Pertama-pertama sih susah, karena untuk apa bangun pun susah. Harus perlu alat bantu kayak pegangan tembok atau kayak kursi. Tapi setelah belajar, belajar terus belajar, akhirnya bisa sedikit-sedikit tanpa harus megang tembok atau apa, ngatur keseimbangan sendiri.
Allah itu ngasih kita kekurangan pasti ada maksud tertentu gitu ya Belum tentu kalau misalkan Rina bisa kayak orang lain Belum tentu Rina bisa punya kehidupan ini Terima kasih. Tepian sungai di desaku, desa bongas, sedang munculkan paras terbaiknya. Nikmat rasanya bila sore ini ku ajak Laskar istimewaku bermain kesini.
Kali ini ada Nih, Dewi, Misfar, Anggi, serta Sidik. Mau kemana? Lalu, lalu, lalu.
Oh, oh. Jalan-jalan. Sudah 4 bulan aku berinteraksi dengan mereka. Dengan mudah bisa keurai hal yang menonjol dari tiap anak.
Dewi daya ingatnya tinggi. Ani, tangannya super terang. Sidi gemar bicara, sedangkan Anggi dan Miswar unggul dalam daya gerak. Tujuan kami kesini sederhana saja, bermain, bercerita, mengurai tawa.
Aku dan mereka terikat satu kesamaan, disabilitas. Sampai lima ya. Kalian boleh sebut perbedaan kami dengan lantang.
Kerdil, tuna rungu, otisme, tuna daksa, apapun. Bagi kami, label-label itu hanyalah fakta yang telah kami terima dan akan terus kami hadapi. Seperti kali ini, kalau aku lanjutkan pelajaran bahasa isyarat dasar pada mereka. Dia apa? J!
Itu sakit satu kali lagi. J! Sebenarnya dalam laskar istimewaku ini hanya Anggi yang menyandang tunarungu. Awalnya memang hanya dia yang kuajari isyarat. Dari kecil ia tak pernah beroleh akses untuk belajar berkomunikasi dengan orang lain.
Ia pun sempat jadi pribadi. tertutup. Bukan aktif dan penuh rasa ingin tahu seperti sekarang.
Setelahnya ingin kutebarkan pula rasa saling mengerti di antara mereka. Tak boleh ada yang merasa terasing oleh kondisi. Hai ilmu itu kan kalau dibagi lebih bagus yang kedua kan ini temennya Anggi sama kayak disini kan enggak maksudnya gini ini kan mispar mispar kan biasa mungkin pengen komunikasi sama Anggi tapi susah Nah kalau misalkan diajarin dasarnya jadi tahu hai hai Ininya kutip dulu, Del, biar nggak kebajangan. Namaku Rina Juniani Susanti.
Di desa Bongas, kecamatan Cililin, Kamupaten Bandung Barat, Jawa Barat, inilah aku lahir 20 tahun lalu. Kesebut kegiatan ini rumah belajar, walaupun kami tak pernah benar-benar punya tempat khusus untuk berkegiatan. Dalam satu minggu minimal kami berkumpul satu kali. Seperti ini saja, belajar satu-dua keterampilan sederhana.
Ide rumah belajar spontan tercetus tahun lalu. Aku tercengang menyadari jumlah penyandang disabilitas dengan beragam kondisi di sini. Bermodalkan niat dan keyakinan, ku datangi rumah-rumah warga. Aku yakinkan para orang tua yang memiliki anak dengan disabilitas untuk berkegiatan bersamaku.
Kalau yang alhamdulillah, kalau yang anak-anak ini kan terbuka langsung orang tuanya, oh iya langsung dengan senang hati, tapi ada kendala juga ya. Ada yang tidak mau ataupun yang cuma ngeliatin anaknya, tapi pas mau diajak kegiatan nggak boleh, ada yang kayak gitu sih. Keraguan orang tua bisa jadi beralasan. Aku memang tak punya keahlian khusus untuk memfasilitasi anak dengan disabilitas.
Ilmu berbahasa isyarat ini saja, hanya sekilas ku dapat saat dulu pernah ikuti pelatihan di dinas sosial. Sisanya, ku perlancar sendiri dengan andalkan internet. Pasti kalau kita nyanyi ya, terus kita nyanyi mampu, insya Allah.
Dan sekarang kan alhamdulillah bisa ngajak anak-anak ini. Siapakah yang berhak menentukan garis batas? Sesungguhnya, tiada seorang punjua.
Nampaknya itu yang ingin Misvar dan Anggi tegaskan. Lewat tim sepak bola anak desa bongas, mereka meruntupkan palang. Misvar gesit berlari.
