Transcript for:
Evolusi Brand dan Perubahan Marketing

Berkali-kali saya bahas soal brand dan berkali-kali pula saya bilang bahwa brand itu adalah salah satu dari sedikit terminologi di marketing yang paling banyak dibicarakan. Nah, menariknya dengan berbagai perkembangan di dunia marketing, apakah ilmu brand juga berkembang? Dan gimana pula dampaknya terhadap brand-brand kecil yang harus masuk ikut bersaing menantang brand-brand besar?

Halo, saya Ignacio Sundung. Selamat datang di Marketing. Salah satu tantangan paling serius untuk orang marketing itu kan adalah dinamikanya. Jadi marketing ini salah satu ilmu yang terus berevolusi ya.

Jadi mirip-mirip kalau profesi lain yang juga banyak berevolusi itu misalnya dokter. Dokter itu kan langganan jurnal yang terus dibaca ada perkembangan apa lagi. Mirip-mirip sama marketing.

Coba contohnya misalnya pertama pemilihan channel. Dulu kita nggak bisa bayangin bahwa TV akan punya saingan. Karena TV begitu dominan, begitu juga dengan koran. Sampai kompas dulu satu-satunya media yang bisa terapin PBB, Pay Before Broadcast. Jadi pengiklan harus bayar dulu sebelum iklannya tayang.

Media lain mana ada yang bisa gitu. Urusan diskon pun juga sama. Ketika berbagai macam media pasang harga iklan tinggi, tapi diskonnya dibanting luar biasa, kompas itu stick dengan diskon yang amat-amat kecil. Jadi membuktikan bahwa memang sebegitu powerfulnya media-media zaman dulu.

Tapi sekarang gimana? Minggu lalu saya dapat kesempatan untuk beli kompas, harganya tidak semula dulu mungkin karena iklannya sudah tidak banyak, sudah tidak setebal dulu juga, tapi bagus bisa bertahan karena banyak yang sudah mati. Jadi...

luar biasa kekuatan kompas. Tapi ada banyak channel lagi yang berubah total. Begitu juga dengan marketing investment.

Kalau dulu cuma punya budget kecil, butuh mujizat untuk bisa stand out. Karena nggak punya duit untuk borong media. Dan uang itu suka nggak suka, bisa membeli exposure, kurang lebih begitu. Jadi mau sekeren apapun produknya, bisa kedodoran di amplifikasinya kalau budgetnya nggak gede. Nah sekarang kita lihat banyak banget brand dengan modal dengkul dalam tanda kutip.

Bisa punya traction yang lumayan, diomongin dan direferensiin. Thanks to social media dan the power of content marketing. Belum lagi kehadiran digital marketing yang kasih peluang untuk brand yang cuma punya budget puluhan ribu untuk bisa beriklan. Kalau dulu nggak bisa puluhan ribu. Orang harus jutaan gitu ya, not even seratus ribu gitu ya.

Sekarang digital marketing bisa. Nah, dulu juga jalanin marketing itu butuh otak, tapi juga butuh nyali. Karena nggak banyak yang bisa di-attribute. Kalau minim pengalaman, Pasang iklan kayak pasang loterai rasanya. Dapet nggak ya?

Kena nggak ya? Ini targetnya dan lain sebagainya. Dan makin deg-degan lagi karena nggak bisa budget kecil.

Jadi budgetnya gede, jadi kayak pasang loterainya gede. Tapi sekarang banyak channel yang bisa di-attribute. Dan bahkan dengan budget yang relatif lebih terjangkau.

Jadi kalau pun nggak berhasil, risikonya juga kecil. Apalagi ini bisa di-attribute dan di-track. Di mana gagalnya?

Walaupun media-media channel-channel yang dulu yang tidak bisa di-attribute masih banyak. Tapi pilihannya sekarang bertambah. Dan marketing juga mengalami banyak banget perubahan dalam 10-20 tahun terakhir.

Jauh lebih banyak dari gimana bidang lain berubah. Pertanyaannya gimana dengan brand? Apakah ada yang berubah?

Apa sama aja? Mungkin ilmu brand secara esensi masih sama. Brand is all about trust. Ini adalah tentang apa yang orang katakan ketika Anda tidak ada di ruangan. Kan gitu katanya.

