Bagi sebagian orang Jawa, hidup berarti upaya menghindari nasib buruk. Mereka percaya nasib buruk menempel pada manusia yang lahir dengan situasi tertentu. Caranya adalah dengan melakukan ruatan. Tanpa ruatan, dipercaya nasib buruk akan mengiringi setiap langkah dan keberuntungan tidak akan datang dalam hidup. Ruatan masih lestari.
Dia beradaptasi dengan pengaruh agama dan zaman sehingga bisa diterima oleh masyarakat saat ini. Inilah cerita para Sukerto atau orang yang dipercaya memiliki nasib buruk dan berikhtiar menghilangkannya dengan ruatan. Bagi suku Jawa, masuknya pengaruh agama tidak serta-merta menghilangkan tradisi dan adat atau membuatnya saling berbenturan, tetapi justru melebur menjadi satu. Dalam budaya Jawa, itu mempunyai sebuah kemampuan yang sangat penting. wujud dalam tradisi bernama Kejawen.
Salah satu ritus Kejawen yang akrab dengan masyarakat Jawa adalah Ruatan. Ruatan bisa diartikan sebagai upacara untuk mengusir nasib buruk. Jadi zaman masyarakat yang masih awal hidupnya dilandasi oleh kepercayaan-kepercayaan bersebut animisme sampai pada waktu masyarakat mengenal budaya keagamaan dari Hindu, Buddha, sampai... datangnya pengaruh ajaran Islam.
Nah ini kepercayaan mengenai nasib orang dalam hidup ini ada yang baik, ada yang buruk. Bagaimana supaya yang nasib buruk itu tidak. Tidak bisa berlanjut buruk, tapi sebaliknya kemudian bisa berubah menjadi yang baik.
Karena tujuan hidup tentu ingin mencapai kebaikan dalam hidup, baik lahir, batin. Sejumlah ritus kejawen kental dengan persembahan dan penghormatan pada penguasa gaib yang lebih dekat dengan ajaran Hindu dan prahindu. Di sisi lain juga memasukkan unsur-unsur Islam seperti doa, mubarak, dan berdoa. maupun ucapan salam.
Pun demikian dengan ruatan. Pembersihan diri dan menghilangkan pengaruh buruk juga serupa dengan konsep pada ajaran agama. Kedekatan inilah yang membuat ruatan tetap diterima, bahkan bagi masyarakat modern saat ini.
Memang dalam kehidupan kita itu kan namanya ada usaha dan berdoa. Memang kalau kita berdoa, memohon itu hanya kepada Allah SWT. Tapi usaha...
Usaha, usaha inilah kemudian ada sarana yang ternyata juga diakui keberadaannya oleh masyarakat Yogyakarta, yaitu melalui ruatan. Jadi memang tidak menyimbang dari agama karena ini tradisi, tradisi yang kita uri-uri dan itu tidak menyembah berhala, tidak. Meski begitu, pendapat warga Yogyakarta cukup beragam. Karena walaupun saya beragama Islam, tapi untuk perbuatan sendiri lebih ke diri sendiri, jadi lebih ke memperbaiki diri.
dari dalam diri sendiri dengan cara ya banyakin ibadah gitu kan dengan cara tobat, nafsuha seperti itu sih selama aku ngikutin prosesnya gak ada yang bertentangan sama agama kenapa harus ribet Dalam ruatan, obyek yang hendak dibersihkan adalah sukerto dan sengkolo, yang berarti kotoran jiwa, aura buruk, dan nasib sial yang menyelimuti manusia yang melakukan kesalahan. Tradisi kejawen menyebut sukerto dibawa oleh anak-anak. anak yang terlahir dengan kondisi khusus.
Misalnya, ontang anting atau anak tunggal, kendono kendini dan kendini kendono atau dua anak laki-laki perempuan dan sebaliknya. Juga, uger-uger lawang atau atau dua anak laki-laki semua. Ada juga orang-orang maupun anak-anak yang lahir dalam kondisi julung wangi, atau saat matahari terbit. Kemudian kondisi tibosampir, atau lahir berkalung placenta, dipercaya harus diruat agar hidupnya tidak dilanda kesialan, dan berbagai gangguan fisik dan psikis.
Gangguan yang akan datang pada manusia yang belum diruat, dipersonifikasikan pada sosok Betorokolo, raksasa menakutkan yang berasal dari keturunan dewa. Betorokolo adalah tokoh sentral dalam cerita wayang murwak. yang menjadi akar dalam tradisi ruatan Jawa ini.
