Jadi barang siapa yang mengklaim bahwa kebenaran hanya dari dia, itu adalah salah satu kriteria untuk orang mulai berjaga-jaga. Yes, saya bisa mengatakan itu salah satu indikator yang utama. Oke. Ada kompleksiti lagi di agama, karena versitizinya human.
Kalau versitizinya knowledge, itu kita bisa katakan retensi truthnya bisa panjang. Kita menemukan matematika sekarang, satu juta tahun lagi nggak berubah nih. Mudah-mudahan.
Teoram. Kalau teoram jarang berubah. Kalau math ya, kalau teoram.
Kalau fisika dan yang lainnya oke lah. Lebih cepat perkembangannya. Kalau human, kasih 10 tahun, 30 tahun ini berubah nih.
Value-nya, situasinya, kondisinya. Sehingga sepemahaman jadi agama pun dikatakan bahwa setiap nabi itu punya modal sesuai dengan zamannya. Pada zaman musik, nabinya pintar musik. Pada zamannya sastra, nabinya pintar sastra.
Pada zaman yang dipandang tinggi di sosial itu, apa modal dia itu? Artinya terus itu juga harus ikut berjoget dengan dinamisnya sosial ini. Dia harus menelisip di antara, apa namanya, goyangan ombak. Halo teman-teman, saya sangat termotivasi untuk diskusi dengan tamu saya pada hari ini.
Mas Sabrang Mowodamar Tanuluh. Saya udah kenal lama sebenarnya sama Mas Sabrang. Mas Sabrang itu menurut saya ya, sangat interdisiplinarian dalam berpikir, santun dalam bertutur, dan polemis dalam berkata-kata. Polemis, oke. Oke, ini kita mau bicara banyak hari ini.
Terima kasih sudah bergabung dalam Chronicles. Mas Sabrang, selamat datang. Terima kasih, sudah.
Diundang. Dengan senang hati. Saya terakhir ketemu Mas Sabrang itu di acara Penduri Cinta.
Jadi kira-kira 2-3 bulan yang lalu. Saya mesti confess sedikit. Sebenarnya saya sangat terintimidasi hadir disitu. Dan salah satu, kalau bukan satu-satunya, ruang dialog yang sangat beda dengan yang saya rasakan setiap hari. Karena biasanya kan saya di kelas.
Jadi disitu yang saya temukan itu adalah, orang bisa duduk sampai 3, 4, bahkan 5 jam. Waktu itu saya sampai lebih dari tengah malam. Ribuan orang duduk bersila. Ngapain mereka ada disitu kok gak di ruang kelas gitu.
Ya kan. Nah saya mau bahas sedikit sebelum kita ke arah situ. Tentang pemikiran Mas Sabrang.
Mas Sabrang adalah orang yang paham tentang materialisme. Punya latar belakang pendidikan di bidang matematik. yang sangat dekat dengan hati saya juga. Tapi seperti yang saya saksikan di Kenduri Cinta, Masa Berang itu mengasus sebuah komunitas yang bukan hanya orang matematik, tapi orang yang bisa berselancar dalam ruangan filosofis, dalam ruangan religi, dalam ruangan seni. Ada di situ ada kesenian display juga di situ.
Yang saya mau tahu dalam pemikiran Masa Berang itu, pengalaman Masa Berang di bidang matematik itu. Itu direkonsiliasi dengan beragam pola pikir yang lain itu gimana mekanismenya? Apakah saling meng-undermine each other atau bahkan memperkuat message masyarakat?
Karena yang pasti unik. Sepertinya akan jadi masalah sakit jiwa ya kalau dia punya belief yang berlawanan. Satu orang punya belief yang berlawanan dan gak bisa rekonsiliasi dalam kepalanya. Tapi pasti ada cara untuk harmonizingnya itu.
Tadi pertanyaannya gimana saya bisa manage beberapa bidang ilmu yang berbeda itu. Mungkin analoginya pakai bidang yang berbeda lagi nih. Analoginya pakai musik aja nih. Lebih enak analogi pakai musik.
Kalau di musik itu instrumen yang bermain sangat banyak. Tapi gak semua take our attention. Kalau ada vokal, ada suaranya, kita attentionnya ke vokalnya. nyanyinya seperti apa. Ketika gak ada vokalnya mungkin kita atensinya ke gitarnya yang main apa.
Tapi semua jalan pada backbeat yang sama. Artinya, kalau kita di depan orang, semua mamah saya, itu ada yang di front sebagai main man-nya. Tapi ada backbeat di belakangnya. Misalnya kalau di penurus cinta, saya tentu tidak akan ngomong tentang collage konjektur. Karena gak mungkin.
Itu forum yang salah untuk itu. Tapi itu jadi backbeat di belakang. Bahwa Semua yang saya katakan itu pada disiplin matematika yang rigid terhadap ngomong terus atau tidak, deduksinya gimana, itu tidak akan kelihatan pakai bahasa matematika. Tapi disiplin itu tetap dipakai dalam berbicara kan jadinya gitu.
Jadi banyak level yang bisa dipakai di bidang ilmu yang berbeda. Gak pernah ada apparent dichotomy gitu. Misalnya ada mungkin salah satu loud competing argument di dalam masyarakat yang bilang bahwa kalau Anda berpikir secara matematis itu artinya Anda berpikir secara logis. Kalau berpikir secara logis artinya gak mungkin dimasukkan unsur-unsur spiritual dan filosofis.
Karena gak mungkin kan. Organnya main kunci G, gitarnya main kunci F. Ya gini juga, mungkin pakai gini.
Kita memandang matematika kalau kita memandangnya dengan low resolution. Kita akan punya pandangan seperti itu bahwa itu dikotomis. Tapi kalau kita ngomong high resolution sedikit.
Setiap ilmu itu pasti ada yang tingkat terusnya tinggi. Oke. Nanti sampai sebuah titik tertentu dia tidak bisa memakai.
Tingkat terus seperti itu. Misalnya, contohnya kalau matematika. Kita membahas tentang infinite.
Itu cara berpikirnya pakai logic order 2. Sama sekali berbeda dengan kita ngomong tentang alculus. Itu cara berpikirnya, frameworknya beda. Kita udah gak ngomong angka, kita ngomong set udah nih. Artinya itu degree of truth-nya juga berbeda.
Ini truth by inference sama truth by observing kan sama sekali berbeda itu. agama, sains, matematika itu secara vertikal punya degree seperti itu nih oh dan maksudnya ada hierarchy of truth dimana salah satu yang diri mungkin bukan hierarchy of truth ya ini susah nih ngomongnya nih ini level of abstraksinya mungkin itu lebih bener ya level of abstraksi misalnya kita ngomong gimana ya kalau pakai contoh matematika 2 tambah 4, 6 itu hard fact loh tapi kalau kita ngomong gimana Bilangan prima murni berhubungan dengan intersection nya dengan bilangan prima yang kembar misalnya gitu. Itu kita karena kita ngomong set infinite.
Twin prime conjecture. Twin prime conjecture misalnya. Kita gak bisa ngomong bahwa pasti ini seperti 2 tambah 4 sama dengan 6 loh. Karena ada area yang kita benar-benar tidak tahu.
Kita kan. Ada kasusnya di 9 triliun berapa dan seterusnya itu. Kita reach truth itu bukan by observing 2 tambah 4 sama dengan 6. Oke. Kita by rule nih.
Inference. Rules of inference. Formal logic.
Formal logicnya. By rule of inference nih. Tapi artinya kan kemudian kita reach truth itu dengan cara yang sama sekali berbeda nih.
Ini jadi artinya ada satu titik tertentu dimana kita bisa menyatukan beberapa bidang ilmu yang berbeda. Pada level abstraksi yang berbeda. Karena kalau mainly di agama itu terusnya by inference. Yes, apologetic seperti itu. Ya, ya.
Terusnya by inference. Itu bisa kita sambungkan sedemikian rupa. Oke.
Dengan gini-gini juga. Kalau matematika atau sains dengan, kalau matematika dengan fisika kita bisa ngomong itu dalam satu keluarga narasi of science. Science narration.
Kalau agama ini sama sekali narration of beda. Yang berbeda. Ini dia tidak bisa dimasukkan dalam narasi.
Bahkan bukan bidang ilmu. Saya gak selesai bahwa itu bidang ilmu. Itu sudah narasi.
Life narration yang berbeda. Setiap life narration itu kan punya kriterionnya sendiri, punya cara berpikirnya sendiri, punya set of rule-nya sendiri. Ini kalau ditabrakan, pasti tabrakan. Pasti tabrakan. Tempat mereka bertemu, itu kan pada...
Experience. Kalau agama yang saya ketemu di dua-duanya. Itu tempat ketemunya di utilitarian. Oke dua-duanya punya berguna.
Seberapa pentingnya dari sebuah rumus fisika. Itu seberapa berguna di dalam human life misalnya gitu lah. Oke. Kalau agama dalam Islam.
Hoironas and Fahumlinas. Orang yang paling baik adalah orang yang banyak manfaatnya. Oke itu satu titik yang. Dua narasi itu sama-sama bertemu misalnya gitu. Oke.
Itu gitu. Apakah kalau saya boleh simpulkan sedikit. Jadi apakah kebenaran atau truth baik matematikal truth atau religious truth. Menurut Mas Sabrang adalah yang punya guna dalam konteks praktis. Kayak Darwinian way of thinking seperti itu.