Ini juga adalah tentang pengungkit yang bikin kita bisa charge lebih, bisa menjual dengan harga lebih dan masih tetap laku. Tapi ada beberapa hal yang berubah. Apa aja itu? Yang pertama, brand itu bisa dibangun dalam waktu yang relatif lebih singkat dari sebelumnya. Dulu sulit banget untuk punya brand baru, bisa punya traction yang luar biasa cepat, kecuali tadi, kecuali punya uang yang banyak.

Karena time is money, kalau nggak mau nunggu yaudah bayar aja. Beli exposure, beli reach, impression, frekuensi dengan cara borong media. Dominasinya bisa kelihatan di berbagai macam media. Kayak contohnya Maykarta beberapa tahun lalu melakukannya.

Tapi balik lagi. bahkan ketika bisa membeli waktu, lalu apakah masuk secara ROI. Jadi dulu sulit banget untuk brand bisa punya traction yang luar biasa cepat, dan butuh waktu untuk bisa compete dengan brand-brand besar yang udah keburu di market. Bahkan untuk punya pangsa pasar yang kecil aja tuh lumayan sulit.

Tapi sekarang nggak sedikit brand yang bisa punya traction yang baik dalam waktu yang relatif lebih singkat. Dan juga budget yang relatif lebih sedikit dibandingkan yang dulu-dulu. Contohnya apa di kategori sepatu, saya sebut satu brand, ada brand Kanki gitu ya.

Sepatu buatan lokal punya traction yang relatif lebih cepat dibanding pemain-pemain baru di masa lalu. Yes, Kanki memang masih belum bisa sejajar melawan pemain global kayak Nike, Adidas, Reebok, dan sebagainya. Tapi sebagai pendatang baru, tractionnya lumayan bagus.

Dan mereka melakukannya... Bukan dengan jor-joran marketing budget kayak brand Sultan yang zaman dulu gitu ya. Bahkan kalau dibandingin dengan brand-brand lokal yang dulu pernah bersaing dengan brand multinasional, ini pun juga bahkan masih lebih oke gitu. Jadi Kanki punya rapor yang tidak kalah gitu. Dan ini didapat dalam waktu singkat dengan budget yang lebih minim.

Yang kedua kalau kita lihat di kategori gadget aksesoris. Gadget ini nggak harus gadget buat yang kita pakai, tapi termasuk IoT. Internet of Things, Smart Home, dan lain sebagainya.

Ada satu brand namanya Bardi. Brand yang menawarkan rangkaian produk small appliances ini juga punya penetrasi yang luar biasa dalam membangun traction. Mirip kayak Xiaomi kalau di luar negeri ya, walaupun Xiaomi juga ada di sini.

Apa aja dijual sama mereka, CCTV, smart lock, sampai dispenser makanan hewan yang bisa dikenalikan jarak jauh melalui aplikasi di smartphone. Jadi kategori ini jelas bukan kategori yang... yang sudah ramai pemain mungkin, tapi entry barrier-nya tinggi.

Karena orang ada dilema, kalau harganya tinggi, orang nggak berani beli. Karena aduh, kok harganya tinggi? Brand-nya brand baru, terlalu beresiko. Tapi begitu harganya murah, orang nggak percaya kualitasnya.

Masa iya sih bisa begini, tapi harganya segitu? Jadi serba salah. Tapi ya mereka berhasil punya traction yang lumayan cukup bagus dalam waktu yang singkat.

Nah, begitu juga di kategori skincare dan kosmetik. Wah, ini udah nggak perlu disebutin lagi brand-nya ya. Ini kategori yang menurut saya bukan lagi Red Ocean, tapi bahkan sudah jadi Black Ocean. Pemainnya banyaknya nggak nanggung-nanggung, makin rame lagi ketika banyak pabrik nawarin jasa Maclon. Jadi kita bisa punya brand skincare sendiri, which artinya walaupun pemainnya banyak akan sulit cari pembedanya, karena Maclon itu kan sebenarnya isinya mirip-mirip, sama-sama aja, tinggal di white label lah kurang lebih gitu.

Tapi apa yang terjadi? Silahkan aja tanya ke brand-brand besar. Marta Tilaar, Martina Berto, Bodyshop, dan brand-brand besar lainnya.