Secara singkat, serita ini mengisahkan Betoro Kolo yang terlahir sebagai anak yang tidak diinginkan datang ke kayangan tempat para dewa menemui ayahnya Betoro Kolo. Betoro Guru. Kepada ayahnya, Betoro Kolo meminta izin memangsa manusia Sukerto sebagai makanannya. Betoro Guru, sang pemimpin para dewa, lalu mengutus Betoro Wisnu turun ke dunia dan mengubah diri menjadi ksatria bernama Janoko. Saat di dunia, Janoko mengaku sebagai dalang bernama Kidalang Kondo Buono.
Dia mengumpulkan semua manusia Sukerto dan segera diruat agar tidak menjadi mangsa. Intro Satu persatu calon peserta ruatan masal datang. Sebagian besar berdomisili di luar Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Setiap peserta wajib datang bersama orang tuanya. Panitia mewajibkan peserta membayar 500 ribu rupiah per orang. Jumlah yang dianggap murah dibanding jika harus melakukan ruatan sendiri.
Salah satu peserta ruatan adalah Maria Yuditama, seorang pengacara. Dia datang bersama kedua orang tua dan adik laki-lakinya dari Jakarta. Meski tidak akrab dengan budaya Jawa karena lahir besar dan... tinggal di Jakarta, toh Maria mengaku secara genealogis sebagai orang Jawa.
Sebenarnya seorang teman ibu saya memberitahu gitu kan, karena kayaknya anak ibu kan cewek sama cowok, ini sepasang. Dalam budaya Jawa itu kurang ini lah, kalau bahasa Chinese nya ciong gitu, bahasa Jawa saya gak tahu apa. Terus lebih baiknya dilakukan ruatan, mungkin untuk membuang sial lah istilahnya kalau bahasa awam.
Dia menyampaikan ke saya, mau gak nih ada tawaran seperti ini. Dan terus saya coba riset-riset via internet ya, website search gitu. Dan saya pikir ya kenapa enggak, terus juga kan kami sebagai orang Jawa juga sekalian melestarikan budayaan Jawa.
Saya sih sebetulnya nggak ada suatu harapan yang spesifik ya. Saya kan dengan ini langsung jadi beruntung 20 kali lipat dibanding biasanya. Cuma proses yang saya juga ada rasa penasarannya juga terhadap tradisi itu sebenarnya apa dan bagaimana. Dan kenapa enggak kita juga ikut terjun langsung jadi partisipan.
Bagi beberapa orang, mengikuti ruatan dianggap sebagai keputusan. perusahaan terpenting yang mungkin pernah dilakukan. Buat mereka, ruatan memberikan hasil yang bermanfaat, berupa keberuntungan dan hal-hal baik lain yang terjadi pada hidup mereka. Bersama adiknya, Bonita Dewi, warga Bantul Yogyakarta, mengikuti ruatan masal tahun 2014 lalu. Tradisi Kejawen menyebut Bonita dan adiknya yang perempuan sebagai kembang sepasang atau dua anak perempuan yang memiliki sukerto atau bernasib jelek.
Tidak banyak pertentangan dalam batin Bonita saat orang tua memintanya ikut ruatan masal. Sejak awal pun dia sudah meyakini ruatan akan membuat hidupnya dan keluarga menjadi lebih baik serta diliputi keberuntungan. Ya lebih baik sih, lebih baik. Ya misalnya saya lebih hati-hati terus Alhamdulillahnya bisa kuliah selesai tepat waktu terus kerja juga bisa. Alhamdulillahnya dapat dua tempat kerja terus habis itu ketemu jodohnya nikah punya anak.
Karena kita sudah mantap ya yakin kemarin. itu setelah habis diruat banyak kejadian yang kita alami dalam keluarga itu pernah suatu kali kita di Semarang kalau orang mengira kita sudah tidak hidup, pernah kecelakaan sudah di bawah itu mobil Alhamdulillah kok ya selamat semua kita keluarga, dan saat keluarga itu mobil kita sudah di teronton yang besar itu sudah di bawah itu, sudah remuk mobilnya, salah satu itu Sayang, oh ya Alhamdulillah kita sudah diruat. Antara lain itu. Terus kehidupan keluarga kami juga mengalami masa kejayaan.
Waktu itu antara 13 sampai 14 itu kok rezeki lancar banyak. Ya anak-anak ya senanglah bisa membuat tersenyuman anak-anak. Waktu itu setelah tahun 13 sampai 15 itulah.