Hai sedangkan Anggi jeli mengolah si kulit pundar dengan mudah bagian dari laskaris Timewaku ini masuk ke dalam tim kiprahnya pun terbilang lumayan ditingkat rukun warga tim Desaku telah punya nama mispar karena kita pengen supaya anak-anak disabilitas itu supaya tidak diskriminasi tidak tidak di pojokan biar baur gitu biar biar gaul semuanya soalnya kan dia juga punya hak yang sama punya apa kewajiban untuk pendidikannya olahraganya kesehatan jasmani dan rohaninya juga sama bagaimanapun bukan berarti minus tantangan terutama bagi Anggi hai hai Ia tentu tak bisa mendengar seruan dari rekan-rekan satu timnya. Rekan yang lain pun sering tak memahami isyarat yang Anggi berikan. Dari latihan bersama seperti inilah, kesepahaman dibangun sedikit demi sedikit.
Ya, nyatanya bahagia adalah menurut mereka yang bangga menjadi dirinya sendiri. Itu tuh yang ngejek itu kan nggak semua orang. Kenapa harus patah semangat dengan dua orang banding yang ngedukung misalkan 20. Intro Masa lalu jadi pengingat bahwa kelam selalu ada sebelum terang.
Masalah di kakekku ini mulai ku alami saat usiaku baru menginjak 5 bulan. Sama orang tua dibawa ke kayak terapis-terapis gitu, tapi nggak cukup ke satu orang. Dengan ada informasi ke ada di daerah Anu ada, apa di sini ada, terus dicoba. Nah, pas. Tapi hasilnya ya begitu aja.
Pernah ada masa aku merutuki keadaan diri, terutama saat aku terpaksa putus sekolah di jejang SMP. Jarak rumah ke sekolah sekitar 1 km harus ketempuh berjalan kaki. Padahal seringkali kaki ini terasa nyeri bila melangkah terlalu kerap. Pandangan miring beberapa kawan sebaya pada waktu itu juga melemahkanku.
Itu yang ngejek itu kan nggak semua orang, itu kan yang ngejek cuma satu-duanya, kenapa harus patah semangat dengan dua orang, banding yang ngedukung misalkan 20-20 banding 2, kenapa harus patah semangat, terus kalau Rina-nya bisa, kalau Rina-nya mau, kenapa gitu, lanjutin aja sih. Kekurangan mengingatkan aku untuk terus mencari kekuatan lain yang ada di dalam diri. Aku tak mau larut dalam kegamangan.
Biar pendidikan terlepas, masa depan tetap harus tergenggam. Lewat keterampilan Tata Boga, aku menabung mimpi akan hidup yang berdikari. Ini saya, ayah.
Ini saya, ayah. Setiap malam, berbagai adonan kue dan penganan sederhana kuracik. Keterampilan ini kudapat dari hasil sekolah tata boga dulu. Sedangkan resepnya, kuulik dari uji coba di dapur.
Terkadang ibu terkasih tak segan turut membantu. Kadang-kadang dia mah pintar sendiri kan, dulunya udah pernah sekolah, sekolah Tata Boga dulu. Dia daripada saya mah pintar yang kena bikin kue, bikin kue bolu, bikin donat.
Gitu, udah pintar bikinnya. Misalkan secara sekarang ikut-ikut membantu gitu. Ikut-ikut apa lagi namanya?
Kegiatan-kegiatan gitu, di sosial gitu. Ibu selalu mendukung. Apa kemauan dia. Saat ini kue hasil recikanku aku titipkan di warung-warung sekitar rumah. Dari tiap kue, aku dapat keuntungan seribu rupiah.
Nentu hasil yang aku dapat, tapi amat berguna untukku. Kedepan, aku miliki impian untuk membangun toko kue milikku sendiri. Enggak selamanya harus tergantung aja sama orang lain. Selagi kita mau berusaha, selagi kita yakin, insya Allah pasti ada jalan. Aku tahu kaumku sering dipandang sebelah mata, dianggap tak bisa berdaya bagi dirinya sendiri.
Pada saat ini pun aku masih sering alami cemas, membayangkan apa jadinya diriku di masa depan. Namun sebisa mungkin, aku tak larut dalam rasa itu. Bagiku musuh yang paling berbahaya, takut dan biasa. Syukurku padamu dalam keheningan hati dan jiwa, ku bersimpuh bersucut di hadapanmu, titik air mata tak tertahankan.
Saat kupanjatkan sujud syukurku padamu, ya Allah, aku tahu hidupku tak sesempurna yang lain. Namun, Kesetiaan jiwa di hati adalah harta yang tiada tandingannya Dan aku tahu kau selalu ada memberi jawaban Kekuranganku adalah kelebihanku Terima kasih ya Tuhan Kita tidak lagi berusaha mengatakan bahwa yang penting anak ini hidup Tapi bagaimana membuat hidupnya ini penuh akibat Sungai di desaku ini termasuk dalam daerah aliran sungai Citarum. Airnya jadi sumber bagi waduk saguling.
Satu dari tiga waduk buatan yang ada di Jawa Barat. Selain jadi sumber pemenuhan kebutuhan air, Saguling jadi tulang punggung energi listrik bagi penduduk Jawa dan Bali. Airnya memang sungguh datakan berkah, namun di balik itu semua ada persoalan tersimpan.
