Transcript for:
Transformasi dan Tantangan di Era Digital

Mengenai transformasi ini menjadi satu tren besar di dunia karena kita juga kalau kita baca kita alami segala ini perubahannya sangat cepat sebenarnya kalau perubahan dari zaman ke zaman dari masa ke masa itu pasti perubahannya sangat cepat sekali yang disebut disruption hai hai Hanya sekarang kok rasanya apakah karena saya merasa makin tua atau kita merasa makin tua, jadi waktunya makin cepat walaupun kegiatannya sudah kurang itu rasanya makin cepat waktunya. Apa karena mungkin pasangan hidupnya masih sama jadi kok rasanya tambah cepat waktunya. Itu juga mungkin pengaruh. Hanya menurut saya zaman sudah berubah, tadi Pak Rektor waktu masuk juga bercanda, beliau juga akan mengakhiri masa tugas dan mudah-mudahan yang digantikan juga lebih mudah daripada beliau. Ini saya enggak komentar soal pemilihan rektor.

waktu saya selalu melihat bahwa regenerasi itu harus dilakukan, apapun juga. Kalau tadi saya lihat, ini teman-teman para sivitas akademika dari UNPAR, lihat daftar rektor di sana, ada rektor pertama yang menjabat rektor 25 tahun, 1955-1980. Mungkin beliau kuat sekali karena beliau tidak menikah.

Mungkin kalau menikah sudah agak kuat karena udah bebannya di sini, nanti di rumah diomelin dan sebagainya. Jadi campur-campur sudah berat. Mungkin Romo nanti kalau menjadi rektor bisa 25 tahun. 5 tahun karena tidak menikah.

Satu tantangan yang lebih besar sekali adalah mengenai digitalisasi. Saya coba akan sharing slide saya. Ini supaya ininya kelihatan saya di mana ya? Di sini atau di sini?

Dua-duanya bisa. Ini saya coba sharing actual challenges pada saat ini yang sebenarnya sebenarnya sudah menjadi tren sejak di awal milenium dari yang kita alami sekarang. Jadi di awal tahun 2000-an itu kita enggak terasa, kita enggak pernah terasa. Itu pelan sekali ya, apalagi di banyak negara perkembang juga di Indonesia, itu rasanya waktu itu slow, waktu itu pelan sekali.

Padahal ini dunianya sudah berubahnya luar biasa dan sebagainya. Nah ini saya coba sharing ada tiga tantangan yang umum, mungkin kalau di dunia pendidikan nanti mohon. kalau ada waktu kita bisa tanya jawab atau diskusi. Berikutnya.

Kelihatan enggak ya? Kebaca ya? Kalau orang-orang yang seperti saya, yang merokok seperti saya, itu masih kebaca.

Saya usianya 60, merokoknya baru 45 tahun dan belum pakai kacamata. Tapi kalau enggak merokok, jangan merokok ya. Ini, company ini juga memakai seperti institusi yang ditulis oleh Hubert Jolly, ini artikelnya dalam artikel The Heart of Business dari Harvard Business Review, mungkin nanti bisa di-download, ini bukan tulisan saya. Beliau mengatakan sekarang itu untuk mencapai tujuan sebuah institusi itu ditentukan oleh empat hal, yang di sini ditulis, digambarkan dalam empat selinder.

Yang pertama yang atas adalah what the world needs, dunia itu membutuhkan apa. Jadi institusi ini dibuat karena pertama kali dia sadar ini dibutuhkan oleh dunia atau lingkungan atau alam sekitarnya dan sebagainya. Yang kedua itu di kolom kanan, di silinder kanan itu, what your company or institution is uniquely good at. Jadi sebuah institusi itu ada, itu harus punya keunikan.

Kalau tidak punya keunikan pasti habisnya cepat, termasuk peradaban dan sebagainya. Nah yang ketiga itu yang bawah, how your company can create economic value. Waktu saya mulai bekerja di pertengahan tahun 80-an, itu saya hanya mengerti tiga kolom ini.

Dunia itu perlu apa, kita itu, institusi kita itu uniknya apa, dan yang ketiga adalah bagaimana institusi ini bisa menciptakan nilai ekonomis. Itu saya ngerti, karena saya mulai bekerja tahun 86, saya bekerja di Arthur Anderson, itu diajarin tiga ini. Banyak dari kita yang waktu memulai karir itu juga mengertinya tiga ini.

Tapi juga banyak juga tiga ini aja gak ngerti. Karena waktu mulai kerja itu hanya apa? Saya mencari pekerjaan karena saya butuh makan.

Ini beda loh, beda. Cara berpikirnya beda. Nah, sekarang, sekarang, Waktu generasi Y atau generasi milenial, orang-orang yang lahir tahun 1987, waktu mulai memasuki workforce di awal tahun 2000, Jadi kalau dihitung itu mulai 2025, maaf 2005, 2006, ditunggu mulai umur 18 tahun. Ini ada timbul satu lagi, satu kolom lagi yang sebelah kiri adalah what people at your company or institution are passionate about.

Hal ini menjadi sangat penting karena generasi milenial dan generasi yang lebih bawah sekarang sudah mulai masuk masalah kerja itu generasi set. Ini pikirannya beda, mereka bekerja itu tidak berdasarkan hanya... kompetensi tapi berdasarkan apa?

Juga tidak berdasarkan kebutuhan hidup saja, tapi berdasarkan passionnya dia apa? Nah banyak institusi kalau tidak mulai sadar mengenai hal ini itu nanti akan makin lama. bukan makin kecil, makin lama itu makin obsolit, makin tertinggal oleh peradaban atau makin tertinggal oleh kebutuhan zaman. Saya tidak mengkritik institusi agama, tapi kita bersyukur ya mendapat Bapak Paus yang sangat progresif sekarang ya Romo. Tapi ini kalau kita lihat, Banyak dari kita itu tidak menyadari tantangan ini.

Coba misalnya Bapak Rektor karena kurang 3 bulan, kalau ada sempat dan ada anggaran, walaupun anggarannya kan kecil. Coba survei, sivitas akademiknya. Itu berharap UNPAR ini dalam 10-20 tahun ke depan itu maunya apa?

