Baik, bismillahirrahmanirrahim. Untuk pertemuan kali ini kita akan bahas materi mengenai farmakoterapi asma ya. Nah, langsung aja. Nah, jadi apa sih sebenarnya asma itu? Nah, asma sendiri ini berasal dari bahasa Yunani yang artinya adalah penting atau terengah-engah.
Nah, asma adalah penyakit kronis nih, inflamasi kronis. Ada jalur pernafasan yang melibatkan banyak sekali sel imun ya, diantaranya ada sel mas hingga sel dendritik. Nah, untuk pasien asma sendiri ini ditandai dengan gejala mengi ya, dimana kalau misalnya mengi itu...
pernafasan itu ada bunyi khasnya, karena saking sempitnya saluran udaranya, udara yang lewat pun berbunyi seperti itu. Nah, pasiennya juga sulit bernafas, sesak nafas, dan batuk. Nah, kalau misalnya kita lihat dari anatomi saluran pernafasan, ini untuk normalnya, sedangkan pada asma itu terjadi penyempitan saluran pernafasan. Ya, bayangin aja yang harusnya normalnya seperti ini, tapi menyempit seperti ini. Makanya pasiennya sulit bernafas, dan nafasnya juga mengi seperti itu.
Nanti akan kita bahas lebih lanjut di bagian patotisiologi. Nah, selanjutnya untuk asma ini, pada fakta fisiologinya itu ada tiga hal. Yang pertama ada inflamasi, yang kedua ada obstruksi seluruh nafas, dan yang ketiga ada hiperplasia otot polos atau meningkatnya jumlah sel pada otot polosnya. Oke, untuk melihat ya, sebelum kita melihat lebih lanjut. Bagaimana sih patofisiologi pada asma?
Kita lihat dulu bagaimana anatomi dari saluran nafas sendiri. Untuk saluran nafas atau bagian bronchial ini, anatominya ketika kita potong melintang akan kita lihat ada berbagai macam lapisan. Di sini ada lapisan mukus, dan di sini ada lapisan sel epitel, tapi di sini juga ada sel goblet yang berperan dalam menghasilkan atau mensekresikan mukus. Selanjutnya di sini ada kelenjar yang akan mensekresikan mukus. Hukus ya, selain sel goblet, di sini juga ada kelenjar ya.
Nah, selanjutnya di sini ada lapisan lamina propria, di mana di lamina propria ini nanti ada fibrin, ada kolagen, yang juga nanti berperan dalam patofisiologi asma ya, dan di lamina propria ini juga terdapat berbagai sel-sel imun. Nah, selanjutnya di sini ada otot polos, yang di mana nanti ini hiperplasian juga akan berkontribusi dalam patofisiologi asma dan sebagainya. Oke, nah kita lihatnya sekarang lebih lanjut. Bagaimana sih sampai...
asma itu bisa terjadi. Nah, jadi sebenarnya asma itu kan rangkaian dari reaksi alergi, di mana ketika paparan pertama, jadi nanti ketika alerginya datang, nanti bisa mengakibatkan serangkaian reaksi. Nah, kita lihat dulu nih.
Kan tadi kita sudah lihat anatomi dari saluran pernafasan. Di sini ada sel epitel, di mana di sel epitel ini juga terdapat sel goblet. Lalu di sini ada lamina propria. Selanjutnya di sini ada lapisan otot polos dan ada lapisan kelenjar. Di sini kita ada perserabutan saraf juga, di mana di sini ada saraf fagus yang merupakan bagian dari saraf kranial yang memang berperan dalam pengaturan pada saluran pernafasan.
Di sini ada fagus aferen yang berfungsi menerima sinyal, impuls, dan di sini ada fagus eferen yang berfungsi untuk menghantarkan impuls. Di sini fagus eferen ini akan melepaskan asetilkolin, di mana asetilkolin ini berperan dalam persarafan. parasimpatik ya, dimana masih ingat dong ya, kalau misalnya saraf simpatik, asetil kolin berikatan dengan reseptornya akan menyebabkan bronchokonstriksi, sebaliknya disini juga ada saraf simpatik ya disini saraf simpatik ada reseptor beta 2 ya, kalau misalnya beta 2 ini kan banyaknya ada di paru-paru, sedangkan kalau beta 1 jantung, masih ingat dong ya, nah kalau misalnya beta 2 disini sebaliknya nih, karena kan simpatik dan parasimpatik saling berlawanan ya kerjanya, nah makanya kalau misalnya asetil kolin berikatan menyebabkan bronchokonstriksi nanti kalau misalnya sini simpatik ya berikatan akan menyebabkan bronchodilatasi seperti itu.
Nah kita lihat nih bagaimana sih sampai bisa terjadi asma. Nah disini ada paparan antigen ya, dimana disini kan ada lapisan mukus yang memang perannya itu karena kita kan menghirup udara nggak steril ya udaranya, jadi pasti banyak patogen-patogen dari luar, dimana patogen itu membawa antigen. Nah nanti paparan antigen ini akan ditangkap oleh sel dendritik ya, dimana disini kan memang di lapisan epitel ini juga terdapat sel dendritik. Nah nanti alergen ditangkap oleh sel dendritik, kemudian nanti akan... akan dicerna oleh sel Dendritic dan dibawa masuk untuk diperkenalkan kepada sel T helper.
