Transcript for:
Pemahaman Etika Jawa dalam Filsafat

Sore ini kita akan memulai rangkaian kuliah filsafat di Salihara yang pada sore ini sudah memasuki hari yang terakhir, sesi yang terakhir. Kita akan membahas apa itu... Filosofi Jawa Nanti akan disampaikan oleh Romo Magnis Pertama saya ingin ucapkan terima kasih kepada Romo Magnis yang sudah Bersedia bersama kita selama Empat pertemuan selama satu bulan, menulis makalah dan memberikan ceramah tentang etika, bersafat etika.

Kemudian yang kedua, kami ucapkan terima kasih kepada HIFOS yang memberikan dukungan untuk acara ini dan kepada Anda yang sudah hadir selama empat kali pada acara ini. Terima kasih atas keadaan Anda dan saya persilahkan kepada Romo Magnis. Terima kasih.

Itur etika Jawa Nah Saya kira perlu diperhatikan Etika Jawa itu Tidak unik Saya sendiri Mempelajari Etika Jawa Karena dari budaya-budaya Indonesia Saya hanya tahu budaya Jawa Karena waktu saya datang Saya belajar bahasa Jawa dulu Karena rekan-rekan saya Saya Yusuf itu Jawa semua. Kalau tidak bisa Jawa gawat. Apakah etika Sunda. Misalnya sedemikian berbeda. Saya tidak tahu.

Jadi etika Jawa. Jawa jangan difahami eksklusif hanya etika Jawa saja yang seperti itu. Di lain pihak budaya Jawa jelas mempunyai semacam wajah, semacam sosok yang khas yang juga banyak mempesonakan orang yang mempelajarinya dari luar dan menunjang semacam budaya hidup dan cara yang memandang dunia yang menurut saya sangat potensial.

Di lain pihak juga harus dikatakan, orang Jawa itu yang... Seperti itu sudah tidak ada. Orang Jawa sekarang kan manusia itu mengembangkan sikap etika itu perhadapan dengan tantangan. Ya yang Jawa masih ada dari keluarga, mungkin dari lingkungan, di pekerjaan. mungkin sudah tidak, macam-macam studi cita-cita nasionalisme atau dia seorang yang sangat meminati agamanya, itu semua memberi warna tambahan.

Jadi etika Jawa itu lebih bisa dimengerti sebagai semacam pingke yang membantu mengerti ciri-ciri tertentu yang ditemukan pada banyak orang Jawa. Tapi mungkin juga ada ciri-ciri seorang komandan militer. Ciri-ciri secara seorang profesor arkeologi, ciri-ciri seorang bisnis, dan ciri-ciri seorang insinyur. Sesudah saya menulis buku Itika Jawa, kesan saya semua orang Jawa yang saya ketemu tidak persis seperti yang saya tulis di buku itu ya.

Tidak apa-apa itu, tidak apa-apa. Hahaha. Jadi itu kan lebih semacam ideal type menurut Max Weber itu kita gambarkan atau saya gambarkan orang Jawa bagaimana dia Semestinya bagaimana dia nyata-nyatanya andai kata dia betul-betul 100% Jawa.

Ada satu pertanyaan yang sudah sekian kali pada saya muncul, apakah ini gender netral atau tidak? Saya memang banyak dipengaruhi juga oleh Hildred Gates, istri Clifford Gates yang hidup bersama Clifford di Jawa Timur dan banyak bicara dengan dengan ibu-ibu dan mendapat kepercayaan mereka. Tapi tidak semua sikap barangkali sama saja mengenai perempuan dan laki-laki.

Etika Jawa dapat disebut etika keselarasan. Karena keselarasan bagi orang Jawa merupakan nilai yang amat tinggi. Keselarasan atau harmoni, kecocokan, kesesuaian, ketentraman dengan sedikit nada estetis.

Pertama dengan masyarakat, kedua dengan alam, ketiga dengan alam gaib. Etika Jawa berdasarkan keyakinan bahwa kalau hidup kita selaras atau kalau hidup kita itu tidak menyinggung-menyinggung begini, Orang di sekitar kita atau roh-roh di sekitar kita atau alam, kita akan terlindung dari bahaya-bahaya dan kita akan kerasan. Bagi orang Jawa, ada dua tanda keselarasan yang cedati. Yang satu itu dalam kehidupan bersama masyarakat yang bersangkutan, misalnya keluarga, kerabat, desa, yang satu dalam batin. Dalam masyarakat itu, tanda keselarasan adalah tidak ada konflik terbuka, ada kerukunan.

Kerukunan itu bagi orang Jawa sejauh saya lihat pertama-tama berat. Berarti tidak ada yang kasar, tidak ada yang bertengkar, yang berkele, yang sangat menegaskan haknya dan sebagainya, yang bicara dengan suara keras, dan segala macam. Kalau itu tidak ada, kita tenang-tenang membawa diri secara beradab satu sama lain, rukun.

Lebih penting lagi, tidak ada keresahan di dalam hati. Jadi absensi konflik dan keresahan dalam batin, itulah yang membuat hidup sedaras, dan itu yang mungkin oleh orang, itu padanan Jawa terhadap kebahagiaan Aristoteles. Maka orang Jawa juga merasa sangat penting dan banyak seni untuk agar orang tidak cepat resah. Keselarasan tercapai dengan tiga cara. Yang pertama, menghindar konflik terbuka.

Jadi bagi orang Jawa itu sangat tidak sedap kalau orang langsung bertengkar, marah-marah. Itu beda dengan... dengan di Eropa.

Saya tidak tahu apakah itu lebih baik. Saya ingat, itu juga disaksikan rekan Yeswit yang baru datang, tapi orang Belgia, tapi dia juga heran. Saya punya atasan, pater. Di Canisius tahun 1964, pater bots, hubungan kami sangat baik.

Karena bots itu juga punya satu hal, dia bagaimanapun juga kalau kami membuat salahan dia tetap masih mendukung. Tapi saya bertengkar dengan dia. Dan kami omong lama-lama dengan suara semakin keras.

Dan teman saya itu, hubungan kami tidak menderita. Di Indonesia itu tidak mungkin. Sama sekali saya kira tidak hanya di Jawa, tetapi saya juga melihat kadang-kadang orang Jerman, bahkan teman-teman saya, kami biasanya bertengkar kalau bicara.

Orang Jawa itu, misalnya yang kita tahu semua, biasanya tidak boleh mengatakan boten, orak, tidak. Dia mengatakan inggih. Tapi inggih dengan suatu nada di mana orang yang pintar komunikasi tahu apa yang dimaksud.

Hanya orang bodoh mengira, oh ya dia setuju. Mungkin dia mengatakan inggih, hanya mau mengatakan, aku menghormati pendapat Anda dan silahkan selalu menyatakannya non-committal. Saya ingat ayah saya orang yang tidak keras dan baik, tapi biasanya diminta sesuatu, selalu yang pertama adalah tidak.

Tidak, itu tidak bisa. Juga orang lain punya pendapat, tamu punya pendapat. Pendapat politik, pendapat apa saja.

Ayah saya suka berdebat dan diterima. Jadi disini memang ada perbedaan-perbedaan kultural. Jadi yang satu itu menghindar konflik terbuka.