Kapan terakhir survei itu dilakukan? Sederhana saja. Kalau enggak sempat survei, karena Bapak Rektor juga orangnya sangat social minded, ya keliling. Tanya satu-satu.

Waktu ini ada kawan-kawan saya yang dari kereta api. Bapak Rekor tahu enggak kenapa Pak Edy ini mengundang? Saya enggak ngundang loh. Saya enggak ngundang mereka loh. Yang ngundang Pak Edy.

Dan di WA grupnya itu saya biarkan aja gitu ya. Saya waktu baca WA grup, Pak Edy ngundang mantan direksi saya semua itu tahu apa tujuannya. Supaya apa yang saya katakan ini saya enggak bohong.

Karena mereka juga di sini. Itu. Ada saksinya gitu.

Ini benar. Eh Pak Arliento. Pak Arliento ini memang duduknya enggak mau dekat temannya Pak.

Dia duduknya cari yang ada cantik, itu dia lebih duduk di situ. Itu memang kebiasaan itu. Bu, nanti kalau ditanya nomor handphone ya. Saya kembali ke sini.

Waktu saya masuk kereta api, Ini teman-teman saya terutama yang karirnya panjang di kereta api, saya yakin dalam sanubarinya itu pasti tidak mengharapkan banyak perubahan besar. Pasti ya. Kalau itu mengharapkan, dia tidak tahu bagaimana meyakinkan organisasi ini untuk berubah.

Nah, saya sendiri itu keliling. Saya keliling terus meluangkan waktu bicara semampu saya. Dan juga teman-teman meyakinkan sampai ke akar rumput saya. Yang umurnya waktu itu di bawah 30 tahun. Generasi Yang Sebagian sekarang sudah menjadi direksi Menggantikan kami di kereta api Indonesia Ini generasi yang mungkin punya semangat Berubah, kalau saya bicara dengan Yang ini Rekan saya yang di belakangnya Pak Rektor Persis di belakangnya itu Pak Joko Margono Kalau saya ngomong Beliau enggak pernah bilang enggak kalau saya ngomong Karena saya komandannya kan Tapi enggak dilakukan Iya, itu enggak dilakukan, semua enggak dilakukan.

Ini benar. Ada lagi di belakangnya Bapak Wakil Rektor ini, itu awal-awal juga pasti juga bingung gitu ya. Enggak marah sih, tapi bingung.

Saya pindah-pindahin itu bingung. Itu Pak Arlianto juga, saya pindah-pindahin juga bingung. Ya apa yang saya lakukan itu adalah saya ingin mendengar passionnya orang di akar rumput ini apa.

Because this will determine the future of this organization. Yang menurut saya itu. Buktinya apa? Tidak banyak lembaga yang cukup besar apalagi lembaga publik yang kalau pemimpinnya ganti itu core kegiatan organisasi itu yang sudah baik itu bisa dipertahankan. Gak banyak.

Kereta api salah satunya, saya sudah pergi 9 tahun loh dari kereta api Indonesia, kan jalan. Digantikan Pak Edy 5 tahun ya Pak ya, enggak enggak, tapi Bapak gantikan saya 5 tahun ya, 6 tahun ya. Nah, coba ini Pak Edy, walaupun dia mungkin ya kalau kosmetikanya mungkin ganti lah ya, kan seleranya beda ya kan, selera perempuannya juga beda dan sebagainya.

Ini ya mungkin kosmetik, tapi... The backbone itu enggak berubah. Misalnya, oh kembali orang itu boleh merokok lagi di dalam perjalanan kereta, enggak ada.

Terus penumpang di KRL Jabodetabek bisa naik di atas atap, enggak ada lagi. Stasiunnya juga berantakan, enggak ada. Sampai sekarang saya diganti, Pak Edi diganti orang lain juga enggak ada. Tetap semua berjalan dengan baik.

Kenapa? Karena apa yang kita mesti tahu itu adalah Orang yang di organisasi kita itu passionnya apa? Generasi ini makin mudah trendnya itu kebergantungan mereka terhadap passion mereka untuk bekerja, untuk berkarya itu makin besar.

Bukan hanya kompetensi atau kebutuhan. Makanya saya enggak tahu, kalau banyak, kalau dilihat di banyak organisasi, attrition ratenya sekarang makin tinggi. Di organisasi-organisasi yang dulunya itu jarang attrition rate, misalnya di TNI atau PORI, oh sekarang masuk keluar. Di misalnya di Kementerian Luar Negeri yang mendidik diplomat-diplomat kita, zaman dulu zaman angkatan saya, itu angkatannya Bumenlu yang sekarang, enggak ada.

Orang itu masuk, berhenti, itu cuma dua pilihannya. Kalau tidak pensiun, ya waktu dipanggil yang maha kuasa, itu saja. Nah sekarang anak-anak muda dididik diplomat, ditaruh di New York, ditaruh di mana, dua tahun, pergi dia.

Enggak kerasan dia pergi saja. Dan sebagainya. Ini kenapa? Karena passion. Nah kalau kita tidak bisa meyakinkan orang di bawah kita yang kita pimpin itu cocok, passionnya maunya apa, ini yang dicapai organisasi ini akan makin lama makin pudar.

Itu yang saran saya. Karena generasi sekarang berubah. Ini yang mungkin saya bisa sharing untuk kalau masih.

Ini sepakat kan ya? Yang mahasiswa, ya sepakat kan? Mungkin dosen-dosennya ini yang enggak sepakat, memang agak kuno sih.

Sama dengan, nanti saya cerita dengan Pak Rektor. Anak saya dua perempuan, satu sudah menikah dua tahun lalu, yang satu belum tinggal di Eropa, yang satu. Yang sudah menikah ini saya tanya. Anak saya perempuan ya, jadi bukan anak saya yang laki gitu ya.

Anak saya yang perempuan. Saya tanya, kapan rencana mau punya anak? Tahu jawabannya apa anak saya?

