Bismillahirrahmanirrahim. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Kita ketemu lagi di mata kuliah Evidence-Based Medicine atau pengobatan berbasis bukti. Pada pertemuan kali ini kita akan membahas tentang jenis dan level atau tingkatan dari bukti ilmiah.
Kalau kita bicara tentang jenis bukti ilmiah, sebetulnya kita akan fokus pada metode penelitian yang khususnya berkaitan pada manusia atau penelitian klinis nah kalau kita bicara penelitian klinis itu nanti kalau dari sisi metode ada penelitian yang eksperimental dan observasional jadi kalau eksperimental itu nanti ada uji klinis fase 1, 2, 3 yang observasional itu biasanya uji klinis fase 4 pada penelitian klinis Pada pertemuan kali ini kita akan bahas selain jenis juga levelnya. Mana yang levelnya tinggi, mana yang levelnya rendah. Tinggi rendahnya level dari bukti ilmiah tersebut nanti akan mempengaruhi seberapa kuat bukti ilmiah itu dapat kita gunakan. Sebagai referensi untuk mengambil keputusan klinis kepada pasien.
Jadi karena... Jadi sekali lagi kalau kita bicara evidence-based medicine atau pengobatan berbasis bukti, itu tidak bisa dipindahkan atau tidak bisa mengabaikan tiga komponen ini. Yang pertama adalah base available evidence, ini yang akan kita pelajari dalam satu semester ini. Khususnya dalam pertemuan kali ini adalah kita akan mengenal jenis bukti ilmiah dan juga levelnya.
Nanti mana yang levelnya rendah sehingga kita juga harus hati-hati. Kalau menggunakan bukti ilmiah dengan metode penelitian seperti itu atau metode penelitian yang kuat sehingga nanti kita relatif lebih aman atau resikonya lebih kecil atau hasil yang kita peroleh, outcome yang diperoleh dari pemberian terapi misalnya berdasarkan bukti ilmiah tersebut relatif bisa sama dengan studi yang dilakukan atau dengan bukti ilmiah yang digunakan. Jadi kalau itu... Levelnya tinggi. Nah, sekali lagi, evidence-based medicine itu merupakan kombinasi dari tiga komponen.
Yang pertama adalah best available evidence, yaitu bukti ilmiah yang terbaik. Kemudian yang kedua adalah clinical judgment. Clinical judgment dalam hal ini adalah professional judgment.
Dalam hal ini kalau misalnya Anda nanti bekerja di bidang klinis, di bidang klinis itu artinya Anda berinteraksi dengan pasien. entah itu di rumah sakit, entah itu di puskesmas, entah itu di apotek itu ada judgement klinis yang menjadi dasar untuk menentukan suatu terapi nah tadi kalau evidence based medicine itu tidak melulu memikirkan bukti ilmiah pokoknya kita kalau orang Jawa bilang itu mantep mengikut bukti ilmiahnya tidak, kalau misalnya bukti ilmiahnya memang Paling bagus, tapi kalau menurut kita sebagai klinisi, atau Anda misalnya nanti sebagai klinisi, menurut Anda bukti ilmiahnya itu tidak pas kalau berdasarkan pengalaman Anda, berdasarkan judgement Anda itu tidak pas, tidak usah digunakan. Tentunya keduanya itu saling melengkapi. Yang ketiga, aspek yang ketiga adalah patient values, di mana keputusan klinis itu tidak hanya serta-merta keputusannya klinisi, tidak hanya keputusannya dokter, tidak hanya keputusannya apotekar. Tetapi pasien juga harus dilibatkan.
Kenapa? Karena tanggung jawabnya harus dibagi. Shared decision making.