Tidak benar. Karena truth beda dengan right. Bahasa Indonesia kita cuma.
punya benar dan menurutku semua narasi itu gak sampai terus semua narasi sampai right according to kriterion yang dia miliki karena kalau right tidak bisa berbeda sendiri Bahasa Indonesia limit, kita gak bisa bedain benar sama kebenaran itu agak kalau bahasa Inggris right sama truth kan truth gak butuh sandaran lain untuk menjadi truth as is, truth ya truth selesai tapi kalau right itu according to what pasti ada tempat sandarannya kalau right itu sementara semua narasi itu pasti punya kriterion untuk dia bisa bikin narasi untuk membuat narasinya menjadi konsisten dia harus punya kriterian ya Kalau sains sebenarnya falsiability Itu salah satu kriterion untuk bisa masuk ke Narasi dari sains Itu kemudian Kalau apakah sains terus Itu punya hak yang sama Si agama dengan set kriteriannya Untuk ngomong terus Tapi dua-duanya pasti epistemologis Interpretatif Karena terus sendiri itu ontologis Yang ada human Atau tidak ada human Truth is truth Understand? Gimanapun cara kita understandingnya. Truth is truth. Jadi menurut saya memang level abstraksinya berbeda. Kalau narasi itu tidak akan sampai pernah terus.
Itu yang di frame kepala ku. Whatever narration is. Narration of life.
Betul memang terutama yang di diskusi-diskusi populer kelihatannya mereka punya their way of knowing the truth. Different epistemology. Tapi ada mas domain-domain yang kelihatannya mereka tuh saling atau setidaknya hampir bersinggungan.
Saya dapati ketika orang mulai bicara tentang consciousness, tentang free will. Itu kelihatannya ada dua competing avenue towards truth. Yang kalau diturusin akan bersinggungan. Jadi misalnya, oke take math, mathematics ya.
Ada sebuah... theorem namanya Goddard's Incompleteness Theorem. Ini mungkin sangat sulit diajawantakan apalagi dalam waktu 30 detik gitu ya. Tapi intinya begini kan tadi kita bicara tentang matematik yang secara formal itu dapat membuktikan sesuatu lewat rules of inference. Jadi berdasarkan aksiom.
Jadi misalnya A tambah B sama dengan B tambah A. Itu bisa dibuktikan yang B di sebelah kanan putar ke kiri B nya di cancel A sama dengan A maka A tambah B sama dengan A. Itu kan deductive reasoning. Jadi si Godel ini bilang bahwa ada kebenaran yang kita bisa akses karena kita manusia. Tapi formal mechanism seperti tadi kita membuktikan A tambah B sama dengan B tambah A itu tidak bisa buktikan.
Dan Godel ini tentu kompleks dia pakai Godel numbering segala macam. Jadi seperti itu. Dan kemudian Alan Turing buat conceptual computer namanya Turing Machine membuktikan hal itu.
Kemudian Roger Penrose juga bilang bahwa ya memang consciousness yang bisa mengakses kebenaran seperti itu tuh tidak semuanya bisa diakses oleh formal mathematics. Nah itu kan sangat bersingkungan dengan. Jangan dengan agama. Coba kita kali Godel numbering. completeness tadi, Godel incompleteness pada sistem yang cukup kompleks kamu harus punya pilihan nih kan gitu kata Godel kan sistemmu mau incomplete atau sistemmu inconsistent choice-nya kan itu kan kalau kita mau semua truth, sistemmu tidak akan konsisten kalau kamu mau konsisten ya gak akan complete coba lihat, kita pelajari semua contoh yang dikasih Godel tentang untuk proofing Incompleteness nya Semua self referential Semuanya self referential Selalu Apa namanya Ya Aku Kalau aku biasanya jelasinnya Pakai ini Pakai Kapur Pakai kartu Sudah nyatanya Pakai kartu Say Say Say Di kartu kita tulis Semua kartu tertutup Dan kartunya kita tutup semua Oke Ini truth yang gak Mungkin bisa kita prove Tanpa kita break truth itu Oke.
Karena kita buka, bener tulisannya karena itu tertutup, tapi fail. Kemudian semua. Kan dia bisa mengalami paradoks itu karena self-referensial terhadap dirinya sendiri. Interestingly, di agama pun ngomong pentingnya self-referensial. Kalau di agama Islam, kebetulan saya terekspos Islam agak banyak.
Jadi ada kalimat yang namanya Man Arafan of Sahur Fakat Arafarobahu. Siapa yang mengenal dirinya maka mengenal Tuhannya. Ya.
Self-referential itu. Apa? Karena dia cerminan Tuhan itu sendiri. Why-nya ini to be debated nih kemudian.
Tapi kalimatnya adalah siapa yang mengenal dirinya. Karena kita punya untuk statements yang begitu profound. Kita kan harus senggali nih yang dimaksud diri itu apa sih.
Maksud mengenal nih apa sih. Ini breakdownnya ya bakal panjang lagi nih. Tapi yang menarik disini adalah ketemu bahwa self-referential itu punya accessible terhadap outside the system.
Kalau si Godel tadi ngomong self-referential itu menunjukkan incompleteness. ada di luar dari dirimu yang kamu nambah aksiom baru pun akan muncul lagi incompleteness, itu gak akan bisa terhalangi, di human juga gitu kalau justru kamu the depth of self, itu yang bisa mengenalkanmu kepada yang unknowable itu kan paradoxical yang menarik yang muncul di sebuah di dua narasi yang berbeda tapi punya hint terhadap mekanisme yang sama, iya tapi tapi poinnya apakah juga Bahwa mengingat adanya batasan. Paradox itu sendiri. Saya bisa menganggap itu sebagai batasan. Untuk paradox.
By definition hal yang tidak kita bisa mengerti. Kayak misalnya kartu tertutup tadi. Itu sebuah alasan. Bahwa kita mungkin harus sedikit rendah hati.
Ketika mengakses sebuah kebenaran. Dari satu disiplin tertentu. Sure. Itu output yang bagus dari sebuah kondisi.
Menurutku dari sebuah kondisi kita bisa merespon dengan banyak hal. Boleh, sangat baik kita kemudian menjadi rendah hati. Itu kemudian membakar orang gak terima jadi pengen lebih tahu. It's okay juga.
Karena itu jadi membuka something, dia punya semangat itu membuka lebih. Artinya kalau agama sendiri, kalau sains sendiri kan punya bahasanya apa ya? Kalau bahasa agamanya itu giro.
Giro itu... semangat, passion untuk open things, new things kan gitu untuk knowing more gitu, itu kalau di sains sepertinya intrinsically memang mesinnya itu salah satunya walaupun gak tau sekarang ya karena sepemahaman gue iya tentu ada politiknya iya iya oke oke oke kita you know chi satu mas yang ngetik enterprise of knowing the unknown itu kan harusnya the business of science kita gak lari kesitu ya tapi Kemudian kalau agama ini ngambilnya dari sisi lain. Iya.
Karena kalau mau jujur, eh, saya urutnya gimana. Oke, ini dulu. Kalau agama kan ngomongnya, kamu ada limit lu. Kamu pun nyari pun, pasti ada limit lu.
Oke. Jadi diambilnya dari titik luar approach-nya. Karena saya gak nganggap itu paradoks, karena kalau mau ngeliat awalnya endeavor of science, itu juga datang dari dunia Islam. Some of them.
Yang mana ya oke lah maksudnya itu kita punya konsolidasi tentang algebra, konsolidasi tentang angka. Iya kan ini selalu datang dari dunia Islam. Yang pengen ku point out begini, dunia Islam, dunia Islam agama sendiri sebenarnya sama sekali tidak melarang untuk eksplorasi sejauh mungkin. Bahkan dari kitab suci ngomong pake semua otakmu, pake semua akalmu, ditantang nih yang Tuhan punya kalau kamu bisa nih.
Itu sangat menarik. Saya sangat suka salah satu sebutan Tuhan dalam, correct me if I'm wrong ya, dalam agama Islam yang salah satunya adalah yang hak, yang al-hak. Tadi kan kita bicara rights and truth. Hak itu artinya true, truth. Jadi sebenarnya kata yang merandasi bahasa Inggris yang rights artinya hak saya gitu.
Hak, hak saya gitu. Tapi juga artinya bahwa Tuhan itu adalah yang bisa dimengercis. dimengerti secara naturalismik jadi bahwa percaya kepada Tuhan yang hak itu juga membuka pintu untuk ilmu pengetahuan oh iya iya iya pintunya udah dibuka tadi dibilang tentang algebra dan dunia islam ya memang salah satu yang sangat pivotal dalam pembentukan cubic equation solution Omar Khayyam itu sangat prominent tanpanya tidak mungkin algebra bisa dipisahkan dari ini Geometri.
Islam sendiri juga ngomong. Kamu Tuhan gak paham gak? Pelajari ciptaannya aja.
Kelihatan ciptaannya. Itu. Kejauhantahnya adalah kemudian sains.
Karena pelajari ciptaannya kan itu endeavor of sains. Sehingga kalimat saya sering dimarahin. Ketika saya ngomong. Sains adalah anak yang dibuang oleh dunia Islam. Yang kemudian ketika dibesarkan oleh orang lain.
Kamu marah-marah. Dan kamu anggap musuh Apa yang terjadi? Karena memang kita lihat dari Sekitaran abad ke-12 Al-Ghazali mungkin yang terakhir yang prominent.
Itu seakan-akan ada fakul. Sehingga tadi mas bilang jadi anak hilang gitu. Apa yang terjadi mas?
Saya tentu bukan orang yang punya otoritas ngomong ini. Karena saya tidak sangat, saya tidak fluent di sejarah Islam. Tapi saya punya beberapa hipotesis. Oke. Hipotesis pertamanya ketika pembakaran Irak.