You are not my husband. Jadi waktu saya tanya anak saya kapan mau punya, mau mengandung itu dijawab, lo kamu bukan suami saya kok tanya gitu kan. Betul kan Pak Bambang ya? Iya gitu.

Pak Bambang Irawan ini baru punya anaknya perempuan baru menikah, beliau umroh ya Pak ya? Umroh cerita saya, di sana beliau mendoakan supaya anaknya ini cepat-cepat punya anak. Diprotes sama anaknya, lo kan doa kok gak izin saya dulu. Itu ya, so the world has changed, then the new generation has changed a lot.

Ini yang akan menentukan trend ke depan, not us. lagi juga sudah selesai. Apakah hidupnya selesai atau karyanya selesai atau masa tugasnya juga selesai, itu menurut saya. Nah kalau enggak percaya nanti Pak Rektor enggak usah di sini, di sini enggak mau ngaku dia. Duduk sama Romo, saya lihat Romo-nya masih muda, coba lihat pandangannya segala macam terhadap organisasi kerja.

Kan pasti beda juga, menurut saya. Cuma enggak berani ngomong soal selibat pasti. Next.

Nomor dua itu apa yang dikatakan Jeff Bezos. Jeff Bezos ini mengatakan, if you are competitor focused, you have to wait until there is a competitor doing something. Being customer focused allows you to be more pioneering.

Ini yang menurut saya betul. Jeff Bezos ini pendiri Amazon. Jadi PT Post Indonesia, itu didirikan sebelum kakeknya Jeff Bezos lahir.

Sekarang bisnis PT Post Indonesia, not even 1%-nya Amazon di dunia. Gak ada. What is going on? What is wrong with PT.Pos?

Something must be very, very not according to the era. Menurut saya. Saya gak tahu ini salahnya dimana dan sebagainya.

Mungkin juga gak salah, tapi tidak sesuai dengan perkembangan zaman kalau kita lihat. Nah, ini yang dia ngomong. Fokusnya itu customer. Bukan fokusnya itu competitor. Saya juga percaya ini.

Kalau saya tidak percaya, saya diundang Pak Edi ngasih ceramah di sini, saya enggak mau. Kan saya ketua yayasan Universitas Katolik Widya Mandala. Walaupun kita ada aptik, kan kita juga berkompetisi. Betul kan? Kenapa saya mau di sini?

Enggak apa-apa. Saya sudah kasih tahu Pak Rektornya Widya Mandala. Saya mau ceramah di Parahyangan. Oh bagus Pak. Kenapa?

Kita ini enggak usah fokus bersaing dengan kompetitor, fokusnya itu customer maunya apa. Nah coba kalau bisa, makanya saya sarankan ke para hyangan juga, coba survei. Survei sederhana, dia dilakukan sendiri.

Ke sekolah-sekolah SMA dan sebagainya itu yang kelas 3, di random saja, maunya kalau jadi mahasiswa itu universitasnya kayak apa. Itu kan they are your customers. Zaman dimana mahasiswa itu tidak dianggap sebagai pelanggan atau sebagai customer, itu udah zaman dulu. Zaman saya sekolah, zamannya Pak Rektor, zaman kawan-kawan saya yang sudah pernah tugas ini, zamannya Pak Edy. Itu zaman itu.

Dimana kita lebih membutuhkan sekolah daripada sekolah membutuhkan kita. Tapi sekarang beda loh. Ya kan?

Beda. Makanya banyak sekolah itu, universitas yang ketakutan muridnya makin lama, mahasiswanya makin sedikit. Betul kan? Nah, ini yang terjadi. This is what happening.

Bahwa apa yang dikatakan Jeff Bezos ini, dan saya percaya juga betul. Ini saya cerita ya. Ini ada pak.

Bambang Irawan ini dulu Direktur Operasi, digantikan Pak Erlianto juga Direktur Operasi. Apri waktu itu belum masih muda sekali. Saya tanya waktu saya masuk kereta api, kenapa Argo Gede dan Parahyangan, KA Argo Gede, itu makin lama frekuensinya Jakarta-Bandung makin sedikit. Tahu jawabannya apa?

Ya karena dibuka jalan tol, dalam hati saya lo kamu itu lawan barang mati aja gak bisa menang, apalagi lawan barang hidup. Ini agak aneh juga nih teman-teman di kereta api. Saya bilang gak usah itu, kita perbaiki layanannya.

Naik banyak frekuensinya, betul gak? Mungkin dari waktu saya masuk itu, Argo Gede dan Parahiangan itu total mungkin cuma 4-5 frekuensi sehari. Tidak tahu, 8 KA mungkin ya. Pelang pergi ya.

Setelah saya pergi, mungkin jadi 20 KA kali. Sempat 32. Nah ini fokusnya itu melayani customer. Tidak fokusnya itu adalah. Kepada kompetitor, enggak ada sudah.

Makanya ini ibu-ibu ini, ibu menikah? Iya, oh belum. Ibu menikah? Jadi ibu kalau menikah fokusnya customer, suami.

Jangan fokusnya itu kepada kira-kira kompetitor saya siapa. Ya itu keliru, nanti ribut malah. Betul enggak, Tok? Gitu. Enggak, enggak, enggak enggak tanya.

Fokusnya itu customer. Kalau waktu itu kereta api itu saya tidak, dan kawan-kawan saya tidak mendorong untuk fokusnya itu pada pelayanan, peningkatan pelayanan customer, saya kira enggak ada kereta api hari ini. Menurut saya. Dan kalau ditugasi oleh pemerintah, ngurusin, neruskan pembangunan kereta-kereta selanjutnya, mungkin enggak tahan pasti.

Bangunnya bisa. Mengelolanya belum tentu. Itu, sama. Menikahnya bisa, ngurusin pernikahan panjang ini belum tentu bisa beres dan sebagainya. Ini makanya saya bilang, fokus on your customer, do not focus on your competitor.

Itu, makanya banyak kegiatan itu kalau fokusnya kompetitor pasti enggak tahan. Enggak tahan. Ini disebutkan ini. Ini tantangan kedua. Jadi tantangan yang pertama itu internals.