Nah, sel T helper ini kan terdapat reseptor sel T yang nanti akan mengenali dari antigennya, alergennya, yang kemudian nanti sel T helper ini akan melepaskan interleukin 4 dan 5 yang merupakan mediator inflamasi. Nanti interleukin 4 dan 5 ini bisa memanggil, salah satunya bisa menstimulasi sel B yang nanti ada peran lebih lanjutnya. Pertama, interleukin 4 ini bisa memanggil atau menstimulasi sel B untuk melakukan proliferasi. Proliferasinya nanti sel B ini akan menghasilkan antibody, dong ya, masih ingat.
Antibody kan banyak yang bisa dihasilkan. Salah satunya adalah IgE yang berperan dalam reaksi alergi. Nanti ketika misalnya IgE ini sudah dihasilkan oleh sel B, IgE ini akan berikatan dengan sel mas karena sel mas ini memiliki reseptor terhadap IgE. Oleh karena itu nanti kalau misalnya pada paparan pertama, IGE-nya akan berikatan pada selmas. Selmas ini ada di lamina propria dan juga ada di lapisan epitelium.
Oleh karena itu nanti IGE-nya akan berikatan dengan selmas yang di epitelium maupun yang di lamina propria. Ini pada paparan pertama. Selanjutnya nih, pada saat paparan kedua ya, alergennya datang lagi gitu ya, paparan kedua.
Nah ini kan selmasnya sudah berikatan sama IGE. Nah apa sih yang terjadi? Alergennya akan berikatan dengan IGE.
Sehingga selmas ini kan isinya banyak sekali ini ya. mediator-mediator inflamasi nih, diantaranya histamin, prosaglandin, lepotrien, dan sebagainya. Nah jadi ketika nanti alergen di sini berikatan dengan IGE, nanti si selmas ini akan mengeluarkan mediator-mediator inflamasinya.
Dia akan mengalami degradasi ya, jadi nanti akan mengeluarkan mediator inflamasi. Apa sih akibatnya dari mediator inflamasi ini? Jadi sitokin-sitokin ini nanti akan menyebabkan epital ini kan harusnya rapat-rapat ya, nanti akan meregang, sehingga nanti kalau misalnya dia meregang, si sitokinnya ini atau mediaten inflammasinya ini bisa berikatan dengan sarap fagus di sini.
Jadi nanti dia berikatan, sehingga nanti akan mensimulasi pengiriman sinyal, sehingga nanti akan melepaskan asetilkolin di sini, di efarennya. Oleh karena itu nanti asetilkolin berikatan, maka terjadi bronchokonstriksi. Jadi konstriksi pada otot polos. Selanjutnya, Kan tadi sel emasnya ya, melepaskan mediator-mediator inflamasi yang pertama tadi menyebabkan peregangan sel epitel. Nah, selanjutnya sel emas ini kan mediator inflamasinya itu juga bersifat kemoattractan, atau artinya senyawa kimia yang bisa memanggil sel-sel imun yang lainnya, diantaranya ada neutrophil dan eosinophil.
Masih ingat dong ya, tadi juga dilepaskan interleukin 5, jadi nanti interleukin 5 itu perannya ada di eosinophil. Nah untuk Netrofil sendiri ini ketika sudah dipanggil oleh Selmas, dia juga akan melepaskan senyawa-senyawa inflamatori yang bisa lebih mempertarah lagi proses inflamasinya. Nah Selmas ini kan tadi ya saya katakan melepaskan Leukotrien, Prostaglandin, Histamin, Interleukin 4, 5, di mana semua ini ketika berikatan dengan reseptornya nanti akan memicu terjadinya bronchokonstriksi, terus penumpukan cairan atau edema, terus kelenjar mukusnya menjadi lebih hiperaktif.
Akibatnya apa? Mukus lebih banyak dihasilkan, sehingga terjadi penyebalan. mungkus, jadi terjadi obstruksi atau gangguan pada saluran pernafasannya, jalur pernafasannya akan terganggu, oleh karena itu makanya pasien nanti akan mengalami kesulitan bernafas yang tadi, selain itu juga nanti kan disini akan mengalami penebalan ya, hiperplasia otot polos, jadi otot polosnya ini nanti jadi lebih membelah lebih banyak lagi, sehingga nanti terjadi penebalan sehingga nanti pasiennya akan mengalami gejala-gejala asma.
Selanjutnya di sini, interleukin 5 itu bisa mengaktifasi eosinofilia yang tadi dilepaskan. Nanti di sini berperan dalam late phase reaction. Artinya apa? Jadi gini, pada beberapa kasus pasien asma, ada yang dikenal dengan late phase reaction. Jadi pasiennya itu udah nggak terpapar alergen.
Jadi udah kambuh nih, kan terpapar nih, kambuh. Terus nanti akan meredak. Nah, nanti beberapa jam kemudian, 4-6 jam kemudian bisa kambuh lagi.
Padahal alergennya udah nggak ada gitu. Nah, itu nggak perlu bingung ya. itu karena ada peran eosinofil. Jadi eosinofil ini nanti berperan dalam reaksi yang fase telatnya, jadi fase lambatnya, seperti itu. Jadi tidak butuh alerga untuk dia bisa bereaksi.