Artinya kalau pasien berperan dalam menentukan terapi yang akan mereka jalani, minimal mereka akan memiliki keputusan itu. Berbeda kalau misalnya keputusan itu ditentukan oleh apotekar ataupun dokter yang menangani. Artinya dia...
menerima begitu saja, tetapi kalau misalnya pasien itu ikut memikirkan artinya mereka juga ada pertimbangan oh obat ini efek sampingnya, misalnya dokternya menjelaskan, atau obat tegernya menjelaskan obat ini mempunyai efek samping seperti ini, Anda mau nggak menerima efek samping itu, misalnya vampisin ya, batu batu tipi itu ya itu mungkin salah satunya nanti efek sampingnya adalah urinnya menjadi merah tapi dijelaskan bahwa urin merah itu tidak mempengaruhi apapun, misalnya seperti itu nah pasien ketika tahu itu mau menerima bahwa urinnya nanti akan merah, artinya dia oh nggak apa-apa, urin merah juga tidak mempengaruhi apapun. Oleh karena itu, dia nggak kaget akhirnya ketika mengikuti atau menjalani pengobatan, jadinya dia tidak ada masalah dalam menjalani pengobatan itu tadi. Sekali lagi, evidence-based medicine merupakan gabungan dari tiga komponen itu tadi, yaitu best available evidence, ya.
Kemudian yang di situ termasuk absolute benefit and harms, jadi harus memaksimalkan benefit over harms. Kemudian time horizon of benefit atau benefitnya, jadi durasi sampai outcome terjadi itu berapa lama juga harus dipikirkan. Kemudian juga aspek yang kedua adalah clinical judgment, yaitu individualized risk profile, kemudian prognosis dan socio-personal context.
Artinya, Klinisinya juga mempunyai pertimbangan berdasarkan individualized risk profile. Kemudian patient values, jadi pasiennya juga harus mempunyai kontribusi dalam memutuskan kebijakan atau keputusan terapi yang akan mereka jalan. Ketika kita bicara jenis dan level of evidence, kita mengenal jenisnya dulu.
Jenisnya kalau penelitian yang berkaitan dengan manusia itu bisa dibagi seperti ini. Di sini memang slide ini sering saya gunakan untuk menjelaskan tentang desain studi yang berkaitan dengan farmakoepidemiologi, di mana desain studi yang berkaitan dengan pasien itu dibagi menjadi dua secara garis besar. Yang pertama adalah studi observasional dan studi eksperimental.
Bedanya di mana? Perbedaan dari keduanya, apakah suatu penelitian itu masuk observasional maupun atau penelitian tersebut masuk eksperimental itu berbeda. Dibedakan berdasarkan ada tidaknya intervensi. Intervensinya itu apa?
Intervensi adalah perlakuan yang dilakukan secara sengaja oleh peneliti atau tim peneliti. Penelitian mungkin tidak langsung, tetapi dia bisa meminta tim dokter yang tergabung dalam penelitian itu. Jadi misalnya yang eksperimental peneliti secara sengaja memberikan obat yang diteliti tersebut. kepada pasien-pasien yang menjadi subyek uji penelitian, yang bersedia untuk ikut dalam penelitian atau partisipan dalam penelitian. Misalnya penelitian yang ingin menguji obat, misalnya obat kanker.
Obat kanker itu kan misalnya obat baru, obat belum diedarkan. Otomatis dia tidak boleh dijual dan masih dalam ruang lingkup penelitian. Si peneliti dia merekrut, merekrut partisipan.
Siapa? Ya pasien kanker. Kalau obat kanker itu harus pada pasien yang kanker. Tidak boleh orang sehat karena obat kanker kan sifatnya merusak sel-sel sehat juga.
Nah ketika subyek atau partisipan itu dikumpulkan, peneliti akan dengan sengaja, baik melakukan sendiri ataupun dibantu oleh tim peneliti, memberikan obat tersebut kepada partisipan. Artinya dia sengaja. Dia sengaja diniatkan memberikan obat misalnya kemoterapi tersebut pada pasien kanker.
Nah itulah intervensi di situ. Jadi dia dengan sengaja memberikan paparan, memberikan intervensi. Berbeda dengan yang observasional.
Kalau observasional, peneliti tidak melakukan intervensi. Tapi peneliti hanya melihat, mengobservasi intervensi yang dilakukan oleh pihak lain. Misalnya sama. cerita obat. Nah, biasanya kalau observasional itu dilakukan ketika obat itu sudah dipasarkan.