Passionnya orang-orang yang Anda pimpin apa. Yang kedua itu ini fokusnya. Next. Mengenai digitalisasi Capgemini Consulting, ini ada dua IT Consulting besar di dunia, satu Capgemini, satu Accenture. Ini besar sekali, besar sekali.

Kalau ini misalnya Accenture itu tercatat di perusahaan efek di New York, nilai perusahaannya kapital, nilai... Total nilai sahamnya ya, kapitalisasi pasarnya itu sekarang sudah turun banyak sih, tapi kira-kira mungkin Rp2.500 triliun atau Rp3.000 triliun, besar-besar, besar-besar, kira-kira 8 kalinya bank mandiri sih. Perusahaan konsultan itu bisa 8 kalinya bank mandiri, heran ya. Nah, Capgemini mengatakan the key to digital transformation is re-envisioning and driving change in how the company operates. That is a management and people challenge, not just a technology one.

Ini saya ulangi ya, kunci daripada transformasi digital itu adalah memberikan visi baru dan mendorong perubahan di organisasi itu, bagaimana dia beroperasi. Ini adalah tantangan manajemen dan tantangan sumber daya manusia, bukan hanya semata-mata tantangan teknologi. Makanya di banyak institusi kalau waktu mau digitalisasi langsung plug and play, menerapkan digitalisasi itu langsung, Tanpa menyesuaikan organisasinya, tanpa merubah mindset daripada organisasi itu, biasanya ambruk.

Kalau tidak ambruk waktu diterapkan, ambruk waktu pergantian pimpinan. Karena organisasinya enggak bisa terima. Nah teman-teman saya dan kawan-kawan saya di kereta api, dulu saya enggak ngomong sih ya, secara jelas begitu ya, mungkin sekali dua kali ngomong. Kenapa digitalisasi di kereta api Indonesia itu dijalankan mulai 2011, saya masuk 2009. Itu saya butuh waktu dua tahun untuk memberikan visi baru dan merubah caranya orang berpikir itu supaya bisa, ya pelan-pelan. Dulu ada yang namanya Balai Grafika.

Itu kepalanya perempuan ya, kepalanya dokter gigi ya, Sri ya. Nah, balai grafika itu orang kerja di sana enggak perlu digaji Pak Rektor. Wong nyetak kacis ya kan.

Lo nyetak kacis ini kalau di Jawa kacisnya berapa coba? Betul enggak? Itu bosnya belakang bapak itu ya. Eh benar, akhirnya... Ya harus bubar.

Tapi ini saya butuh waktu dua tahun lebih untuk merubah mindset, merubah organisasi. Oh saya berubah besar-besar. Struktur organisasi ini saya berubah besar-besar.

Termasuk Pak Chandri yang duduk belakangnya, Bapak Wakil Rektor itu. Dulu itu waktu saya masuk, beliau itu kodenya itu TJ Pak. TJ itu Kasudit Jalan Bangunan. Betul kan? Ini orang di jalan jembatan yang paling senior.

Saya pindahin jadi kepala daerah di Semarang, itu protes ya. Oh kok saya diturunkan gini, ya saya cuek aja gitu. Ya saya tahu, ya enggak happy gitu, ya enggak apa-apa gitu. Karena saya ingin ini berubah.

Kalau organisasinya tidak disiapkan dulu, mindsetnya tidak dirubah, kita plug and play langsung di digitalisasi, berantakan. Biasanya berantakan. Makanya kalau kita lihat ini saya enggak mengkritik ya, coba lihat misalnya. Dulu ada scanning paspor otomatis di terminal 2 Bandara Suta. Begitu ganti pemerintah, jalan gak barang ini?

Gak jalan. Gak jalan. Ini salah satu contoh.

Banyak yang gak jalan. Digitalisasi itu besar sekali investasinya. Ada yang jalan, ada yang jalan tapi lama-lama hilang. Kenapa? You don't change the mindset and you don't change the organization.

Ini tiga tantangan ini saya yang mau sharing kepada Bapak Ibu. This is the common challenges in many organizations in the world, even in the advanced country. Unilever Indonesia itu bagian daripada perubahan digitalisasi global yang disebut Kompas itu membutuhkan Waktu 2 tahun untuk sosialisasi, untuk merubah visi, merubah organisasi, retraining orang dan sebagainya supaya bisa menerapkan digitalisasi di bisnisnya dia. Unilever di situ butuh 2 tahun lebih loh, makanya mereka juga hire saya untuk ngasih masukan.

How we change the organisation dan sebagainya. Sekarang kalau semua sub distributor Unilever kalau penjualan tiap hari kalau mau pakai apps. Barangnya sudah kurang berapa tinggal dimasukin apps, itu masuk sampai all the way sampai supply chain sampai procurement bahan baku. Merubah ini, itu 600 pekerjaan hilang dari 6.500 orang. Nah ini yang di retraining.

Ya ada yang enggak mau sih, akhirnya enggak mau dipindah ya pensiun dini enggak sampai 100. Ada yang protes-protes, biasalah. Tidak semua orang bisa terima dan sebagainya. Tapi this is the thing.

You have to change the organization first and change the mindset. And change the people if needed. Next.

Saya cuma dua chapter saja, ini chapter kedua saya. Do we need a transformation for facing the above challenges? Jawabannya iya, mestinya. Kalau mau melakukan transformasi.

Nanti ada belakang sedikit, ada teori kuno. Next. Ini beberapa prinsip ya, tip saja.

Jadi, kan... Kalau tiga SKS kan bisa cerita pakai buku dan sebagainya. Ini kan saya gak ada waktunya.

Satu, ini yang dikatakan Marilyn Ferguson, transformation is a journey without a final destination. Kalau transformasi itu ya seumur hidup, terus Pak. Terus, transformasi itu terus. Dirubah tata caranya mengikuti zaman. Tidak ada satupun manusia yang bisa menahan zaman, enggak ada.

Enggak ada. Orang besar-besar seperti Napoleon, seperti Mao Zedong, dan seperti Adolf Hitler, segala macam akhirnya enggak bisa. Banyak yang enggak akan bisa. Ini faktanya gitu.