Itu yang namanya rukun. Hildred Gates menamakannya prinsip rukun. Yang satu lagi, orang Jawa diharapkan menghormati orang lain. Menghormati orang lain berarti meniapa dia, memperlakukan dia sesuai dengan kedudukan sosialnya. Dan itu tentu paling langsung tercermin dalam bahasa Jawa.

Yang sekiranya bahasa Sunda dan bahasa lain juga punya, itu tingkatan. Saya belajar bahasa Jawa langsung harus belajar tiga-tiganya. Mukuk, Kromo, Kromoinggil. tidak mungkin saya belajar ngoko dulu lalu ketemu dengan Bapak Uskup orang Jawa mengatakan go with the goyo ya tidak bisa tidak bisa tentu kalau justru sebagai orang Jawa dia akan menerima semua anggap itu lucu tapi lucu karena tidak tepat tentu saja jadi harus belajar saya tidak pernah menulis mengenai bahasa itu tapi bagi saya itu amat sangat menarik karena begitu sering saya mendengar orang Jawa orang rakyat, orang intelekt, rohaniwan bicara bahasa Jawa dan saya sudah agak kaku ya karena jarang saya pakai dan terutama saya tidak menguasai yang sebetulnya menjadi bukti bahasa Jawa itu adalah yang kadang-kadang disebut Matyo jadi orang Jawa itu tidak dengan anak dia bicara ngoko tentu saja dengan orang yang betul tidak dikenal hanya Kromo dan Kromo Inggil tapi dengan orang yang sudah sedikit dikenal sesudah bicara Kromo lama-lama di dia turun ke noko dalam hal menceritakan sesuatu setiap kali dia lawan bicara atau juga orang lain yang tinggi disebut pindah ke kromo inggil dan kalimat lain mungkin sebentar ke kromo. Jadi kemampuan itu dan itu otomatis ya itu tidak dipelajari itu menunjukkan bagi saya betapa kuat perasaan spontan bagi kedudukan sosial.

Orang lain masih ada di dalam perasaan Jawa. Jadi bahasa Jawa betul-betul membantu. Kalau saya tidak salah, tahun 20-an pernah ada gerakan orang lain.

orang muda Jawa nasionalis untuk menghapus kromo gagal total tidak sampai mungkin mereka saja tidak berani omong dengan orang tua dalam ngoko itu berbeda kalau di Jerman berdoa di Jerman ada du dan si du itu akrab si itu tidak akrab maka dalam doa Allah disapa dengan du semua doa dengan du Tapi dalam Prancis ada tu dan vous. Dan Allah itu disapa dengan vous, yang lebih tinggi. Dan mungkin orang tua juga.

Du itu du dua ye, dan yang jadi di situ semua bahasa punya itu, tapi bahasa Jerman itu hanya beberapa kata, beberapa bentuk, bahasa Jawa itu hampir seribu. Ibu kata ada dua bentuk kromo ngoko dan 300 masih ada yang ketiga, ada sedikit yang keempat untuk kromo inggil atau kromo andap. Dengan cara bicara yang baik, orang Jawa sudah menentukan swasana. Ini dalam, saya tidak tahu ya, dalam komunikasi, kalau orang tidak menguasai swasana, ini agak kasar, mungkin otomatis sudah membuat kesan yang jelek. Saya sendiri saja oleh beberapa teman Jawa yang sudah tua, kalau kami omong selalu bahasa Indonesia, tapi pertama mereka Mereka mulai dengan bahasa Jawa, Sugeng Ramuh, Rowo, dan sebagainya.

Karena merasa terlalu kasar langsung dengan bahasa Indonesia. Saya menikmati itu. Lalu yang ketiga, suatu kemampuan Jawa yang luar biasa. Menguasai, menangani emosi.

Tidak mungkin kita rukun. Tidak mungkin. kita berlaku hormat tidak mungkin kita tidak resah kalau kita dibawa oleh emosi-emosi kita jadi dalam etika jawa saya nanti masih kerasa menangani emosi Memastikan bahwa emosi tidak pernah melampaui tingkat tertentu, dianggap seni hidup dan tanda ketibasaan, bukan hanya emosi negatif, seperti marah, kecewa, iri hati, benci, tetapi juga emosi positif seperti kegembiraan.

Ya saya tidak tahu apa itu kaitan, tapi saya ingat sebagai contoh pernah kapan itu, mungkin tahun 80-an. Saya pernah tiga bulan jadi pastor di Jawa, di kota kecil Sukorejo, di kaki Gunung Prau. Dan saya punya seorang frater, jadi rohaniwan muda. Yang notabene sangat hebat.

Orang tuanya tinggal di Sumatera. Dan pada satu siang hari datang ibunya dan kakak perempuannya. Dan kelihatan mereka akrab tapi yang paling mencolok saya.

Kalau saya mesti merangkul, mencium dan gembira-gembira. Tapi tidak biasa-biasa saja, ya sedikit mencium, sedikit merangkul, kakak perempuannya langsung menyediakan teh di rumah kami, saya heran kok. Oh ya ya, mungkin itu, tidak usah terlalu emosi, saya sebetulnya bisa membayangkan bahwa Ibu yang sudah 2 tahun tidak melihat anaknya di Jawa itu sebetulnya ingin juga merangkul dia. Apa karena saya hadir?

Bisa juga ya. Karena saya hadir, ya seperti biasa baru kembali dari pasar itu. Ya, ya, belajar-belajar itu menarik sekali. Tentu salah besar orang menarik kesimpulan bahwa tidak ada yang menarik. Tidak ada emosi kuat.

Emosinya kuat tetapi tidak diizinkan perlupian. Bagaimana orang Jawa... Belajar etika keselarasan dalam kenyataan sehingga dia membawa diri sesuai cita-cita Jawa.

Ada tiga sarana, yang pertama itu tekanan masyarakat masyarakat Jawa tidak mengizinkan kelakuan yang mengganggu kerukunan dan tidak menggambarkan mengganggu, menghormati struktur sosial. Jadi kalau orang di desa itu berkelai, dia pasti akan dipisahkan. Itu tidak akan diizinkan. Entah sekarang tentu situasi sangat berbeda dan itu agak merisaukan. Tetapi perkelayan dan sebagainya tidak diizinkan.

Dan seperlunya orang yang dibawa keluar dulu tidak akan diizinkan. Dan sebagainya. Jadi dari masyarakat ada tekanan kuat sekali untuk membawa diri.

Karena orang sebetulnya dianggap dihargai dari apakah dia bisa membawa diri menurut cita-cita itu. Kalau dia membawa diri dengan baik, itu sudah bagus. Maka Pak Harto itu selalu begini-begini, saya pernah tanya sama Pak Habibieh, kok Anda ini yang sebetulnya darah Jawa banyak, tapi kelakuan Anda tidak Jawa sama sekali, kok bisa dengan Pak Harto?

Pak Arto itu. Ya Habibie. Mengatakan.

Ya Pak Arto suka saya. Seperti seadanya itu. Jadi ada satu orang.

Habibie yang. Misalnya Pak Arto mau sesuatu. suatu Habibie mengatakan gak mau gak dapat orang gak mau itu suatu pernah minta dia menyerahkan macam desain dalam rangka pesawat terbang Habibie mengatakan gak mau loh gak mau pak kalau begitu berhenti saja ya udah kadang-kadang juga diterima hal seperti itu tetapi bisa juga tidak berhasil Yang kedua internalisasi, itu tentu penting.