Mana itu apa namanya dulu? Iya di Irak. yang kita sebut sebagai tragedi sains ketika harga diri dari ilmu pengetahuan sudah hilang terus kemudian Islam pada posisi terancam untuk hilang harus mempertahankan something nih yang dipertahankan adalah dogmatis dari sikih kemudian rule of life-nya aja yang dipertahankan minimal paling gak bukan tentang eksplorasinya Mungkin ada sisi lain yang lebih sinikal, menurut lagi teori ya, karena persatuan yang gak ada kan, dengan yang bilang persatuan scientist. Iya, serikat antara profesor. Serikat pemikir kan gak ada.
Asosiasi dosen ada. Tapi gak tahu. Tapi jika kawinnya sama politik adalah, ketika orang free mind-nya, pikirannya dia gak bisa dikumpulkan untuk menjadi kekuatan politik lebih mudah untuk diberikan identitas yang kamu bisa adopt dan bisa di convert menjadi kekuatan politik itu juga possible itu tapi lagi-lagi saya bukan gak punya prioritas untuk ngomong disitu secara detail dan definitif isu-isu mana memang ini nakib alatas salah satu sekolah malaysian based tapi bicara tentang apa yang terjadi dalam konteks pergerakan dunia Islam memang bilang ada sesuatu yang hilang dia sebutnya adab yang hilang salah satu manifestasi adab adalah sebuah kedekatan antara dunia Islam dengan sains yang kelihatannya tersingkirkan oleh tadi prioritas atas ikih saya mau segue ke Indonesia karena Indonesia tentu bagian dari pan-Islam community Indonesia ini tentu ada competing epistemology ketika dihadapkan ke masalah-masalah praktis seperti pandemik. Itu kan masalah praktis kan, kalau dengerin salah nasihat gitu kan bisa parah sakit gitu.
Nah ketika dihadapkan ke hal yang praktis seperti itu, epistemological avenues to competing to each other. Satu ibu saya mungkin dengerin pemuka agamanya ada orang yang sangat-sangat um skeptis terhadap hal-hal itu bertumpuk pada sains gitu. Nah disitu kebingungan saya lihat orang Indonesia. Dan manifestasi kebingungan itu terlihat dari mungkin arahan yang kurang jelas gitu tentang protokol keselamatan pada waktu hal-hal praktis itu terjadi. Gimana harusnya seorang Indonesia itu Kalau ada yang disebut orang Indonesia yang sempurna.
Atau yang setidaknya sangat Indonesia. Berpikir ketika menghadapi hal-hal praktis seperti itu. Apakah dia harus ke kenduri cinta gitu.
Atau harus nanya ke dosen UGM. Ini tanyaan yang sangat susah dijawab. Karena harus seperti apa.
Pertama specificity of case nya ya. Mungkin seperti apa, responnya seperti apa. Dan tentu kalau pun saya ngomong itu pendapat pribadi saya.
Tapi mungkin kita perlu gali ke akarnya nih. Kenapa sih? Islam itu masa Indonesia itu sebagai apa sih? Benar sebagai belief. Apakah kalau itu memang sebagai belief atau way of life, kita benar-benar mengikuti agama Islam.
Seharusnya banyak masalah yang tidak muncul nih Karena korupsi misalnya itu tidak dilegalkan di Islam Atau penipuan dan seterusnya itu tidak dilegalkan di Islam Tapi Islam tetap hidup disini Dari zaman dulu sampai sekarang SS word nih Ini pertanyaan sudah Tidak tentang Islam saja ya Tapi tentang banyak fenomena di Indonesia Saya punya formulasi Saya punya formulasi berbeda terhadap itu Ini tanahnya Perspektif awalnya Perspektif awal untuk digest Informasi tambahannya Ini saya melihatnya sebagai problem of existence. Jadi everyone itu butuh penyangga dari keberadaannya. Psychologically maupun physically. Kalau physically kita bisa define gampang makanannya.
Apa yang dia makan, apa yang dia minum, apa yang dia konsum. Itu jadi penyangga dari keberadaan fisiknya. Tapi keberadaan dirinya di sosial itu tentu ada penyangganya.
Keberadaan dirinya pada dirinya sendiri itu. tentu ada penyangganya dan penyangganya ini kan berjalan berbeda nih setiap zaman ketika ada sosial media penyangga keberadaannya bisa menjadi like atau follower nih sehingga ketika tidak ada like karena tidak ada follower dia merasa sangat sedih depressed karena merasa gak ada existence-nya itu sendiri ada suatu saat dimana penyangganya adalah belief-nya dia jadi kepercayaan bukanlah sesuatu yang dia ikuti tapi dia merasa berada ketika dia punya kepercayaan jadi kalau ada statement yang mengatakan bahwa itu membantu orang menjadi ketika orang sedih atau miskin masalahnya banyak terus agama jadi kemudian remendi, jadi obatnya saya bisa ngomong gak hanya agama kamu punya kucing juga jadi menyembuhkan itu karena ketika kamu punya kucing keberadaanmu adalah penyangga keberadaanmu adalah kamu useful to something else Kan ini tinggal konek keberadaan manusia Eksistensi dirinya dia konek sama siapa Dan itu benar-benar personal choice Kebetulan karena Indonesia juga punya Kultur rerihungan Kultur seneng ngobrol Pandangan sosial adalah penting Jadi kemudian masuk itu Penyangga keberadaan personalnya Itu juga dipengaruhi oleh sekitarnya Saya mau Sebelum ini kita segway ke yang lain itu ada poin menarik dari Mas Sabrang tadi bahwa memang salah satu penyangga menurut saya penyangga meaning of life-nya gitu ya. Meaning of life-nya itu adalah spiritualitas mereka gitu. Yang milih itu?
Ya jadi mungkin untuk membuatnya bertahan dalam kepedihan hidup di Indonesia, sengsara segala macam adalah comfort yang didapatkan dari agama. Tapi permasalahannya salah satu argumen adalah bahwa yang seperti itu. itu kalau memang itu adalah representasi seluruh orang Indonesia atau sebagian besar itu rawan dieksploitasi oleh para figur-figur yang mengatasnamakan otoritas.
Itu terjadi kan dengan keributan Habib dan segala macam terakhir-terakhir ini itu kan menunjukkan counterbalance bahwa itu ternyata takut juga di karena fenomena itu juga terlihat. Saya gak ngomong siapa pelakunya tapi fenomena itu ada. Bahwa ada sekelompok tertentu, apa ada tokoh yang dianggap sebagai otoritas terhadap agama memanfaatkan para pengikutnya.
Itu fenomena yang dalam tanda petik sangat biasa di Indonesia. Gak dari sudut agama aja, percayaan juga iya. Tapi bagaimana sains bisa membantu dalam hal itu?
Maksud saya, kalau misalnya seluruh orang hanya berpegangan terhadap agama. Agama itu kan sebenarnya sangat kompleks untuk bisa. mendapatkan pengetahuan yang sangat dalam tentang doktrin, tentang dogma itu kan sangat kompleks, para orang-orang yang mungkin berlatar belakangkan tidak privilege tentu sangat bergantung pada arahan pemuka agama yang kemudian rentan mengeksploitasi, problemnya disitu problemnya orang memeluk agama, bukan pelaku agama karena di agama sendiri sudah dikasih tau jalan keluarnya Jangan bersandar pada yang ada.
Bersandar hanya kepada yang abadi. Bersandar kepada Tuhan. Kalau penyangga keberadaannya yang abadi.
Dia gak akan bisa dimanfaatkan oleh siapapun. Karena dia tidak bisa terancam oleh apapun. Bapak-Ibu seperti itu.
Ini pertanyaan saya dari dulu. Kenapa ada pemuka agama yang melarang orang Islam untuk terlalu duniawi. Misalnya jangan terlalu dekat dengan dunia. Sementara ada contoh nabi yang sangat. Kaya raya.
Iya. Kan gitu. Ini pada dikotomi seperti ini, sebenarnya apa sih garis merahnya?
Jawabannya ada di situ. Karena ketikapun kaya, Nabi Sulaiman sekaya itu, penyangga keberadaannya bukanlah sehartanya, tapi tetap yang maha. Kalau ada yang susit menang agama.
Agama sendiri mengajak kita bersandar kepada yang maha. Agama adalah cara mengkomprehensi konsep itu. Tapi ketika orangnya memeluknya agama.
Memeluk agama kan bagian dari klub. Belum menjalankan agamanya dan memahami agamanya. Ketika kita berhenti di situ, jadinya eksploital tebal kayak gini nih. Tapi itu seperti semua hal. Semua yang lebih dangerous dari orang stupid kan orang yang setengah pintar.
media lagi itu yang paling dangerous artinya kita ikut agama gak full conceptual fullnya itu ya dalam sains, setidaknya dalam sains yang masih murni walaupun sains gak bisa dipisahkan dengan politik, apalagi dalam hal-hal belakangan ini ada semacam penggarisnya gitu loh untuk membedakan ini sains atau gak tadi Mas Sabrang keliatannya udah ngomong tentang falsifiability kriterion gimana caranya bedain sains sama setengah sains gitu pseudoscience adalah falsifability atau keterpalsuan jadi segala sesuatu yang tidak bisa dibuktikan salah juga tidak bisa dibuktikan benar kalau ada teori baru yang bilang bahwa oke kalau saya pasang susuk jodohnya akan datang minggu depan kalau Anda pasang susuk judohnya tidak datang berarti anda kurang percaya. Gak ada mekanisme untuk membuktikan itu salah. Maka dia tidak bisa masuk dalam domain sains. Sebab dia tidak bisa dipalsukan.
Jadi kan walaupun tentu ada perbedaan pendapat di dunia sains. Tapi competing theory itu selalu bisa diukur dari penggaris falsifiability salah satunya. Nah adakah penggaris ini untuk menguji di bidang agama.
