamu ngalamin ya? Ngalamin juga. Saya dulu kompas tuh.
Kompas. Kompas, ada cerbung ya di belakang itu. Ya. Oh itu beredar gitu. Betul.
Kamu ngalamin? Ngalamin. Jadi di Hai itu ada satu rubrik konsultasi seksual.
Bisa nanya tentang bu. Yang nasus siapa ya? Nah mungkin Pak Selmi.
Saya di Hai juga. Saya nulis musik di Hai. Jadi itu jadi...
hal yang hampir semua generasi acuannya tentang seksualitas. Oh, baca lu, baca di Hai ya. Nah sekarang kalau anak muda ingin bertanya tentang seksualitas, jawabannya beda-beda mas Yud. Karena pada akhirnya mereka cari lewat TikTok atau lewat media sosial.
Tidak lagi ada acuan yang sama. Betul. Dan belum tentu benar juga. Belum tentu benar. Lalu misalnya dulu ada Gadis Sampul.
Jadi ada acuan tentang kecantikan. Jadi di cintakan seperti apa? Seperti mbak, disas.
Jadi ada ya. Akhirnya, oh ya ingin cantik seperti Mbak Disasi. Karena Indonesia sekali.
Nah sekarang karena tidak ada acuan, akhirnya kecantikan mengacunya ke negara lain. Korea. Oh dulu di Kompas ada Leila Buriman ya?
Iya. Wah itu keren juga tuh. Jadi semua orang tuh kesana gitu. Betul. Jadi tidak ada media-media acuan.
Tahun lalu juga saya sempat mampir ke Roma, itu menarik ya. Karena saya lihat billboard-billboardnya, itu masih... sih khas fashion Itali.
Artinya mereka sama sekali tidak terpengaruh sama Korea. Tetap menghargai estetika khas yang mereka sudah miliki. Itu juga terjadi pada Jepang, itu juga terjadi pada banyak negara.
Jadi saya pikir Indonesia kan tidak kurang yang begitu. Itu yang saya pikir dengan adanya Kementerian Kebudayaan kita naikin. Lo bayangkan, kalau di ajak putu, kan begitu putu rame-rame. sama ibu-ibu pasti yang Faisal dikeruputin ibu-ibu sarangnya gitu itu kan nggak Indonesia banget sekarang kalau disenai juga sate taichan semua saya bilang apa sih ini gitu enak juga betul tapi ini jadi tantangan secara ekonomi di Hongkong itu ada kabar terakhir misalnya ada beberapa kuliner Heritage yang usia sudah ratusan tahun tutup kalah sama kuliner yang viral-viral.
Jadi ada potensi kita juga mengalami seperti itu kalau kita tidak antisipasi. Saya juga datang di hari lagi. Banyak sekali, kemungkinan makanan-makanan.
Saya di Palembang aja udah banyak sekali yang mencari itu dulu. Waktu kecil romantismenya dahsyat tuh. Nyarinya udah susah. Tinggal ada satu warung, dua warung gitu.
Ya kan saya suka nonton Mas Helmi juga. Mas Helmi kan kemarin ngangkat sate di stand. Itu kan heritage itu kan. Artinya heritage harus kita jaga rame-rame. Perjuta loh yang nonton.
jadi menurut saya Indonesia terlalu kaya juga ya terlalu kaya juga apapun yang terlalu nggak bagus juga karena saya mengalami betul kenapa Indonesia dengan potensi kuliner yang dasyat tiap kali ada Poling itu selalu menang dong. Saati makan terenak, pempek apa terenak, somai terenak, rendang terenak. Tapi kenapa restoran Indonesia sedikit banget di luar negeri?
Satu jawaban, karena kita punya terlalu banyak. Bingung lo mau jualin yang mana? Gaduh-gaduh enak, pecel enak, rendang enak.
Jelak. Kalau kita bikin restoran di luar negeri, mau yang mana nih? Kadang-kadang kita ambil semua yang enak-enak itu, nggak matching juga.