Internalisasi berarti bahwa kelakuan yang sopan, rukun, tenang, hormat, menjadi macam kodrat kita yang kedua. Dan itu tercapai tentu dalam pendidikan di rumah. Anak Jawa, anak kecil Jawa, ditidik untuk menghayati kelakuan rukun dan hormat sebagai sesuatu yang positif dan mengenakan. Jadi sedikit kecil kalau orang Jawa, orang Jawa sebetulnya merasa betul-betul relax, tidak perlu main apa-apa dalam keluarga akrab.

Di situ ini tidak semua berlaku, dalam keluarga akrab, tapi keluarga yang sudah lebih jauh apalagi orang lain, Dia belajar bahwa kalau suasana adalah pantes, maka itu bagi semua menyenangkan dan positif. Dan dia belajar bahwa persatuan dengan keluarga dan kelompok adalah dasar dan sumber keamanan psikis. Jadi jangan sampai terpisah dari orang-orang yang akrab. Menurut Hildred Gates, anak Jawa belajar itu dengan tiga langkah dan yang...

Menurut saya menarik itu karena cocok kurang lebih dengan Kohlberg, yang ditulis Kohlberg mengenai perkembangan moral. Yang paling pertama, anak kecil yang masih... masih sangat kecil, tidak dimarahi. Seharusnya tidak dimarahi, tentu ada juga, tapi sebetulnya kalau orang tua memarahi anaknya itu tidak benar, tidak dipenarkan.

Tidak dimarahi, melainkan dengan dibikin takut terhadap ancaman dari luar. Awas, nanti ada anjing, ada orang asing, ada hantu. Saya sendiri sudah mengalami itu di desa itu. Ibu gendong anaknya.

Anaknya nangis. Ibu bilang, Ini orang Roma. Ini orang Roma. Lalu dia berhenti nangis. Jadi...

Ada romo, maka romo itu sedikit kategori dengan gudruwo dan macam itu. Pokoknya kalau ada romo lebih baik jangan menangis ya, berhenti nangis. Tapi itu hanya yang pertama Yang kunci itu bukan Takut rasa takut Wedi Tetapi rasa malu Merasa Isin Ngerti isin Mengerti Merasa malu adalah tanda kedewasaan bagi orang Jawa. Orang yang tidak tahu malu, memalukan.

Tidak dewasa, kasar, tidak mencapai kemanusiaan yang sebenarnya. Jadi orang sejak kecil, anak sejak kecil belajar dengan shaming. Jangan berbuat itu, nanti tegur, tidak baik, nanti malu, dan sebagainya.

Sehingga kelakuan yang menimbulkan... Rasa malu amat sulit dilakukan. Itu juga semacam social control yang sangat kuat. Karena bisa saja orang susah mengatakan kepada orang lain terhadapnya dia malu. Sesuatu yang kasar atau tidak mau didengar.

Lebih baik diem. Maka kalau orang Jawa... menjadi dewasa, dia diharapkan mempunyai rasa yang disebut sungkan.

Sungkan itu semacam Malu-malu positif perhadapan dengan orang yang berkedudukan lebih tinggi. Jadi di mana kita tidak akan omang, kalau tidak dipanggil, dan sebagainya. Tetapi khasnya bagi sungkan bahwa itu perasaan yang tidak negatif. Tapi suatu perasaan yang enak. Orang merasa sungkan.

Ya saya pernah mendengar, nggak tahu apa ini betul ya, waktu Nuklalis Majid itu tanggal 20 Mei. 1998 oleh rekan-rekan muslim yang waktu itu dipanggil Pak Harto sebetulnya untuk membantu, diutus untuk mengatakan Pak Harto sudah waktu turun. Katanya Anukholius mengatakan bagi dia itu sangat berat. Ya karena sungkan itu.

Berat mengatakan Pak Harto sekarang sudah saatnya untuk turun dari kepresidenan, tapi dia mengatakannya. Tetapi... Kalau saya sih memang dalam komunikasi perlu diandalkan bahwa rasa malu dan rasa sungkan bisa mempersulit komunikasi.

Tentu juga ada cara-cara untuk mengatasinya jadi Saya sendiri misalnya kadang-kadang memakai metode yang dari pengalaman saya justru lebih baik karena saya kadang-kadang mengamati atasan Jawa yang sangat susah. Bicara kepada Bawan, kemudian Bawan mengeluh kok enggak mengatakan dia mau apa. Dan dia sendiri tidak berani, izin.

Saya mencoba mengatasinya dengan kalau ada sesuatu, saya langsung bicara terbuka, tapi dengan cara relax. Jadi entah dia buat kesalahan. sepertinya saya sama sekali tidak kaget kesalahan itu ya sudah tapi kita harus bicarakan dan bagaimana dia maksudnya dalam waktu singkat orang itu lalu bisa bicara mengenai itu dan kita bisa tukar Dan mungkin bisa juga belajar untuk masa depan supaya tidak diulangi. Dan dia tidak tersinggung itu yang paling penting. Menghindari orang tersinggung.

Jadi di Jawa harus sedikit hati-hati supaya tidak menyinggung perasaan orang Jawa itu. Lalu yang ketiga yang mendukung etika Jawa itu tentu sekian nasihat etika Jawa. Di situ sebetulnya harus masuk yang sama sekali tidak saya masukkan di sini, ya bayang.

Orang Jawa belajar begitu banyak dari bayang. Dan bayang juga ada enaknya, memang yang biasanya tidak tahu isin itu para buto, para raksasa itu. Mereka itu lalu terpelanting dan sebagainya karena bodoh-bodoh.

Kurawa juga perbedaannya dengan Pandawa bahwa mereka itu kasar dan tidak tahu. Orang Jawa saya kira juga melihat Kurawa punya Pandava punya semar, Kurawa punya togok. Pandava selalu mendengarkan semar dan memperlakukannya dengan hormat.

Jadi orang Jawa dibayang juga belajar bahwa pandava. Bagaimana orang dia hormati tidak semata-mata tergantung dari kedudukan formal dalam masyarakat. Yang ideal itu tahu hakikat jiwa itu. Tapi Kuroho itu selalu juga dapat nasihat dari tokoh.

Dan tokoh itu memberi nasihat yang biasanya benar juga, tapi nggak pernah dihiraukan. Lalu tentu saja Kurovo dapat pukulan. Ya kasar mereka. Orang-orang kasar Maka disitu kita juga melihat sesuatu di etika Jawa Harusnya halus dan tidak kasar Keras tidak sama dengan kasar Tapi kasar jangan Etika Jawa Ini tentu sikap-sikap moral yang mendalam Nrimo ikhlas lukoro sing iling lan vas poduh. Iling, iling berarti ingat.

Ingat apa? Ingat apa saja? Ingat dirimu, ingat kedudukanmu, ingat keluargamu, ingat asal-usulmu, jadi ingat Tuhan. Orang yang iling tidak akan sombong. Orang yang iling juga tidak cepat putus asa.

Karena bisa menempatkan diri. Tentu saja sikap seperti nerimo bisa juga disalahfahami. Pokoknya terima saja, jangan melawan.

Tapi nerimo yang sebenarnya itu tanda kekuatan batin. Nerimo itu berarti berhadapan dengan suatu situasi yang berat, yang tidak bisa langsung diubah. Kita tidak patah itu.

