Transcript for:
Deforestasi dan Dampaknya di Indonesia

Beberapa hari lalu di penghujung 2024 beredar berita bahwa deforestasi untuk perluasan kelapa sawit tidak perlu dikhawatirkan. Bahwa sawit itu pohon juga dan daunnya menyerap karbon. tanaman salin ini bisa disebut sebagai pohon, Rob? Tidak, pertama tidak, karena pohon itu mempunyai kayu, mempunyai kambio. Ada silem, ada fluem, ada pembelikan. Kayu. Jadi bisa kita lihat. Ini tidak ada kayunya. Jadi maka secara umum kita sebut tanaman dan bukan pohon. Gagasan perluasan lahan tersebut dilandasi pertimbangan bahwa Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar 60% dari seluruh pasokan global. Industri ini menjadi sumber divisa utama di sektor non-migas. Dan... menyumbang hingga 88 triliun KABBN pada 2023 lalu. Ini juga memberikan pekerjaan bagi 16 juta orang. Negara lain, maso yang paling kritis terhadap deforestasi bergantung kepada pasokan sawit dari Indonesia. Maka, rasa maso akal jika kemudian dikembangkan sebuah narasi nasionalistis bahwa sawit adalah aset negara. Dan ia memerintahkan agar pemerintah daerah dan aparat TNI Polri menjaga kebun sawit. Mungkin benar bahwa sawit adalah aset negara. Tapi jika kita menggunakan perspektif warga, kita akan mendapati ironi pada pernyataan tersebut. Bukannya sawit itu aset swasta? Itu salah satu komentar yang muncul atas narasi tersebut. Bagi warga, itulah kenyataannya. Sebagian besar perkebunan dikuasai oleh perusahaan swasta besar, bahkan multinasional. Sementara, petani kecil hanya mendapatkan bagian kecil dari lahan mereka. Dan para buruh mendapatkan upah sangat rendah dan pelindungan kerjanya yang minimum. Jadi sebenarnya, klaim aset negara tampaknya agak sulit dipercaya oleh rakyat yang melihat sawit sebagai simbol ketimbangan ekonomi sekaligus kerusakan ekologi. Jika sawit benar-benar aset negara, aset bangsa, maka rakyat adalah pemilik sahnya. Namun saat ini, yang mereka miliki hanyalah dampak buruk dari deforestasi dan berbagai pelanggaran lainnya. Ada polisi, ada banjir, dan kehilangan akses pada sumber daya alam yang dulu memberi mereka kehidupan. Ada pola umum dalam hampir setiap pembukaan lahan perkebunan sawit. Yang pertama, Rampasan dan segita lahan. Perusahaan sawit seringkali mendapatkan lahan melalui intimidasi terhadap masyarakat adat dan warga setempat. Dengan meminta DNI dan Poli menjaga gebun sawit sebagai aset nasional, maka ekspansi pergebunan kelapa sawit berpotensi meningkatkan konflik agraria yang ada di Indonesia. Konsursium Pembaruan Agraria Umbama Melaporkan bahwa kasus konflik agraria meningkat 12% pada tahun 2023, mencapai 241 kasus. Dari jumlah tersebut, 108 konflik terjadi di area pergebunan, dengan 88 kasus atau kurang lebih 82% terkait langsung dengan industri sawit. Kedua, kerusakan lingkungan. Pergebunan sawit sering menggantikan hutan primer atau kawasan konservasi, mengibatkan perusahaan yang berbeda. Deforestasi dan berbagai dampak buruk yang mengikutinya. Setiap tahun kurang lebih 684 ribu hektare hutan Indonesia hilang. Sebagian besar untuk pembukaan lahan sawit. Hutan kita yang menjadi rumah bagi satwa langka seperti orang hutan, harimau Sumatra, hancurkan untuk ekspansi perkebunan monokultur. Yang ketiga, ada pelanggaran terhadap haksasi manusia. Perusakan yang bersekala luas mungkin terjadi tanpa pelanggaran. Intimidasi, kekerasan terhadap warga setempat, dan perlakuan buruk terhadap pekerja yang sering terjadi di sektor ini. Warga menjadi takut untuk memperjuangkan hak mereka, dan para pemilai lingkungan biasanya menghadapi intimidasi. Yang keempat, buruknya tata kelola. Dalam tata kelola yang buruk, celah hukum akan mudah dimanfaatkan. Kepentingan negara dan masyarakat dikorbankan. Di Rio Umpamanya, kita melihat kasus korupsi yang melibatkan Surya Dharmadi, pemilik grup Duta Palma, yang membawahi 61 perusahaan yang beroperasi. di dalam dan luar negeri. Negara dirugikan kira-kira hingga 78 triliun. Juga korupsi oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang berlangsung sepanjang 2015 hingga 2022. Dan