Lo bayangin kita makan gado-gado, disininya itu soto. Yang juga enak tuh. Saya pernah diskusi ini dengan Mas Tanto ya. Iya juga ya.
Kayak kita di Thailand, semua makannya gabung-gabung matching tuh. Iya kan? Kita mesen tom yang, patai, masih matching semua tuh. Ini PR. PR, mungkin kalau boleh saya respon sedikit ya Mas Helmi Kayak seperti Korea Itu pertama masuk ke Indonesia Sebetulnya lewat kuliner Dan sebelum mereka masuk Mereka, ya ini dia pentingnya riset ya Mereka mengkaji dulu tabu lakon tabular rasa orang Indonesia.
Jadi gurihnya orang Indonesia itu antara manis dan asinnya seperti apa. Sehingga ketika masuk makanan-makanan kuliner dari Korea ke sini langsung pas. Kalau itu Korea.
Yang saya tahu seperti itu. Kalau Jepang misalnya, dulu masuk pertama kali orang nggak ada yang kenal sushi. Sushi baru bisa masuk ke Amerika setelah akhirnya Sony itu dikenal dunia dengan teknologinya.
Ketika Sony sudah punya kantor di Amerika baru dia bisa masuk ke Amerika. dia buka sushi untuk orang-orang Wall Street air makan bisa menghargai uh ini makanan Jepang seperti ini jadi memang butuh kajian dan studi dulu gitu Ayo teman-teman yang lagi pemangku kekuasaan yang bisa menentukan ya Saya pikir kita ya saya Faisal tuh terbuka banget terbuka banget untuk tergetan ya saya sekarang traveling saya terpulangnya ke kota-kota kecil luar biasa luar UK kota-kota kecil nyari restoran Indonesia susah-sahang yang gampang itu Thai food nomor 2 nya Vietnam Vietnam, VU udah dimana-mana nomor 3 sekarang Singapura Laksa Singapura, ya Allah Singapura itu apa sih itu jadi menurut saya kenapa kita yang punya semuanya itu tidak bisa seperti itu saya pikir diperlukan satu gerakan satu gerakan oke kita balik ke isu tentang anak muda kita terminologi anak muda itu ada jarak jarang banget dulu kita kan alat muda nyebutnya ya sekarang tuh milenial genzi jadi menurut saya pasal punya apa nasihat untuk mereka kasihan mereka digebukin gitu dikata-katain menurut saya ini permasalahan sekarang tadi masih sudah bilang ini kaitannya dengan distraksi sekarang bagi anak-anak muda itu bila mereka bisa fokus untuk kembali ke diri mereka sendiri bisa tahu Hai mendengarkanlah lebih lebih berpikir tentang cita-cita mereka dan upaya yang bisa ditaruh untuk mencapai upaya tersebut, saya yakin mereka akan sukses. Dan sekarang banyak buku dan juga banyak hasil kajian riset.
Misalnya Karl Newport nulis tentang deep work. Jadi kerja mendalam, kalau kita ngulik terus sesuatu dalam jangka waktu yang lama, nanti kita akan sampai satu masa di mana tidak ada lagi ekspert, kamu jadi ekspert satu-satunya. Karena sekarang semua kan jadi generalis.
Iya betul. Yang tahu. banyak, tapi sedikit-sedikit.
Jadi mungkin saran saya itu, lalu saran lain adalah, ya untuk mengenal Indonesia, emang harus kekayaan kita. Karena banyak orang melihat dari luar, luar biasa Indonesia, tapi kok yang di dalam tidak bisa melihat. Nyimpang dikit nih, tapi relate dengan yang tadi.
Kan ada dua aliran ya, mungkin Dr. Faisal bisa komen gitu. Antara generalis dan sebagainya. spesialis.
Kalau anak muda itu sebaiknya generalis atau spesialis ya? Wah ini seru sekali. Kalau saya melihat karena Indonesia itu begitu banyak mega biodiversity potensinya, maritimnya atau hutannya. Kita harus jadi spesialis terhadap potensi Indonesia kita sendiri.