Berubah, zamannya berubah, ya mesti transformasi berubah. Ini prinsip pertama. Next. Prinsip kedua dari transformasi itu yang digatakan oleh Ivyani Inok Onuha ini adalah nothing gets transformed in your life until your mind is transformed.

Jadi transformasi itu merubah mindset. Bukan merubah apa yang secara fisik saja kelihatan, tapi harus merubah mindsetnya. Next.

Prinsip ketiga yang dikatakan Winston Churchill. To improve is to change, to be perfect is to change often. Gitu. Ya kalau enggak... Coba, teman-teman saya ini yang sekarang sudah pensiun, dulu waktu 35 tahun bekerja di kereta api, kalau kereta apinya enggak berubah, dia kalau pensiun ceritanya apa ke tetangganya?

Ya saya sudah pensiun, paling ya kalau dulu punya tabungan besar ya beli mobil, paling gitu aja kan. Enggak ada yang diceritakan, you don't leave a good legacy. Makanya yang dikatakan Winston Churchill ini betul. To improve is to change, to be perfect is to change often. Ya terus saja berubah mengikuti zaman.

Ya saya enggak bilang setelah saya enggak ada perubahan di kereta api. Oh banyak sekali. Apa yang dulu saya enggak pernah dilakukan terus diteruskan. Sampai hari ini dan mungkin satu hari akan terus berubah.

Next. Pak Rektor juga saya yakin dalam benaknya kalau satu hari Bapak diganti, pengganti Bapak, Bapak sangat mengharapkan pengganti Bapak akan membawa unika parahiangan, ini menjadi jauh lebih baik daripada yang pernah Bapak bawa. Betul kan?

Nah sama, saya juga. Memang agak beda Pakannya Pak, kalau di perusahaan-perusahaan negara itu tidak seperti UNPAR. UNPAR ini tiga calon semua berdoa supaya bukan dia. Kalau di banyak lembaga negara itu tiga calon, tiga calonnya berdoa supaya dia, yang tidak dicalon kan juga berdoa juga supaya dia. Itu aja bedanya.

Next. Ah sorry, balik lagi. Oke, real transformation requires real honesty.

If you want to move forward, get real with yourself. Ini sebenarnya modal besar. Kalau kita Bapak Ibu memimpin sebuah perubahan besar ya, itu dirinya sendiri itu mesti sungguh-sungguh. Mesti gak ada yang perfect.

Nobody is perfect. Gak bisa 100%. Nobody is perfect. Seorang imam pun seperti Romo. Juga kalau berdoa.

Pasti bagian dari doanya itu. Memohon ampun atas dosa-dosa. Betul ya Romo? Ini saya gak ngajarin.

Cuma cerita. Nobody is perfect. Tapi we have to be honest.

Kalau gak honest gak bisa. Menurut saya gak bisa. Next, itu prinsipnya.

Oke, ini last chapter tentang leadership. Kenapa saya bilang, saya mau sharing tip tentang leadership transformation ini, karena begini, transformasi itu berubahnya harus di drive dari atas. Itu harus top down.

Setelah kita surface, tapi drivernya itu dari atas. Kalau dari bawah ke atas, itu namanya revolusi. Beda. Ya, beda loh. Kalau kita mengharapkan perubahannya dari bawah ke atas, itu namanya revolusi.

Tidak ada transformasi yang berubah dari bawah. The first driver must come from the top and from the number one. Ini organisasi.

Ya dalam mungkin di parahyangan mungkin Pak Rektor kali ya. Kalau yayasan ini kan cuma ngurusin yang ya rapat-rapat lah. Ya fisik lah, investasi gitu-gitu kan. Makanya saya juga bisa jadi ketua yayasan universitas.

Kalau jadi rektor enggak bisa, sekolahnya kurang lah. Memangnya saya jadi ketua yayasan, tapi enggak direktor bisa saya. Rektornya Widya Mandala itu saya kenal waktu beliau masih muda. Waktu saya menikah 35 tahun yang lalu di kerja katolik di Surabaya, itu Miss Dinar di Misab di pemberkatan nikah itu rektornya Widya Mandala sekarang. Iya betul, saya bilang Pak Rektor masih ingin empat?

Enggak Pak, ya udah bagus ini ya kan. Enggak sangat takut tambah habis rambutnya. Next. Tentang leadership ya.

Warren Bennis ini mengatakan leadership is the capacity to translate vision into reality. Kepemimpinan itu adalah kapasitas untuk merubah visi itu menjadi kenyataan. Kalau kita mau jadi pemimpin, ini model pertama. Kalau ini kita enggak mampu, jangan jadi pemimpin.

Mungkin jadi on the sideline, jadi penasehat, jadi analis, kalau enggak mau lagi, endnya dihilangin, jadi pemimpin. Betul enggak? Tidak bisa, memimpin itu harus bisa merubah visi itu jadi kenyataan.

One way or another, apapun. Nanti Pak Rektor kalau sempat tanya Pak Edi dan yang lain-lain rekan-rekan saya ini, di kereta api itu yang sekolahnya tinggi-tinggi itu banyak, walaupun mayoritasnya sekolahnya rendah ya Pak Jokowi. Banyak yang sekolahnya tinggi-tinggi.

Cuma akhirnya saya selalu bilang, orang itu dipromosi karena prestasi, bukan karena kemampuan akademis, bukan juga karena kecerdasan. Menurut saya, lo kan enggak penting, you mau cerdas atau enggak, kalau enggak berprestasi gimana? Betul kan? Loh, ini sepakat enggak ini?

Sepakat. Ibu punya anak. Bikin anaknya sekolah enggak?

Enggak kan? Enggak. Saya juga. Enggak sadar loh kok jadi. Jadi yang penting itu kinerjanya apa, outputnya.

Bukan, wah teori begini-begini, enggak jalan. Waduh dulu banyak, saya enggak sebut nama saja teman-teman saya di kereta api, teman-teman kawan-kawan ini. Waduh enggak karuan-karuan teorinya beginilah begitu. Banyak dokter juga, enggak ada satupun dokter di kereta api yang sempat menjadi direksi sebelum pensiun.