Jadi, obat sudah boleh diresepkan, obat sudah boleh digunakan di masyarakat oleh pasien, sehingga dokter, khususnya dokter yang meresepkan itu dengan bebas memberikan obat tersebut kepada pasien. Bedanya, meskipun sama-sama pasien kanker, meskipun sama-sama mendapatkan obat kemoterapi, kalau yang eksperimental, tadi kemoterapi itu diberikan atas kesengajaan dari proses penelitian. Tapi kalau observasional, kemoterapi tersebut diberikan bukan atas instruksi peneliti, bukan atas proses penelitian.
Tetapi itu adalah... Proses alami, proses natural, karena dia sakit, dia butuh kemoterapi, dia diberikanlah kemoterapi. Misalnya seperti itu.
Nah, terus peneliti dia memotret pasien yang mendapatkan obat kemoterapi yang baru. Berapa orang, kemudian outcome-nya seperti apa. Kemudian yang dapat obat yang lama, seperti apa.
Outcome-nya seperti apa. Itu diobservasi. Jadi peneliti tidak dengan sengaja memberikan obat atau kemoterapi kepada pasien kanker. Tetapi pasien kanker tadi kalau yang observasional mendapatkan obat karena memang dia butuh.
Dan dirisipkan oleh dokter yang mana dokter itu tidak disuruh atau tidak terlibat dalam penelitian. Jadi terjadi secara natural atau alami. Kalau eksperimental tadi memang disengaja obat kemoterapinya diberikan oleh penelitian. Nah untuk penelitian yang observasional bisa dibagi menjadi dua. Ketika penelitian tersebut tujuannya untuk melihat adanya hubungan sebab-akibat.
Cause and effect relationship. Jadi kalau ingin mengukur seberapa kuat hubungan. hubungannya, maka disebut penelitian yang observasional yang analitik.
Nanti di situ ada perhitungan menganalisi seberapa kuat hubungan sebab akibatnya. Tapi kalau misalnya dalam penelitian observasional itu tidak menghitung seberapa besar hubungan sebab akibatnya, maka penelitian tersebut termasuk dalam penelitian yang observasional deskriptif. Jadi seperti itu.
Oke, jadi apa namanya? Kalau misalnya penelitian observasional analitik Sama, tidak Keduanya sama ya Deskriptif maupun analitik itu tidak memberikan intervensi Tetapi mengobservasi apa yang terjadi Kondisi alami yang terjadi Kemudian kalau hanya dideskripsikan Makanya menceritakan Misalnya ini yang case report Misalnya ada penelitian Atau bukan penelitian Ada suatu efek pasien yang mendapatkan Mengalami efek samping dari suatu opsi Nah kemudian kejadian efek samping suatu obat tersebut digambarkan, dideskripsikan, diceritakan, dan dipublikasikan di jurnal ilminya, maka cerita tadinya disebut case report, termasuk dalam penelitian observasional yang deskriptif. Karena dia tidak melihat seberapa kuat hubungan pemberian obat tadi, misalnya kortikosteroid, terhadap malah terjadinya alergi. Pasien mengalami hipersensitivitas terhadap obat steroidnya tadi Nah itulah contoh penelitian yang observational descriptive Dimana peneliti itu tidak melakukan intervensi Tapi dia hanya melaporkan, menggambarkan, mengobservasi kejadian Yaitu hipersensitivitas tadi Itu kalau kasusnya satu disebut case report Kalau kasusnya banyak, misalnya yang mengalami itu ternyata banyak lebih dari satu. Nah nanti itu disebut observational descriptive yang case series.
Jadi kalau misalnya kasusnya satu itu case report, menggambarkan satu kasus. Kalau yang case series itu kalau kasusnya banyak. Nah kalau analitik, dimana keduanya tadi, yang baik case report maupun case series itu tidak menghitung seberapa kuat hubungan antara pemberian obat dengan alergi, berapa persen yang mengalami alergi dan seterusnya tidak. Tapi dia hanya melaporkan kasus yang terjadi saja. Tapi kalau misalnya yang analitik ini, dia akan mengambil sampel yang lebih banyak karena dia akan mencoba menghitung seberapa besar hubungan antara pemberian obat tadi terhadap efek samping yang dialami oleh pasien.