Saya kasih contoh nih. Dari awal? Dari awal.
Awal tahun 2000 kita gak kenal kopi. kopi enak itu seperti apa misalnya kita taunya kopi saset dan orang Indonesia rata-rata ngeteh lalu datang masuk Starbuck gitu kan ya lalu mulai muncul barista-barista pada akhirnya muncul gerakan Oh ini bisa nih muncul banyak barista akhirnya mulai mencari tahu Indonesia punya kopi akhirnya kita sekarang ada satu gerakan kopi yang sudah diakui juga di dunia Indonesia hebat kopinya pinter baristanya dan akhirnya jadi ekonomi berjalan bayangin masalah itu baru satu hai hai hal, kopi. Kalau kita jadi spesialis kopi, kita jadi seperti itu. Bayangkan kalau ada hal lain yang kaitannya dengan potensi alam Indonesia dan anak mudanya bisa menggali itu. Kita jadi super power, Mas Yal.
Tapi kan bisa di challenge dengan kalau saya tuh adalah lead spesialis. Dulu saya terpaksa generalis, karena hidup saya gak ada pilihan. Orang tua udah tidak ada, miskin, saya yang ada aja deh. Saya mengerjakan semuanya, pasal jaga toko buku, jadi pembaca puisi, saya nulis, saya jadi wartawan. Itu karena KPP gak punya duit tuh.
Gaji saya sebagai kode kecil banget. Saya gak tau itu, rata-rata bukan passion saya tuh. Wah kadang-kadang hina banget tuh kayaknya. Merayu orang jual investasi. Hina banget.
Tapi mental blocknya saya ajar. Karena gak punya pilihan. Begitu saya agak mapan baru saya menjadi spesialis. Seperti ini. Inilah bicara.
ngomong depan orang, wah itu, itu, aduh, orgasme gitu. Kenapa nggak begitu tuh? Jadi saya adalah seorang spesialis yang tahu banyak.
Gimana menurut Pak Esang? Ya, Mas Helmi menurut saya itu special case ya. Mas Helmi memang punya banyak talenta gitu. Nah, dan Mas Helmi juga kan pendidikan di Amerika kalau tidak salah. Amerika ya?
Jadi, kalau saya melihat Amerika itu kan ada namanya American Dream. Yes. Kita harus hustle.
Individu bersaing satu sama lain. Itu kekuatan Amerika. Pengkondisian di mana masing-masing itu bersaing.
Nah, di Indonesia kekuatan kita itu kita bangsa kolektifis. Kelompok. Gotong-royo. Yang sekarang juga sulit. Betul.
Jadi kunci kita itu di situ. Karena Indonesia bahagianya itu kalau lagi rame-rame, masih lagi kumpul ya keluarga. Ramangan ngumpul.
Iya. Kalau misalnya kamu jadi sasaran. disarjana selamatkan keluarga happy bangganya bersama kawinan rame-rame Iya ribuan undangan betul di Amerika ngundang 100 orang udah bagus terus ya ini sebetulnya kekuatannya satu lahir generasi-generasi expert lalu dibangun kolektivitas sehingga expert itu saling berkolaborasi satu sama lain tapi kalau dari awal sudah set gitu ya saya mau jadi ini sayangnya melakukan sesuai passion saya bukankah itu jebakan Batman ya sementara sekarang nyari kerja aja nyari kerja yang gak cocok dengan passion kita aja susah ya itu jadi satu diskursus sendiri tentang passion karena sekarang juga sudah mulai ditinggalkan mas Helmy kan itu terpengaruh pidatonya Steve Jobs di Stanford Dia bilang do what you love Jadi emang ada satu generasi millennial itu Terpengaruh ucapannya Steve Jobs Jadi pada akhirnya hanya mau bekerja Sesuai passion Yang sebetulnya nanti ada salah tafsir dari Mengejar passion Jadi mengejar sesuatu yang nyaman bagi saya. Ketika ketemu tidak nyaman, dianggap, ini bukan passion saya. Jadi excuse.
