Transcript for:
Tantangan Pendidikan di Asia Tenggara

Kenapa Asia Tenggara itu underperform dibandingkan Tiongkok? PDB per orang di Asia Tenggara itu dalam 30 tahun terakhir pertumbuhannya cuma 2,7x Sedangkan Tiongkok itu 10x Itu dikarenakan 4 atribut Satu, Underinvestasi di pendidikan Dua, underinvestasi di infrastruktur Tiga, lack of governance Dan yang terakhir itu adalah Lack of competitiveness Kita lihat teman-teman sekalian Ada yang disebut dengan PISA Score. PISA Score ini adalah peringkat scoring yang melihat kemampuan bahasa Inggris dan kemampuan STEM, Science, Technology, Engineering, dan Mathematics di sebuah negara. Dari 8 negara yang diases di Asia Tenggara, Indonesia ini peringkatnya peringkat ke-6. Indonesia ada di bawah Singapura, nomor 2-nya Vietnam, disusul oleh Brunei.

Terima kasih. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Bismillahirrahmanirrahim. Terima kasih atas kehadiran teman-teman.

Terima kasih Pak Gita Wirjawan. Sebuah kehormatan yang luar biasa. Pak Gita Wirjawan. Ini kita semua biasa lihat Pak Gita di podcast Pak Gita.

Everybody surprise Pak. Kok Kang Shauky bisa podcast bareng Pak? Gita kemarin, akhirnya teman-teman request, mau lagi dong ngobrol, tapi pengen live ketemu sama Pak Gita. Jadi Pak Gita ini nanti weekend akan fly back ke Stanford ya Pak ya, karena beliau visiting scholar di Stanford. Jadi kita akan maksimalkan satu jam setengah ke depan berdiskusi.

Kita gali banyak hal dengan Pak Gita, mulai dari confidence, Indonesia ke depannya, bagaimana bisnis kita membangun strategi ke depannya. Tapi sebelum situ Pak, kita ingin mulai dulu, kalau Pak Gita dulu biasanya di setiap podcast Pak Gita bercerita, bertanya, masa kecilnya? Tapi angle-nya ingin kita ubah sedikit Pak, karena sekarang ini mayoritas audiens usia 30-40, mereka punya anak.

dengan kegelisahan sebagai orang tua, bagaimana membangun, mempersiapkan karir untuk anak-anak, kalau kata lirik lagu, untuk pintar seperti Pak Gita Wirjawan. Ada liriknya, teman-teman harus cek itu. Ada itu yang bikin lagu, liriknya pintar seperti Pak Gita Wirjawan. Ada juga diundang di podcastnya Pak Gita.

Itu kan pasti dimulai dari kecil dan dimulai dari parenting. Nah kita ingin dengar bagaimana kecil Pak Gita di shape dan apa key takeaways yang Pak Gita dapatkan waktu Pak Gita kecil. Terima kasih Syafiq dan terima kasih teman-teman dari CNA Investment.

Ini suatu kehormatan untuk bisa hadir di acara ini di Bandung, untuk bisa mendiseminasikan bukan hanya informasi tapi ide. Saya hidup di Jakarta semenjak lahir selama 13 tahun. Orang tua saya, ayah saya dokter. Ayah saya dokter, ibu saya dulu ingin jadi diplomat tapi karena nikah dengan ayah saya jadi rumah tangga, apa ibu rumah tangga. Selama 13 tahun di Jakarta itu saya dididik dengan...

kedisiplinan oleh ibu, tapi dididik untuk bisa melakukan intelektualisasi oleh ayah. Jujur selama 13 tahun saya gak suka baca buku. Dan bahkan kalau disuruh nulis rangkuman mengenai buku, saya lebih sering bertanya pada teman yang sudah baca buku, terus saya menggunakan imajinasi untuk bisa menulis rangkuman yang Beberapa kali, lebih keren daripada orang yang baca buku. Ini mungkin karena persuasi dari orang tua untuk terus-menerus memanifestasikan unsur penasaran atau curiosity.