Nah, eosinofil ini nanti juga akan menimbulkan serangkaian reaksi inflamasi, seperti itu. Nah, ini jadi kita bandingkan ya, tadi untuk normal dengan orang yang asma, jadi kalian bisa lihat di sini mukusnya mengalami penebalan mukus, terus di sini lamina propria-nya menebal, karena tadi banyak netrofil, selmas, dan sebagainya. Dan di sini terjadi penebalan juga pada otot polosnya, terjadi hiperplasial otot polos, jadi peningkatan jumlah sel otot polosnya seperti itu. Jadi ada inflamasi, terus ada hiperplasial otot polos, dan obstruksi saluran pernafasan itu pada asma.
Nah, selanjutnya, makanya kan tadi, jadi pasien asma ini menampakkan gejala seperti batuk, terus mengik, terus sesak, dan sesak nafas. Dan untuk mendukung, jadikan kalau misalnya pasien datang dengan gejala tersebut, segini ya, jangan lebih jalan ini, apakah ini pasti asma atau enggak, makanya untuk mendukung nih, untuk mendukung diagnosis biasanya juga dilakukan tes laboratorium nah tes laboratoriumnya itu berupa spirometri nah jadi spirometri itu apa sih? jadi pemeriksaan untuk menunjukkan ada atau tidaknya penurunan aliran udara jadi bagaimana sih kemampuan pasien dalam menghambuskan nafas jadi aliran udara yang terhambat enggak sih?
nah yang dinilai apa? banyak sebenarnya ya Tapi untuk pasien asma ada dua yang biasanya dinilai. Ada FEC, Force Vital Capacity. Jadi ini menggambarkan berapa banyak udara yang bisa dikeluarkan dengan paksa oleh pasiennya ketika pasiennya sudah menarik nafas dalam-dalam. Sedangkan yang satunya lagi adalah FEV1.
Jadi ini adalah Force Expiratory Volume. Jadi volume udara yang dikeluarkan pasien pada detik pertama ketika melakukan FEC. Jadi ini nanti akan direkam oleh alat. dan nanti akan dilihat rasionya.
Nah, untuk normalnya FEV1 ini normalnya 70-80% dari nilai FEC-nya. Nah, jadi untuk normalnya itu lebih dari 70-80% ya, kalau misalnya dibandingkan. Ini untuk orang yang normalnya. Tapi biasanya pada pasien asma terjadi penurunan ya, penurunan aliran udara, sehingga nanti nilai FEV1 dan FEC-nya ini bisa menurun seperti itu.
Nah, tapi uniknya nih dibandingkan dengan... penyakit yang lain, penyakit pernafasan yang lain seperti COPD atau PPOK penyakit paruoksir psikronis biasanya untuk rasio pada pasien asma ini bervariasi karena bisa kembali lagi bersifat irreversibel seperti itu untuk faktor risikonya, ini apa saja sih yang bisa memperparah kondisi asma pada pasien, yang pertama ada infeksi virus ini banyak sekali penelitian yang membuktikan kalau misalnya virus-virus ini bisa menyebabkan inflamasi pada saluran pernafasan sehingga bisa menyebabkan asma pada pasien dan stres dan depresi ya, jadi untuk asma ini kan ada yang non-atopik ya, yang tidak diketahui sebenarnya bagaimana sih mekanisme pastinya ya jadi bagaimana pasien itu depresi dan stres ini bisa memicu asma, tapi memang dibuktikan kalau pasien yang stres dan depresi ini bisa Kambuh gitu asmanya. Nah selanjutnya adalah GERD atau gastroesophageal reflux disease.
Dimana ini merupakan salah satu penyakit ya. Jadi penyakit dimana disini kan harusnya nih antara esofagus dan lambung itu kan ada sphincternya ya. Ada katuknya, penutupnya gitu ya. Mencegah asam lambung gak naik ke esofagus seperti itu.
Nah tapi pada penyakit GERD ini terjadi kelonggaran gitu sphincternya. Jadi asam lambungnya bisa naik ke atas. Nah katanya nih pada pasien GERD. kan katanya kalau misalnya asam lembung naik ke atas itu bisa menstimulasi sarok fagus yang tadi yang ada di saluran pernafasan sehingga tadi bisa memicu terjadinya bronchokonstriksi. Nah sebaliknya nih kalau pasien asma kan menggunakan obat-obatan asma dong ya pakai betagonis ya, selanjutnya pakai teofilin gitu ya nah dimana nanti obat-obatan asma ini dikatakan dapat melonggarkan sphincter ini.
Nah makanya asma dapat menyebabkan GERD dan juga sebaliknya GERD juga bisa menyebabkan asma. Makanya GERD ini merupakan salah satu faktor risiko dari pasien asma. selanjutnya adalah obesitas, dimana katanya kalau misalnya penumpukan lemak di bagian perut atau abdomen ini bisa menekan menekan paru-paru, sehingga nanti pasiennya bisa sesak nafas, dan selanjutnya lingkungan dan pekerjaan dimana kondisi cuaca itu bisa menstimulasi terjadinya asma, terus pekerjaan misalnya banyak polusi, alergen-alergen lainnya, makanya kalau misalnya pasiennya asma karena itu harus dihindari untuk paparan dari alergen tersebut nah Selanjutnya ada juga obat-obatan yang bisa memicu terjadinya asma. Salah satunya adalah NSID. Jadi ini adalah obat anti-inflammasi di mana ini terkait dengan mekanisme kerjanya.