Jadi excuse. Kita sampai satu fase sekarang di mana sebetulnya opsi semakin mengerucut karena banyak krisis. Jadi pada akhirnya anak muda dipaksa untuk beradaptasi. Ada satu isu sekarang di Indonesia itu mismatch antara generasinya.
kompetensi dan karakternya dengan kebutuhan dunia kerja. Nah, ini yang butuh penjembatanan di sini. Bahwa generasi muda jangan masuk ke tadi, narasi tentang passion. Tapi narasi bagaimana dia bisa struggle.
Punya grit lah istilahnya. Saya bilang passion itu ya, mengerjakan sesuatu yang kita suka itu adalah milik orang yang sudah sukses. Kalau sekarang mencari kerja saja susah, tiap kali sudah, kita ketambahan para... Pengangguran-pengangguran, udah apa yang depan mata?
kerjain aja dulu Pak Selmy juga suka basket kan? sebenarnya enggak saya tuh ngomong basket bukan main basket gitu loh ya jadi dulu saya di Amerika kan tunjangan saya kecil jadi akhirnya waktu itu kan NBA mulai top tuh di jaman Aris Darsono saya nulis tentang basket saya ke lapangan saya wancarai pebasket-pebasket pulang saya jadi komentator temen gue ada yang ngomong ini namanya Tony, Mi lu ngaco banget ya, jadi komentator basket lu gak pernah main basket eh, saya bilang, kamu salah saya tuh yang ngomong basket, kamu yang main basket iya dong, ngaco kalau gue main, dan lu yang ngomong ngaco tuh, dan biar lu lebih kesel honor gue lebih tinggi loh sebagai yang ngomong basket, jadi itu lagi-lagi saya melihat itu sebuah peluang sebuah peluang, saya gak terlalu suka juga, saya bukan pemain nontonnya gue suka betul ada cuman contoh menarik kan di basket. Michael Jordan kan sukanya passionnya di baseball.
Yes. Baseball. Tapi gak ada yang menyangka bahwa dia akan menjadi greatest of all time di basket.
Betul. Pernah-pernah dipecat dari tim basketnya. Betul.
Jadi mindset seperti itu bahwa anak muda, mungkin passion kamu disini. Kamu sukanya disini. Tapi bisa jadi spektrum bakat kamu.
kamu akan sukses di tempat lain setelah dia sukses pun kemudian dia bapaknya dibunuh dan kemudian dia bermain baseball gak bagus-bagus untung balik lagi gitu kan jadi menurut saya saya selalu berpikir, kadang-kadang passion itu jebakan batman, yang menghalangi kamu untuk explore Apa ya? Pengetahuan-pengetahuan baru. Saya selalu ngeliat nih. Hobi mu fotografi.
Dari SMP, SMA, jadi mading, jadi apa gitu. Begitu udah kerja, bikin studio. Atau jadi photographer profesional.
Bikin studio akhirnya. Sukses. Mati. Dari lahir sampai mati, keahlianmu cuma satu. Iya, betul.
Saya bilang mencobalah untuk menjadi fotografer, tapi ngerti musik juga. Betul. Ngerti berkebun juga.
Membuka potensi-potensi Ya sayang banget gitu Ketemu dengan kawan-kawan baru Nuansa baru Tapi anak-anak muda sekarang Tapi anak muda sekarang Jadi menurut saya kenapa mereka pergi Udah gak punya pilihan pekerjaan dengan punya pilihan mendapatkan pekerjaan yang tidak sesuai aja yang bertentang passion mereka pun sekarang menjadi satu isu ya sekarang ada namanya kan FOMO fear of missing out Nah ada fase berikutnya Fear of better option Fobo Saya rasa Ini isunya tadi kan Kabur aja dulu Karena social media membuat komparasi sosial Dulu kan gak bisa Kita kalau udah dapet sepatu Nike Air Max itu udah kita liatin aja Sehari ini wah kira-kira Tapi sekarang pas browsing ada yang lebih bagus Kok gak punya Jadi perasaan cukup itu Jadi Jadi perasaan yang dibutuhkan kembali sebetulnya. Jadi nggak terus menerus komparasi itu yang pada akhirnya fear of better option. Jadi gelisah juga. Udah 40 menit.