Nah, lanjutlah umur 13 tahun saya ke Bangladesh. Ayah saya ditempatkan sebagai dokter di WHO untuk membantu penerbitan. kita, malaria, kolera, dan lain-lain.

Saya hidup dua tahun di situ, terus saya pindah ke India karena di Bangladesh enggak ada SMA. Yang paling dekat yang ada SMA adalah di India, di New Delhi. Jadinya perjalanan hidup saya itu kental dengan adventures yang cukup multi-geografi, multi-dimensional, dan multi-kultural.

Saya belajar bahasa Bengali, saya belajar bahasa Hindi. Dan saya juga mulai belajar bahasa Inggris. Nah, jujur yang memicu proses imajinasi di saya, itu adalah orang tua dan juga guru. Saya gak lupa guru kelas 3 SD saya waktu ngajar mata pelajaran namanya mencongak.

Di sini ada yang tahu gak? Mata pelajaran mencongak. Oke, kalau JNZ pasti gak tahu. Kalau boomer seperti saya itu waktu di tahun 70-an tuh ajarannya tuh kental sekali dengan mata pelajaran seperti mencongak.

Nah itu kalau menurut saya sangat berkorelasi dengan penggunaan imajinasi. Terus guru saya kelas 2 SMP di Pangudi Luhur yang mengajar budi pekerti, tapi dia sebetulnya nggak terlalu ngerti mengenai budi pekerti, tapi dia bisa men-trigger proses imajinasi. Terus waktu saya di India, guru musik saya.

kelas 2 SMA, dia mengajarkan musik ke saya dengan konsep filsafat. Dia bercerita mengenai Socrates, mengenai Plato, mengenai Aristotel, untuk supaya saya bisa mengkerangkakan pola yang kena untuk saya bisa melakukan sinkopasi ataupun improvisasi. Karena saya ingin sekali belajar bukan hanya dari klasik, tapi saya ingin menjurus ke rock and roll, ke jazz, dan segalanya, yang mana itu sangat membutuhkan improvisasi. Jadinya kalau menurut saya peran atau siapapun yang sangat berperan itu adalah orang tua dan guru.

Nah, fast forward, waktu saya kuliah atau mulai kuliah di Amerika Serikat, terus saya bekerja di Amerika Serikat, saya tuh selalu tertarik dengan teman atau teman siswa atau guru dan koleha kerja yang terus-menerus bisa melakukan... intelektualisasi yang divergent, bukan convergent. Ini yang selalu saya sampaikan.

Jadi kalau dulu waktu saya lulus, saya tuh praktek sebagai CPA atau Certified Public Accountant di Miami. Itu saya punya bos yang benar-benar keras sekali mengamanahkan saya untuk bisa mengartikulasikan apapun yang ada di benak saya. Nah itu saya agak-agak sulit waktu itu.

Nah salah satu ... Pelajaran yang diajarkan ke saya adalah, ya lo coba deh ngomong di depan cermin 10, 15, 20 menit setiap hari. Ngomong apa aja, mengenai sepak bola, bulu tangkis, akuntansi, entrepreneurship atau apapun.

Itu tahun 90 dan saya bisa pastikan sampai hari ini saya masih lakukan. Dan itu kalau menurut saya infleksi pertama di tahun 90 yang benar-benar memberikan atau membuahkan keyakinan di diri saya untuk melakukan public speaking. Yang mana sebelumnya saya tuh agak-agak ragu bahkan takut untuk melakukan public speaking. Nah sekarang kalau ini dibungkus dalam konteks Indonesia, datanya cukup mengelisahkan. Karena kalau saya lihat rumah tangga di Indonesia itu 88 persen.

Kepalanya mau ibu atau bapak atau dua-duanya itu nggak punya gelar S1 ke atas. Sedangkan elektorat dalam proses politik itu 93% tidak memiliki gelar S1 ke atas. Jadi kalau kita berpikir ataupun berharap untuk terjadinya disrupsi pendidikan yang positif di rumah tangga, sulit sekali.