Jadi dalam situasi yang sulit. Mungkin situasi kita kalah, kita tetap menjaga kekuatan. Nerima itu sikap untuk pantul kembali. Nanti saya akan mengajukan sendiri masih beberapa pertanyaan. Tapi saya masih mau sedikit katakan saja ke struktur etika Jawa.

Menurut saya ada empat ciri yang khas bagi etika Jawa. Yang pertama, Keselarasan tidak diciptakan melainkan sudah ada. Dan itu berarti kalau ada keresahan atau konflik, itu terjadi karena ada fiak mungkin saya, mungkin fiak lain, yang keluar dari keselarasan, selalu mengganggu.

Dan pemecahan terjadi dengan Kembali ke keselarasan, saya kira itu latar belakang mengapa di Jawa banyak konflik manajemen itu dengan cara saling menjauhi dulu untuk sementara waktu tidak. Saya ingat tahun 70-an saya betul-betul masih hijau di STF, tapi ya sudah cukup pinter untuk tanya. Ada rekan saya yang bagus, agak konflik dengan uskup. Saya tanya pada teman lain itu, Romo Broto da Sono, dekat sekali. Saya tanya, Broto itu apa?

Saya coba menengani antara dua-duanya. Dia jawab, gila kamu. Ini jangan diangkat-angkat, biarin saja nanti redup sendiri itu.

Andai kata saya dengan segala kehalusan mengangkat itu malah menjadi masalah. Cukup saja tunggu 2-3 minggu dan masalah pergi dan memang jadi pergi juga. Tentu ada masalah.

Misalnya, kalau orang menuntut sesuatu dan oleh komunitas dikatakan jangan, itu mengganggu kerukunan, mengganggu kesepakatan. Jadi kepentingannya tidak diperhatikan. Kalau komunitas Jawa masih utuh, dan itu komunitas desa ya, maka sebetulnya semua warga desa tahu siapa yang berkorban demi komunitas Jawa.

maka berikut kali bukan dia itu, tapi orang lain yang diminta untuk mundur dan seterusnya jadi ada keadilan tapi misalnya tidak ada keadilan orang merasa selalu saya yang ditep yang harus diam padahal tidak bisa mengungkapkan itu bisa membawa sampai ke amok akhirnya gak tahan lagi Lalu, ada masalah yang lebih susah, yang betul-betul memerlukan pelatihan. Ya, mungkin orang sekarang abad ke-21 sudah tidak, tapi saya kira dulu masih. Di Mutil...

Konflik etika Jawa itu pada hakikatnya ada yang mengganggu keselarasan, jadi ya tarik kembali gangguan. Tapi bagaimana menutupnya? dunia modern dunia modern itu bukan kita bersama-sama selara selalu ada yang ganggu tetapi model etika modern adalah bahwa kita di perjalanan ke masa depan dan terus menerus ketemu pada perintasan jalan jalan terus ke kiri dan terus ke kanan mana harus dipilih seping pamrih ramek gawi, nerimo, tau tiri iling tidak membantu Paling-paling menjadi latar belakang. Ambil waktu, tunggu dulu. Tidak, sekarang harus diputuskan.

Kita jalan ke timur atau ke barat. Nah, saya tidak tahu, mungkin Anda bisa menanggapi. Budaya Jawa tidak kuat dalam menawarkan kemungkinan untuk menangani situasi seperti itu. Biasanya tentu akan dipecahkan secara otoritas.

Jadi yang memimpin memutuskan, oke gampang. Kita taat saja. Tapi kalau itu tidak, maka itu lebih sulit. Jadi konflik manajemen itu sesuatu yang barangkali tidak begitu kuat.

Lalu ada satu hal, dalam budaya Jawa penyesuaian diri itu penting supaya semua rukun. Tapi bagaimana? Kalau ada orang yang menyadari bahwa komunitas ada di jalan yang keliru. Itu kan dalam masyarakat sekarang biasa, jadi orang melantang. Enggak benar kalian.

Sebetulnya budaya Jawa punya way out, tapi itu hanya ditingkat politik. Karena ditingkat politik, Budaya Jawa menerima bahwa bisa muncul seorang anti-raja berdasarkan wahyu yang muncul. Dan apakah dia betul-betul punya wahyu atau tidak tergantung akan kelihatan apa dia mempertahankan diri atau tidak.

Kalau dia berhasil menggulingkan raja, dia benar. Kalau dia tidak berhasil, bukti bahwa dia tidak punya modal rohani untuk melakukan itu. Tapi tentu itu cukup ekstrim.

Dalam hidup sehari-hari, tidak. Lalu dalam struktur etika Jawa, tindakan benar bukan mengubah realitas tetapi menyesuaikan diri. Kita tahu itu tidak bisa lagi.

Dan begitu kita mau mengubah, kita harus menemukan cara. Diskursus untuk mengatasi. Tentu sekarang kita tahu bahwa mengubah tanpa mau menyesuaikan diri juga gawat sekali. Tapi tidak bisa, kita harus mengubah.

Banting setir daripada banting supir. Nah, lalu ada satu hal penting yang... Menunjukkan bagaimana Saya lho, orang Jawa menghayati diri.

Bagi orang Jawa, kategori tapi bukan kata, tempat itu penting. Orang mesti ada di tempat yang benar. Jangan menduduki tempat yang bukan, tidak cocok untuk kami, untuk kamu. Carilah tempat di mana kau betul-betul bisa berkembang sepenuh-penuhnya.

Tempat berarti, tempat yang betul adalah tempat di mana kalau kita ada, tidak tabrakan dengan komunitas, dengan orang-orang lain. Tidak tabrakan dengan alam, jadi keselarasan dengan alam, dan tidak tabrak dengan alam ati tunyawi. Dan karena itu unsur yang keempat etika Jawa adalah yang paling penting adalah rosoh, rasa.

Orang harus mengolah rasa. Rasa itu kemampuan untuk merasakan diri dalam realitas. Roso bisa dangkal, roso bisa mendalam. Roso itu sebuah kepekaan tetapi bukan sebuah kelemahan.

Orang yang punya roso halus. Jadi, Merasakan getaran-getaran yang ada, dia justru akan berhasil. Dia gampang berkomunikasi. Bagi orang Jawa, rasa itu penting sekali.

Itu begitu penting bagi orang Jawa, bahkan dalam agama. Kalau kita baca misalnya... Sratwitutomo dari abad ke-19 itu di bab ke-4 ada 4 sembah sembah roko sembah civo sembah cipto sembah roko itu permulaan orang mendekati Tuhan dengan Mempersembahkan raga, jadi yang dimaksud tentu dua-dua islami yang ada gerakan-gerakan yang menghormati Allah.

Sembah jivo itu jiva, disembahkan. Sembah cipto itu jiva. Intellect, tapi yang keempat. Sembah Rosso Dan dalam Sembah Rosso itu Orang mengalami Pengalaman mistik Dia bersentuhan dengan Tuhan Dan dia mengalami Menurut Vedotomo, tidak hanya Vedotomo Sesuatu yang Tidak lagi bisa diungkapkan Dalam bahasa biasa Itu khas sufi Mistik Dirasai itu saya anggap sebagai sesuatu yang Betul-betul Betul sangat bagus.

Saya masih akan sedikit sementara apa yang mau saya bicarakan ini. Yang tentu muncul pertanyaan apakah Keselarasan bisa menjadi nilai dasar itis. Sebetulnya orang Jawa tidak mengatakan itu, tapi itu memang nilai penting di dalam masyarakat. Bagi orang Jawa pun, keselarasan hanya tercapai kalau orang betul-betul baik hati.