Dr. Faiz mungkin punya apa ya, nasihat untuk anak-anak di luar sana gitu yang sekarang lagi dibully, dianggap tidak baik gitu. What is your advice? Ya, nasihat saya adalah ya berkaca ke generasi-generasi muda Indonesia.
Jadi kalau dulu... Dulu Indonesia lahir dari anak-anak muda. Anak-anak muda yang masih usia belasan, 20 tahun. Dengan segala keterbatasan, membaca buku, lalu berdiskusi, lahirlah imajinasi tentang Indonesia. Indonesia itu adalah sebuah imajinasi.
Saya rasa ini yang butuh di generasi sekarang, berimajinasi lagi, reimagine Indonesia. Diimajinasikan ulang. Kalau sudah bisa mengimajinasikan ulang, mengenal Indonesia.
Saya yakin akan jatuh cinta. Dan saya yakin kita. kita akan sampai pada tujuan Indonesia sebagai bangsa besar.
Apa basic skill yang harus dimiliki anak muda ya supaya bisa survive? Hmm, kalau saya selalu mengatakan dia harus cinta sama ilmu, Mas Helmy. Ilmu apapun?
Ilmu apapun. Kalau dia cinta sama ilmu, dia akan jadi long life learner. Jadi dia nggak pragmatis, dia nggak lagi tadi FOMO, better option, dia nggak FOMO juga, tapi dia betul-betul mengejar itu karena cinta sama ilmu yang dia miliki. Seperti Mas Helmi juga Saya tuh karena begini Karena My privilege is Because I have no privilege Thank you, sir Gak bisa milih Gak usah lama Hidupan mata aja Saya baru mengaku, aguntansi itu ya, di mana saya kuliah di stand, berprestasi itu, bukan pilihan saya itu.
Passion gue nggak di situ lah. Apalagi nge-audit. Oh, gue pernah nge-audit sekali.
Aduh, nyesel semua. Nge-audit itu kan nyari musuh. Sementara jiwa saya kan jiwa penghibur. Orang kalau di-audit nggak ada yang suka.
Jadi menurut saya, tapi ya, itu track yang harus kita lewatin. Nah itu terkait dengan kamu, apa pidatonya Steve Jobs, saya nulis bukunya tuh, itu intinya kan connect the dots tuh, bahwa kegagalan, kekecewaan masa lalu itu justru adalah koreksinya tuh ke depan ke... Masa depan.
Saya tidak akan begini kalau saya lahir sebagai anak orang kaya. Kalau anak orang kaya saya jadi gak tau jadi apa kali. Jangan-jangan gak sekolah saya.
Thank you Mas Al. Sama-sama Mas Al. Saya belajar banyak hari ini.
Saya juga. Oke, semoga kita juga belajar banyak, terutama para boomers, ya, milenial-milenial tua yang sekarang punya anaknya genzi-genzi awal. Ya, jadi sekali mereka begitu karena kita. Dalam psikologi, saya dapat ini dari Syahnas, dia ngomong, ya, mereka itu, ya, I see, I do. Mereka melakukan apa yang kita tunjukkan, kita lakukan.
Jadi menurut saya, we make them like that. Ya, hati-hati. Kalau mereka lembek Kita buat mereka lembek Makanya kalau anak kita dimarahin guru Jangan guru nyuruh samperin Aduh aduin lagi Oke bye bye Terima kasih Terima kasih sudah menonton Helmiya Bicara Jangan lupa untuk Like, Comment, Share, dan Subscribe