Karena orang tuanya nggak memiliki pendidikan S1 ke atas. Kecuali kalau terjadi anomali. Syukur-syukur ibunya yang nggak memiliki pendidikan S1, mungkin karena ngobrol dengan orang yang berpendidikan.

Dia punya ide, dia belilah buku, buku biologi kayak matematika, fisika, sejarah, itu dikasih ke anaknya. Tolong deh dibaca. Itu anomali. Jadi kalau menurut saya, disrupsi positif yang bisa dibuahkan di Indonesia untuk kepentingan pendidikan termasuk bagaimana seseorang itu bisa melakukan public speaking yang oke, intelektualisasi yang oke, itu hanyalah di sekolah. Jadi penting sekali untuk kita berpikir agar yang ngajar di sekolah itu harus sangat berkualitas.

Nah, saya di kubu yang lebih percaya bahwasannya Kalau ini orang jago bercerita tapi dia nggak terlalu ngerti fisika, dia lebih mampu untuk mengkonversi muridnya untuk menjadi fisikawan. Daripada orang yang ahli fisika tapi nggak bisa bercerita, dia mungkin lebih sulit untuk mengkonversi muridnya untuk menjadi fisikawan. Jadinya kalau saya disuruh anggaplah membuat sekolah gitu ya, saya pertama akan uji kognisinya.

Ini orang IQ-nya mudah-mudahan di atas Mudah-mudahan skor pisahnya bukan di nomor 69 daripada 81. Mudah-mudahan IP-nya ya di atas 3,0 lah. Tapi dia harus bisa bercerita. Karena kalau guru tidak bisa bercerita, sulit untuk muridnya melakukan proses imajinasi. Saya percaya secara filsuf bahwasannya pendidikan itu bukan kepentingan kita untuk mengformulasikan sesuatu. tapi justru untuk men-trigger proses imajinasi.

Nah kalau itu bisa terjadi, saya rasa keyakinan yang harus dimiliki untuk melakukan pendidikan, melakukan public speaking, melakukan kewirausahaan, melakukan apapun lah profesinya, mau di politik, di policy, di entrepreneurship, mau di spiritual, mau di akademisi, itu sangat memerlukan keterbukaan. dan proses imajinasi yang kuat. Thank you, Pak. Waktu tahun 2023, saya berangkat ke Harvard. Saya cukup panggit, Pak.

Dua tahun, sorry, dua bulan pertama itu saya sampai datang ke klinik untuk cek mental health. Karena di Harvard ini sangat meng-encourage mental health. The pressure is so huge.

Utamanya kita dari Bandung, kita gak ngomongin dengan teman-teman yang di Amerika gitu ya. Bahkan dengan yang sesama orang-orang dari Indonesia pun, they are very intimidating. Specifically confidence dan kemampuan mereka storytelling.

Sepertinya ada semua kesamaan gitu Pak. Bagaimana mereka memiliki confidence level dan kemampuan storytelling yang kuat. Sebetulnya apa Pak yang menyebabkan? bahkan di Bandung dengan di Jakarta. Karena kalau saya cek, mayoritas orang-orang ini Jakarta semua.

Di Bandung kok enggak banyak orang yang dari Bandung ke Harvard. Atau bahkan mungkin dari Garut, dari Tasik, seperti itu. Kira-kira apa Pak?

Dan bagaimana akhirnya kita bisa meng-encourage itu enggak eksklusif. Karena kalau orang bilang Indonesia itu enggak cuma Jakarta. Bagaimana kita disseminating representativeness, Pak, dari aspek education di kancah global? Dengan perubahan inovasi teknologi, saya sekarang jauh lebih optimis ke depan. Mungkin kalau saya ditanya pertanyaan yang sama 5 tahun atau bahkan 10 tahun yang lalu, saya jauh lebih pesimis.

Dan ini saya bisa bercerita beberapa hari yang lalu. Kemarin saya di Bekanbaru, di Unri, beberapa hari sebelumnya saya di Samarinda. Sebelumnya di Semarang, saya memaksa atau memberanikan diri untuk ke daerah, untuk bisa mengukur pulsa sejauh mana secepat apa mereka bisa melakukan intelektualisasi dan bagaimana mereka bisa melakukan internasionalisasi. Tapi, to my surprise, artikulasi dan intelektualisasi yang saya temukan di daerah. Itu jauh lebih hebat daripada yang saya harapkan.