Baik hati itu nilai itis tulen. Maka demi hati nurani, orang Jawa tahu meskipun tidak gampang karena perasaan isin, melanggar keselarasan. Lalu yang sudah saya angkat, menyesuaikan...

Diri, barangkali tidak cukup. Kadang-kadang kita tidak boleh menyesuaikan diri. Kadang-kadang kita harus mengatakan, di sini aku berdiri dan tidak bisa lain.

Kadang-kadang harus mengatakan, seperti pernah Petrus dan Yohanes, dua murid Yesus, mengatakan pada pimpinan Yahudi, Nilailah sendiri apa yang lebih betul menaati kamu atau menaati Allah. Jadi sebuah kepribadian etis yang lengkap harus juga mampu sampai ke situ. Itu justru otonomi etika yang padakan.

Ada point of no surrender. tidak selalu bisa menyesuaikan diri. Maka dari itu dalam pendidikan mungkin juga lebih penting anak dididik menjadi inovatif, kreatif, dan berani. Satu kritik saya terhadap etika Jawa, syukur.

Syukur kalau saya salah bahwa keberanian itu tidak dianggap keutamaan. Kesan saya anak kecil disebut wani kowe, itu wani, berani, itu puninya. negatif itu teguran padahal keberanian salah satu keutamaan yang sangat penting tentu ada keberanian di dalam bidang ketentaraan tapi tidak hanya itu civil courage itu bisa dimana Lalu tentu saja sesuatu yang di zaman Orde Baru itu betul-betul dilecehi. Orde Baru terus pakai musyawarah dan mufakat, tidak stem-steman dan sebagainya.

Tetapi di Jawa itu hanya berhasil. Karena Tita Sari sikap atil, tetapi di bawah Orde Baru itu dipakai sebagai pressure. Untuk memberi kesan bahwa masyarakat setuju kalau harus melepaskan tanah atau sebagainya, itu sebuah pemerkosaan nilai-nilai etika Jawa. Dan saya kira banyak membuat masyarakat pahit. Saya kira ini saja saya mau berhenti sekarang, saya sudah berbicara lama dan silahkan kalau ada pertanyaan tanggapan dan sebagainya.

Selamat sore Romo, nama saya Dina Haryana dari Jakarta. Saya melihat walaupun cukup banyak hal-hal positif mengenai etika Jawa ini, saya mencoba mengkritisi beberapa hal yang menurut saya kayak koin di dua sisi gitu, cukup banyak yang saya pikir bisa negatif. Negatif.

Satu, Saya beri contoh misalnya di dalam sebuah perkawinan. Ada masalah, tidak dibicarakan, ngumpul terus, sampai suatu hari gak tahan lagi, si istri minggat. Jadi ada time bomb di sana.

Ada akumulasi dari permasalahan yang tidak diungkapkan secara terbuka karena ada faktor sungkan, isin, atau mungkin terhadap suami ada faktor gender bias dan sebagainya. itu satu jadi saya khawatir time bomb ini bisa di segala macam bidang bisa di dalam keluarga bisa di dalam kehidupan kita bekerja dengan atasan kita tidak tidak mampu menyampaikan sesuatu, kita nerimo, kita punya ide gak keluar, akhirnya kreativitas itu seperti terpasung. Kalau kita mau bicara kemajuan, saya khawatir keselarasan, menjaga keselarasan ini bisa menjadi sesuatu yang sangat negatif untuk kemajuan sebuah budaya. Satu itu.

Kedua adalah saya melihat jangan-jangan ini kalau di dunia sekolah, Romo pasti tahu yang namanya sekarang bullying itu dari dulu sih, bullying itu begitu luar biasa di sekolah-sekolah. kematian terjadi dan sebagainya jadi disini anak-anak dibikin tidak berdaya terhadap anak-anak junior terhadap seniornya dan itu seolah di okekan oleh sistem sekolah itu sendiri karena seolah-olah mendisiplinkan adik-adik kelasnya kemudian supaya nurut Nah pembulian ini sudah banyak memakan korban. Jangan-jangan ini juga karena anak-anak pun dilatih untuk patuh kepada kakaknya, kakak kelas. dan orang-orang yang dianggap lebih tua. Saya khawatir menjaga keselarasan ini, anak-anak disuruh apapun romo dilakukan, hanya karena saya menerima, ini mos segala macam sampai sekarang tidak bisa dihentikan, ospek pun sampai sekarang tidak bisa dihentikan, sudah dengan berbagai cara disuarakan, itu pun tidak bisa dihentikan.

Saya khawatir menjaga keselarasan ini, banyak memakan korban dan ini kalau mau ekstrim Romo mungkin di dunia pekerjaan jangan-jangan bisa terjadi sebuah kecelakaan kerja, karena ada sesuatu kesalahan misalnya atau sistem yang gak bagus, anak buah gak berani menyampaikan karena ada sungkan itu, jadi di satu sisi tadi Romo mengatakan ada nerimo, ada itu merupakan sebuah kekuatan jiwa dan sebagainya, di satu sisi saya khawatir banget, kalau kita gak berubah menjadi orang yang terbuka Buka dengan permasalahan, maka menjaga keselarasan ini bisa sangat berbahaya. Saya pikir itu ramah beberapa masakan dari saya. Saya kira struktur nilai-nilai Jawa termasuk etika Jawa terbuka untuk dikembangkan.

Tentu salah satu plus yang tidak saya singgung itu bahwa orang Jawa itu punya kepercayaan diri yang tinggi. Itu memang dia tutup-tutup karena dia selalu, karena etikannya ini harus kelihatan andap asur, jadi harus rendah hati. Tetapi tidak ada pujian lebih besar daripada mengatakan orang ini Javani.

Dan dalam wayang itu, dunia itu dibagi antara manusia dan non-Jawa. Jadi itu kepercayaan diri yang cukup. Kalau dikembangkan memang harus dan pengembangan bisa terjadi dalam lingkungan, bisa di kalangan mahasiswa. Sebetulnya dalam pendidikan formal saya tidak melihat banyak orang Jawa yang saya kenal betul-betul terhambat.

Tapi memang ciri-ciri etika Jawa ada. Jadi betul kalau hanya itu saja mungkin susah. Tetapi etika Jawa juga terbuka ke arah tanggung jawab. Tapi memang mungkin harus dikembangkan. Silahkan.

Perkenalkan nama saya Ferry, saya dari Depok. Saya mau nanya Romo. Mohon dekat pada mic dan lambat karena saya orang Tuli. Kenapa? Nama saya Ferry, saya dari Depok.

Tadi kan Romo sampaikan bahwa etika Jawa... Mohon bicara lambat. kenapa? kalau mau bahwa saya atau saya dapat penerjemah itu kalau ada yang mau saya kadang-kadang di seminar minta moderator mengatakan tadi dia tanyakan apa itu, silahkan oke Romo, tadi Romo sampaikan mengenai etika Jawa itu adalah sebuah tipe ideal yang Romo bangun. Kemudian kalau saya melihat secara geografis, etika Jawa ini yang Romo paparkan tadi itu lebih kental itu di punjer-punjer Mataraman, Bapak-Ibu ya lebih kental di kadarnya lebih kental di Jawa Tengah di Jawa ya, di Jawa di Jawa, di Jawa, di Jawa untuk daerah-daerah perdikan kan seperti di Banyumas terus kemudian di Jawa Timur dengan tradisi di si blak kotangnya yang terbuka itu kan apa lebih kadarnya lebih less daripada yang di Jawa Tengah seperti Solo dan Jogja Romo apakah ada kemungkinan ini etika Jawa ini adalah semacam apa namanya ya semacam apa namanya exercise of power dari kekerajaan Mataram zaman itu yang disebarkan ke seluruh Jawa atau atau ke seluruh daerah kekuasaannya untuk upaya kontrol.