Jadi misalnya yang dikasih kortikosteroid, berapa persen yang mengalami alergi yang tidak mendapatkan kortikosteroid. Misalnya glukokortikoid, itu berapa persen yang mengalami alergi juga. Kemudian dirasiokan. Jadi nanti diperoleh gambaran atau perhitungan, analisis mengenai seberapa kuat. Seberapa kuat hubungan antara pemberian obat dengan hipersensitivitas.
Jadi seperti itu. Di situ nanti dibagi menjadi case control, koroseksional, dan cohort. Kalau penelitian yang disengaja tadi, yang eksperimental, itu ada dua yang paling terkenal yaitu RCT dan kuasi eksperimental.
Jadi bedanya di mana kalau... Sama-sama memberikan, sama-sama peneliti itu dengan sengaja memberikan obat kepada pasien, tetapi yang satu pakai proses yang namanya randomisasi, pasiennya diacak, mungkin karena sampelnya banyak, dan memang tujuannya idealnya memang harusnya diacak. Tetapi kalau yang quasi eksperimental itu tidak ada.
apa namanya, tidak ada proses randomisasi seperti itu. Nah untuk yang analitik itu bedanya apa? Bedanya itu nanti adalah yang apa namanya, dari proses pengambilan datanya, dari timelinenya.
Jadi kalau case control itu melihat outcome dulu baru dilihat ke belakang, apa namanya, penyebabnya seperti apa. Jadi hubungan sebab-akibat, kita fokus ke sebab-akibat. Jadi kalau case control itu akibatnya dulu dikumpulkan atau diteliti, kemudian dihubungkan dengan sebabnya. Kalau cross-sectional diambil secara bersamaan, baik sebab maupun akibat, jadi tidak ada perbedaan waktu.
Nah ini studi yang lemah, karena untuk menghasilkan akibat kan mesti butuh proses, butuh waktu. Kalau misalnya sebab dan akibat diambil secara bersamaan, ya otomatis variable waktu. dimana akibat itu butuh waktu untuk muncul karena tadi paparan sebab misalnya itu tidak ada makanya ini yang paling lemah kalau diantara yang analitik kalau yang paling ideal itu kohort diambil orang-orang yang dapat paparan penyebab tadi kemudian diikuti sampai di masa depan sampai keluar akibatnya seperti itu Itu gambaran beberapa metode penelitian.
Kalau misalnya kita fokus ke tadi yang saya jelaskan, antara lain ada case report, itu laporan satu kasus. Case series, itu laporan lalu beberapa kasus. Case control itu kalau akibatnya dulu kemudian dilihat ke masa lalu penyebabnya apa. Kemudian cross-seksional itu penyebab dan akibat diambil secara bersamaan. Kemudian yang terakhir adalah cohort, di mana penyebab dulu kemudian di-follow up akibatnya seperti apa.
Untuk yang eksperimental, di mana peneliti secara sengaja melakukan intervensi, itu dibagi menjadi dua, yang RCT dan kuasi eksperimental. Bedanya tadi ada proses pengacaan. Pasien nggak boleh kita pilih dia harus dapat apa, tapi dia harus secara acak.
Meskipun kita memberikan secara sengaja, tapi dia dapat obat yang mana, itu harus diacak. Nggak boleh lihat pasiennya terus dapat obat ini, misalnya kayak gitu. Itu nggak boleh.
Jadi harus diacak. Itu tentang jenis bukti ilmiah yang biasa digunakan dalam evidence-based medicine. Kenapa kita fokus ke situ?
Karena dalam konteks pemberian obat kepada pasien tentunya kita harus memikirkan bahwa studinya itu sudah kemanusia. Jadi kalau studinya sudah kemanusia, nanti... Banyak.
kalau studinya sudah kemanusiaan nanti untuk diaplikasikan ke pasien yang kita hadapi ya ini kan konteksnya evident based medicine itu kita selalu dalam berpura-pura sedang menghadapi ke pasien yang menghadapi pasien yang sedang membutuhkan obat kita harus memberikan rekomendasi kita perlu bukti ilmiah, kita mau baca bukti ilmiahnya yang mana apakah gas report, gas series, gas control, cross-sectional cohort, RCT atau pasien eksperimental kita akan memilih metode yang mana yang paling ideal buat pasien yang kita hadapi ini. Nah tentunya kita harus milih bukti ilmiah yang paling kuat. Tapi sebetulnya tidak ada bukti ilmiah yang paling kuat sih.