Nah ini kalau menurut saya karena disrupsi teknologi, yang mana mereka lewat HP, lewat iPad atau laptop, mereka bisa melihat podcast-podcast lokal, ataupun kawasan, ataupun dunia yang sangat berkualitas. Dan sekarang dengan kapasitas untuk bisa menerjemahkan dengan pemberdayaan AI, itu sudah sangat... termanifestasi dalam kepiawaian orang mengartikulasikan atau berekspresi di daerah.

Nah, gimana untuk kita bisa melembagakan? untuk teman-teman di Bandung, di Garut, di Sukabumi, Cianjur, seluruh titik di Jawa Barat, seluruh titik di Jawa Tengah, seluruh titik di Yogyakarta, seluruh titik di tanah air kita, balik ke konsep yang tadi. Saya nggak akan percaya bahwasannya pendidikan kita itu akan bercahaya selama kita nggak menggarisbawahi prioritas guru.

Dan ini, ya beberapa hari yang lalu saya sempat ngobrol dengan beberapa... pejabat negara yang punya otoritas dalam pentingan pendidikan tinggi, saya melihat bahwa mereka tuh sekarang udah cukup merangkul konsep guru. Kalau kita lihat dalam pendidikan tuh kan ada kurikulum, ada teknologi, ada guru. Kalau menurut saya yang harus diprioritaskan tuh adalah guru atau kualitas guru. Tanpa itu, itu resiko untuk kita menjadi biasa-biasa aja, ya nggak kecil.

Apalagi kalau ini dibungkus dalam konteks persaingan yang begitu intens, begitu besar, begitu luas. Kalau kita harus bersaing dengan Singapura, kalau kita harus bersaing dengan India, kalau kita harus bersaing dengan Tiongkok. Ya, selesai. Dan kita sekarang sudah menyadari bahwa pendongeng dari India itu sudah sangat diakui.

Bukan hanya bagaimana mereka bisa bercerita. Tapi mereka sudah bisa berprofesi di tempat-tempat global yang luar biasa. Saya sama Shauky beberapa bulan yang lalu sempat bercerita mengenai diaspora yang jujur sudah didominasi oleh orang keturunan India.

Apakah itu dalam dimensi teknologi, dimensi perbankan, dimensi farmasi, bahkan dimensi politik di seluruh dunia, di Eropa, di Amerika Serikat, itu kita sudah lihat. sosok-sosok dari India atau anak imigran dari India, itu mereka sudah sangat mendominasi. Karena, bukan karena kognisinya, tapi karena storytelling capabilities-nya.

Jadi ini yang saya mau sodorkan ke Bapak Ibu sekalian, yang saya mau garis bawahi, saya lebih mementingkan storytelling. Tentunya dengan baseline, kognisinya bisa dipertanggungjawabkan. Tapi kalau saya ngajar di sekolah di Amerika, itu kalau saya jajarin orang dari Singapura, dari Hongkong, dari Taiwan, dari Jepang, dari Tiongkok, dari India, dari Amerika, dari Eropa, itu kognisinya sama semua.

Tapi yang paling bisa bercerita nggak tahu gimana orang India. Karena mereka dari kecil dipaksa untuk melakukan argumentasi. Sesama adik kakak.

dengan orang tua, dengan tetangga, dan itu budaya kalau menurut saya. Nah ini gimana untuk kita membudayakan budaya yang kental dengan perfeksionisme, kental dengan superlatif. Ini kalau menurut saya yang membedakan, tadi ada tayangan sedikit mengenai kenapa Asia Tenggara itu performance-nya atau kinerjanya jauh di bawah Tiongkok, karena kita sangat piawai merangkul budaya pragmatisme sehingga kita gak gontok-gontokan. peaceful and stable, tapi kita kurang bisa merangkul budaya prinsip.