Terutama karena itu sangat menyangkut hidup orang banyak. Itu bahwa, oh kalau parameternya ngeleset dari penggaris ini berarti ini salah atau benar. Ini yang tadi saya sebut sebagai narasi sains.
Ini ngomong filsafat yang mudah. Setiap badan sains, itu kan pasti, eh badan sains. Setiap narasi kehidupan, entah itu agama, entah itu sains kan punya kriterion.
Falsifiability spesifik kriterion untuk sains. Ya, sepemahaman saya karena first citizennya adalah knowledge. First citizennya.
Kalau di agama, sepemahaman saya first citizen-nya bukan knowledge. Walaupun itu penting banget. First citizen-nya adalah human. First citizen-nya human.
Artinya gini, bukan dia tidak punya kriterion. Pada domain data, dia punya loh. Apa namanya kriterion? Contohnya, sanat.
Apakah hadis ini benar atau salah? Itu scrutinize-nya jauh lebih parah daripada science itu. Oke.
yang pernah ngomong kalimat ini ketahuan kencing di pinggir jalan itu sudah dianggap itu penggaris kan itu penggaris itu kritorian tapi spesifik pada area yang datang pada area karena dia first citizen nya adalah human kasus human ini sangat banyak dan tidak bisa expect bahwa semua orang punya komprehensi knowledge terhadap semua pengetahuan agama makanya ada stratifikasi juga yang namanya ulama Ulama itu jadi referensi dari yang tidak tahu untuk trust someone terhadap kasus dia. Kasus lu gini-gini gimana ya. Karena kalau dia kesuruh komprehensi knowledge-nya seperti ulamanya gak akan mampu nih.
Karena seperti pernah kita obrol kan bahwa setiap orang juga punya loterainya sendiri-sendiri. Ada loterainya otak, ada yang loterainya yang lain kan gitu. Artinya human punya peran sendiri-sendiri.
Dan sekarang pun kita punya agak-agak. Menurutku kita agak rancu konsep ulama sama yang lain ini. Karena ustadz yang paham hukum disebut sebagai ulama. Itu lebih tepat sebagai sukoha. Sukoha itu ahli hukum kayak lawyer.
Kalau ulama dia gak sama hanya pada domain hukum. Tapi domain life. Sehingga kalau kita di agama ya. Ini wisdom jadi amat sangat penting. Karena kalau kita lihat responnya Kanjeng Nabi, itu jauh lebih banyak respon kasih sayang dan understanding of human daripada strictly law.
Law penting, law tapi ginilah. Mungkin yang law itu untuk yang ustadz, yang kasih sayang itu lebih ke domain yang baru masuk atau masih awam. Enggak, enggak gitu.
Karena misalnya gini, misalnya hukum. Makan babi enggak boleh. Tapi kalau terpaksa boleh. Kan ada range situationnya juga yang dihitung disitu. Tapi karena kemungkinan situationnya sangat banyak.
Sehingga gak bisa dibikin hard law. Hard law itu reachnya sama seperti hukum negara. Mencuri itu buruk. Tapi gak dihitung kenapa mencuri.
Kalau mencuri karena tetangganya kaya semua. Dia gak bisa makan sehingga harus mencuri pada tetangganya. Kalau dalam hukum agama di ulama bilang yang salah tetangganya.
Karena tetangga mau lapar gak dikasih makan. Tapi kalau Allah yang mencuri nih yang salah. Itu bedanya narasi sains sama narasi agama.
Gak mudahnya kalau kemudian narasi agama diperlakukan dengan kriterion narasi sains. Itu gak akan nyambung, gak akan nyambungnya di situ. Yang saya khawatirkan kalau memang betul tidak ada harapan untuk ada penggaris yang baku untuk mengukur hal-hal seperti itu. Maka akan sangat rentan bagi orang untuk... untuk mendengarkan otoritas yang salah.
Atau setidaknya ada domain dimana ada insentif bagi orang untuk berlomba-lomba naik ke dalam otoritas, untuk mengasumsi otoritas keagamaan. Karena disitu kan power. Ada jalan lain juga, agama menyediakan juga dengan analogi-analoginya.
Yon Sefug, aku membeberkan hipotesis agama yang tidak biasa dipandang sebagai solusi sosial sebenarnya. Itu pasti... Line of defense pertama itu kan ulama. Ulama disebut sebagai penerus nabi. Tapi seperti all human dan power itu corruptible.
Yes. Gimana nih apakah ada second line of defense nih? Exactly my point. Ada second line of defense nih.
Di Islam itu ada yang namanya wudhu. Ya. Wudhu itu artinya mensucikan diri. Ya.
As of life itu kan mensucikan diri. Perjalanan hidup adalah mencoba mensucikan diri, memahamkan. Anggap itu sebagai analogi seperti itu. Ini cara analisis agama memang seperti ini. Agak sastrawi sedikit.
Jadi gini, ada stratifikasi ketika kita wudhu. Ada air suci yang mensucikan. Artinya air yang turun langsung dari langit. Air yang mengalir dari sumur.
Itu kita untuk mensucikan diri bisa. Kalau air yang bekas wudhu orang lain, itu gak bisa. Kecuali dikumpulkan banyak.
Air kotor. Itu gak bisa. Kecuali dikumpulkan sangat banyak. Sampai yang namanya mutanajis.
Air yang sangat kocor. Itu tetap bisa. Kalau dikumpulkan lebih banyak lagi.
Itu bisa untuk mensusikan diri. Kita sambungkan dengan informasi lain. Salah satu amsal amsal itu salah satu amsal dari ilmu adalah air. Kalau sekarang otoritas ilmu dipegang orang sudah corruptable, kita bisa pakai metode gini.
Kalau ilmu datang dari orang, Itu artinya tempat dia sudah berwudhu Kita gak bisa ngambil dari satu orang Kita harus mengumpulkan informasi dari banyak orang Oke Ini sama lu sama saya Ada Di history juga ada Harus ada Independent attestation atau Diversifikasi point of view Ya, source untuk menguji Untuk menguji satu sama lain Kalau infer kemudian Kita menganggap adalah media masa atau sosial media adalah mutanazis. Paling mutanazis katakanlah gitu. Kita bisa ngambil ilmu tapi harus ngambil source yang segitu banyaknya. Untuk bisa ngambil knowledge dari situ. Artinya ada stratifikasi itu juga.
Berarti ada ruang untuk verifikasi. Ada ruang untuk mencari. Bukan verifikasi.
Verifikasi ini terlalu hard gitu. Kalau human itu kan bukan ngomongnya gak right. 2 tambah 2 bukan 4 atau 5 kalau live ini.
Live kan agak ada sastra nuansinya sedikit. Tapi artinya terhadap semua informasi yang datang. Kalau kita sudah tidak bisa mengandalkan satu source.
Kita ambilnya dari banyak source nih. Bahkan imam-imam besar juga mengatakan seperti itu. Baca buku yang lain. Jangan dari kalau ada yang lebih tepat dari tempatku. Buang-buang ambil yang lain.
Kalau ulama-ulama beres pandangannya. Yang gak beres itu yang ngaku lah pak. Aku yang bener harus kayak gini.
Dia gak. Dia pada limitasinya sendiri gak paham gitu loh. Pada limitasinya dia mengimpos terus yang dia pahami.
Mungkin benar untuk dia. Tapi itu air wudhumu. Air wudhumu gak bisa untuk.
Untuk mensucikan orang lain. Orang lain harus ngambil dari banyak bekas air wudhu orang. Bisa gak disimpulkan begini mas. Penggarisnya itu adalah monopoli.
polisasi sumber mata air pengetahuan itu sendiri. Jadi barang siapa yang mengklaim bahwa kebenaran hanya dari dia nah itu adalah salah satu kriteria untuk orang mulai berjaga-jaga. Yes, saya bisa mengatakan itu salah satu indikator yang utama.
Ada kompleksiti lagi di agama karena first citizennya human. Kalau first citizennya knowledge itu kita bisa katakan retensi truthnya bisa panjang. Kita menemukan matematika sekarang 1 juta tahun lagi gak berubah nih. Mudah-mudahan. Teoram.
Kalau teoram jarang berubah kalau math ya. Kalau teoram ya. Kalau fisika dan yang lainnya oke lah. Pergi lebih cepat perkembangannya.
Kalau manusia, kasih 10 tahun, 30 tahun ini berubah nih. Value-nya, situasinya, kondisinya. Sehingga sepemahaman saya di agama pun dikatakan. Bahwa setiap nabi itu punya modal sesuai dengan zamannya.
Pada zaman musik, nabinya pinter musik. Pada zamannya sastra, nabinya pinter sastra. Pada zaman yang dipandang tinggi di sosial itu, apa modal dia itu.
Artinya terus itu juga harus ikut. berjoget dengan dinamisme dinamisnya society ini dia harus mengelisik diantara apa namanya boyangan ombak karena cara orang mengakses truth itu sendiri juga sangat dipengaruhi oleh zeitgeistnya yang dari agama in the end itu bukan societal truth tapi personal truth proofnya bukan pada orang lain proofnya aku dihadapan Tuhan kan ini Apa namanya? Premisnya gitu Premisnya Tapi bukan kak Apakah itu berarti agama itu purely relatif? No purely relatif Kan based on No Tentu enggak Tentu enggak purely relatif Karena Saya pernah Gimana ya? Kalau human purely relatif Tapi kalau kemudian satu klaster human Berinteraksi cukup lama Menjuruh norma nih Oke Ini sebagai garis merah kita bersama.
Satu cluster across time itu jadinya agama. Oke, semacam emergent behavior. Emergent behavior normal, place.
Kalau agama itu akumulasi dari over time. Gak cuman place tapi time. Yang membuat itu agak kisruh tambah-tambahannya. Sorry-sorry itu saya tambahnya.
