Fase Sumpah Sati Bukik Marapalam Tidak banyak fakta sejarah yang ditemukan terkait Sumpah Sati Bukik Marapalam. Namun, fakta sosial yang begitu kuat di masyarakat Minangkabau, membuat peristiwa itu benar-benar terjadi. Setidaknya, dari fakta sosial tersebut, terdapat tiga fase Sumpah Sati Bukik Marapalam.
Fase pertama, ketika Islam telah merata berkembang di Minangkabau sekitar awal abad ke-13 tepatnya pada bulan Mei tahun 1403 sekaligus mengubah nama kerajaan Minangkabau di Pagaruyung menjadi Kesultanan Minangkabau Darul Koror. Fase kedua, setelah Perang Padri tahun 1837, dan fase ketiga pengukuhan kembali Sumpah Sati Bukik Marapalam tanggal 15 Desember tahun 2018. 1. Fase pertama Orang Minangkabau menjadikan alam sebagai rujukan sekaligus landasan adat, sebelum agama Islam masuk. Sejarawan Gusti Asnan mengungkapkan sebelum Islam masuk ke wilayah Sumatera Barat, masyarakat Minangkabau mengambil pedoman dalam menjalani hidup dengan melihat alam sebagai guru.
Mereka menggali nilai-nilai yang diberikan alam untuk dijadikan landasan hidup. Ketika agama Islam masuk, Masyarakat Minangkabau dapat dengan mudah menerimanya karena ajaran Islam sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang sudah dianut oleh masyarakat Minangkabau itu sendiri. Berbagai versi cerita menyebut orang Minangkabau berasal dari keturunan kaum nabi yang mempercayai dan menyembah Tuhan yang satu atau tunggal, monoteisme.
Yang berlayar dari Yaman sekitar 8000 tahun sebelum masehi. Mereka berlayar mengikuti arah angin dan sampailah di Pulau Paco melalui katiagan. Kemudian mereka masuk ke pedalaman Pulau Paco itu melalui Batang Masang, terus ke Gunung Tandikek, Singgalang, dan Merapi, Triarga. Di lereng Gunung Marapi ini mereka berdiam dan membangun pemukiman.
Sehingga diakini sebagai nenek moyang orang Minangkabau, sebagaimana yang disebut dalam tambo. Dari Manoasa Palito, dari Telongnan Batali dari Manoasa Ninia Kito, dari puncak Gunuang Marapi. Di kawasan Gunung Marapi ini mereka membentuk taratak.
koto dan nagari kemudian menyebar membentuk Luhat nantigo catatan Madinah menyebut ada masyarakat yang hidup di daerah pedalaman sekelilingnya hutan belantara mereka hidup teratur damai dan tentram seperti negeri yang dipimpin oleh nabi-nabi orang Arab waktu itu menyebutnya sebagai nageri almu Minangkabau iya dari istilah ini akhirnya dikenal nama Minangkabau perkembangan selanjutnya Setelah Islam masuk dan dianut masyarakat Minangkabau secara menyeluruh, maka generasi keempat setelah Aditya Warman memerintah yaitu Bakilek Alam, menata kembali masyarakat Minangkabau. Bakilek Alam ini penganut Islam yang taat, bahkan belajar Islam sampai ke Yaman. Pemikirannya menata kembali adat Minangkabau sesuai syariat Islam ini mendapat respon yang positif dari semua tokoh adat, ulama, dan kadiak pandai untuk berbaikat di Bukit Marapalam. Sumpah Setia ini berisi 3 bagian 16 pasal, 90 ayat om nabi yang mempercayai dan menyembah Tuhan yang satu atau tunggal, monoteisme. Orang Minangkabau, Sumpah Sati Bukik Marapalam ini diikrarkan Mei tahun 1403 Masehi atau Syaban 804 Hijriah di Puncak Pato, Bukik Marapalam, Kabupaten Tanah Datar maksud dan tujuannya untuk mengatur kehidupan memakai hukum Islam yang basendikan Kitabullah Al-Quran.
Selain itu, disepakati mengubah kerajaan Minangkabau menjadi Kesultanan Minangkabau Darul Koror. 2. Fase kedua. Kedatangan Belanda ke pedalaman Minangkabau membuat skenario pertentangan antara kaum adat dan kaum paderi.
Belanda memperkeru suasana pertikaian kaum adat dan kaum agama tersebut. Melalui politik adu domba yang dilakukan Belanda, perang saudara itu berkobar dan memakan banyak korban di kedua belah pihak. Melihat pertikaian ini semakin banyak menimbulkan mudarat bagi orang Minangkabau sendiri dan Belanda semakin mencengkramkan kukunya, maka disepakatilah mengakhiri perang saudara tersebut.
Bersepakatlah kaum adat dan agama untuk melakukan perjanjian di Bukit Marapalam. Dalam naskah yang ditulis iniak Canduang menyebutkan, maka untuk itu dicarilah kata sepakat, bulelah buliah digolongkan, picak buliah dilayangkan, untuk berbayat kembali yaitu dikenal dengan Sumpah Sati Bukik Marapalam. Sumpah Sati Bukik Marapalam merumuskan adat Basandi Syara, Syara, Basandi Kitabulah.