Ini yang telah dirangkul oleh Singapura yang mana mereka tuh mengedepankan superlative perfeksionisme untuk kepentingan apapun yang keren untuk masa depan kita. Bahkan akhir-akhir ini saya memberanikan diri untuk berargumentasi bahwa mungkin negara seperti Singapura itu harus diklasifikasikan sebagai demokrasi. Karena demokrasi itu bukan semata pendistribusian kekuasaan atau suara.

Tapi demokrasi itu harus termanifestasi dalam pendistribusian public goods, termasuk kesehatan, kesejahteraan, intelek, social value, moral value, dan segalanya. Tapi banyak sekali demokrasi-demokrasi di dunia membanggakan diri karena mereka telah berhasil mendistribusikan kekuatan dan suara ke masyarakat luas, tapi mereka nggak berhasil mendistribusikan public goods. IQ-nya suboptimal, fasilitas kesehatannya.

suboptimal. Kognisinya, nilai sosial, nilai budaya. Tapi kalau kita ke Singapura itu kita ada kenyamanan dan keyakinan bahwa kayaknya ini oke. Ya, bukan berarti mereka gak ada ketidaksempurnaan. Setiap orang, setiap bangsa, setiap negara punya ketidaksempurnaan.

Tapi kita harus belajar dengan sense of culture principles. Nah ini kalau menurut saya kita harus sadar. Kalau kita benar-benar akan menjadi ekonomi terbesar nomor 4 di dunia tahun 2045 Kita juga harus menjadi kekuatan yang relevan Bukan hanya dari sisi atau lensa ekonomi, tapi dari sisi yang mana kalau kita ngomong apapun kita didengar.

Eh ini orang yang dari Bandung begitu dia tampil di panggung, di London, di Beijing, di Sydney, di Singapura, di Tokyo. Masuk akal dan patut didengar. Tapi itu belum kejadian. Jadinya kalau dari Asia kalau menurut saya storyteller yang terbaik itu dari India. Storyteller terbaik nomor dua itu dari Singapura.

Saya seringkali bercerita kalau ada orang di Amerika, di Eropa, di Australia, di Jepang atau di Tiongkok mereka mau tahu mengenai Asia Tenggara yang dipanggil itu adalah orang Singapura. Karena adanya predisposition bahwasannya orang Singapura itu cerdas. Bahwasannya orang Singapura itu bisa bercerita. Itu harus kita ubah narasinya bagaimana kalau kita panggil orang Indonesia karena presupposition-nya, presumption-nya, predisposition-nya adalah orang Indonesia itu cerdas dan orang Indonesia bisa bercerita.

Nah itu kalau menurut saya memungkinkan, tapi perlu kerja keras. Mulai dari investasi di guru yang berkualitas. Bicara pendidikan Pak, kita tema hari ini adalah Abasyah.

Terinspirasi dari bagaimana Harun Ar-Nasjid membangun Bait al-Hikmah. Dan bagaimana Abbasiyah tentunya dengan segala macam kekurangannya juga berhasil membangun generasi peradaban intelektual Islam. Podcast terakhir Pak Gita belakangan juga banyak sekali membahas tentang peradaban.

Bagaimana peradaban Islam, Sriwijaya juga dibahas, dan peradaban dunia juga dibahas. Diskursus peradaban ini bukan hal yang umum. Dibahas di...

bahkan di kalangan intelektual pun gak umum. Apa yang mendorong, karena kita melihat pattern dengan 200 lebih podcast Pak Gita yang sudah dilakukan, ini kayaknya trennya kan baru 6 bulan, 1 tahun terakhir Pak, kita berbicara tentang civilization. Apa yang mendorong Pak Gita berbicara dengan aspek yang lebih besar lagi?

Dan sebetulnya kita berbicara tentang Indonesia. Ada di mana? Karena kalau kita melihat misalnya Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah banyak berbicara tentang social norm, dari perspektif social norm, tentang bangkitnya peradaban, berjaya dan hancur. Kemudian Ray Dalio berbicara tentang debt cycle, juga tentang bangkitnya peradaban dan jatuhnya peradaban. Terakhir, Asemoglu baru dapat Nobel, power and progress, sebelumnya Y Nation fail, berbicara dari aspek power, regulator.