Ini jadi muncul di sebuah zaman tertentu dianggap sebagai core message nih. Carry on ke zaman berikutnya. Udah gak kompatibel padahal. Salah satu contoh misalnya. Aduh saya lupa namanya ya.
Itu salah satu sekolah Islam yang mengatakan ketika dia dikritik. Kenapa Islam selalu membela wanita. Eh selalu membela lebih leaning ke laki-laki daripada perempuan.
Argumentasi dia sangat bagus. Ini problemnya Karena sekolah Islam wanita itu sedikit zaman sekarang. Zaman dulu seimbang.
Lihat nih zaman ini. Ini seimbang. Laki-lakinya segini, perempuannya segini.
Jadi ketika ada pemuka agama yang ngomong fatwa untuk mendiskreditkan lawan jenis. Ini yang jadi counter nih. Problemnya sekarang.
Mayoriti laki-laki. Gak ada yang counter nih. Dan pemikir Islam beda ya sama pendakwah. Mohon maaf lah.
Gimana? Mulut saya, saya coba cari kata yang sopan untuk mengatakannya seperti itu. Semua sales tahu product knowledge.
Oke. Tapi tidak semua sales bisa membuat product. Oke.
Gak mau berusaha sopan. Pemikir Islam yang saya tahu walaupun gak terlalu banyak yang ada di vokabulari saya itu. Salah satunya memang sangat menjunjung tinggi rasionalitas. Salah satunya ya Al-Ghazali.
Pilar filosofikal tentang ada tidaknya Tuhan. Maksudnya bukan personal subjective idea of whether God exist or not. Tapi benar-benar deductive reasoning for God. Itu pertama diajawantakan oleh Al-Ghazal.
Sekarang dibilang kalam cosmological argument. Itu cosmological argument. Dan itu kan pakai axiomatic principle seperti layaknya matematik. Segala sesuatu yang memiliki mula-mula pasti memiliki penyebab. Aksiom kedua, alam semesta memiliki mula-mula.
Maka, konklusinya adalah alam semesta memiliki penyebab. Nggak bilang penyebabnya itu siapa sih. Oke, kita cut dulu sebentar.
Welcome back. Selamat datang kembali di Chronicles. Tadi sebenarnya kita udah ngomong banyak di waktu break gitu. Saya selalu suka ngomong sama Mas Sabrang, karena nomor satu unscripted Mas ya.
Seperti di kenduri cinta itu. Saya kan kalau di ruang kelas, biasanya pake kapur gitu. Kenapa?
Nggak pake powerpoint. Karena salah satunya yang bikin murid-murid itu suka ngedengerin, tadi kita ada beberapa interaksi dengan para murid disini. Itu karena...
pengetahuan yang sifatnya hidup yang bisa dibantah dan ada perubahan skenario itu lebih menarik untuk didengar. Oke tadi kita bahas tentang ini saya kasih sinopsis pembahasan kita sekitar 5 menit yang lalu itu tentang matematik bukan matematik tapi adakah landasan yang merupakan juga landasan ilmu pengetahuan yang kemudian bisa digunakan untuk menguji keabsahan elemen-elemen dalam keyakinan. atau dalam agama. Sehingga kita tidak rentan terhadap manipulasi oleh otoritas yang mengatasnamakan figur keagamaan. Karena kita lihat bahwa Indonesia untuk maju ke depan tidak mungkin menyingkirkan elemen transendental seperti Tuhan karena itu ada di silap pertama di Pancasila.
Tapi dalam hal yang lain tidak mungkin kita menyingkirkan teknologi atau membuatnya semacam hal yang sangat terpisah dari ketuhanan. Karena tidak mungkin kita bisa berkompetisi dengan negara-negara lain tanpa inovasi yang merupakan anak dari pengetahuan. Permasalahannya bagaimana rekonsiliasi yang cakep yang membuat Indonesia itu tidak kehilangan jati dirinya tapi juga bisa berkompetisi dengan dunia lain.
Dunia luar maksud saya. Jadi kita bahas tentang Al-Ghazali, tentang mekanisme saintifik yang dia gunakan untuk menjustifikasi tenet-tenet dari keagamaan itu sendiri. Kalau misalnya gini, kalau ada reposisi gini gimana? Loh jati diri Islam Indonesia adalah yang melawan sains itu. Itu kan udah mentok tuh.
Ya oke kita back engineer aja kalau gitu. Oke berarti kan. Gimana? Apakah memang betul ada seperti itu?
Sepanjang saya tahu gak agama sama sekali tidak. Ya seperti saya katakan tadi. Bagaimana mungkin kalau premis dari awalnya adalah beda urusan knowledge.
Nah kan. Gimana sains bisa tumbuh. Ada zaman emas Islam disana dan memungkinkan itu untuk jadi tumbuh luar biasa.
Fair. Pasti ada mister di alur sejarah nih. Ada salah belokan di alur sejarah sehingga emphasize kita di area yang berbeda. Ya kalau ada yang ngomong zaman dulu ketika dunia Islam sibuk science, knowledge di Eropa zaman kegelapan ributnya agama. Sekarang kebalik.
Ada yang ngomong gitu juga. Amin. Itu sepertinya juga kalau sepemahaman saya, baliknya kan kita hanya bisa mempertanggungjawabkan sebuah narasi kepada premis utamanya dia. Seperti yang saya tadi katakan sebagai first citizen-nya. Kalau knowledge, apa kalau science, first citizen-nya adalah knowledge.
Kalau agama first citizen-nya memang manusia. Diturunkan untuk memperbaiki ahlak. Yang dites ada, yang kemudian yang menjadi manusia terbaik adalah yang manfaatnya paling banyak.
Letak science dimana nih kemudian Orang yang pengetahuannya lebih banyak Orang yang bisa membuat sesuatu yang lebih manfaat Dia akan menjadi manusia yang lebih baik Kan in line itu sebenarnya Betul, saya rasa ada domain yang sangat kritikal Yang bisa menjadi penghubung dua Saya gak mau bilang competing epistemology Tapi dua cara pandang ini Environmental issues Karena dunia lagi butuh itu Climate change itu sangat kalau menurut saya ya adalah salah satu domain kalau bukan domain yang terpenting dimana kedua paradigm ini harus bergabung menjadi satu kekuatan yang besar. Karena kalau kita bicara tentang efek rumah kaca, pemanasan global, sains, setidaknya sains yang saya tahu tidak bisa mengakses etika. Dia cuma bisa bilang tentang bahwa Impak dari karbon dioksida terhadap pemanasan global walaupun kompleks formulanya itu sekian derajat.
Oke. Tapi dia tidak bisa memberikan kita di dalam domain sains itu sendiri. Apa yang harus kita lakukan dengan informasi itu secara etis.
Di situ harus diisi kalau menurut saya mungkin menurut Mas Sabrang beda. Harus diisi oleh apapun itu yang mendasari jatin diri. Indonesia.
Indonesia. Apakah Indonesia punya moral underlying untuk. Ini problem.
Mohon maaf. Problemnya karena memang kita memeluk agama. Bukan melakukan agama itu tadi. Dengan understanding yang belum kava.
Itu kalau di agama argumentasinya. Mohon maaf sederhana sekali kok. Itu premis awalnya manusia itu adalah menjadi kalifah. Kalif adalah yang menggantiin Tuhan mengurusin dunia.
Oke. Itu udah argumentasi dasar. Kalau ada banyak makhluk yang kemudian mati, ada banyak makhluk yang kemudian rusak, you fail as a kalifah. Kamu fail sebagai manusia. Oke.
Karena kamu sudah diserai sebagai kalifah di muka bumi. Apa yang kamu lakukan dengan kekalifahanmu? Itu pertanyaan yang ditanyakan. Pasti salah satu efeknya nanti mengurusi environment juga. Iya.
Amin karena... memang dalam tanda betul yang dibahas di agama itu adalah perbedaan sudut menuju ke atas atau yang rule kayak gitu, kita jadi pelaku sebagai human jadi gak dapet emphasis nih karena kita masih karena kita belum cukup dewasa bahwa penyangga keberadaan kita bukanlah kesalahan orang lain Penyangga kebenaran kita adalah fungsi kita di lingkungan itu tadi. Iya.
Sehingga kalau saya ngeliat misalnya komen Youtube. Kalau pendapat yang berbeda atau dia tidak paham. Saya kan mencari tahu tuh. Ini dia punya energi segini banyak untuk menyalahkan orang lain. Nulis berparagraf-paragraf.
Apa motif yang di belakangnya sih? Iya. Yang itu. Needsmu apa sih?
Pertama kalau tidak didukung oleh individual effort. Jadi dia hanya. Oke kamera roll on nyalahin orang lain semuanya.
Ya misalnya ini effortnya segini gede kenapa sih? Saya mencoba mencari angle yang tidak cynical. Gimana kita mencari penjelasan yang tidak menyalahkan dia juga.
Karena saya yakin semua orang melakukan segala sesuatu itu yang menurut dia benar. Saya mencoba mencari tahu yang kebenaran yang seperti apa sih yang membuat kamu bisa punya energi segini banyak instead of solving our problem bersama. nyelanjalanin orang lain, jatuhnya lagi ke teori itu tadi, teori eksistensi itu tadi, keberadaan itu tadi.
Karena ketika aku believe something, aku harus di approve sama orang lain untuk menyanggak keberadaan terus cool nih. Ketika ada orang yang kontra, apa namanya, opinion dihajar sama dia karena mengganggu keberadaan dia. Padahal yang ngomong juga gak kenal gak gimana juga.