Yang ada adalah bukti ilmiah ini saling melengkapi. Misalnya di RCT itu punya kelemahan, punya kelebihan tadi. Kelebihannya yang paling gold standard.
Kalau milih terapi memang pilihannya paling bagus RCT. Tapi untuk efek samping jampak. jangka panjang, efek samping-efek samping atau efek tambahan yang belum terekam ketika uji klinik fase 3 karena RCT ini kan uji klinik fase 3 nah itu bisa dievaluasinya menggunakan ini, menggunakan observational analytic seperti itu kalau kita bicara levelnya kalau Anda lihat tadi sedikit tentang apa namanya Metode penelitian sebenarnya yang kita bahas cuma tiga di sini. Malah lihat tadi ada case series atau case report, kemudian ada case control studies, kemudian ada cohort, kemudian ada RCT. Kuasi nggak masuk di sini, tapi dia letaknya mungkin di antara cohort dan RCT.
Kemudian ada di sini expert opinion. Dalam evidence-based medicine, expert opinion itu bisa digunakan kalau atasnya itu nggak ada. Kalau misalnya berdasarkan pengalaman Anda biasa menggunakan ubat-ubat tertentu kepada pasien dan pasien is oke, ya itu bisa digunakan. Kalau memang bukti ilmiahnya belum tersedia atau tidak tersedia.
Tapi kalau sudah ada studinya, harusnya Anda menggunakan bukti ilmiah yang lebih kuat. Karena semakin ke atas, bukti ilmiahnya itu semakin kuat. Semakin ke atas, semakin mengecil Kenapa? Karena jumlahnya semakin sedikit Seperti itu Kalau semakin ke bawah, bukti ilmiahnya semakin banyak Tetapi levelnya semakin rendah Karena dia di bawah Maksudnya di bawah itu apa?
Untuk pertanggung jawabannya, untuk resikonya relatif tinggi Kalau ke atas, semakin ke atas Resikonya semakin rendah Kenapa? Di situ sudah Informasi atau bukti ilmiahnya Sudah relatif kuat Itu Jadi ini dari penelitian individual, informasi yang unfiltered, jadi belum di filter. Kalau atasnya lagi, ini sudah critically appraisal individual articles, misalnya seperti itu. Jadi misalnya, sebetulnya ini studi-studi yang di bawah ini, tapi sudah di critically appraisal.
Artinya apa? Sudah dikritisi, sudah dievaluasi. Jadi kalau misalnya ada studi, Anda menggunakan langsung studi seperti ini, boleh.
Cuma Anda harus menilai sendiri, kira-kira. kualitas studinya ini bagus apa enggak. Kira-kira penelitiannya itu valid apa enggak.
Tapi kalau sudah yang di atas ini, sudah ada orang lain yang menilai itu. Jadi Anda tinggal gunakan. Kemudian ada juga atasnya lagi evidence synthesis and guideline. Jadi kalau Anda menggunakan guideline untuk memberikan obat kepada seseorang, itu jauh lebih baik daripada studi sporadis yang tersebar di internet atau di jurnal.
Karena kalau sudah dalam bentuk guideline, artinya itu sudah digabung antara studi-studi yang individu tadi dengan expert opinion. Jadi sudah digabung. Paling atas itu adalah systematic reviews.
Systematic review itu kalau semua informasinya ini digabung menjadi satu, direview, dikombinasikan menjadi suatu kesimpulan yang lebih besar. Kesimpulan umum. Jadi gabungan-gabungan dari studi-studi tadi digabung menjadi satu, terus menjadi kesimpulan yang umum. ini levelnya dari tadi sudah tentang jenisnya yang kedua yaitu tentang levelnya seperti itu kemudian yang selanjutnya mana bukti ilmiah yang terbaik rujukannya banyak misalnya ini ada yang di sebelah kiri ini level of evidence-nya level 1 tentunya yang paling bagus ya Kalau menurut Canadian Task Force tahun 1979 dan David J. Sackett ini, ini nama orang, masing-masing punya kelebihan dan kekurangannya.