Jadi NSID itu bekerja pada membransel ini di mana bagian dari membransel ada fosfolipid akan diubah menjadi asam arachidonat oleh enzim fosfolipase A2 di mana asam arachidonat akan dimetabolis melalui dua jalur enzim. Pertama oleh enzim siklooksigenase nanti akan menghasilkan prostaglandin, tomboksan, dan prostasitin, di mana ini merupakan mediator inflamasi. Sedangkan kalau lipoxigenase juga menghasilkan nekotrian, juga merupakan mediator inflamasi yang bisa menyebabkan bronchokonstriksi. Nah, untuk NSID sendiri akan menghambat jalur siklooksigenase.
Oleh karena itu, akibatnya apa? Akibatnya nanti akan terjadi penumpukan di jalur lipoxigenase. Lepotriannya akan sangat tinggi sehingga nanti akan terjadi bronchokonstriksi. Makanya hati-hati untuk...
pasiennya menggunakan obat NSID dan memiliki riwayat penyakit asma, karena bisa memicu kekampuhan pada asmanya, terutama untuk obat aspirin. Nah, dikatakan ada juga mekanisme untuk desentrisasi, artinya kan karena asma ini merupakan penyakit alergi, jadi ingin dibiasakan, seperti itu. Nah, tapi pada ginda tahun 2021 ini dilakukan, ini ya ada beberapa data, untuk mendesentrisasi ini ada risikonya, yaitu risiko keparahan dari eksasirbasinya. atau kekambuhannya dan juga risiko efek sampingnya ya. Karena untuk NSAID ini ada efek samping gastritis ya dan juga bisa mengakibatkan pendaraan pada gastrointestinal dan tadi bisa menyebabkan yang gerd juga ya.
Jadi bisa memperparah asma pasien. Jadi harus hati-hati dalam melakukan desintisasi untuk NSAID ini. Nah selanjutnya nih, untuk mendiagnosis asma seperti apa sih caranya ya? Jadi untuk pandangan diagnosisnya seperti apa? Nah ini dari GINA 2021 ada alurnya ya untuk mendiagnosisnya.
Nah disini dikatakan. Bahkan kalau misalnya pasien datang dengan gejala respiratori, seperti tadi batuk, mengi, sesat nafas, dan mengalami serangkaian anamnesa oleh dokter, dari riwayat keluarganya, terus riwayat gejalanya, oh iya dokter yakin kalau misalnya ini sementara bisa didiagnosis asma. Oleh karena itu nanti pasiennya akan diberi terapi antiris dulu. Jadi tidak langsung didiagnosis tetap pasiennya asma, tidak. Tapi di awal akan diberikan terapi antiris selama 1-3 bulan.
Nah selama keberjalanan waktu ini, pasien juga akan melakukan pemeriksaan spirometri untuk lebih mengkonfirmasi, meyakinkan diagnosisnya apakah ini benar asma atau tidak. Yang spirometri yang tadi sudah dijelaskan sebelumnya. Nah, jadi tidak langsung bisa ditetapkan di awal. Oleh karena itu, nanti untuk tingkat keparahan asma sendiri juga kan ada yang ringan, sedang, dan berat.
Nah, untuk tingkat keparahannya ini juga tidak bisa ditentukan di awal, harus ditentukan setelah pasien mendapatkan terapi pengontrolnya selama beberapa bulan, sekitar 1-3 bulan. Jadi, untuk di awal pasien tidak bisa ditentukan, oh ini pasien yang asma ringan, sedang, atau berat, seperti itu. Dan harus bisa dibedakan.
Apakah pasiennya asmenya tidak terkontrol atau ini asma yang berat? Jadi jangan sampai nanti, oh ini nggak terkontrol, nanti dinaikkan, dinaikkan, dinaikkan gitu ya pengobatannya. Tapi ternyata ini pasiennya tidak terkontrol gitu ya, bukan asma yang berat. Dikiranya, oh ini asmenya kayak berat ya, seperti itu. Nah harus dibedakan.
Nah bagaimana sih untuk membedakannya? Pasti kalau misalnya harus diperiksa dulu ya, apakah benar nih cara penggunaan obatnya, teknik menggunakan inhalernya. tepat atau tidak, gitu ya. Jadi jangan sampai tidak terkontrolnya, karena salah menggunakan inhaler, gitu ya. Jadi bukan asma yang berat, seperti itu.
Tapi kalau asma berat, semuanya udah benar, tapi tidak mempan gitu ya obatnya. Nah, itu mungkin asma berat. Jadi harus dibedakan asma tidak terkontrol dengan asma berat. Nah, selanjutnya untuk pengobatan asma ini, kita kenal dulu nih klasifikasi obatnya ya. Penggolongan obat yang pertama adalah...
obat yang kita sebut dengan pengontrol ya jadi kata-katanya aja untuk mengontrol untuk menurunkan informasi, mengontrol gejala jadi menurunkan risiko kekambuhan atau eksaservasi, dan juga untuk menurunkan risiko penurunan fungsi paru, karena kan tadi saya katakan, kalau sebenarnya dari pemeriksaan spirometernya ini untuk asma ini bisa bersifat irreversibel jadi sebenarnya fungsi parunya bisa kembali baik seperti itu Yang selanjutnya di sini ada yang pelega. Nah, untuk pelega ini dari kata-katanya aja ya, berarti ini digunakan pada saat pasien terkena serangan. Jadi, untuk meredakan gejala dan untuk pencegahan agar tidak terjadi bronchokonstriksi. Nah, selanjutnya ada obat untuk golongan yang tambahan atau add-on. Nah, jadi untuk obat golongan ini biasanya digunakan pada asma yang berat, yang menggunakan obat ICS atau inhaler.