Ternyata power ini memiliki... peran yang lebih signifikan. Apa takeaway Pak Gita dari 200 lebih podcast ini tentang peradaban yang bisa kita share?

Karena pasti ini sudah menjadi semacam knowledge management dari Pak Gita sendiri. Waktu kita mulai podcast, 4 tahun 3 bulan yang lalu, tim atau anggota tim Saya atau kita, itu cuma empat, termasuk saya. Sudah ada di benak mereka bahwasannya kalau saya kekeh membuat format yang panjang, satu setengah jam, membahas hal-hal yang terkait dengan ide, bukan peristiwa, bukan sosok, nggak akan banyak yang dengar.

Bahkan kesimpulan dari mereka adalah, Pak, Ya Bapak, siap-siap aja. Ini paling banter 5.000 yang nonton. Tapi jawaban saya, ya 5.000 itu lebih bagus daripada 4.999. Dan itu pun juga lebih baik daripada 0. Daripada 0 yang nonton kan.

Saya mulai dengan optimisme yang mungkin salah parkir. Mereka mulai dengan pesimisme yang agak terinflasi. Fast forward ke hari ini, secara kumulatif yang nonton udah 97 juta.

Dan ini kalau menurut saya yang bisa dipetik atau dijemput dari ini adalah ada kehausan di kalangan anak muda yang mungkin udah terlalu sering nonton TikTok yang buatan-buatan. yang mungkin udah terlalu sering nonton Instagram yang buatan-buatan. Iya kan? Jadi mereka mencari alternatif.

Saya selalu berpesan dan saya baru aja baca buku, kemarin saya tweet temen saya penulis dari Nepal. Jangan sampai kita sebagai negara berkembang, kita menderita dari fatigue ekspektasi. Kita selalu menggambarkan diri kita sebagai negara bangsa yang sangat berpotensi. Tapi setiap tahun negara yang berpotensi, negara yang berpotensi, negara yang berpotensi tanpa aktualisasi.

Nah itu bisa membuahkan fatigue ekspektasi. Nah ini yang saya mau pesan ke teman-teman. Bahwa bekalnya ini ada.

Bahwa puluhan juta anak-anak muda ini suka konten-konten yang menurut saya sih cukup membangun ya. Jadinya kita saya rasa bisa menggunakan itu sebagai obat untuk kita tidak menderita dari fatigue ekspektasi. Nah, Ibnu Khaldun itu sangat mengedepankan banyak...

Pemikiran yang dasyat, salah satunya adalah kalau menurut saya cukup Aristotelian untuk tidak mengambil tulisan sejarah at face value. Karena sejarah apapun tulisannya, siapapun yang nulis itu bisa dibilang elitis. Karena biasanya yang nulis sejarah mengenai peperangan itu yang menang, bukan yang kalah. Sejarah mengenai apapun... Yang nulis itu adalah yang dalam posisi keuangan, ekonomi, militer, bahkan peradaban yang di atas daripada yang lain.

Jadi itu kalau menurut saya bias sejarah atau historis yang harus kita sadari dan itu dipesan oleh Ibn Khaldun. Dan tentunya 500 tahun, periode yang dasyat, yang dipelopori bukan hanya Harun al-Rashid tapi Al-Ma'mun sama Al-Mansur, itu kalau menurut saya benang merahnya adalah keterbukaan. keterbukaan untuk menggabungkan antara kekuatan preservasi dengan kekuatan inovasi. Nah ini kalau menurut saya, saya bisa tarik lagi tadi Azam Meklu disebut, saya udah wawancara James Robinson, pemenang Nobel yang sama-sama dengan Darren. Itu kita bahas beberapa bukunya, tentunya Nation, Why Nations Fail, tapi buku terakhirnya ini adalah The Narrow Corridor.

The Narrow Corridor itu dia menggunakan ilustrasi mengenai Leviathan. Leviathan itu naga. Jadi kalau naga itu dia bilang kental dengan air, kurang. Kalau naga kental dengan despotism, itu juga kurang baik. Karena yang di atas yang berkuasa itu terlalu despotic.