Tadi kan Romo sampaikan juga kan bahwa dalam etika Jawa ini ada struktur, terus kemudian tidak merubah struktur, terus kemudian tidak menentang kekuasaan, dan semacamnya. Peter Carey kan juga menulis exercise of power-nya kerajaan Mataram itu bahkan lebih keras daripada apa namanya... perilaku dari pemerintahan kolonial zaman VOC terkait dalam hal pajak misalnya dia lebih berat daripada pajak yang ditetapkan oleh VOC dan seterusnya jadi represi of power dari Mataram ini sangat kuat sehingga akhirnya diterima secara bawah sadar oleh daerah kekuasaannya itu jadi apakah ini ada terkait dengan ekspresi exercise of power-nya Mataram untuk Kerajaan Mataram.

Terima kasih, Ramon. Penelitian-penelitian Geertz dan timnya tahun 50-an itu di Jawa Timur semua. Geertz sendiri antara Nganjuk dan Pare. Dan jadi tidak spesifik di Jawa Tengah.

Apakah Apakah ada exercise of power? Ya saya ini bukan seorang Marxis, tetapi analisa Marx bahwa bangunan atas ideologis, agama, pandangan dunia, nilai-nilai budaya, dan... Moralitas memperkuat kedudukan kelas-kelas atas itu tentu jelas ada benarnya. Jadi saya kira yang tidak betul bahwa itu dianggap secara tertutup.

Seakan-akan tidak ada nilai kecuali hanya udang dibalik batu itu yang sebetulnya diharapkan. Saya kira... itu tidak karena sebuah ideologi dalam arti sebenarnya juga seperti dimaksud oleh Karl Marx itu bukan sebuah ajaran tidak disadari segi ideologis, dipercaya oleh semua justru itu yang kekuatannya semua sama-sama percaya hal itu dan de facto jadi tentu etika Jawa, bahasa Jawa bisa bikin sulit untuk melawan atasan misalnya untuk bicara, kalau bicara dalam bahasa Jawa ya harus pakai kromoenggil tentu saja bagaimana mau menegur saya kira hanya orang Jerman bisa saya kenal seorang Tuhan Dulu ada Romo Jerman itu, Romo Knitsch itu.

Katanya saya dengar dari macam-macam teman Jawa karena dia juga di Sukarejo dulu. Dia bisa memarahi orang dalam Kromo Enggil. Orang Jawa tidak tahu bagaimana membuat itu.

Orang Jawa pakai panjang dengan dan memarahi orang itu. Jadi orang Eropa sudah punya mental kasar. bisa pakai apa saja untuk mengekspresikan kekasaran, tetapi orang di sini itu masih sedikit lebih beradab dan halus. Jadi memang ada masalah di situ, tapi saya kira kita jangan lupa bahwa di Indonesia sekarang sudah mengalami lebih dari 100 tahun, suatu suasana di mana...

pembebasan dan penolakan penindasan dan penjajahan dan segala macam menjadi suatu nilai dan kemudian sesudah Belanda tidak lain memainkan peranan orang juga tahu Pada dasarnya pakai bahasa Indonesia, bahwa atasan dikritik dan sebagainya itu tentu mempengaruhi. Jadi saya kira dalam arti ini, struktur etika Jawa seperti saya tuliskan di dalam buku saya, ya mungkin sudah tidak ada seperti itu. Orang tahu bahwa bisa melawan, bahwa secara demokratis kita boleh mengkritik. Dan memang kadang-kadang kasar itu juga berarti... Mungkin belum menemukan keseimbangan ya, mengatasi rasa malu dulu lalu menjadi terlalu kasar, tapi saya kira tidak membelunggu ya.

Terima kasih, Nomo. Saya Farid dari Salem Bayat, tapi kelahiran Jawa Timur. Mendengar kuliah Nomo sore ini saya jadi bingung, 2014 ini mau milih orang Jawa atau enggak.

Tapi yang jelas saya ingin menambahkan mas yang sebelumnya nanya saya, dari awal saya ada... Boleh lebih keras, boleh lebih keras loh. Betul kalau mau bahwa saya menangkap...

Kalau saya... Saya berpendapat ini lebih ke arah etika Mataram. Ke arah? Etika Mataram.

Etika Mataram? Etika Mataram. Mungkin tadi penelitian Girs mungkin di kota...

Mataram itu Jawa apa enggak? Jawa... tengah, lebih ke arah Jogja tapi kita lihat kalau penelitian tadi tahun 1950 dan itu dilakukan di daerah seperti Pari itu sebenarnya masih kantong Mataram setelah Diponegoro kalap, banyak pasukannya yang lari ke arah sana saya bilang seperti ini, masalahnya ini berbeda dengan budaya Jawa yang lain, misalnya ada Jawa atau Expansionis, salah satunya itu Majapahit kalau kita menggunakan etika berbasis Mataram seperti ini... sebagai etika Jawa tidak ada yang menjelaskan kenapa Majapahit bisa sampai ke Madagaskar kurang lebih seperti itu terus karena etika Mataram lebih ke arah sistem yang komunal, statis dan tidak memungkinkan bukan suatu ideologi yang portable bukan tidak mungkin dianut oleh suatu kaum yang suka kemana-mana, kasarnya kayak gitu pertanyaan saya ya saya melihat ada dari penjelasan Roma masalah keselarasan ini ada gak kemungkinan ini lebih ke arah budaya Jawa yang sekarang kita bahas sekarang ini merupakan produk dari bentukan Belanda masalah Mataram eksis sekitar 1600an paska demak jatuh terus di silen sekitar 1600 ada filosof namanya Benedik Spinoza baru sempat Spinoza dengan panteismenya yang menekankan pada harmoni ada gak kemungkinan ke arah sana bahwa ini etika Jawa yang seperti ini pada rasanya adalah bawaan dari Belanda makasih ini tentu pertanyaan yang tidak bisa saya jawab karena saya sama sekali bukan seorang antropolog itu betul memerlukan penelitian bahwa ada pengaruh kekuasaan Jawa, kekuasaan Belanda di Jawa sudah jelas. Karena bahkan fakta bahwa ada empat kerajaan di Jawa Tengah, makin lama makin kecil, yang, Sebetulnya menganggap diri biasa-biasa saja padahal tidak punya kekuasaan apapun, karena kekuasaan beneran ada di tangan Jawa, itu tentu semacam tidak dibikin oleh Belanda, tentu sama sekali tidak.

Belanda juga tidak cukup pintar untuk itu. Melainkan semacam reaksi dialektis. Katanya loh saya tidak tahu bahwa krono dan bahasa makin halus itu baru betul.

betul berkembang sejak akhir abad ke-18. Jadi itu juga sebuah reaksi, katakan saja, yang kelihatan di dunia kasar, berkuasa itu Belanda, tapi di dunia asal, di dunia halus, ya tetap kami. Dan karena itu dikembangkan suatu budaya kehalusan yang luar biasa, yang memudahkan. mempentingkannya, sebetulnya akan menarik membandingkan, katakan saja, etika Jawa abad ke-19. Dengan etika Jawa abad ke-17, akan cukup menarik juga.