Mereka yang udah kenyang bertarung dan ngadepin persaingan yang kaya apapun juga selama berpuluh-puluh tahun, sekarang juga dibikin geleng-geleng kepala ngadepin persaingan yang luar biasa. Dan kalau dilihat, brand baru yang ada di pasar, ada Something, White Lab, Corsair X, dan puluhan brand lain gitu ya, mereka bertahan dan punya traction yang lumayan. Sampai bisa ada Beauty Expo, yang rame-nya bisa ngalahin pameran mobil. Dulu cuma pameran mobil yang rame, sekarang...

beauty expo, pameran produk-produk kecantikan, skincare, kosmetik, dan sebagainya. Artinya memang traction-nya bagus. Nah, kenapa mereka bisa begitu? Kenapa brand-brand baru ini bisa masuk menantang brand besar dengan dalam waktu lebih cepat? Apa yang disediakan oleh market yang membuat mereka bisa ngelakuin?

Yang pertama, produk. Harus diakui banyak brand-brand baru yang ngerti konsumen dengan lebih baik. Mereka bikin produk yang fit dengan selera pasar. Desainnya keren, relevan banget sama selera pasar. Nggak jadul, nggak murahan.

Harganya juga masuk dengan kantong marketnya. Mereka kan sebagai brand baru, nargetinnya pasti yang kelompok yang bawah, yang Gen Z ya. Penghasilan masih terbatas, banyak maunya gitu ya, tapi duitnya terbatas. Tapi mereka juga nggak mau punya produk atau beli produk yang jelek-jelek banget. Makanya mereka open banget sama brand-brand baru ini, karena budgetnya masih belum lejar untuk beli brand-brand yang udah established.

Jadi brand-brand baru ini jadi opsi yang menarik. Nah, offernya pun relevan dengan kebutuhan mereka. Kangki, modelnya keren, nyaman, harga masuk.

Nggak malu lah untuk dipakai. Begitu juga dengan bar, serving kaum rebahan yang amat sangat, kalau bisa santai aja cuma klik di smartphone, why not? Praktis untuk macam-macam, mulai dari CCTV yang nggak perlu, instalasi yang ribet kayak zaman dulu, harus tarik kabel, harus ini, harus itu, sampai saklar yang bisa dinyala matiin dengan HP dari jarak jauh.

Saklar apapun, mau saklar lampu, mau saklar colokan sop kontak, apapun itu. Sampai lagi bahkan ke dispenser makanan anjing atau makanan kucing yang bisa dikontrol dari jauh dengan HP sehingga konsumen bisa pergi liburan tanpa pusing mikirin anjing dan kucingnya yang ada di rumah. Karena dia bisa kontrol jamnya ngasih makan terus habis itu dikasih.

Jadi sesuai banget dengan gaya hidup mereka. Skincare juga sama terutama bagaimana brand-brand lokal pendatang baru kasih opsi dengan harga yang lebih terjangkau dengan kualitas yang juga good enough. Nah yang kedua adalah channelnya sekarang banyak tersedia channel murah yang masif dan efektif. Ini mungkin jadi pembeda yang signifikan ya. Jadi ketika brand-brand besar sibuk dengan strategi yang komprehensif, dengan belanja media yang jor-joran, kualitas produksi yang juga well polished gitu ya.

Brand-brand pendatang baru ini nggak punya banyak pilihan, budgetnya terbatas, sehingga mereka dipaksa untuk memanfaatkan yang ada apa sih dan yang terjangkau untuk mereka, salah satunya social media. Jadi harus diakui brand-brand pendatang baru lebih ngulik soal social media, ya. ketimbang brand besar. Sebagian karena memang nggak punya pilihan dan nggak punya banyak uang juga.

Nah menariknya, secara kebetulan ada behavior yang berbeda di social media, terutama di TikTok. Audiensnya TikTok ini somehow lebih suka konten-konten yang tidak sempurna secara eksekusi, tapi otentik. Artinya nggak perlu diproduksi mahal dan well polished, boleh shaky-shaky dikit lah gambarnya, nggak perlu over-retouch, justru ketidaksempurnaannya secara bawah sadar ini ditangkap otak sebagai tanda bahwa ini bukan branded content. Sehingga mereka pun mau nyimak.