Tapi mereka pada poin yang satu, level of evidence paling tinggi, itu kalau menurunkan Canadian Task Force itu merupakan satu RCT dengan randomisasi yang betul. Jadi RCT, uji klinik tadi yang eksperimental, yang ada intervensi, itu merupakan gold standard untuk kalau kita terapi. Di sakit juga bilang kayak gitu, large RCT. Artinya di sini kalau kita gabungkan, minimal ada satu large RCT.
Large itu artinya sampelnya banyak, ribuan atau bahkan puluhan ribuan atau ratusan ribuan. Karena biasanya RCT yang bagus itu multi-center dari berbagai rumah sakit misalnya kayak gitu. Dan juga kita gabungkan large RCT dan proper randomization. Artinya uji klinik fase 3. yang randomisasi baik dan sampelnya besar itu yang terbaik turun dibawahnya kalau itu enggak ada apa ya tentunya will design cohort or case control study kalau menurutkan adiantas Force langsung observasi observasi nol study ya atau studi non experimental sudah level 2 tapi menurut sakit itu tetap halus arti dulu ya meskipun dia small artinya ke with Unclear result artinya hasilnya juga enggak begitu clear gitu ya saya masih fake itu masih membingungkan gitu Nah itu mungkin bisa dijadikan rujukan masih di level 2 kalau menurut sakitnya Nah untuk level 3 nya sebentar kalau untuk level 2 di Kanada dan teks transport juga bilang time series comparison or dramatic result from uncontrolled study Jadi kalau misalnya punya registri ya misalnya ada beberapa kelompok atau kohort beberapa kelompok pasien yang diikuti kemudian diceritakan, diskripsikan itu juga masuk level 2 nah kalau karena di antasports, level 3 nya itu sudah cukup langsung expert opinion, langsung klinisi, jadi dia hanya membagi tentang RCT experimental, kemudian observational langsung expert opinion tapi kalau second, enggak, level 1 nya large RCT with clear cut result artinya jelas gitu, mana yang lebih baik karena clear cut result itu harus jelas Artinya Titik potongnya mana-mana obat yang lebih baik, A atau B, itu bagus.
Kalau yang dua, small RCT sama with unclear result, itu boleh digunakan. Yang nomor tiga, ini baru masuk observational study, yang cohort and case control. Kemudian yang keempat, historical cohort or case control studies. Yang terakhir, yang observational, yang deskriptif tadi, yang case series atau studies with no control. Jadi hanya menggambarkan saja.
kejadiannya seperti apa nah itu tadi kan untuk terapi tapi kalau untuk level of evidence of prognostic itu kalau kita mencari referensi tentang pasien kalau sudah sakit misalnya hipertensi prognosisnya apa dia nanti akan menjadi sakit atau berisiko sakit serangan jantungnya misalnya berapa kali kalau ini berdasarkan American Society of Plastic Surgeons gitu ya nah ya perkumpulan bedah plastik Amerika gitu ya, atau himpunan di Indonesia kan himpunan nah level 1 itu high quality prospective cohort study, nah kalau prognostik kita kan gak boleh ya memberikan obat, tapi tujuannya untuk melihat progresivitas penyakit, kalau memberikan obat kan tujuannya adalah untuk melihat kesembuhan, makanya tadi eksperimental idealnya, tapi kalau ini untuk prognostik itu ya Pakai langsung observasional Tidak ada eksperimen kita untuk melihat prognosis Tidak boleh, tidak etis Karena masa kita menunggu pasien agar mengalami kesialan atau keparahan Kan tidak boleh Karena prognosis ini kan luaran yang jeleknya Atau perkembangan penyakit yang jeleknya seperti apa Level 2-nya adalah lesser quality prospective cohort Jadi masih cohort tapi prospective Di itu titik Dari sekarang ke masa depan. Studinya itu diikuti, prosesnya seperti itu. Mulai dari paparan sampai luaran. Diikuti terus.
Dari awal sampai akhir, dari paparan sampai luaran diikuti. With adequate power, itu nomor satu. Or systematic review of the studies.