Memang tadi ada yang satu yang nancep ke hati saya waktu Mas Abram bilang apa? Pemeluk agama dan pelakon. Aku menurut saya mas ya kita ini terlalu vulgar dalam membahas agama di ruang publik. Terlalu gampang orang bertanya percaya Tuhan gak?
Percaya agama ini gak? Menurut saya itu hal yang tabu mas sebenarnya untuk dibicarakan di muka publik. Kalau saya tanya mas Sabra, mas Sabra percaya Tuhan yang mana? Itu kan sama aja saya nanya. Mas Sabrang tidur sama siapa tadi?
Apalagi tanpa didukung oleh semacam individual effort. Dan itu satu itu unprovable. Kalau aku mau ngomong iya atau enggak pun kamu gak bisa approve juga. Oke. Nomor dua.
Your idea of percaya sama my idea percaya. Itu bisa sama sekali berbeda loh. Aku melihat yang ini aku sangat takut ya. Karena kalau itu kita harus punya solusi yang sangat intrinsek menurutku bahasa kita itu low resolution.
Mohon maafin. Jadi ketika kita ngobrol sesuatu yang sangat cukup dalam spesifik dan detail. Itu kita akan miss di tengah jalan banyak hal nih.
Karena kosa kata kita sendiri gak banyak. Ini bagus untuk bercanda dan bikin sastra. Tapi untuk ngomong sesuatu yang presisi.
Dan saya kalau pull up. Kalau saya narik bahasa Inggris dimarahin juga. Iya ya.
Ngomong Inggris kan gitu. Kadang-kadang ada bahasa yang memang gak bisa di. Ya kita low resolution. Memang Noam Chomsky salah satu mungkin figure linguist di dunia itu pernah bilang begini mas.
Bahwa bahasa itu sebenarnya bukan tercipta atau diciptakan sebagai mode for communication. Bahasa itu adalah medan artikulasi pikiran. Ya tentu aja kalau terartikulasi kemudian bisa dipakai untuk berkomunikasi.
Tapi tujuan bahasa pertama itu untuk mengartikulasi pikiran. Memang bahasa Indonesia itu adalah ejawantah dari kepribadian atau DNA. orang Indonesia yang cara berpikirnya itu diajawantahkan lewat kosa kata bahasa Indonesia. Tapi menurut saya, ini gak bisa dibuktikan.
Menurut saya, Bahasa itu kayak alat mas. Iya, agree. Memang secara kosa kata mungkin kurang banyak.
Kita bisa hitung secara empiris gitu ya. Tapi bahasa yang tidak spesifik itu punya potensi lain dalam menggerakkan emosi orang. Yes, makanya tadi saya bilang untuk sastra, untuk bercanda itu oke. Iya. Tapi yang spesifik sekali itu jadi ya di sisi lain bagus, di sisi lain buruk.
Selalu ada ups and downs nya. Dan jangan lupa gak ada bahasa Indonesia. Oke.
Yang ada pada sebuah titik kita setuju menggunakan bahasa Melayu pasar untuk kita gunakan bersama. Artinya kalau memang bahasa Indonesia akarnya sudah ada satu spesifik part di Indonesia. Karena misalnya kalau sepemahaman saya, saya by no means ahli bahasa sama sekali. Oke. Tapi kalau saya tahu bahasa Jawa itu spesifisitinya jauh sama bahasa Indonesia.
jumlah kosa katanya itu sangat-sangat spesifik lebih detail dalam tanah petik jadi kita gak bisa, agak susah juga nih kalau ngomong Indonesia dengan bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia adalah konvensi yang lahir 1928 itu kan 1928 itu sebelum itu gak ada yang namanya bahasa Indonesia yang namanya Melayu, Melayu pun Melayu pasar karena Melayu kromonya suka gak kita pakai Katanya gitu, kata seluluh. Iya memang itu sangat membentuk sih. Kulik kita ini. Kalau saya ngajar, waktu itu saya hidup di Inggris gitu ya. Jadi kalau kita bicara tentang konsep waktu aja misalnya.
Kita selalu, In the summer, on Monday, at 2pm. At, on, in. Bahasa Jerman pun ada im, um, am gitu ya.
Di Indonesia, bahasa Indonesia yaudah. Sesok. Sesok wajah gitu.
Wah makanya akan membentuk gimana tuh? Kehangatan hidup. Itu menurut saya paling hangat di Indonesia. Hangat ya.
Hidup hangat itu maksudnya ketidakjelasan, ketawa. Itu enak banget di Indonesia. Dan saya tidak menemukan di tempat lain di dunia. Mohon maaf ini dari pengalaman pribadi saya.
Betul. Dan lucu. Tadi mas bilang lucu atau sastra itu sangat bergantung pada ambiguitas. Iya.
Kalau gak ambigu makanya orang Jerman mau lucu dia. Susah setengah mati. Susah setengah mati orang Jerman. Mesti mikir dulu kan karena kompleks grammarnya itu. Kompleks grammarnya katanya terlalu spesifik.
Ambiguitas sangat berguna untuk. Kalau itu saya agak punya otoritas lah ngomong. Tentang sastra penulisan. Karena justru ambiguitasnya itu.
Makanya lirik lagu-lagu mas itu sangat-sangat. bisa mengena kemana-mana karena punya ambiguitas yang tertata. Karena saya sangat memanfaatkan ambiguitas tersebut.
Itu kelebihan. Jadi sebagai manusia yang udah gak punya, gini, kalau dunia sudah tertata nih, gak ada masalah. Paling enak pakai bahasa Indonesia.
Tapi kalau masih banyak masalah, kita perlu ada spesifikasi tentang penggunaan bahasa itu. Nah ini cuma masalahnya kita dalam dunia yang tidak tersekat-sekat lagi mas ya. Jadi satu saat nanti saya mungkin bermimpi bahwa Indonesia tuh mulai memanifestasikan its post-colonial development. Jadi outward looking.
Kita berpikir ke depan bahwa tidak lagi kita mengirim mahasiswa Indonesia keluar. Tapi saatnya kita mengundang mahasiswa dari Inggris atau Amerika untuk datang belajar di Indonesia. Pada satu saat nanti kita harus pasih berbahasa. Bukan hanya Inggris atau Indonesia tapi juga berbahasa sains. Pasti berilmu pasti gitu.
Ini pertanyaannya mungkin agak sulit gitu. Mas Sabrang melihat gak bahasa Indonesia itu up to the task for that? Yang membuat saya punya pintu untuk gak masalah dengan bahasa Indonesia sekarang. Karena kita punya antropologi, sejarah antropologi kita.
Sangat mudah menyerap. Oke. Bahasa Sansakerta diserap jadi bagian bahasa kita.
Bahasa Inggris diserap bagian. Bahasa Inggris diserap jadi bagian. Kita memang mesh dari banyak culture nih. Kita terbiasa dengan itu.
Artinya expandable. Kita ini sangat nimble. Kita ini sangat fleksibel sebenarnya. Ini tapi juga gini.
Kalau tadi salah satu challenge-nya adalah bagaimana kita bisa di dunia untuk bisa. main di panggung dunia saya kan selalu menanyakan gini apa mungkin kereta yang di jalur rel yang sama nyalep kereta depannya Oke. Kan gak mungkin.
Kamu harus berani ngambil rel yang berbeda. Dengan risnya sendiri. Tapi itu satu-satunya kans untuk kamu bisa nyalip rel di depannya. Apa kereta di depanmu nih.
Oke. Ini sound secara analogi low resolution ya. Tapi kemudian kita juga harus ngeliat kultur kita.
Kita tuh senang megangin budaya. Maksudnya. We just gak buruk juga. Iya. Pelasarikan budaya.
Tapi kita gak punya discretion budaya baik atau budaya buruk yang kemudian dilestarikan nih. Oke. Ini kayak melting pot. Iya, iya, iya. Kalau kita punya, misalnya tadi kriterion ya.
Kita punya kriterion sedikit aja. Budaya mana yang bisa di breakdown, budaya mana yang tidak perlu di breakdown. Ini akan membuka kesempatan untuk kita bisa bikin jalur kereta yang lain nih.
Iya. Untuk bisa, karena kalau belajar dari mas lah misalnya dengan first principle thinkingnya. Dia solve modern. solve problem dengan modern solution dengan perkembangan teknologi misalnya dengan AI dan segala macam kita bisa benar-benar punya hipotesis yang sama sekali baru yang belum dipakai sebelumnya tapi kita harus berani melangkah tidak diawali dengan pertanyaan sudah contohnya gimana kita mau you know exactly what I mean gimana itu selalu Gimana memimpin kalau mentalnya udah menjadi follower gitu. Iya saya lihat ya memang pada suatu saat nanti Indonesia harus mengejawantakan keberadaannya di dunia.
Karena itu masalah eksistensial bahwa setiap individu pun harus punya meaning value and purpose. Secara kolektif pun pasti hal itu tidak bisa dihilangkan. Satu hari nanti dia harus bilang bahwa Indonesia itu siapa, mainnya di real yang mana segala macam.
Kalau kita lihat contoh dari India mas ya. India itu sekarang saya lihat di dalam 10 tahun terakhir itu ada pergerakan yang mengarah ke sana. Dia menciptakan realnya sendiri. Dia bilang matematik itu asalnya dari India setidaknya sebagian besar.
Kalau tidak ada India tidak ada angka 0. Ya memang banyak peromenan matematik gitu. The most beautiful matematik equation in the world. Exponent I pi plus 1 sama dengan 0. Kalau tidak, yes Mueller.
Kalau tidak ada India tidak ada persamaan itu misalnya kan. Kemudian dia investasi besar-besaran ke aerospace engineering, kemudian mengirim satelit ke luar negeri. Itu sebuah kebanggaan yang sebenarnya motor emosional, yang kemudian mendorong seluruh motivasi orang India untuk berlomba-lomba di bidang sains.