Sore menghilang, malam menjelang. Malam sebelum pelaksanaan ruatan adalah malam yang penting, lagi panjang, terutama bagi sang dalang. Dalang adalah komponen paling vital dalam pelaksanaan ruatan, karena dialah yang memainkan wayang kulit sebagai cerita ruatan.
Wayang kulit juga sebagai visualisasi cara manusia menghindar dari nasib buruk dengan simbol betoro kolo dan karakter wayang yang lain. Tanpa ada dalang, ruatan tidak bisa terlaksana. Dalang juga berfungsi sebagai dukun yang melantunkan kidung atau doa jawa. Meski semua dalang paham kisah murwokolo yang jadi rujukan ruatan, tetapi dalang ruatan biasanya adalah dalang senior. Jika menerima permintaan mendalang untuk ruatan, honor sang dalang biasanya naik.
Ini karena persiapan mendalang ruatan lebih kompleks. Ya misalkan puasa, puasa neton, hari kelahiran, ada terus misalkan mute, tidak makan, yang tidak. pakai garam, yang tidak pakai gula, itu namanya mute.
Atau makan buah ketela, itu kan manis, tapi tidak manis pakai gula, itu boleh. Itu namanya mute. Ya, itu namanya kan sebagai dalang untuk mengasah ibaratkan senjata, yaitu untuk mengasah. Sebetulnya tidak cuma dalang, orang biasa pun memasaknya. Bisa untuk mengasah Indra ke-6, Andi kata dengan niat engson, bisa.
Jadi Indra ke-6 itu memang mungkalnya atau mengasahnya ya dengan laku itu tadi, dengan posok. Yaitu dengan kepercayaan tersebut sehingga si dalang itu yang sebetulnya tidak kuat jadi kuat. Sebetulnya tidak nyampe suaranya, si bisa nyampe suaranya.
Di kota Yogyakarta dan sekitarnya, Kicermo Sutejo cukup populer sebagai dalang ruatan. Dalam ruatan masal oleh Yayasan Taman Siswa, dia pula yang akan menjadi dalangnya. Seperti pada ruatan-ruatan sebelumnya, sudah sejak sore, Kicermo dibantu keluarganya menyiapkan berbagai sesaji untuk dibawa saat ruatan.
Berbagai sesaji syarat simbol dibuat. Yang tidak boleh ketinggalan adalah pisang raja, ingkung ayam, dan tumpeng. Di samping itu ada juga unggas yang harus disiapkan berpasangan.
Ini sebagai perlambang kehidupan, di mana manusia lahir, hidup berpasangan, dan memiliki keturunan. Berbagai persiapan menjelang ruatan berakhir pada tengah malam. Sebelum semua sesaji dibawa ke lokasi ruatan di pendopo Taman Siswa, Kitsermo Sutejo mendoakannya terlebih dahulu. Durga mendatang, kolosirna. Lafal doanya khas kejawen, sedikit bahasa Arab bercampur bahasa Jawa.
Kidalang berdoa lirik. Kusyuk memohon pada Yang Maha Kuasa agar ruatan masal esok hari berjalan lancar dan dimudahkan. Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Pagi baru beranjak naik. Maria Yuditama dan keluarganya sudah siap berangkat.
Mereka berangkat lebih pagi karena Maria dan adiknya perlu berganti pakaian terlebih dahulu di lokasi ruatan di pendopo Taman Siswa. Yogyakarta. Panitia mewajibkan semua peserta mengganti pakaian dengan pakaian adat Jawa saat ruatan mulai dilakukan. Bagi keluarga ini, ruatan adalah pengalaman baru. Apapun yang terjadi, orang tua berharap ruatan ini akan berdampak baik bagi hidup Maria dan adiknya di kemudian hari.
Barangkali ya kalau barangkali nanti awaranya terbuka atau apa begitu kan jadi sial-sialnya udah pada hilang sehingga termasuk mungkin anak saya juga mungkin dimudahkan jodohnya barangkali begitu anak saya yang satunya. Mungkin dimudahkan rezekinya atau apa. Bagi Yayasan Taman Siswa, ruatan masal ini adalah acara tahunan ke-28. Tetapi selama 28 tahun mereka tidak sendiri.
Beberapa lembaga lain seperti Balai Pelestarian Budaya Jawa dan Pelembaga Javanologi menyokong mereka dalam pembiayaan ruatan masal. Animo peserta yang cukup besar menjadi alasan mengapa kegiatan ini dilakukan setiap tahun. Paling tidak lebih dari 50 peserta ikut dalam setiap ruatan masal ini digelar.