Jadi pasti di situ ada semacam komunikasi dialektis saling mempengaruhi, dimana para penguasa mau membuktikan bahwa sebenarnya mereka juga lebih tinggi. Tentu kalau saya sekarang mau kasar, saya akan bilang, Ya baca Nietzsche saja, kritik Nietzsche terhadap etika Kristiani, di mana para budak menamakan luhur dan paling tinggi Penyerahan diri, kebaikan, tidak balas, segala macam yang tidak vital. Karena dengan cara itu mereka bisa mengalahkan para Tuhan. Jadi para budak itu mengembangkan etika budak lebih tinggi. Tinggi itu menurut Nietzsche untuk menunjukkan bahwa para Tuhan yang meniksa mereka, mereka tidak berani melawan, sebetulnya lebih rendah.

Mekanisme macam itu pasti ada, tidak usah kita mengikuti Nietzsche. itu semuanya, tapi pasti ada benarnya ya mungkin itu juga tadi selamat sore Romo, nama saya Eli saya dari Rawamangun pertanyaan saya mungkin simple saja apa sih etika Jawa kekinian etika Jawa yang kekinian itu apa? kekinian kekinian, no this kemudian maaf kalau saya salah Romo oke Kalau yang saya lihat sekarang justru etika Indonesia itu dijawakan. Jadi apa-apa sekarang kalau bisa dijawakan. Contohnya paling simpel.

Saya sampai sama teman-teman membahas itu belusukan di Indonesia kan apa bagusnya. Contoh dari segi bahasa dulu. Belusukan itu di Indonesia kan apa bagusnya.

Kemudian saya lihat sekarang justru tidak ada etika jawa yang disebut keselarasan tadi. Kalau Romo tadi mengatakan bahwa demi hati nurani orang Jawa seperlunya melanggar keselarasan. Apakah ini tidak berarti demi keselarasan orang Jawa melanggar hati nurani?

Yang saya lihat sekarang seperti itu. Demi keselarasan orang Jawa melanggar hati nurani. Oke, kemudian saya lihat struktur etika Jawa.

atau etika keselarasan disini saya hanya pengen tahu aja Romo ini siapa dahulu dan mendahului, soalnya kalau saya lihat etika nomor 1 dan 2, itu seperti budaya Minangkabau, dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung dan kemudian keselarasan itu tercapai dengan menghindari konflik terbuka dan sampai nomor 3, menghindari emosi-emosi berlebihan kalau saya tidak salah kalau di Minangkabau etika etika Minangkabau untuk menjaga keselarasan itu yang kecil punya nama, yang besar bergelar, yang tua saya lupa. Pokoknya gitu lah. Pertanyaannya, mana ini yang dahulu Romo, etika Jawanya yang mencontek Minangnya atau Minang yang mencontek Jawa? Terima kasih Romo. Tentu etika Jawa yang saya...

tulis, itu juga saya tulis di buku itu, merupakan yang disebut sebuah theoretical construct. Konstrukt itu berarti bukan penggambaran realitas yang diobservasi melainkan Sebuah konstruksi yang dianggap masuk akal, koherent, logis, dan sebagainya. Apa kaitan dengan realitas? Kaitan dengan realitas tentu bahwa unsur-unsur dalam konstruk itu diambil dari orang yang memberi deskripsi.

Apakah bisa dicek sejauh mana? konstruk seperti itu nyata atau tidak karena kita bisa membuat sebuah konstruksi etika yang bagus hanya tidak ada orang yang pegang pada itu tentu pencekan hanya bisa kalau orang-orang Jawa nyata melihat konstruk itu Merasa bahwa itu membantu mereka untuk mengerti sesuatu tentang diri sendiri. Jadi saya tidak bisa menilai hal itu. Di dalam ilmu-ilmu sosial, biasanya dikerjakan dengan cara itu. Dikira bahwa konstruksi-konstruksi besar itu deskripsi.

Melainkan itu merupakan konstruksi yang logis, rasional, masuk akal secara intelektual, memuaskan. Tetapi harus terbukti juga apa memang nyata atau hanya pikiran di kepala seseorang. Jadi itu yang mengenai etika Jawa ini, saya tentu mengambil pada hakikatnya data-data penelitian tahun 50-an, masih tahun 60-an juga, dan banyak data juga sebelumnya. Dan mungkin saja ada... Perubahan Kalau etika jawab kekinian, bagaimana itu hanya bisa dijawab oleh seorang atau sekelompok orang yang meneliti.

Langkah bagusnya kalau ada tim seperti Clifford Gertz, empat orang waktu itu, lima orang yang oleh Cornell University dipiayai ke Indonesia. Kalau lagi ada, boleh juga Juga orang sini melakukannya sehingga kita secara empiris tahu. Misalnya pertanyaan apa masih ada abangan atau tidak.

Panjang mengatakan tidak ada. Ada juga mengatakan masih ada. Clifford Katz masih menulis bahwa dari desa di mana dia tinggal ke kota Pare itu, di jalan itu ada dua desa lain.

Dan itu dialami permulaan tahun 50-an loh. Dua desa itu desa santri. Pakai bahasa Abangan Santri. Dan dia mengatakan ada sekian warga desa Abangan itu yang bersetia berjalan setengah jam lebih panjang hanya untuk tidak harus lewat desa-desa santri itu.

Waktu saya membaca itu, aku... Saya mulai merasa tidak enak, karena siapa tahu apakah abangan-abangan ini sesudah tahun 1966 masih hidup ya. Jadi kalau waktu itu di mana belum ada konflik, betul-betul sudah ada perasaan seperti itu, tidak enak.

Bagi orang Jawa, nggak enak itu gawat. Kalau orang bilang nggak enak, sudah. Tidak ada argumentasi lagi.

Jadi itu harus diteliti. Saya sendiri berpendapat bahwa Tentu saja tidak ada lagi sebuah etika Jawa homokin. Tapi percikan-percikan unsur-unsur dari etika Jawa dulu pasti masih ada.

Karena orang Jawa menurut saya masih tetap membawa diri seperti orang Jawa. tetapi mereka itu adalah orang Indonesia dengan sejarah Indonesia, dengan sejarah pribadi dengan pendidikan, dengan pengalaman politik dan sebagainya tidak mungkin itu tidak mengubah maka saya menganggap buku saya lebih sebagai semacam orang bisa mengecek apakah memang demikian lalu disini saya mencatat Demi keselarasan, maksudnya demi keselarasan berbuat baik atau apa? Demi keselarasan menolakan siapisuk, menolakan hati menolakan.

Menurut saya, orang Jawa pada dasarnya tetap berpendapat. Tidak. Hati nurani lah yang menentukan Apabila masyarakat biasa ya keselarasan itu Sesuai dengan hati Hati sur norani, hati norani tak punya alasan untuk protes. Tapi kalau betul-betul ada konflik, sekiranya orang Jawa itu juga tahu itu. Keselarasan itu bukan yang terakhir.

