Ki Ageng Mangir hanya seorang pemimpin perdukuhan, namun ia menjadi tokoh paling menghebohkan di masa awal kerajaan Mataram Islam yang didirikan Panembahan Senopati pada tahun 1586. Meski hanya pemimpin pedukuhan Mangir, ia tak mau berada di bawah Mataram. Sebab ia merasa setara sama-sama keturunan Raja Majapahit Brawijaya V. Bahkan Ki Ageng Mangir berani menantang duel panembahan Sinopati. Sayang, bukan duel yang mengakhiri hidupnya, tapi sebuah siasat yang mengumpan anak raja dan kisahnya mengerus hati.
Berikut petilasan dan kisah berdirinya Mangir Tanah perdikan yang tak mau tunduk kepada Mataram Hingga wafatnya Ki Ageng Mangir Mangir dikenal sebagai desa tertua di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Desa ini didirikan keturunan Raja Majapahit terakhir, Brawijaya V, yakni Raten Wonoboyo. Petilasan Ki Ageng Mangir kini masih tersisa di daerah yang bernama Desa Sendang Sari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul. Ada dua tempat utama petilasan Ki Ageng Mangir.
Di sebelah utara, terdapat batu di bawah pohon randu alas. Diakini masyarakat sekitar, disitulah tempat tinggal Ki Ageng Mangir. Dari situ ke arah selatan, sekitar 200 meter, terdapat pade pokan.
Hanya saja, beberapa bangunan pade pokan itu merupakan bangunan baru yang dibuat pada awal tahun 2000-an. Kisah Pedukuan Mangir ini adalah ekses dari bubarnya Majapahit pada akhir abad ke-15. Bubarnya kerajaan besar itu membuat banyak keturunan raja yang menyebar kemana-mana.
Salah satunya adalah Raten Lembu Amisani yang masih keturunan Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. Ia memilih mengembara ke arah Mataram Kuno atau ke barat bersama istri dan anaknya. anak tercintanya bernama Raten Wonoboyo. Sesampainya di desa Dander Gunung Kidul, mereka berhenti dan bertapa, memohon agar keturunannya mendapat Wahyu menjadi raja yang menguasai tanah Jawa. Ternyata, Raten Lembu Amisani dan istrinya akhirnya moksa di sini, wafat dan jasadnya menghilang.
Raten Wonoboyo yang sedih melanjutkan langkah ke barat. ia menyisir pantai selatan hingga akhirnya sampai ke muara Kaliprogo Raten Wonoboyo kemudian berjalan ke utara menyusuri Kaliprogo dan menemukan sebuah wilayah yang dianggap cocok untuk pemukiman wilayah yang berada di pinggir sebelah timur Kaliprogo itulah yang kemudian dibangun sebagai pedukuhan yang terus berkembang dan besar Raten Wonoboyo kemudian berjalan ke utara kemudian menikah dengan putri seorang pengelana asal Juwono dan memiliki anak laki-laki. Setelah anaknya besar dan menikah, Raden Wonoboyo memberikan kepemimpinan di Mangir kepada anaknya tersebut sebagai Ki Ageng Mangir II. Raden Wonoboyo pergi untuk berguru kepada Sunan Kadilangu atau Sunan Kalijogo yang ditemui di Kembang Lampil. Setelah ilmunya cukup, ia kemudian bertapa di Mangir.
di Pelawangan. Raden Wonoboyo pulang ke Mangir ketika anaknya Ki Ageng Mangir II melahirkan putra pertamanya yang bernama Jaka. Setelah itu, Raden Wonoboyo kembali pergi dan bertapa di Gunung Merbabu. Disinilah Raten Wonoboyo menemukan pusaka sakti non-legendaris tombak baru klinting yang merupakan lidah seekor ular.
Dalam kisah tutur rakyat, ular itu sebenarnya anaknya sendiri dari kandungan. Roro Jelikong ia hamil akibat sebuah kecelakaan karena ketidaksengajaan menduduki pisau Raten Wonoboyo yang terbuat dari air maninya Roro Jelikong hamil kemudian lahirlah seekor ular yang akhirnya menyusul Raten Wonoboyo ke pertapaannya di gunung Merbabu untuk menyempurnakan rohnya dan Untuk diakui sebagai anak, ular itu diminta melingkari gunung Merbabu. Karena tak sampai, ular itu menjulurkan lidahnya, kemudian dipotong oleh Raten Wonoboyo dan berubah menjadi...
tombak baru klinting. Tombak itulah yang akhirnya menjadi senjata sakti bagi keturunan Mangir, bahkan kemudian menjadi simbol kekuasaan Raja Mataram. Singkat cerita, Tomba itu diberikan kepada anaknya Ki Ageng Mangir II.