Jadi kalau beberapa gambungan high quality perspective cohort, itu merupakan level satu. Yang level dua apa? Lesser. Kualitasnya kurang.
Perspektif cohort tapi kualitasnya kurang. Sama. Prospektif itu kan mengikuti dari sekarang, dari paparan, dari sebab, sampai luaran, sampai akibatnya itu muncul.
Itu prospektif. Jadi kualitasnya lebih rendah. Misalnya atau retrospective cohort study. Sebetulnya cohort juga diikuti dari paparan sampai luaran, tapi itu sudah terjadi di masa lalu. Paparannya sudah terjadi di masa lalu, outcome-nya juga sudah terjadi di masa lalu.
Artinya kita mengambil data secara retrospective. tapi ngumpulinnya tetap dari paparan ke luar kemudian untreated control from an RCT itu juga bisa jadi gini, kalau RCT itu kan biasanya dikasih obat A dan B tetapi kadang ada yang tidak dia sudah masuk data, sudah masuk dalam subyek penelitian tapi dia tidak selesai artinya dia sebagai subyek penelitian ya partisipan tetapi dia gak selesai itu bisa dinilai bahwa oh kalau dia gak diterapi ada datanya kan di follow up seperti itu jadi itu untreated control from an RCT jadi itu jadi kelihatan luarannya seperti apa gitu jadi seperti itu ya dan juga or systematic review of this study jadi kalau ini digabungkan itu tetap level 2 nah kemudian level 3 nya adalah case control ya case control itu kebalikannya jadi dari kohort, kalau kohort tadi dari sebab dulu sampai akibat itu diikuti, tapi kalau case control akibat dulu, kemudian dilihat ke belakang sebabnya apa, seberapa besar sebabnya mereka miliki kemudian case series yang kelima kalau case series tadi kan beberapa kasus yang sama dideskripsikan ya, yang kelima kemudian expert opinion pendapat ahli, seperti itu kemudian kalau terapetik kalau terapetik ya Sama seperti yang pertama tadi, kalau 1A itu systematic review of RCT, systematic review dengan homogenitas, jadi RCT-nya itu hasilnya seragam, hasilnya homogen, kemudian digabung, itu level 1A. 1B individual RCT, kemudian 1C-nya all or none study. Kemudian kalau level 2 itu observational study, tapi gabungannya, gabungan systematic review dari cohort study.
Kemudian 2B course tadi tapi individual satu saja, 2C-nya itu outcome research, kita melihat luarannya saja. Nomor tiga itu observational study, systematic review dari observational study yang lain yaitu case control study. Kemudian 3B yang lain adalah individual case control study. Yang keempat itu case series and poor quality cohort or case control study. Jadi kalau cohort tapi case control tapi jelek metodenya, sampelnya dikit, variable operasionalnya nggak jelas, follow up-nya pendek, itu masuk keempat.
Kemudian kalau yang kelima adalah expert opinion without explicit critical appraisal or based on psychological psychology bench research or first principles. Artinya berdasarkan pengalaman. Jadi kalau misalnya yang paling tinggi itu gabungan dari RCT yang hasilnya homogen, yang paling rendah adalah pendapat dari ahli, dokter spesialis, apotekar spesialis, apotekar, dokter, dan lain sebagainya itu paling bawah. Nah ini referensi ini saya ambil dari... Center for Evidence-Based Medicine, CPM.net.
Nah kemudian, kalau berdasarkan practice recommendation, kalau grade-nya, jadi kalau misalnya tadi ada level 1A, B, C, dan lain sebagainya, 1, 2, 3, A, B, C, dan lain sebagainya, itu ini ada urutannya. Jadi kalau grade A, rekomendasinya kuat. Misalnya dari qualifying evidence-nya, level 1 evidence or consistent finding from multiple studies of level 2, 3, 4. Jadi kalau level 1 tadi, level 1 kan ada ABC tadi, uji klinik, itu rekomendasinya kita bisa ngikutin. Atau gabungan consistent finding dari multiple studies dari level 2, 3, 4. 2 tadi adalah cohort, 3 tadi quest control, 4 tadi adalah case series. untuk yang terapi, balik ke sini dua ini adalah cohort tiga itu case series case control, empat itu case series nah kalau itu digabungkan dan hasilnya tidak ada yang bertolak belakang tidak ada yang bertolak belakang artinya hasilnya itu konsisten itu panduan klinisi atau kita sebagai praktisi gimana?