streptocasteroid, dosis tinggi nah disini dikombinasi dengan laba jadi sudah menggunakan kedua kombinasi ini dosis tinggi, tapi tetap juga tidak mempan obatnya tidak bekerja dengan baik, makanya ditambahkan terapi tambahan terapi tambahannya ada berupa antibiotik jadi disini ada beberapa penelitian yang menyebutkan kalau antibiotik azitromisin yang golongan mokrolida itu, tapi hanya yang azitromisin nah jadi untuk azitromisin ini ketika ditambahkan pada kombinasi ces dosis tinggi dan laba, ternyata tak bisa menurunkan risiko eksaservasi. Jadi sangat bermanfaat untuk terapi pada pasien dengan asma berat. Selanjutnya, pasien juga bisa diberikan imunoterapi, vaksinasi, termoplasti bronchial, dan vitamin D.
Nah, ini juga uniknya. Jadi, untuk GINA 2021 ini sudah menyatakan untuk memeriksakan kadar vitamin D pada pasien, terutama pada pasien ibu hamil. Karena ternyata, untuk vitamin D ini, kalau misalnya terjadi kekurangan atau defisiensi pada vitamin D, itu juga berhubungan dengan fungsi paru.
Jadi, kalau misalnya defisiensi vitamin D, ini nanti... fungsi parunya bisa menurun, sehingga nanti eksaservasi asmanya bisa lebih parah, seperti itu jadi vitamin D ini merupakan terapi tambahan nih ya, yang bisa digunakan untuk orang asma selanjutnya nih untuk obat asma dari golongannya kita lihat, yang pertama ada beta 2 agonis ya, tadi karena kan untuk patologi kita udah lihat sendiri ya kalau misalnya tadi terjadi ini ya jadi terjadi bronchoconstriksi jadi kita butuh bantuan dari saraf simpatik untuk mengakukan bronchodilator nah ini harus hati-hati nih untuk pasien hipertensi ya, jadi kan pasien hipertensi mau menghambatnya beta 1 beta 1 yang ada di jantung, beta 1 blocker tapi jangan sampai menggunakannya non-selective, sehingga bisa menghambat beta 2 jadi nanti bisa terjadi bronchoconstriksi itu harus hati-hati pada pasien asma dengan comorbid hipertensi, selanjutnya nih untuk contohnya, untuk beta agonis ini ada 2, ada yang short acting yang kerja singkat dan ada yang kerja lama, jadi long acting sama short acting kalau yang short acting ini sabak ya Namanya adalah sabutamol, contoh obatnya salah satunya, dan ini laba adalah formoterol. Nah, selanjutnya adalah kortikosteroid. Kita lihat juga di patofisiologi, kalau misalnya tadi masalahnya adalah inflamasi, masalah utama dari penyakit asma ini.
Jadi kalau misalnya hanya menggunakan saba ini, hanya menggunakan bronchodilator, tapi tidak mengatasi inflamasinya. pasiennya itu juga tidak akan mengalami kesembuhan yang baik gitu ya, jadi tidak terselesaikan masalahnya gitu, karena hanya dilatasi saja, tapi inflamasinya tidak ditangani nah untuk corticosteroid ini ada dua bentuk, ada yang oral ya, ada OCS ada yang inhaled ya, ada yang diinhalasi, nah untuk yang OCS ini ada dexamethasone, previsone, bisa menggunakan methylprednisolone juga, nah kalau inhalasi ini bisa memetason, pretekason, atau budeson nah selanjutnya nih kan tadi untuk di patologi juga kita lihat ya ada peran dari asetilkolin. Asetilkolin itu merupakan bagian dari parasimpatik di mana kalau berikatan dengan reseptornya bisa menginduksi terjadi bronchokonstriksi. Oleh karena itu, pengebatannya harus mengantagonis ya. Jadi antikolinergik ya.
Di sini yang digunakan adalah yang inhalasi di mana obatnya adalah ipratropium bromida. Dan selanjutnya ada LTRA ya, leucotrien, reseptor antagonis. Jadi kan tadi ya ada peran kuat dari leucotrien juga yang bisa menyebabkan bronchokonstriksi. Jadi di sini contoh obatnya adalah Monteluka. Nah ini masih ingat ya tadi gambar foto fisiologinya Nah ini kita peran betagonis disini ya Jadi nanti disini akan meng-dilatasi ya bronkus Selanjutnya ada antikolinergik yang disini untuk menghambat dari pengikatan asetilkolin Dan juga ada peran dari kortikosteroid dan lekotrien Dimana kan tadi ini kalau sel emas ini bisa menghasilkan mediator-mediator inflamasi ya Termasuk istamin, prostaglandin, dan lekotrien Seperti itu Nah, ini untuk obat asma ya, jadi sedianya ada inhaler, disini ada sabak, terus disini ada corticosteroids, disini ada kombinasi ya, antara laba dengan corticosteroids, seperti itu.
Nah, untuk terapi asma sendiri, tujuannya itu untuk memotong gejala ya, yang pastinya meminimalisir risiko kematian, meminimalisir ketambuhan ya, terus obstruksi jalur nafasnya dan efek samping dari pengebatannya sendiri. Nah, untuk guideline yang digunakan adalah GINA nih, GINA yang update banget tahun ini, tahun 2021. Nah... Alur terapinya seperti apa? Seperti yang tadi sudah dijelaskan pada bagian diagnosis, alur terapinya itu harus mengkonfirmasi dulu riwayat gejalanya. Oh iya, ini riwayat gejala yang mendekati pasien asma.