Namun, tak lama Ki Ageng Mangir II juga lengser ke Prabon ingin menjauhi dunia dan menyusul Raden Wonoboyo Sang Ayah untuk bertapa. Mangir kemudian dipimpin oleh Jaka, cucu Raden Wonoboyo yang kemudian dikenal dengan Ki Ageng Joko Mangir. Namun, Ki Ageng Joko Mangir inilah yang terang-terangan tak mau tunduk kepadanya. pada Mataram Mataram pun tak berani melawan secara frontal karena ia memiliki banyak pengikut dan pusaka tombak baru Klinting bahkan suatu saat Ki Jaka Mangir menantang panembahan Sinopati sebagai raja pertama Mataram Islam untuk berduel seperti dikisahkan dalam babat Ki Ageng Mangir Ki Jaka Mangir mengatakan aku berani bertarung melawan Prabu Mataram Di manapun bertemu, aku tak akan takut kepada Raja.
Dukuh Mangir ini didirikan oleh kakekku. Ayahandaku maupun aku sendiri akan mempertahankannya. Aku mau tunduk dan setia kepada Raja Mataram jika Senopati mampu menahan kesaktian tombak baru klinting. Penolakan Ki Ageng Mangir ini ternyata merembet kemana-mana.
Banyak daerah yang satu persatu mengikuti Mangir menolak tunduk kepada Mataram. Di antaranya Pati, Jepara, Kutus, Tuban, Lamongan, Gersik, Surabaya, Pasuruan, Belambangan, Lumajang, Probolinggo, Kediri, Ponorogo, dan Matiun. Karena jika melatih ini duel dengan Ki Ageng Mangir berisiko sangat besar. bahkan bisa berupa kekalahan. Panembahan Sinopati beserta para adipati dan pangeran kemudian menyusun sebuah siasat.
Dikirimlah penyamaran kelompok wayang dengan salah satu ledeknya adalah putri panembahan Sinopati sendiri, yakni Roro Pembayun. Kecantikannya diharapkan mampu menaklukkan hati Ki Ageng Mangir. Benar saja Ki Ageng Mangir jatuh hati dan akhirnya menikahi. Roro Pembayun. Setelah menjadi istri Ki Ageng Mangir, Roro Pembayun mengungkap jati diri bahwa ia adalah putri panembahan Senopati.
Ki Ageng Mangir justru merasa pilihannya tak salah karena ia menikahi putri raja bukan orang biasa. Setelah Roro Pembayun hamil, Ki Ageng Mangir diajak Soan ke panembahan Senopati di keraton Mataram, Kota Gede. Karena cinta kepada sang istri, Ki Ageng Mangir bersedia juga soan kepada musuh yang juga ayah istrinya, dus juga mertuanya.
Inilah jebakan yang diharapkan panembahan Senopati. Ki Ageng Mangir membawa rombongan pasukan dan banyak emban yang membawa banyak seserahan dalam menuju keraton Mataram di kota Gede. Saking banyaknya barang bawaan sampai-sampai para emban yang membawa bahwa seserahan itu berjalan mentul-mentul atau naik turun.
Dari situlah muncul nama Bantul yang kini menjadi nama Kabupaten Bantul. Dari asal kata emban dan mentul-mentul. Maksud baik Ki Ageng Mangir adalah suan dan menghadap mertua, yakni panembahan sinopati, untuk memberikan sembah bakti sebagai menantu.
Tapi ini sebuah jebakan. Saat Ki Ageng Mangir memberikan sembah bakti, panembahan Sinopati yang duduk di atas batu kilang langsung meraih kepalanya Ia membenturkan kepala Ki Ageng Mangir ke batu kilang hingga tewas Tujuan politik Raja Mataram sukses mengakhiri perlawanan Ki Ageng Mangir yang dianggap balelo dan mengancam eksistensi Mataram. Namun, di sisi lain, kisah ini menjadi drama yang mengaduk rasa kemanusiaan serta melahirkan pro dan kontra berkepanjangan. Menurut babat Ki Ageng Mangir, peristiwa ini terjadi pada tahun 1601. Artinya, tak lama kemudian panembahan Senopati tutup usia di tahun itu juga dan tahtanya diteruskan sang putra, Ratin Mas Jolang alias Hanyokrawati.
Untuk menuju ke Petila Sanki Ageng Mangir di Desa Sendang Sari memang agak sulit karena lokasinya di pedesaan. Dari pusat Yogyakarta, jaraknya sekitar 30 km arah selatan. Karena desa Sendang Sari berada di timur Kaliprogo, maka paling enak untuk menjangkau petilasan Ki Ageng Mangir ini adalah dari timur atau dari kota Bantul.
Setelah menemukan kecamatan Bajangan, maka kita akan mencari tempat untuk maka carilah lapangan kesian yang berdampingan dengan pasar pijenan. Ada jalan ke barat di situ dan susuri terus sampai masuk perkampungan desa Sendang Sari. Perkampungan ini masih bercorak tradisional dan rimbun.
Jika sudah di situ, hampir semua orang bisa menunjukkan di mana letak petilasan Ki Ageng Mangil. Jika masih sulit, memakai peta online juga sangat membantu.