Betul enggak? Enggak ada. Karena saya selalu bilang, orang sekolah itu karena enggak bisa belajar sendiri. Semakan gak ini? Semakan gak?

Nah tuh, mahasiswanya itu ngomong tuh Pak Rektor. Iya. Ada teknik informatika Pak? Ada?

Coba Mark Zuckerberg itu dulu sekolah selesai, enggak ada Facebook. Yang selesai sekolah sampai dokter, enggak bikin apa-apa. Ini kan fakta. Dulu orang bilang, oh Steve Jobs itu kebetulan. Terus siapa yang bikin Microsoft itu?

Bill Gates, orang bilang Bill Gates itu kebetulan. But some other younger people also did the same. Ada Jack Ma, ada Mark Zuckerberg, dan sebagainya. Dan banyak lagi.

2003, saya di training, ambil directorship program karena mandatori. Itu di Stanford University. Enggak saya cantumkan sih.

Waktu saya di Bahana dikirim oleh Menteri. Itu salah satu pembicaraan, salah satu speaker-nya itu perempuan. Dia waktu itu CEO-nya Morgan Stanley Asset Management. Waktu itu, in 2003, Morgan Stanley Asset Management itu mengelola uang yang hampir 1 triliun dolar.

It's big, 1 triliun dolar itu 7 APBN Republik Indonesia hari ini. Tahu gak dia ngomong apa? Saya 28 tahun yang lalu bergabung dengan Morgan Stanley, memulai karir saya sebagai resepsionis karena saya hanya sekolah SMA. Sampai satu hari dia menjadi CEO-nya Morgan Stanley Asset Management.

Ini tidak hanya terjadi di negara-negara pembangunan, terjadi di seluruh dunia. Jadi kalau yang bisa belajar sendiri gak usah sekolah ya. Nanti kalau...

Mau minta ijazah, minta saya saja. Next. Steve Jobs mengatakan, management is about persuading people to do things they do not want to do.

While leadership is about inspiring people to do things they never thought they could. Saya banyak terinspirasi juga oleh Steve Jobs, ini orang yang saya sangat, salah satu orang yang saya sangat kagumi, ini orang hebat sekali. It's an adopted child, ini kan anak yang diadopsi. dia sendiri gak pernah tahu orang tuanya siapa ini from third world countries baby gitu ya yang diadopted, orang tuanya juga pas-pasan, nabung mati-matian untuk nyekolahkan anak ini tahun pertama, tahun kedua gak mau minta keluar terus mau kerja sendiri dan sebagainya ini jadi Steve Jobs, jadi Apple sekarang beliau mengatakan manajemen itu tentang merayu lah ya, mempengaruhi, persuading people to do things they do not want to do.

Jadi manajemen itu adalah meyakinkan orang-orang untuk melakukan hal yang mereka enggak mau. Ya merayu itu persuading, persuading itu macam-macam, pakai peraturan, pakai paksaan, pakai ancaman, pakai instruksi. Tapi dia bilang kepemimpinan itu adalah tentang menginspirasi orang untuk melakukan sesuatu yang orang-orang itu enggak pernah berpikir dia itu bisa.

Kalau Bapak Ibu tanya rekan-rekan saya di kereta api yang terutama, ya ini hampir semua karir ini di sini. Pak Erlianto 35 tahun ya di kereta api ya, Pak Seno juga ya, Pak Chandra, Pak Joko, Pak Kursi masuknya hampir bareng saya, terus Pak Apri yang karir di kereta api, saya tanya dalam hatinya, saya yakin dalam hatinya mereka enggak pernah bayangkan kereta api itu berubah seperti sekarang. Kebeneran, this is the leadership.

Kita itu memberikan inspirasi supaya orang itu mau melakukan yang dia itu enggak pernah pikir dia itu bisa. Ini menurut saya model dari kalau mau. pemimpin melakukan transformasi ini, you have to inspire people supaya mereka itu sadar, oh ternyata saya bisa.

Ya kayak guru lah, kayak guru. Guru itu kan senang kalau memberikan inspirasi ternyata muridnya juga sadar bahwa dia itu bisa melakukan ini. Next.

Mungkin ini tip saya terakhir itu. Transfer. Nanti bisa dicek ya, nama ini siapa, melakukan apa gitu ya.

Ini bukan tulisan saya. Transformational leaders do not start by denying the world around them. Instead they describe a future they would like to create.

Jadi, Kak, ini tips saya terakhir. Kalau Bapak Ibu mau melakukan transformasi itu, jangan mulai mengkritik organisasi atau lingkungan atau orang yang Anda pimpin. Kalau makin lama itu makin mengeluh, orang saya itu kurang pendidikan, ini enggak bisa, ini anggaranya kurang.

Sekarang, saya ingin mengucapkan kepada Anda, Sekarang enggak bisa memimpin perubahan. Menurut saya omong kosong. Dulu waktu saya, terus terang waktu saya tugasnya kereta api, kalau saya itu saatnya mulai mengeluh, orang saya ini enggak berpendidikan, gini semua nakal-nakal, enggak benar, mau, enggak akan berubah kereta api. Kalau mau ngomong itu pasti dalam hati atau di lingkungan yang sangat amat terbatas.

Kalau enggak, enggak bisa berubah. Oh saya masuk kereta api itu, kantor pusatnya kereta api, tempatnya direksi itu, saya sampai kaget-kaget dari pertama datang itu. Yang bagus itu hanya seksian. Gedung yang ditempati direksi, oh yang lainnya itu kayak gudang hantu.

Itu benar? Iya. Terus lihat Pak Rono, tahu ya Pak.

Saya waktu masuk mobil pertama itu lihat Pak Rono ngerokok dengan yang dulu kaposkumnya yang kecil-kecil Pak. Saya bambang ya. Itu ngerokok berdua gitu. Wah ini sopirnya siapa?

Oh ternyata bukan sopir. Iya, gitu. Kok bentuknya sama ya saya bilang.