Nah, nanti akan dikonfirmasi nih ya. Jadi, dilihat tingkat gejala yang seperti apa, seberapa sering kambuhnya, terus faktor risikonya apa. Yang tadi ya, apakah pasiennya ada obesitas atau ada penyakit-penyakit bawaan tertentu, termasuk bagaimana sih fungsi paru dari pasiennya. Selanjutnya nanti akan dilakukan penentuan nih. terapi empirisnya tadi, mau menggunakan terapi pengontrol apa nih, ya, jadi nanti bisa di stepping up atau stepping down tergantung dari kondisi pasiennya, bisa dinaikkan atau bisa diturunkan, lalu nanti akan dikonfirmasi akhir diagnosisnya setelah melakukan tadi pemeriksaan spirometri, ya Nah untuk guideline asma sendiri untuk pasien dewasa dan remaja di atas 12 tahun, di sini ada update terbaru dari GINA 2021. Sebelumnya untuk mulai tahun 2019, GINA itu hanya menyarankan untuk penggunaan yang masuk kortikosteroid.
Jadi sebelum 2019 ini GINA menyarankan peleganya itu menggunakan Saba, jadi bronchodilator. Hanya bronchodilator, tapi ingat tadi kan di patofisiologi kita sudah belajar. Kalau asma ini, selain terjadi bronchoconstriksi, di situ juga terjadi inflamasi. Oleh karena itu, kalau misalnya hanya menggunakan sabah, hanya menggunakan bronchocondylator saja, inflamasinya tidak ditangani.
Makanya ada beberapa penelitian yang menyebutkan, kalau hanya menggunakan sabah itu justru meningkatkan risiko kekambuhan yang lebih parah pada pasien, bahkan pasiennya bisa meninggal akibat asma. Oleh karena itu, mulai dari 2019, GINA itu sudah menyarankan untuk melakukan terapi peleganya menggunakan kombinasi antara kortikosteroid dengan laba gitu ya, formol teror seperti itu. Nah tapi update lagi nih tahun 2021 karena adanya beberapa pasien ya, pasien lama yang memang sudah nyaman menggunakan Saba dan tidak terbukti adanya kekambuhan yang lebih parah, itu pasiennya bisa menggunakan jalur 2, tetap menggunakan Saba. Karena ternyata ada beberapa pasien yang tidak patuh ketika menggunakan ICS.
Karena kan memang terkait dengan risiko efek samping ICS yang nanti akan kita bahas lebih lanjut di belakang. Ya jadi ini kita bisa lihat dari guideline yang GINA 2021. Di sini untuk yang jalur 1, peleganya menggunakan ICS formaterol, sedangkan jalur 2, peleganya bisa menggunakan Sabaol. Karena itu nanti di GINA 2021 ini tetap bisa menggunakan yang mana, tergantung pasiennya mau jalur 1 atau jalur 2, dikondisikan, sesuaikan dengan kondisi pasiennya. Nah, ini untuk alur terapinya.
Ini untuk pasien yang dewasa dan remaja di atas 12 tahun, dan ini untuk yang anak 6-11 tahun. Sebenarnya, kalau kalian perhatikan, ini mirip dengan yang... Jalur dua sebenarnya, karena itu nanti akan saya rangkum jadi satu. Jadi seperti ini untuk alur terapi pada asma.
Oke, yang pertama kita akan melakukan periksaan konfirmasi diagnosis dulu ya. Kita lihat dulu tadi gejala dan faktor risiko dari pasiennya, comorbidnya seperti apa, dan kita juga memberikan edukasi terkait teknik inhaler dan pentingnya kepatuhan menggunakan obat pada pasien. Setelah itu kita sesuaikan dengan profilnya ya, jadi nanti pasien inginnya seperti apa nih obatnya, terganggu nggak dengan efek sampingnya dan sebagainya.
Nah, selanjutnya kita lihat nih dari gejala harian yang ditunjukkan oleh pasien. Apakah gejalanya itu setiap hari nih kambuhnya, terus pernah nih bangun pada malam hari karena asma, lebih dari satu kali per minggu gitu ya. Dan terjadi penurunan fungsi paru setelah melakukan pemeriksaan spirometri.
Nah, jika ini iya, nanti terapinya bisa dimulai dengan penggunaan dosis sedang ICS dengan formaterol kombinasi. Jadi, ICS yang dosis sedang dikombinasi dengan formaterol. Nah, ini menggunakan MART, jadi Maintenance and Reliever Therapy.
Jadi, terapin. tapi pemeliharaan dan pelega. Jadi, dua-duanya, mau yang pengontrol, mau yang pelega, juga menggunakan ICS sama formaterol.
Nah, selanjutnya itu atau menggunakan yang jalur dua. Nah, untuk yang jalur dua ini, yang tadi saya katakan, jadi peleganya itu menggunakan SABAK, gitu ya. Nah, jadi untuk pengontrolnya bisa menggunakan ICS dosis sedang atau yang dosis tinggi dikombinasi dengan LABA, seperti itu.