sampai sekarang belum jelas siapa tersangkanya. Penyalahgunaan semacam ini tidak hanya mencuri uang rakyat, tetapi juga menghancurkan sistem yang seharusnya menjaga lingkungan dan melindungi hak masyarakat. Dan kelima, ketimbangan ekonomi. Keuntungan dari industri sawit hanya dinikmati oleh perusahaan besar, sementara pekerja dan masyarakat lokal mendapat manfaat kecil atau justru dirugikan. Banyak masyarakat adat hanya menjadi buruh di tanah leluhur mereka sendiri, dampaknya adalah ketidakadilan sosial dan kemiskinan struktural. Pola-pola ini mencerminkan masalah struktural dalam pengelolaan industri sawit yang ada di Indonesia. Tanpa reformasi dalam tata kelola lahan, pelindungan lingkungan, dan penegakan hukum, masalah ini misalnya akan saja terus berulang. Teman-teman, semoga tidak ada lagi deforestasi. Kita sudah kehilangan banyak sekali hutan kita. Data tahun 2023 dari Badan Informasi dan Geospasial menunjukkan bahwa luas lahan sawit sudah mencapai 17,3 juta hektare atau kurang lebih 1,5 juta hektare. sekali luas pulau Jawa ekspansi sawit yang tidak terkendali dan jika perusahaan-perusahaan besar masih diizinkan capok hutan-hutan primer dan sekunder jangka panjang listaya membawa kerugian ekonomi dan melahirkan bencana ekologi kita masih bisa kok meningkatkan produksi minyak sawit tanpa harus membabat lagi hutan-hutan kita ada beberapa langkah yang menurut saya masuk akal untuk bisa dilakukan Saya hakul yakin pemerintah bisa melakukan ini. Yang pertama, permajaan kebun sawit tua. Permajaan dengan menggunakan bibit unggul yang lebih produktif dan tahan terhadap penyakit dapat meningkatkan produktivitas kurang lebih 20 hingga 30 persen. Pada saat ini, 40 persen kebun sawit Indonesia berusia tua, sehingga produktivitasnya ya hanya sekitar 2 sampai 3 ton per hektare per tahun. Replanting dapat meningkatkan hingga 6-7 ton per hektare. Yang kedua, rehabilitasi lahan yang terdegradasi. Menurut Bapak Nas, Indonesia memiliki lebih dari 14 juta hektare lahan kritis yang dapat direhabilitasi atau dimanfaatkan. Pemanfaatan lahan terdegradasi ini akan menjadi solusi strategis untuk mendukung pengembangan industri kelapa sawit yang berkelanjutan. Dengan memanfaatkan lahan kritis, Bapak Nas terima kasih. kanan terhadap hutan primer dan keanekaragaman hayati dapat diminimalkan. Dan kita dapat memenuhi target peningkatan produksi minyak kelapa sawit hingga 60 juta ton pada tahun 2030 nanti, tanpa harus memperluas lahan perkebunan. Yang ketiga, membangun kemitraan dengan petani swadaya. Sebagai pengelola 40% dari kebun sawit nasional, para petani swadaya adalah tumbuh. untuk menghadapi tantangan masa depan. Bangun pusat pelatihan untuk para petani di sentra industri sawit, berikan insentif kepada perusahaan yang bermitra dengan petani. Dan yang keempat, sertifikasi ISPU dan RSPU yang mendorong percepatan sertifikasi Rontable on Sustainable Palm Oil dan Indonesian Sustainable Palm Oil akan menjamin pengelolaan kebun-kebun sawit sesuai dengan standar lingkungan dan sosial. Per September 2023 lalu, hanya kurang lebih 48 persen lahan sawit Indonesia yang tersertifikasi RSPO dan ISPO. Peningkatan ini dapat memperluas akses ke pasar global. Dan yang kelima, tegakkan aturan. Kita semua harus serius memerangi korupsi dan laporan tentang tata kelola sawit 2019 BK mengkap 81 persen perkebunan sawit bermasalah dalam hal izin. Ada juga masalah tata ruang, kepatuhan terhadap peraturan-peraturan lainnya. Pelanggaran-pelanggaran tersebut menyebabkan negara kehilangan potensi pendapatan besar dari pajak dan retribusi. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum ini membuka celah bagi praktek korupsi. Itu sumbang saran saya sebagai warga. Untuk negeri yang kita cintai bersama. Jika industri sawit menjadi andalan dan dianggap sebagai asal negara, ia seharusnya menjadi simbol keperlanjutan dan kemakmuran, bukan penghancuran dan intimidasi. Saya aku yakin dengan cara-cara yang benar kita mampu merawat Indonesia. Menjaga hutannya, melindungi keragaman hayatnya, dan mencahberakan dayanya.