Pada 2013, organisasi Nirlaba Blacksmith Institute di Amerika serta Green Cross di Swiss nyatakan Citarum sebagai satu dari sepuluh sungai paling tercemar di dunia. Saguling pun jadi waduk yang paling terkena imbas. Jumlah penyanang disabilitas di desaku terbilang mencengangkan. Walaupun Dinas Sosial nyatakan hanya ada satu kasus disabilitas di Kecamatan Cililin, namun temuan di lapangan tunjukkan hal berbeda.
Menurut data Safety Children Indonesia pada 2015, di Desa Bongasaja ditemukan 48 kasus disabilitas. 14 diantaranya anak-anak. Save the Children adalah organisasi nirlaba internasional yang fokus pada isu anak-anak.
Keberadaan Waduk Saguling dianggap masyarakat sumber malapetaka. Memang belum ada penelitian resmi, namun jumlah disabilitas nyatanya mulai merebak sekitaran tahun 1985, tahun di mana Waduk mulai beroperasi. Apapun penyebabnya, menurutku masyarakat harus lebih peka.
Ini masalah nyata dan harus ditanggulangi bersama. Di pos pelayanan terpadu atau posyandu, aku berusaha tebarkan semangat itu. Di sini, aku coba meringankan tugas para kader.
Sederhana saja, seperti mencatat kehadiran, menimbang, hingga mengajak main anak-anak. Program ini baru berjalan 3 tahun. Memang tak bisa mencegah terjadinya disabilitas, namun amat efektif untuk mengurai efeknya.
Semakin cepat terdeteksi, makin mudah untuk ditanggulangi. Hanya satu yang masih jadi pekerjaan rumah, meningkatkan partisipasi orang tua untuk rutin membawa anak mereka ke posyandu. Di sinilah tempat semangatku pertama kali tersemai, rehabilitasi berbasis masyarakat atau RBM. RBM di desaku ini binaan Save the Children Indonesia. Mulai dijalankan Juli 2012, RBM menjangkau 150 desa di 50 kecamatan yang ada di 6 kabupaten dan kota di Jawa Barat.
RBM model seperti ini tak melulu berfokus pada anak penyandang disabilitas, orang tua sang anak yang justru jadi sasaran utama. Sekarang dengan case anak disabilitas, ini yang kita bisa lakukan adalah meningkatkan kualitas hidup mereka. Jadi kita tidak lagi berusaha mengatakan bahwa yang penting anak ini hidup, tapi bagaimana membuat hidupnya ini penuh arti. bisa melakukan apa pun dengan kemampuan yang mereka miliki. Keluarga yang hampir 24 jam ada bersama anak-anak, maka keluarga itu yang punya kesempatan untuk melatih dia kapanpun, setiap hari, dan seterusnya.
Nah itu yang kemudian dengan memberikan pembelajaran pada keluarga sebetulnya kita interest-nya panjang. Nanti keluarga ini bisa melatih anak itu setiap hari. Pelaksanaan RPM dikelola fasilitator yang merupakan warga desa.
Di desa Bongas ini, aku jadi salah satu fasilitator. Di sini tak dipungkiri, masih banyak keluarga yang miliki anak dengan... Disabilitas memilih sembunyikan anaknya di balik tembok.
Namun Ibu Rosmawati memilih untuk mencurahkan asa. Sudah tiga bulan terakhir, ia kerap datang ke RBM bersama anaknya Lala yang menyandang tunagrahita. Ibu jadi menambah semangat untuk mengurus anakku.
Khusus gitu ya, lebih spasifik gitu. Jadi perhatian orang tua tuh justru harus lebih dari yang lain, dari anak-anak yang lain. Dan akhirnya kekuranganku ini mengajarkan satu hal, hidup yang bermakna adalah hidup yang disyukuri.
Mungkin Allah itu ngasih kita kekurangan, pasti ada maksud tertentu gitu ya. Belum tentu kalau misalkan Rina bisa kayak orang lain, belum tentu Rina bisa punya kehidupan ini. Dari desa kecil di tepian sungai ini, kami menebar kabar bahwa hidupkan kami jalani dengan tetap tegar.
Kekurangan adalah kelebihan untuk pancarkan potensi diri. Sebenarnya kalau misalkan kita mampu, kalau misalkan kita mau. Bisa, bisa. Dari diri sendiri pun bisa merubah stigma itu.
Bahwa sekarang kan disabilitas tuh sering dianggap, wah kamu disabilitas bisanya apa gitu kan. Sering dianggap sebelah mata lah gitu. Tapi kalau misalkan kitanya mau, kitanya mampu, insya Allah pasti bisa merubah itu.
Karena menyerah memang hal termudah untuk dilakukan. Namun, terus bertahan saat semua terasa tak mungkin adalah kekuatan sejati.