Nah, tapi... Tapi di sini kan untuk ini menyatakan kalau misalnya pasien dengan gejala seperti ini, itu sudah menggunakan yang step 4 atau termasuk asma yang berat gitu ya untuk di awal. Nah, biasanya ini pasien bisa juga menggunakan OCS-nya, jadi dikombinasi terapinya dengan oral corticosteroid gitu ya pada asma berat yang tetap tidak terkontrol seperti itu. Nah, selanjutnya di sini kalau misalnya ternyata gejalanya tidak seperti ini, gejalanya hanya beberapa hari saja, tidak tiap hari, dan di sini bangun pada malam harinya atau ya, ya ada. atau bangun pada malam hari, di sini kalau misalnya iya, nanti pasiennya bisa menggunakan ICS yang dosis rendah, jadi bedanya di sini dosis sedang, ini dosis rendah, tapi tetap digunakan sebagai pengontrol dan pelega.
Kalau misalnya untuk jalur dua, bisa menggunakan sama ya, ICS dosis rendah, tapi di sini relievernya atau peleganya menggunakan sabak bila butuh. Nah, selanjutnya kalau misalnya tidak seperti ini, tidak pernah bangun pada malam hari, gejalanya di sini lebih dari dua kali sebulan, maka pasiennya bisa menggunakan dosis rendah, dosis rendah ICS, formaterol, tapi bila butuh saja, tidak digunakan setiap hari. Nah, untuk jalur 2-nya, bisa menggunakan rutin dosis rendah ICS, dan reliever-nya tetap menggunakan Saba, reliever atau peleganya. Nah, selanjutnya, kalau misalnya ternyata tidak lebih dari 2 kali sebulan, jadi di sini pasiennya bisa menggunakan tetap, di sini mirip dosis rendah ICS, formaterol, bila dibutuhkan saja.
Nah, tapi untuk yang jalur 1, di sini kombinasi ICS sama Saba bila butuh. Tapi perlu dicatat nih yang tadi saya sudah jelaskan di awal kalau lebih disarankan untuk menggunakan terapi yang ICS. Untuk apa? Untuk mencegah kekambuhan atau ekseserbasi dan untuk mencegah kebutuhan terkait oral kortikosteroid. Karena ingat ya untuk kortikosteroid juga efek sampingnya lumayan.
Nah, dan di sini kan Tadi juga saya sudah katakan, kalau misalnya pasien itu ada yang tidak menoleransi untuk menggunakan ICS, kan di sini ada untuk menggunakan ICS harian, tidak bisa menggunakan ICS setiap hari. Nah, bisa di sini diganti dengan ICS dikombinasi dengan formatorol, hanya digunakan ketika butuh saja, atau ketika kampus saja asma. Jadi lebih disarankan yang ada ICS-nya. Karena tadi, kembali lagi ke patofisiologi dari asma itu sendiri.
Nah, untuk yang tadi, ini kan dewasa, ya dewasa. Dan remaja di atas dari 11 tahun tadi, 12 tahun. Nah kalau misalnya tadi 6-11 tahun itu mirip-mirip dengan yang jalur 2 ini.
Karena memang terkait juga dengan beberapa penelitian yang menyatakan kalau misalnya memang cukup dengan ICS dan kombinasi laba ini ya yang cukup untuk pada pasien anak-anak. Dan juga ada juga terapinya sebenarnya untuk anak yang 5-11 tahun ya. maaf, untuk anak yang di bawah 5 tahun, dimana di situ menggunakan ICS yang lebih dikontrol dosisnya, dan di sini juga jarang menggunakan yang laba, jadi disesuaikan dengan kondisi pasiennya. Nah ini tadi yang saya katakan untuk dosis ICS ada yang rendah, sedang, dan tinggi.
Nah jadi ini untuk guideline-nya untuk menyatakan dosis rendah itu yang sedang gimana, jadi di sini juga disesuaikan dengan obat-obatan dari kortikosteroidnya. Nah, ini untuk yang tadi, untuk yang dewasa, ini untuk yang anak-anak ya. Dan untuk anak yang di bawah 5 tahun, itu biasanya menggunakan dosis yang paling rendah, seperti itu.
Nah, ini yang tadi saya sudah jelaskan ya, kalau misalnya dari GINA 2021 sudah tidak menyarankan ya, kalau misalnya penggunaan sahabat sendiri. Nah, tapi 2021 masih bisa sih, sudah ada jalur yang kedua ya, kalau misalnya memang ternyata dengan sahabat sendiri tidak membuktikan adanya keparahan gitu ya. Nah, nanti bisa tetap menggunakan sahabat.
Nah, tapi di sini dibuktikan kalau misalnya... penggunaan sabah saja itu berisiko untuk mengalami eksaservasi yang parah dan meningkatkan kematian akibat asma. Nah, selanjutnya, jadi kalau misalnya menggunakan sabah itu juga bisa meningkat untuk kekambuhan yang lebih parah. Dan di sini untuk kortikosteroid yang diinhalasi itu lebih menurunkan kematian akibat asma dibandingkan dengan sabah.
Nah, untuk yang labah, tadi kan disebut formotrol, formotrol, formotrol, padahal labah yang lain itu banyak. Ternyata formotrol ini merupakan laba yang onsetnya paling cepat dibandingkan teman-teman laba yang lainnya. Dan efektivitasnya itu setara dengan sabak sebagai pelega. Jadi tadi menggunakan ICS kombinasi formotrol itu juga ampuh sebagai pelega untuk menggantikan sabak. Dan disini formotrol itu menurunkan risiko ekstasebasi dibandingkan sabak dan penggunaan.