Nah sementara materi-materi brand-brand besar yang terlalu polished gitu ya malah jadi di skip karena secara instan langsung dikenali sebagai iklan dan konsumen gak mau lihat iklan. Bukan itu tujuan orang buka sosmed gitu ya. Nah secara kebetulan juga social media juga punya...

punya kekuatan yang luar biasa untuk menciptakan social influence, ketimbang paid media apapun, karena dianggapnya organik, karena batasan durasinya juga relatif lebih lega ketimbang iklan yang patokan durasinya ada, entah 6, 15, 30, atau 60 detik. Sehingga ketika nggak punya batasan durasi, narasi storytellingnya juga lebih bebas, lebih leluasa, dan ketika rasanya bukan seperti iklan, akhirnya orang mau nyimak dan bahkan mau memviralkan. Sesuatu yang paid media nggak bisa lakukan.

fasilitas untuk di-share, karena paid media nggak bisa di-share. Nah, dengan social media, konsumen nggak lagi juga jadi konsumen doang, tapi mereka juga jadi produsen. Dan brand-brand mendatang baru banyak yang tahu gimana caranya manfaat ini. Bikin audience mau post di social media mereka, experience positif pakai produk, testimoni, dan lain sebagainya. Akhirnya menciptakan social influence.

Nah, di sisi konsumen juga ada perubahan. Konsumen sekarang, terutama yang muda, punya karakter yang secara tidak langsung kasih celah untuk brand pendatang baru untuk bisa punya traction. Pertama, mereka belum punya uang banyak, daya beli masih kecil, seperti tadi udah saya singgung.

Jadi brand-brand pendatang baru yang belum gengsi jual lebih murah, jadi pertimbangan, karena harganya masuk. Kedua, mereka nggak suka konten-konten propaganda satu arah, seperti zaman-zaman dulu. Nah, brand-brand besar ini terlambat belajar hal ini. Mereka masih satu arah, jualan kecap lah ya, produk saya paling bagus dan sebagainya. Banyak yang masih stick dengan cara-cara lama, caranya paid media.

Ya, mereka... Mereka adalah konsumen yang kritis, mereka nggak suka dibohongin, toh mereka punya akses ke informasi yaitu social media, termasuk cek ke pengguna-pengguna lain, review, dsb. Ketiga, brand mendatang baru dengan resurser batas, itu berusaha memaksimalkan apapun yang dimiliki, bikin brandnya ada di mana-mana secara efisien. Cocok dengan karakter konsumen muda yang mau eksplor. Ketika mereka eksplor di internet, zaman sekarang begitu anak pembeli kepikir satu produk, yang pertama dilakukan adalah cari dulu di Google.

Cari dulu. Dari dulu di TikTok, di Instagram, di Youtube dan sebagainya. Nah, brand-brand yang masih baru ini paham banget itu sehingga mereka menyediakan berbagai macam informasi di berbagai macam channel tersebut. Informasinya lengkap, jadi social proofnya tersedia sehingga mereka nggak minder pakai brand-brand yang baru. Keren kok orang banyak yang pakai.

So, apa yang kita bisa pelajari? Yang pertama, market akan selalu berubah. Teknologi merubah cara orang menyikapi sesuatu.

Termasuk bagaimana orang mencari informasi produk dan memilih informasi apa yang mereka mau. mau lihat. Maka dari itu, mindset dan kemampuan paling penting adalah tentang gimana kita mau selalu ngerti market. Ngapalin teori marketing itu nggak pernah cukup.

Butuh ngerti market, ngerti manusia, ngerti kapan mereka mulai berubah, kenapa mereka berubah, sehingga tahu gimana harus menyikapinya. Prinsip brand saya yakin selalu sama. Brand dibentuk di benak konsumen, jadi ketika behavior konsumen berubah, maka cara brand bisa dibangun di benak konsumen pun perlu di adjust.

Tapi prinsip bahwa itu terbentuk di benak konsumen ... masih sama sehingga kebutuhan untuk ngerti konsumen dan bagaimana konsumen berpikir mengambil keputusan mencerna informasi itu akan malah jadi terkonfirmasi Oke seperti biasa ada quiz pertanyaannya sebagai berikut Pemenang dari episode kali ini bisa disaksikan di episode selanjutnya, maka dari itu selalu saksikan Marketing di Marketers TV. Saya Ignatius Undung, pamit undur diri.

Gimana? Seru-seru kan videonya? Kalau suka, jangan lupa komen dan like ya. Masih banyak juga nih video-video yang keren-keren lainnya.

Dan jangan lupa subscribe juga MarketTripTV di sini.