klinisi should follow a strong recommendation unless, harus ngikutin aja kalau misalnya memang ini konsisten, kita ngikutin aja kita ikutin aja pasiennya Udah kalau kita nemu bukti ilmiahnya itu Ternyata kuat termasuknya Strong recommendation kita Udah ikut aja langsung Berarti pasien tak kasih obat ini Unless ya kecuali A clear and compelling rational For an alternative approach is present Ya kecuali Ada A clear and compelling rational For alternative Jadi kalau alternatif Pendekatan alternatif Memang ada Dan jelas gitu ya Dan jelas memang tidak bisa mengikuti rekomendasinya ini ya nggak apa-apa gitu. Kalau grade-nya B, berarti ya direkomendasikan lah gitu. Kalau tadi kan rekomendasinya kuat gitu.
Kalau levelnya B artinya level 2, 3, 4 dan hasilnya konsisten, generally konsisten. Kalau ini kan generally artinya secara umum, artinya masih ada nih studi yang memang nggak sama gitu. Yang lain bilang obat A lebih bagus, tapi ada satu atau dua studi yang bilang obat B-nya bagus. Nah itu generally consistent, artinya dia nggak konsisten gitu.
Nah itu gimana? Praktisi harus gimana? Praktisi harus generally clinician should follow.
Clinician boleh diharapkan mengikuti rekomendasi, but should remain alert, harus waspada to new information and sensitive to patient preference. Jadi harus hati-hati terhadap adanya informasi baru itu apa, efek. baru, atau misalnya studi baru dan juga sensitive to patient preference, kalau pasiennya gak mau berarti ya gak usah direkomendasikan gak usah diikuti bukti ilmiahnya jadi disini kelihatan ya, maksudnya kita tidak serta-merta mantep tadi yang saya bilang bahwa kita harus ngikutin bukti ilmiahnya, enggak, tidak harus kemudian yang C itu judulnya option kalau apa, kalau level 2, 3, 4... bukti ilmiah level 2, 3, 4-nya itu ada, tapi hasilnya itu nggak konsisten.
Ya mungkin 50-50 gitu, atau 40-60. Ada yang bilang bagus, ada yang bilang jelek. Klinisi harus fleksibel dalam membuat keputusan mengenai praktik yang tepat.
Jadi klinisi bisa relatif fleksibel dalam hal ini. Walaupun mereka bisa menetapkan bantuan pada alternatif, preferensi pasien harus memiliki peran yang berinfluensi substansial. Jadi...
Preferensi pasien merupakan peran yang penting di sini. Karena bisa dua-duanya, jadi pasiennya boleh milih. Kalau yang keempat, ini hanya level 5, expert opinion. Little or no systematic empirical evidence.
Tidak ada bukti ilmiahnya. Klinisnya harus gimana? Klinisnya harus mengikuti semua opsi dan pembuatan keputusan.
Be alert to new published evidence. Jadi harus waspada ketika ada bukti ilmiah yang dipublikasikan, ya harus ikut gitu ya. Tapi kalau dari sini, berarti kan nggak ada ya bukti ilmiahnya, hanya ada pengalaman dari klinis. Nah itu boleh seperti itu.
Nah artinya kalau kita lihat tadi, Anda sudah mengenal jenis-jenis bukti ilmiahnya ya, dari case report, case series, cohort, case control, dan RCT minimal itu. Nah itu. Di sini cara memutuskannya seperti ini.
Di situ juga tadi kita bahas tentang systematic review, yaitu penggabungan antara kesemuanya. Di sini kita lihat bagaimana kita harus bersikap ketika mendapatkan berbagai macam bukti ilmiah dalam prakteknya kita nanti. Mungkin itu untuk pertemuan hari ini.
Insya Allah cukup untuk membahas tentang jenis dan levelnya. Level bukti ilmiah, semoga bermanfaat. Mohon maaf jika ada kekurangan, nanti kita lanjutkan diskusi di forum.
Terima kasih. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.