Wah ini bahaya ini organisasi ini. Kan very deceiving. Nah ini, ya. So don't start dengan mengeluh. Kita perbaiki aja.

Sebisa kita. Nanti lama-lama kan pasti berubah. Tapi kita mesti kasih contoh.

Next. Ini sedikit teori yang selalu saya pakai, saya menjadi kepala empat lembaga, dua BUMN dan dua kementerian, ini selalu saya pakai sih. Memang kalau saya diperhubungan sih enggak banyak sih berubah karena saya ditugaskan cuma 21 bulan.

Ini bukan protes sih, saya cuma cerita. Tapi saya diperhubungan 21 bulan yang kelihatan bagi masyarakat apa? enggak ada calo di bandara.

Zaman saya masuk kan masih ada calo. Sekarang enggak ada, walaupun bandara kecil. Enggak ada sudah calonya. Dulu saya masuk, semua bilang enggak bisa Pak, calo ini begini. Buktinya bisa.

Di kereta api dulu kalau calo itu kan bagian daripada organisasi. Belum benar. Setorannya Apri, setorannya dia ini semua ini. Anak-anak ops ini.

Oke, John Kotter ini bisa di-download nanti, mestinya gratis karena sudah artikel yang tua. Jadi saya selalu percaya ini John Kotter nulis di artikel Leading Change, Why Transformation Average Failed. Ini Harvard Business Review Maret-April 1995. nulis delapan step untuk merubah organisasi Anda. Satu itu establishing the sense of urgency. Ini semua ngerti.

Pemimpin itu mesti menjelaskan, ini kita harus berubah dan sebagainya. Ini gampang. Semua bisa ngomong ini.

Apalagi kalau ngomongnya di sini, Pak. Orang yang ngomong di sini ini biasanya pidatonya ada yang buatin, Pak. Makanya saya enggak mau di sini karena saya buat sendiri.

Yang kedua itu forming a powerful guiding coalition. Nah ini menurut saya mulai penting. Kalau mau transformasi itu minta dukungan semua stakeholder.

The most important stakeholder itu apa? Itu customer. Nah kalau unika parahyangan sebaiknya minta dukungan siapa? Ya student body.

Minta dukungan. Ini kalau kita mau berbagi ini, ya dukung juga. Kalau mereka enggak mau, kan jadi rusak nanti.

Atau tidak terlalu efektif, dan sebagainya. Juga kalau di badan usaha milik negara itu, minta dukungan aparat penegak hukum, pemegang saham, macam-macam sudah. Tapi kalau universitas, saya kira, more simple, simpler one.

Tapi mesti minta dukungan stakeholder. Yang ketiga, menciptakan visi. Kalau menciptakan visi ini gampang. Jadi ini enggak penting-penting banget. Jadi anda jangan pikir orang menciptakan visi.

Tentang visi itu harus sekolah tinggi. Enggak usah. Pokoknya enggak buta huru pasti bisa. Visi itu kayak mimpi kok.

Belum tentu juga bisa dijalankan. Nanti kalau enggak dijalankan. Enggak bisa visinya terrealisir. Wah ini kurang ini.

Enggak ada. Visi itu kalau enggak bisa terrealisir ya. Yang bikin visi yang ngawur.

Menurut saya itu. Nah yang keempat ini. yang mulai susah. How you communicate the vision? Komunikasi itu caranya macam-macam sih.

Makanya dulu saya pikir dari banyak pimpinan kereta api, mungkin saya salah satu yang paling banyak berkomunikasi dengan stakeholder saya dan juga dengan orang-orang yang saya pimpin. Mengkomunikasikan visi ini kalau enggak bisa, berat. Yang kelima, bisalah. Ini kan delegasi kewenangan. Empowering others to act the vision.

Yang nomor enam, Nah ini agak susah, planning for and creating short-term wins. Ini tulisannya sederhana gini tapi menjalannya susah menurut saya. Planning for and creating short-term wins.

Coba saya tanya dari ruangan ini. Yang pelari maraton siapa? Termasuk adik-adik mahasiswa.

Coba angkat tangan. Kalau yang depan modelnya pasti bukan. Mana? Ibu ya?

Satu. Ibu pelari maraton? Oh bukan. Ya. Bapak ya?

Satu. Bapak dosen atau? Oke, ya lo terus berharapnya apa?

Oke, ya. Orang itu, coba saya interaksi sama Bapak ya, gitu saya tanya. Orang lari maraton itu karena kekuatan fisik atau mental? Oke, saya sepakat.

Saya waktu muda saya juga lari maraton. dan merokok. Karena larinya pakai lutut, merokoknya pakai mulut.

Jadi dua hal ini beda, tidak ada hubungannya. Agak jauh lutut dengan mulut. Orang mampu lari 42 kilo is not the physical strength, is the endurance of the The passion, gak bisa.

Kalau organisasi kita itu tidak banyak yang mampu lari maraton, itu berarti organisasi kita itu terdiri dari manusia-manusia yang pikirannya juga pendek, gak mampu panjang dia, karena kesabarannya juga pendek sekali. Akibatnya apa? Kalau bapak mau transformasinya, bapak ibu mau transformasinya berhasil, apa yang anda harus lakukan adalah Membuat program atau membuat goal yang pendek-pendek dan bisa dimengerti. Makanya waktu saya mulai masuk kereta api, salah satunya yang target utama itu bikin apa? Toilet di stasiun harus bersih ya Pak Jokowi.

Semua senior saya bilang, ini diirut kok malah ngurusin toilet. Loh, saya selalu ngomong. Toilet itu adalah salah satu simbol besar peradaban manusia modern.

Manusia itu kalau tidak modern tidak menggunakan kereta api dan tidak ke toilet. Buang airnya di pinggir jalan. Nah, kalau kereta api enggak bisa membersihkan toilet, yang lain menurut saya omong kosong. Ngomong kosong sudah enggak ada lah. Oh bersihkan toilet itu paling gampang kok.

Wah semua protes. Semua protes. Kepala stasiun saya yang besar-besar semua bilang enggak bisa.