Makasih. Seperti yang Romo bilang tadi, saya melihat bahwa etika Jawa ada nilai positif dan ada nilai negatif. Salah satu nilai negatifnya sampai detik terakhir. Praktis Romo, praktis maksudnya langsung penerapannya bagaimana, bahwa saya melihat bahwa orang-orang Jawa, entah itu saya tidak menyalahkan etika Jawa, tapi seperti saya yang pemalu, takut salah ketika melakukan sesuatu, itu menghalangi saya dan orang-orang Jawa lainnya untuk berkembang. Nah makanya tadi Romo juga menyarankan bahwa tidak salah kalau misalkan kita belajar menjadi inovatif dan kreatif.

praktisnya bagaimana saya memperbaiki diri saya secara praktis untuk menghilangkan sifat-sifat yang sebenarnya itu menghambat menurut saya, walaupun belum tentu semua orang Jawa itu seperti saya yang pemalu, takut salah, dan lain-lain, begitu aja terima kasih menurut saya kita harus membiarkan tajam antara suatu umungan seperti ini Jika Jawa dan diri kita sendiri, kita semua mempunyai konstruksi sendiri, kita dipengaruhi oleh segala macam, oleh cinta kasih ibu, oleh lingkungan Jawa, oleh pengalaman-pengalaman, kita selama seluruh hidup akan mengalami macam-macam tantangan. Kalau kita terbuka, kita akan melihat bahwa mungkin reaksi-reaksi dalam perasaan dan dalam emosi kita belum semestinya, tapi itu bisa dilatih. jadi tidak ada yang ada fatalisme disitu kita bisa berkembang kita bisa belajar saya ingat pengalaman waktu saya masih murid di SMA Yang memberikan saya malah sebuah keunggulan kemudian.

Jadi kalau bertengkar dengan seorang teman dan lalu saya kalah, lalu pernah saya mengatakan, wah benar aku kalah, kamu menang. Dia begitu heran, tidak bisa menikmati kemenangan dengan cara itu. Dan saya dengan mengaku bahwa dalam hal ini dia benar, tidak kehilangan apapun, itu satu langkah dalam perkembangan saya sehingga sejak itu tidak lagi takut kalah dalam sebuah...

Tepat, hanya unsur yang kecil sekali macam itu bisa dipelajari, kita bisa mengembangkan diri itu. Ketika saya tadi mendengar kuliah Romo tentang bahwa keselarasan itu menjadi dasar dari etika Jawa, bahwa orang-orang cenderung untuk menghindari konflik internal dan eksternal, saya lalu jadi berpikir bahwa itu mirip dengan konsep kebahagiaan dalam ajang. Ajaran Buddha.

Dengan ajaran? Ajaran Buddha. Dari situ saya lalu berpikir, apakah mungkin ini adalah warisan dari Mataram Kuno? Justru lebih tua daripada Mataramnya Sultan Agung, tapi justru lebih ke Mataram Kuno. Panembahan Sinopati itu Mataram Islam.

Ini saya bicara tentang Mataram Kuno yang masih merupakan kerajaan Hindu Buddha. Lalu ketika Romo menerangkan mengenai spontanitas perpindahan mode bahasa dari Ngoko ke Kromo Inggil untuk menghindari konflik, saya juga lalu berpikir, untuk menghindari konflik itu kan juga merupakan ajaran dari keterlepasan emosi. Bahwa tadi diungkapkan dengan Kromo Inggil itu agak susah untuk marah-marah sejauhnya. Sejauh ini saya baru mendengar satu orang yang bisa misuh-misuh, marah-marah dengan kasar menggunakan kromoigil, ibu saya sendiri.

Tapi memang betul sekali, ketika kita menggunakan kromoigil, Kromoinggil itu perasaan-perasaan apapun akan terrepresi. Maksudnya ketika kita marah dengan kromoinggil akan bilang panjangan menikoh segawon. Itu kan rasanya kurang mantap daripada... Kita menggunakan ngoko yang ya tidak akan saya sebutkan di sini.

Lalu dari konsep keterlepasan emosi itu, saya lalu bertanya, apakah konsep keterlepasan emosi itu Terlepasan emosi dengan menggunakan perpindahan mode bahasa dari Kromo, Inggil, dan Ngoko ini merupakan manifestasi dari internalisasi ajaran agama Buddha dan mungkin yang sudah bercampur dengan Hindu yang sudah diperoleh dari Mataram Kuno yang disesuaikan dengan karakter orang Jawa. Maksudnya, lalu ketika tadi Romo menerangkan bahwa wayang itu bisa merupakan kodifikasi dari etika Jawa, saya lalu kembali berpikir tentang tokoh Semar, yang tokoh Semar itu sendiri pada basisnya adalah Manunggaling Kaulogosti Manunggaling Kaulogosti itu sendiri kalau kita berpikir, kalau saya harus berpikir mengkaitkannya dengan ajaran Mataram Kuno, itu kan sebetulnya adalah manifestasi dari Nirwana itu sendiri dimana kita manusia itu mencapai tingkat tertinggi dengan lepas dari segala emosi, jadi yang saya tanyakan itu tadi, bagaimana sepertinya kira-kira sebetulnya pengaruh dari Mataram Kuno dan ajaran Buddha ini ke etika Jawa. Begitu saja.

Terima kasih. Itu tentu suatu pertanyaan faktual. Menurut saya tentu saja Sufisme juga memainkan peranan besar karena dalam yang disebut mistik Jawa terutama abad ke-18-19 yang dominan pengaruh Sufisme.

bukan begitu Buddha dan Hindu. Hindu mungkin dalam beberapa ritus di Kraton, Buddha saya tidak tahu, ya mungkin saja. Kalau Hindu itu hanya saya, saya berpendapat kok orang-orang Hindu yang saya kenal Beda sekali dengan orang Jawa itu. Orang Hindu itu, kita harus membiasakan diri. Tentu dengan orang Jawa saya juga harus membiasakan diri, tapi orang Jawa itu akan selalu muncul secara simpatik dan positif.

Hanya kita harus, misalnya saya pernah harus belajar bahwa orang Jawa itu orang yang tidak bisa dipush, orang Jawa tidak bisa dipush. Hanya temboknya karet. Jadi halus, tetapi orang Jawa dipush itu hopeless.

Kalau kita mau sebagai atasan atau sumbangan keputusan, mendesak dan sebagainya pada Jawa itu... Tidak akan berhasil. Saya agak cenderung bahwa di situ memang ada sebuah budaya khusus.

Karena Semar itu juga anak Jawa itu. Tidak ada di luar Jawa. Semar itu. Tapi saya juga tidak tahu. Kalau marah.

Menurut saya. Pada umumnya. Orang yang sudah matang harusnya tidak lagi menjadi marah, tapi ada kekecualian.

Di mana orang harusnya menjadi marah, misalnya tidak dilihat oleh Epikurus. Dia harusnya menjadi marah menghadapi suatu kejahatan atau ketidakadilan atau kekejaman yang luar biasa. Kalau disitu pokoknya kita tenang-tenang saja Di tengah dunia Tidak bisa Ada situasi Ada kemarahan etis Yang menunjukkan Apa kita masih punya nilai nilai-nilai etis atau tidak.

Tapi pada umumnya, kalau marah dimengerti, pembawaan yang kurang dikuasai, itu tentu tidak. Marah di hati kadang-kadang tepat juga. Mungkin ini dari saya, mohon maaf itu pendek, dan terima kasih atas segala perhatian.