Mengenai meaning, orang India bisa bilang begini, kalau satu saat nanti India berhenti berlagak di dunia, Meaning itu kan artinya kalau saya ada atau tidak ada, ada impactnya atau enggak gitu ya. Jadi orang India akan berbilang begini, kalau saya berhenti berlaga besok, dunia akan kehilangan 60-70% agama dunia yang di luar Abrahamic gitu ya. Karena disitu dia memandang dirinya sebagai repository agama dunia. Ya mungkin lebih banyak deitasnya daripada warga negaranya gitu kan.
Indonesia kalau berhenti berlaga besok, adakah dunia kehilangan? Oke ini perlu kita define bareng ya. Kalau kita menganalisis strategi-strategi India. Dia tahu betul apa kelebihannya, kekurangannya.
Kemudian capitalizing on that loh. Kita perlu tahu nih Indonesia itu apakah kita strengthnya disitu. Yang maksudku by apa namanya bikin real baru. Kita bisa bikin set of question juga. Yang gak harus ngikutin dia.
Iya. Tapi meletakkan kita pada map nih. Kita, kalau kita gak ada, mungkin pertanyaannya bukan gitu nih. Pertanyaan mungkin dibalik nih. Kan gitu.
Indonesia pada rangkaian dunia misalnya. Kamu nempel dimana nih? Pada tatanan dunia. Pada tatanan dunia.
Kamu ngapain nih? Iya. Oke. Kita, maksudnya aku gak bisa on the spot ya sekarang untuk. Karena itu PR kita sekarang ini sebenarnya menurutku.
Kita harus jujur untuk bisa menilai apa strength kita, apa weakness kita, apa tujuan kita. Dan kita capitalizing on that. Kalau adopsi strategi orang lain, gak buruk belajar dari orang lain.
Tapi ada fundamental, ada analisis dasar kenapa dia menggunakan strategi itu. Dan itu cocok untuk ekologi dia. belum tentu cocok untuk ekologi kita kita seneng, apa namanya, adopsi kayak itu tadi loh mas Mari kita kumpulkan air bekas wudhu orang sedunia. Jangan ngambil bekas wudhu dari satu dunia untuk kita buat wudhu lah.
Saya mau ekstrapolasi sedikit. Mungkin disitu kekuatan kita mas. Mungkin karena kita ini semacam melting pot of ideas.
Mungkin karena kita diduduki banyak bangsa gitu. Berbagai macam air wudhu ada disitu. Kalau kita paham sedikit tentang jati diri kita yang seperti itu. Maka kita bisa kultivasi itu sebagai. Sebuah bangsa yang mampu mengajarkan orang bagaimana bertoleransi atau hidup bersama dengan paradigma pertempuran.
Itu menurut saya sangat dibutuhkan di tengah gejolak geopolitik sekarang. Terutama di Timur Tengah, ketika orang bukan hanya tidak bisa hidup berbeda pendapat tapi saling bantai begitu. Harusnya Indonesia punya semacam bukan hanya kelebihan jati diri tapi juga moral kapital.
Untuk bilang. Datanglah ke Indonesia belajar tentang caranya hidup dengan berbagai pandangan hidup yang berbeda-beda. Harusnya kita punya. Good. Tapi aku bisa di-reveal at Valkan juga disini.
Indonesia punya tendensi untuk alut dari ocean. Agreeableness-nya kita tuh kan tinggi. Iya. Kenapa? Dan itu kultural tuh.
Coba dijelaskan dulu agreeableness tuh apa tuh? Agreeableness itu gak seneng pada posisi berbeda pendapat. Berbeda pendapat. Tabraan itu gak seneng. Betul.
Bahkan sampai tingkat parahnya. Bule ngeliat. Di Jogja kan kadang-kadang susah. Setuju ngomongnya ya.
Gak setuju ngomongnya ya. Sama-sama ya. Daripada beda pendapat.
Itu juga punya peran untuk terjadi kestabilannya di Indonesia. Karena kita agreeablenessnya tinggi. Tapi kita tahu juga dari statistik bahwa agreeable yang tinggi itu tidak mendorong persaingan.
Dan persaingan dibutuhkan untuk menciptakan nilai. Dibutuhkan untuk progress, untuk filtering dan seterusnya lah. Menarik nih.
Memang kadang-kadang kita sangat bingung sih membedakan sopan santun dengan perbedaan pendapat ya. Jadi ya karena mungkin otoritas yang sangat menjadi. Baku di kepala orang Indonesia.
Ini kemarin saya bicarakan gini. Kita tuh gak bisa membedakan self sama ideas. Jadi ketika idea ditabrak. Orangnya tersinggung.
Karena itu dianggap sebagai self. Idea lahir untuk hancur memang. Lahir untuk ditabrakan. Sehingga kita bisa.
Get the best of many people's idea. The best idea selalu kawinan. Kawin dari banyak kepala. Bukannya dari satu kepala. Lalu ketika idea diserang.
Yang tersinggung orangnya. Self-nya yang merasa diserang. Kita sendiri belum punya, menurut saya pendidikan kita belum membuat disiplin itu. Bahwa ada diferensiasi loh antara idea sama self.
Bahkan Jawa sendiri, kalau saya nyambungin, wisdom dari dulu udah nyiapin untuk itu. Ada kalimat yang namanya, mati saat jernih murid. Mati ketika kita masih hidup. Apa sih yang mati? Bisa ada yang mengartikan egonya mati.
Ego mati setiap saat. Ada idea yang mati setiap saat Tapi kita masih hidup loh Artinya itu menurut saya pembelajaran bahwa Idea itu mati kapan aja gak masalah Ego itu gak usah dipertahankan sampai Mati karena butuh egomu Yang mati berkali-kali itu mendewasakan dirimu Menjadi human Ini seakan-akan saya mati berkali-kali hidup lagi Ide nya gitu Jadi ya Kan sepemahaman saya That's how progress works Yes Ideas dilempar, ada better idea diajar, dikawinkan sama idea. Mungkin dari 100 part idea yang dilemparkan, 50 part jelek dikawinkan sama idea yang lainnya.
Melting pot idea itu menghindari pertarungan fisik. Iya, tapi tadi Mas Sabrang bilang karena pendidikan kita gak membuat orang bisa membedakan antara self dengan idea. Lalu gimana? Apa yang harus diperbaiki dari kurikulum atau dari regulasi pendidikannya atau dari mananya yang bisa membuat orang seperti itu?
Ini very complex issue. Tapi menurut saya, saya approach-nya dari mana ya? Karena...
Gini-gini, gini aja. Ini pertanyaan yang saya selalu tanyakan kepada pengajar di semua Indonesia. Pernahkah membaca definisi pendidikan di Kamus Besar Bahasa Indonesia? Oke, definisi pendidikan itu sendiri.
Karena kamu menurut gue sebagai source dari meaning yang kita setuju bersama. Dan menurut saya definisi pendidikan di Indonesia itu sangat oppressive. Karena membentuk perilaku manusia. Dan intrinsiknya aku gak setuju. Pendidikan itu memberi opsi kepada manusia.
Karena kalau kamu membentuk perilaku manusia. Asumsinya gurunya selalu lebih tahu, gurunya lebih pintar, gurunya tahu apa yang dibutuhkan anaknya. Kita lihat kurikulum. Kurikulum itu mengasumsikan bahwa yang membuat kurikulum tahu apa yang dibutuhkan oleh si anak masa depannya.
Jadi pada level prinsipal itu kalau sudah selip, turunannya akan selip semua. Itu kan... anak itu juga dibangun cara bersikirnya bukan dari hanya kognitif, tapi dari sehari-hari interaksi. Misalnya kebanggaan terhadap menjadi ranking pertama. Itu for what reason?
Itu kan penting jadinya. Dia proud karena kerja kerasku, atau proud karena aku di depan sehingga dikalungi banyak orang. Ini kecil-kecil kayak gini ini akan membentuk sebuah mindset yang akan dia bawa ke besarnya.
Contohnya yang saya kritik waktu itu. Misalnya gini negara mendorong untuk terjadi inovasi. Inovasi intrinsikly membawa risk of failure. Yes.
Kalau kamu tidak mengajari anaknya untuk menghadapi failure, gak akan ada yang berani inovasi. Nomor satu gitu. Nomor dua, inovasi itu salah satu aspeknya adalah solving the same problem in different way.
Kalau kamu latih pilihan ganda dengan satu jawaban yang benar. Anak akan intrinsically kebawa bahwa hanya akan ada satu jawaban yang benar terhadap semua hal. Kalau kita, saya ngeliat refleksinya itu di debat-debat online lah. Kebenaran selalu ini loh yang benar, itu salah, ini yang benar, ini seperti pilihan ganda. That's not life.
Life itu bisa many answer to the same problem. Betul, nomor satu conformist tidak mengadakan ruang untuk competing ideas. Yang nomor dua hirarkikal, jadi guru selalu memberikan model perilaku yang kalau tidak sama dengan itu maka tidak berperilaku baik. Saya selalu bilang di kelas gitu, ada beberapa model masalah, soal gitu ya.
Tentu nomor satu kita harus bersimpati juga, mengapa pilihan ganda mas. Karena menguji-ujiannya lebih gampang. dan kita masih punya pemasalahan resource.
Iya, paham. Tapi memang yang Mas Sabrang bilang itu tadi penting. Karena masalah yang diadapi di dunia seyogianya harus ada di dalam sekolah supaya ketika dia kuliah atau dia sekolah dia ada semacam latihan untuk mengadapi masalah sebenarnya di dunia. Masalah sebenarnya di dunia itu bisa dibagi ada tiga. Simple, kompleks.