Piagam Bukik Marapalam ini melahirkan konsep ideologis masyarakat Minangkabau, yang kemudian dijadikan landasan dalam menjalankan kehidupan sosial, budaya, dan politik. 3. Fase ketiga, pengukuhan kembali Sumpah Sati Bukik Marapalam. Sumpah Sati Bukik Marapalam dikukukan kembali di Puncak Pato, Nagari Batu Bulek, Kecamatan Lintau Utara, Kabupaten Tanah Datar, Sabtu, tanggal 15 Desember 2018. Tiga tungku sejarangan yang terdiri dari Ninik Mamak, Alim Ulama, dan Kadiak Pandai, serta Bundokan Duang di depan unsur pemerintah dan masyarakat Minangkabau yang hadir, sepakat untuk menjaga amanah Sumpah Sati Bukik Marapalam ini.
Isi Sumpah Sati Bukik Marapalam dibacakan oleh Amir Syarifuddin Detmang Kudum Sati. Dimana isi sumpah itu antara lain berbunyi, Penulisan dokumen Sumpah Sati Bukik Marapalam Asbir Datua Rajo Mangkuto dalam bukunya Undang Adat Minangkabau menyebutkan, bahwa untuk memasyarakatkan isi Sumpah Sati Bukik Marapalam ditetapkan puluhan orang jurutulis yang masih muda menuliskan buku Sumpah Sati Bukik Marapalam. Di antaranya dipilih delapan orang yang tulisannya sangat bagus untuk menuliskan Musaf Induk.
Delapan Musaf Induk itu dibuat berhalaman dan berbaris yang sama. Tiga musaf diserahkan kepada Rajo Tigo Selow, yaitu Rajo Ibadat di Sumpur Kudus, Rajo Adat di Buwo dan Raja Alam di Pagaruyuang. Empat musaf diserahkan kepada Basa Ampek Balai dan satu musaf diserahkan ke Tuan Gadang Batipuah. Semua naskah tersebut ditanda tangani oleh Rajo Tigo Selow dan diberi stempel kerajaan.
Naskah ini selanjutnya dibuatkan salinannya dan ditulis lebih kurang selama tiga tahun. Rajo Tigo Selow, Basa Ampek Balai dan Tuan Gadang Batipuh membentuk tim penyalinan musaf untuk disebar ke seluruh pelosok Minangkabau sebagai pedoman dalam pemerintahan dan pelaksanaan adat bagi masyarakat. Hilangnya dokumen sejarah piagam Sumpah Sati Bukik Marapalam sebagaimana ditulis DRS, Haji Asbir Datua Rajo Mangkuto, dokumen Sumpah Sati Bukik Marapalam itu hilang sesuai perintah dari Kerajaan Hindia Belanda.
Pada tahun 1858 M diterbitkan STB nomor 16 T. 1858 yang berisi perintah pembinasaan Musaf Sumpah Satibu Kikmara Palam yang berbunyi, demi keamanan dan kemajuan masyarakat Hindia Belanda, aturan pemerintah Belada harus ditegakkan dan semua buku undang adat Minangkabau harus dibinasakan. Selanjutnya tahun 1880, Prof. Christian Snoek Horgronje diangkat menjadi penasehat pemerintah Hindia Belanda.
Pada tahun 1910 Horgronje bersama Prof. Terhar dan Prof. Van Vollen, ahli teologi, melakukan pertemuan dengan pemerintah Hindia Belanda. Dari pertemuan itu diambil langkah-langkah sebagai berikut, 1. Pemerintah Hindia Belanda akan membantu menegakkan hukum adat mereka sendiri, Minangkabau, seperti perjanjian Bagarsyah, tanggal 21 Oktober 1821, Perjanjian Masang, tanggal 22 Januari 1824, Perjanjian Padang, tanggal 11 Oktober 1833, dan Perjanjian Plakat Panjang, tanggal 25 Oktober 1833, agar mereka tidak mengganggu pemerintahan Hindia Belanda. 2. Jangan ganggu adat mereka, akan tetapi yang diserang adalah agama mereka. Karena selama adat dan agama Islam masih menyatu mereka tidak akan dapat dikuasai, harus dibuat adat dan agama itu agar selalu bermusuhan.
3. Untuk membuat agama dan adat bermusuhan dilakukan langkah-langkah sebagai berikut. A. Adat mereka nyatakan boleh dipakai. B.
Dimana saja ditemukan, walau di negeri Belanda. Tulisan Sumpah Sati Bukik Marapalam harus dibinasakan. C.
Nyatakan kalau Undang Adat Minangkabau itu tidak tertulis. Tetapi undang adat Minangkabau itu dari lisan ke lisan. D.
Hidupkan kembali ajaran jahiliah yang dilarang pakai oleh Sumpah Sati Bukik Marapalam. E. Bentuk adat baru yang bertentangan dengan Sumpah Sati Bukik Marapalam. F. Hidupkan adat salingkan nagari yang tidak berpedoman kepada Sumpah Sati Bukik Marapalam. G. Tipu mereka dengan makanan, minuman dan obat-obatan yang merusak kehidupan mereka.