Kenapa lembaga Javanologi melakukan ruatan bersama? Karena kalau ruatan itu kalau... Sendiri bisa dibayangkan untuk menggelar upacara ruat ini tidak semua orang akan mampu. Nah ini makanya kita Lembaga Cavanologi memfasilitasi setiap tahun itu melakukan kegiatan ruatan. Bersama, jadi semua pendanaan dan sebagainya itu bisa gotong royong, didukung oleh banyak orang.
Kegiatan-kegiatan yang setiap tahun ada. Berarti ini budaya Jawa itu masih belum punah, budaya ruatan ini masih belum punah dari tahun ke tahun. Karena apa? Ini saja tidak begitu banyak. Ada suatu saat itu sampai lebih seratus.
Ini salah satu detesi, oh ternyata budaya Jawa itu masih kental, masih kuat. Ruatan dimulai. Di Pendopo Agung Taman Siswa, Pak Keliran atau Layar Wayang Kulit dibentangkan lengkap dengan susunan gamelan dan para penabu gamelan beserta pesinden atau warang gono.
Pintu masuknya yang berhias janur kuning, tandan pisang, dan daun beringin seperti dalam acara pernikahan Jawa. Sementara itu, para Soekarto mulai mengganti pakaian mereka dengan pakaian adat Jawa, yang laki-laki memakai beskap, dan peserta perempuan memakai kebayang. Setelah semua berkumpul, satu persatu melakukan sungkeman kepada orang tua dengan cara melakukan dodok atau berjalan congkong.
Ini adalah simbol dari permohonan serta pemberian restu dari orang tua pada anaknya yang akan diruan. Diiringi dengan tembang yang dilantunkan para pesinden, semua peserta mengikuti kirap mengelilingi halaman pendopo. Kirap adalah simbol perayaan. perjuangan manusia Soekerto menghindari nasib buruk yang menyertainya sejak dilahirkan. Kemudian bagian terpenting dalam prosesi ruatan yaitu wayang kulit dengan lakon Murwokolo dimulai.
Dalang Kicermo Sutejo memulainya dengan membawakan Kidung Soekerto, cerita lahirnya Betoro. Raksasa pemangsa manusia Sukertol. Saat kidung, peserta berganti pakaian lagi dengan berselimut kain mori putih. Semua harus melepaskan benda-benda yang lekat dengan keduniawian seperti jam tangan, perhiasan, hingga ikat rambut. Ini menyimbolkan kelahiran manusia yang suci yang hanya dibungkus selembar kain.
Apapun yang disandang, apapun yang disandang oleh manusia antarane olo, kleru, lubut, salah, duso, duloko, apes, sebel, sial, itu supaya hilang seketika itu dengan makna atau dengan simbolis pakaian. Karena sadangannya orang muda tidak pernah menonton, Mas. Ya itu digabarkan, ya sadangan tenang. Tapi kalimat para pepudian dulu kan, sadangan yang menungso menikah mesti nganggu, kalau becek benar luput, becek cilok, kalau rokok penak. Itu tidak bisa diungkiri, Mas.
Para peserta ruatan juga harus berada jauh dari sekitar pak keliran untuk menghindari menatap langsung sosok betoro kolo. Karena itu selama wayang kulit berlangsung mereka ditempatkan di belakang pak keliran. Cerita murwokolo dimainkan dalang secara utuh selama hampir 4 jam.
Cerita Murwakolo bukan hanya tentang menghindari nasib buruk, tetapi juga pertarungan manusia melawan dirinya sendiri. Antara kebaikan yang disimbolkan dengan sosok Betora Wisnu, melawan nafsu dan angkara murka yang mewujud dalam... raksasa Betoro Kolo.
Serat Murwakolo ditutup dengan diruatnya manusia-manusia Sukerto oleh Janoko yang menjadi dalang Kondo Buwono. Ruatan sudah mendekati akhir dengan pemotongan rambut para peserta oleh sang dalang. Peserta kemudian mandi dan membuang kain-kain mori yang membungkus tubuh peserta rambut yang sudah dipotong.
Tunai sudah, niat 66 orang yang berikhtiar dalam ruatan ini. Harapan akan hidup yang lebih baik dan memperoleh limpahan keberuntungan dalam setiap langkah di masa depan. Termasuk Maria Yudinata yang datang jauh-jauh dari Jakarta mengikuti seluruh ritual ruatan dengan kelegaan.