Complicated. Simple itu ya tadi kita bilang 2 tambah 5 berapa 7 gitu ya. Complicated itu ya 2 tambah 5 tambah 4 kali minus 1 kuadrat atau segala macam berapa. Jadi sebuah masalah yang bisa diselesaikan lewat multitude of simple algorithm.
Tapi kalau diikutin lama-lama ketemu juga jawabannya. Tapi masalah di dunia itu kebanyakan kompleks. Jadi kalau pun ada jawabannya belum tentu.
Tapi kalau pun ada jawabannya mungkin jawabannya bukan cuman satu. Sehingga persoalan-persoalan yang hanya memungkinkan untuk diisi oleh satu jawaban seperti multiple choice tadi itu membuat orang berpikir bahwa kalau jawabannya tidak sama dengan jawaban massal ada yang salah dengan dirinya. Ya, performative. Saya setuju bahwa itu dibutuhkan masalah teknis ya kalau gak pilihan ganda ya. Setengah mati ini ngecek Gajinya udah kecil I mean bukan berarti Itu benar loh Kita punya awareness aja Dan kita mengatakan oke itu sekarang karena masalah Masalah teknis Artinya kalo ada New way to do things Kita bisa ubah itu kemudian Saya misalnya Langsung kebayang gini tadi Ketika jendenggan ngomong ya ini susah ngeceknya Kalo gak pilihan ganda agree Karena limitasi teknologi, bukan karena pedagogik yang benar ya.
Itu bukan konsep yang benar, tapi karena limitasi teknologi ya gitu. Kalau ada teknologi yang mendekat kan pada konsep yang benar, kan kita harus berani nih, Mak. Misalnya, oke semua SI, suruh AI yang jawab. Ayo suruh AI yang ngecek. Boleh pakai AI nggak?
Nah ini masalah real nih mas ya, ini saya ngajar di kelas ada beberapa mata kuliah yang bukan ujian sifat assessment terakhirnya tapi course work. Jadi semacam buat laporan. Jadi otomatis membuat insentif bagi mahasiswa untuk menggunakan AI, chat GPT misalnya gitu.
Bahkan ya mas ya saya tuh ngabisin waktu tuh 3 tahun bikin kode karena PhD saya waktu itu bikin kode matematik apa segala macem. 5 menit. Saya tulis di chat GPT keluar itu C++ codenya semuanya.
Aset kerja keras, nangis-nangis. Jadi mahasiswa sekarang bisa bebas mengakses itu. Di sistem pendidikan yang bagus menurut Mas Abrang, di encourage gak?
Oke, ini gak mau belok lagi nih. Ini gak kompleks lagi nih. First principle. Aku selalu menariknya ke first principle. Misalnya tadi untuk coursework.
Gunanya apa sih itu? Untuk mengukur apa sih? Untuk mengukur apa dari siswa?
Kapabilitas dari siswa misalnya. Complex thinking. Complex thinkingnya.
Oke. Apa yang bisa disediakan oleh AI? Yang disediakan oleh AI adalah kemampuan untuk memformulasinya atau untuk menuliskan mendelivernya misalnya. Oke.
Kalau dia kemampuan mendelivernya, artinya kita harus punya cara untuk nge-track original thinkingnya seperti apa. Jadi, Problemnya udah aku raise hampir setahun nih. Karena universitas itu akan kehilangan cara untuk nge-sess muridnya nih.
Dari hasil tulisannya sendiri. Masalah real. Ini masalah real ini.
Di universitas itu cara mereka agak menarik nih. Jadi output hasil akhirnya itu hasil dari diskusi yang salah satunya AI. AI siswa, siswa, siswa.
Jadi mereka diskusi. Turn in turn hasil akhirnya yang nulis AI. Tapi ada berapa persen dari ideanya si A, B, C, dan seterusnya.
Oke itu salah satu jalan keluar. Saya ada cara berpikir yang lain dengan konsep simbolik waktu itu. Konsep simbolik kan bikin knowledge graph terhadap yang dia miliki. Amin kalau memang dia bisa di trace ke knowledge graph dia.
Kita bisa tahu nih koneksi si anak ini Sebenarnya nulisnya seberapa sih Originalnya dari dia seberapa Seberapa yang dari AI Kan ada retrieval augmented generation Dimana generasi dia dari sumber luar Kita bikin AI nya untuk nulisnya Oke yang nulisin AI Tapi sourcenya harus dari brain mu nih Yang kamu lakukan bukan lagi urusan nulis Tapi yang mengumpulkan Ideas dari informasi yang itu Bahan nulis itu misalnya gitu, ada solusi itu, kita butuh new ideas untuk menghadapi ini masalahnya sekarang kompetensi dari para pendidik mas yang belum bisa secara massal gitu untuk mengakuisisi atau mengadopsi AI seperti itu, apalagi sebagai mode of assessment ini, jadi Singapura itu beberapa waktu yang lalu spend kalau gak salah 4 ribu dolar per orang di atas umur 40 tahun untuk teach dia adopt AI. Setiap orang? Setiap orang di atas 40 tahun warga Singapura. Untuk dia bisa pakai AI. Jadi re-education.
Saya paham apa sudut pandangnya. Karena kalau kita nunggu yang tua selesai ini, ini game-nya cepat banget ini bergeraknya. Game AI ini bergeraknya very very very very fast. teknologi 3 bulan yang lalu itu bisa obsolete.
Saya mau kasih polemik nih mas. Mana yang existential problem Indonesia? Kekurangan gizi atau harus memahami AI? Karena, ya gini ya mas ya, karena memang kalau kita ngomong di dalam ruangan ber-AC dengan bangku yang nyaman, tentang apa yang dilakukan salah oleh pemerintah atau regulator itu gampang.
Ya, betul. Memang gampang, tapi terutama kita harus sadari bahwa ada keterbatasan sumber daya. Yes.
Satu hal yang disubsidi harus mengorbankan yang lain. Kalau saya melihatnya gini, itu pada rentang yang berbeda, itu rentangnya paling pendek. gizi, makanan lakis itu rentangnya menengah panjang kalau kita konsentrasi di pendek menengah panjangnya bisa bahaya kalau kita menengah panjang konsentrasi di sana, pendeknya kita kelibas juga bahaya, harus ada balance disini, jadi menurut saya AI itu juga punya level abstraksi yang berbeda kita bisa guna, kita bisa milih penggunaan AI yang paling punya impact besar.
Menurut saya paling punya impact besar itu edukasi ya, tapi perubahan paradigm pada absorpsi of informasi. Kalau education, paradigmnya kan just in case. Oke. Paradigmnya just in case.
Iya. Dengan AI, ini kita bisa just in time. Oke. Just in time nih.
Artinya ada yang memang butuh pelajaran untuk jangka menengah panjang. Kita di, apa namanya? di aid sama AI yang baru aja kita obrolin tapi bisa yang langsung punya impact ini just in time bayangkan kalau UMKM jual sate dia bikin keuangannya rapi bankable dan punya advisor bisnis yang kelas internasional yang bisa diakses oleh seluruh UMKM Indonesia misalnya ini kan leverage-nya luar biasa dalam jangka pendek dia gak perlu tau AI gak perlu tau teknologi di belakangnya Anyway kalau kamu punya problem, temenmu nanya kok. Ini the same interaction.
The same interaction. Tapi ini punya impact pendeknya, menengahnya gimana, panjangnya gimana. Harus kita hitung bareng nih. Dengan investment sedikit mungkin. Karena ya kita tahu sendirilah.
Kita bukan orang yang abundant dengan resources. Kita harus very wise gitu untuk spend resources. Oke. Ini mungkin pertanyaan terakhir.
Karena kita memiliki sumber keuntungan yang terbatas. Kita memiliki sumber keuntungan yang terbatas. Dan itu adalah pertanyaan yang sangat tidak adil untuk dipost ke sesiapa pun.
Karena itu sangat hipotetik. Tapi jika Anda bisa memilih satu investasi yang urgent untuk Indonesia, apa yang akan Anda masukkan sumber keuntungan Anda ke dalamnya? Saya mau menyebutnya. Slicingnya pake domain atau any slicingnya? Bukan domain lebih ke arah yang oke domain apa yang harus diinvestasikan terlebih dahulu dan dalam jumlah yang banyak untuk memberikan lompatan tertinggi buat Indonesia di masa depan.
Menurut gue yang menurutku paling Bisa bikin impact paling besar Itu membuat mekanisme Open to interpretation ya mekanisme Investnya adalah membuat mekanisme Untuk bisa memfilter Talent Karena menurut saya betting terbesarnya Adalah ketika kita bisa menemukan talent Yang tepat untuk memberi impact di setiap domain Kalau kita bisa memfilter Dengan secara tepat itu Potensi dari Apa? konversi dari potensi menjadi aktualisasi bisa semakin besar itu sebenarnya membenarkan proses merit kalau meritnya jalan lebih bisa diakuratkan bisa dikatakan gitu kita ada mekanisme merit pasti bisa di optimize ditanyain mana yang paling menurut saya paling bikin impact paling besar optimizing sistem merit kita limiting the resources kita punya 5% aja yang sangat kompeten pegang tempat yang tepat itu impactnya kan jauh lebih besar the best people for the right task oke rekan-rekan kita sudah bicara banyak tadi dari epistemologi, pendidikan, Tuhan consciousness, talent Dengan Mas Sabrang nih bisa gak habis-habis ngomongnya. Tapi kita simpan diskusi berikutnya untuk topik-topik yang lebih seru ya Mas ya.
Siap. Oke dan for all watching thank you very much. That's Chronicles.
Terima kasih.