Terlalu dictatorial terhadap masyarakat luas yang di bawah. Jadinya yang harus dicari itu adalah keseimbangan antara yang di atas dengan yang di bawah. Yang di bawah itu masyarakat luas atau civil society, yang di atas yang berkuasa.

Nah advokasinya mereka adalah bagaimana mereka bisa membuahkan shackled leviathan. Jadinya itu adalah naga yang dibelenggu dengan keseimbangan, agar seimbang. Jadinya kekuatan yang di atas dengan kekuatan yang di bawah.

Itu seimbang sehingga bangsa, negara, dan peradaban, dan kebudayaan itu bisa maju. Nah poin saya adalah ke depan kalau kita mau maju sebagai peradaban, kita harus bisa mengkombinasikan kekuatan preservasi dengan kekuatan inovasi. Dan itu hanya bisa kejadian kalau ada keterbukaan. Tanpa keterbukaan, ya kita nggak bisa terlalu romantis. Dengan kejayaannya Abasyah, kejayaannya Sriwijaya, kejayaannya Majapahit, kejayaannya Tarumanegara.

Dan kalau menurut saya ke depan, ini kalau kita mau menimba ilmu, kita harus ada keterbukaan. Balik ke tadi, percontohan. Kalau toilet kita rusak, don't reinvent the wheel.

Cari siapa yang paling piawai untuk membetulkan toilet, kalau dia datangnya dari Nigeria, datanglah. teman kita dari Nigeria. Nah, litmus test untuk pendidikan, untuk kepentingan demokratisasi ide adalah kalau di Garut, itu ada kebutuhan untuk mengajar pelajaran atau mata ajaran yang sangat relevan untuk masa depan kita, tapi nggak ada pengajarnya, kita harus ada keterbukaan untuk mendatangkan guru dari Jakarta atau mendatangkan guru dari Singapura, mendatangkan guru dari Ethiopia, mendatangkan guru dari manapun. Yang mana guru tersebut adalah yang terbaik untuk mengajar mata pelajaran yang dibutuhkan di Garut.

Kalau kita tidak ada keterbukaan seperti itu, kita tidak akan bisa menyamai atau melebihi kejayaan Abasyah. Baital hikmah itu pernah dipimpin oleh non-muslim. Baital hikmah secara berkala, secara rutin bahkan, mendatangkan ahli-ahli Hindu, Buddha, Islam, Zoroastrian, Nasrani, Yahudi untuk mereka bisa melakukan intelektualisasi.

Itu yang menyebabkan kejayaan Baital hikmah. Selama hampir 500 tahun begitu, akhirnya mereka didatengin oleh kulagukan abis. Dan ini kalau menurut saya infleksi yang membuahkan... kejayaan bahkan awal dari renaissance yang terjadi di Eropa.

Karena banyak sekali ilmu yang ada di Bagdad waktu itu dicuri oleh teman-teman di Eropa. Sehingga keahlian yang dibuahkan oleh Ibnu Haitham dan lain-lain mengenai opteks, mengenai matematika oleh Al-Khwarizmi dan lain-lain, itu digunakan oleh saintis atau ilmuwan di Eropa. Dan akhirnya ilmu navigasinya digunakan oleh Christopher Columbus 1492 untuk beliau bisa mencapai benua India garis miring Amerika Serikat.

Nah, banyak yang nggak tahu bahwa kata medicine, kesehatan artinya, medicine itu akarnya adalah ibnu-sina. Beliau adalah kalau menurut saya ahli kesehatan. pertama di dunia yang membuahkan sistem atau pemikiran mengenai penyembuhan yang diambil atau dijemput oleh ilmuwan-ilmuwan di Eropa dan itu digunakan ilmunya sampai abad ke-18.

Akhirnya mereka dikarenakan renaissance yang mereka lewati, mereka membuahkan proses modernisasi yang seringkali dijuluki Industrial Revolution No. 1. di abad ke-18.