Buktinya sekarang bisa. Ayo. Kan ini fakta.

Nah dengan ini bisa. Nah satu-satu diperbaiki. Tapi ini juga dalam proses meyakinkan orang-orang yang kita pimpin ini.

Oh ternyata ini bisa. Jadi short term aja. Yang dia tahu Anda bisa ngukur, saya juga bisa ngukur.

Kalau Bapak mimpin orang yang sangat fragmented, latar belakangnya dan pendidikannya, seperti di kereta api, yang lulusan SD hampir 10 ribu waktu saya masuk, betul ya Pak Jokowi? Bayangin, lulusan SD saya cerita ini ngerti enggak? Enggak ngerti, disuruh ikut paket belajar, enggak mungkin mau.

Kalau lulusan SD umur 19 bisa ikut paket belajar, kalau lulusan SD umur 45 giginya sudah hilang separuh, coba suruh apa? Betul gak Pri? Paling tempeleng pasti, cuma itu aja.

Nah ini pak, makanya banyak transformasi itu gagal dan tidak berkelanjutan. Karena you don't set the small target one by one. set ini orang itu punya confidence di bawah. Yang target waktu itu saya lakukan apa? Penerangan di peron.

Peron itu selalu suram. Sudah orang-orang kereta api itu kulitnya gelap, peronnya suram. saya itu juga bingung. Lo coba lihat kulitnya gelap gak coba? Yang kulitnya terang ini pasti bukan karir kreator AB.

Lo enggak percaya. Lo benar pak, coba lihat mulai situ. Lo benar. Ini juga, ini bukan karir, itu belakang bapak. Ini padahal istrinya masih muda, masih gelap gini pak.

Iya dan sebagainya. Nah, ini apa? Yang kedua apa? Penerangan di peron. Wah, debat sama anak-anak teknik.

Begini lalu main lah. Gak usah saya bilang yang gampang. Mana petugas stasiun itu sekolahnya SD, SMP itu dijelaskan soal lumen itu juga sama-sama bingungnya.

Lo betul gak Pak Chandra? Udah saya bilang gini aja, kamu ambil koran baca di bawah lampu ini setelah maghrib, kamu kelihatan gak? Kalau gak kebaca berarti kurang terang, kan gampang. You set up simple target and simple measurement that is totally fully understood by organization. Nah itu, mesti begitu.

Jadi jangan bikin, kan pemimpin itu enggak perlu kelihatan sophisticated, enggak perlu kan. Orang juga tahu bosnya kok, enggak perlu, masa masih mau membuktikan lagi, saya ini lebih cerdas jari kan, enggak penting kan. Udah tahu kok bosnya kok.

Just show the things that they can understand. Itu menurut saya. Nah kalau nomor 6 bisa, nomor 7, nomor 8 pasti bisa. Mengkonsolidasikan improvement, terus perubahan dan sebagainya.

Orang pernah waktu saya ngasih ceramah di di kepolisian kali ya, di Mabus Bauri, ada yang tanya, waktu Bapak masuk kereta api, Bapak yakin enggak Bapak bisa bawa kereta api itu berubah pelayanan kayak begini? Saya bilang enggak. Siapa yang meyakinkan Bapak? Enggak ada. Kenapa Bapak bisa?

Karena orang-orang saya akhirnya juga mau berubah. Ya cuma itu. Jadi 7-8 ini menurut saya omong kosong kalau 6-nya ini enggak bisa.

1-8 menurut saya yang paling menjadi tantangan semua orang itu nomor 6. Karena banyak pemimpin punya kecenderungan itu ingin menunjukkan dia itu hebat. Lu enggak penting, lu sudah nomor 1 kok. Iya kan? Kalau udah nomor 1 itu mau bodoh enggak bodoh ya lu nomor 1. Gitu. Itu, next.

Terima kasih. Give me one minute. Ini foto yang saya ambil dengan handphone saya yang tadi buat saya foto-foto Pak Edi tadi itu, di tengah kota London bulan Agustus tahun 2021. Ini foto yang sekarang kalau saya sharing saya pasti tampilkan dan saya kagum sekali dengan foto ini. Kenapa?

Coba Anda lihat ya foto ini baik-baik. Ini foto sebuah mobil merek VW yang sedang melakukan isi ulang listrik untuk baterainya, betul kan? Ini sebesar Hyundai Ioniq di Indonesia.

Yang punya saya tanya, ini chargingnya berapa lama? Sekitar 2 jam. Berarti bukan fast charging yang super fast yang 30 menit, bukan. Saya foto, saya bawa ke balai kota di South Kensington. Balai kotanya itu di Kings Road.

Saya tanya, foto ini saya bawa, pakai handphone saya itu saya tanya. Tiang penerangan jalan yang digunakan untuk charging ini dibangun tahun berapa? Tahu enggak dia ngomong apa? Post World War II. Setelah Perang Dunia Kedua, terus saya tanya, ya tahun berapa?

Ya mungkin tahun 50, tahun 60. Jadi lebih tua dari Pak Rektor, lebih tua dari saya, lebih tua dari Pak Edy. Coba bayangkan, Inggris itu... Membuat ekosistem, mengadopsi ekosistem kendaraan listrik itu dengan sangat efisien. Cuma merekayasa sedikit yang penerangan jalan ini supaya bisa untuk charging listrik, mobil listrik. Kalau kita akan ribut SPKL dan sebagainya, ributnya setengah mati.

Makanya Pak Edi ini kan 29 tahun di PLN. Dia kalau ditanya, Bapak orang PLN? Bukan, bukan.

Ini coba ini. Benar, saya dari kereta api. This is the thing. Message-nya itu cuma dua di foto ini.

Satu itu be efficient. Dua itu be logic. Enggak usah investasi yang enggak perlu itu enggak usah.

Kalau mau perubahan dan sebagainya. Coba lihat ini, hebat kan? Wah saya itu lihat ini sampai kagum-kagumnya luar biasa. Enggak ada yang model baru SPKU. Ini loh, coba bapak lihat.

This is the real picture. Terima kasih.