Tapi ingat formotrol sendiri tanpa ICS juga tidak disarankan. Karena lagi-lagi masalah pada asma juga ada masalah inflamasi. Nah ini untuk rekomendasi yang LTA atau Lekotrien Reseptor Antagonis tadi ya, nah di sini untuk Montelukas sendiri ini harus hati-hati karena efek sampingnya adalah kejadian neuropsikiatrik atau mengganggu kesehatan mental pada pasien, makanya untuk Montelukas ini tidak termasuk lini pertama dari pengobatan asma. Nah selanjutnya ini untuk inhaler kortikosteroid ya, di mana efek sampingnya itu bisa menyebabkan imunosupresanto menekan sistem imun, ya jadi di sini pasiennya bisa mengalami kandidiasis oral atau...
bisa jamuran gitu ya di sekitar mulutnya, dan pasiennya bisa sakit tenggorokan dan juga suaranya serak, makanya kenapa banyak pasien yang tidak patut terhadap ICS males gitu, menggunakan obatnya gitu ya, jadi yang harusnya tadi ICS dosis rendah setiap hari, itu pasiennya males menggunakan karena efek sampingnya. Oleh karena itu, untuk farmasi juga harus perlu diedukasi ya, untuk pasiennya harus berkumur setelah menggunakan inhaler ya, agar tidak terjadi kandidiasis di sekitar mulutnya, jadi berkumur agar tidak tinggal obatnya di dalam mulut seperti itu. Nah, sedangkan untuk pada ibu hamil seperti apa?
Nah, sebenarnya pada ibu hamil ini, terutama pada trimester kedua, cenderung untuk sering kambuh nih asmanya. Nah, di sini untuk menggunakan ICS itu aman-aman saja, karena ternyata dari bukti penelitian, obat-obatan asma itu tidak menunjukkan pengaruh pada abnormalitas jamin. Jadi, tetap dapat digunakan sebagaimana umumnya sebelum hamil. Jadi, tetap dilanjutkan, tetap harus dikontrol, karena kalau misalnya asma yang tidak terkontrol itu juga bisa berbahaya untuk membuatnya lebih berbahaya. bayinya ya, karena nanti pasukan oksigen ke placentanya juga akan berkurang kalau asmanya sampai kambuh.
Nah, kalau misalnya pada saat melahirkan terjadi buruan kokonskripsi itu bisa diberikan samba, seperti itu. Nah, untuk terapi non-farmakologi sendiri yang pertama berhenti untuk merokok, hindari obat-obatan yang bisa memicu asma, terus paparan pekerjaan ya yang bisa meningkatkan ini ya kekembuhan seperti polusi dan sebagainya, udara, terus pola makannya diatur, aktivitas fisik ya untuk menurunkan bobot badan, karena tadi obesitas juga bisa meningkatkan risiko kemuhannya asma, dan untuk menghindari alergen-alergen yang bisa memicu terjadinya asma. Dan untuk evaluasi terapinya, disini harus mengontrol di jalan nih ya, jadi kan bagaimana sih dikatakan terkontrol, nanti kita lihat ada questionnaire yang diungkapkan, diberikan oleh Gina ini, nah disini juga harus diidentifikasi nih faktor risikonya, dan disini harus melakukan pemeriksaan fungsi paru ya, tadi yang spirometri, terus, Harus dievaluasi nih teknik penggunaan inhaler pada pasiennya, kepatuhannya, terus masih terpapar alergen atau enggak gitu ya. Nah, terus dievaluasi juga komorbit-komorbit atau penyakit penyerta yang bisa dapat mengganggu. Di sini ada GERD, obesitas, dan sebagainya.
Nah, untuk menentukan apakah pasiennya terkontrol atau tidak, ini bisa menggunakan simple screening tools. Jadi ada alat untuk screening yang sederhana dari GINA, tapi sayangnya ada kelemahannya ya, nanti kita lihat. Nah, di sini pasiennya akan ditanyakan dari 4 minggu terakhir ini.
Yang pertama, apakah pasiennya saat siang hari itu ada gejala, lebih dari 2 kali dalam 1 minggu. Terus, apakah pernah nih bangun di malam hari karena asma? Terus, apakah ketika menggunakan sabai itu sampai lebih dari 2 kali dalam 1 minggu? Dan apakah ada batasan aktivitas karena asma?
Nanti ditanyakan jawabannya kan ya atau tidak. Nah, kalau misalnya jawaban ianya tidak ada nih, nggak ada jawaban ianya, semuanya tidak, itu berarti pasiennya terkontrol dengan baik. Selanjutnya, kalau misalnya jawaban ianya ada 1-2 itu, berarti terkontrol sebagian.
Dan kalau misalnya jawaban ianya 3-4 itu artinya pasien asmanya tidak terkontrol. Nah, tapi... tapi kekurangannya apa? Nah, ini kan peleganya menggunakan Saba, ini masih Saba.
Nah, untuk DINA 2021 pun masih belum ada bahasan untuk pelega yang menggunakan ICS formaterol. Jadi ini bisa digunakan untuk pasien yang menggunakan Saba sebagai peleganya. Untuk peleganya selain Saba itu masih belum bisa untuk dinyatakannya, masih dikaji.
Oke, sekian untuk materi hari ini. Terima kasih, semoga bermanfaat.