Transcript for:
Paradigma Ilmu Komunikasi di Pendidikan Tinggi

Saya kemarin dihubungi oleh Prof. Neni. Kebetulan saya ini akhir tahun di Jakarta. Tapi kemarin itu sebenarnya istri saya mengajak saya ke Bandung.

Di kampus saya itu manajemen entrepreneurial. Manajemen entrepreneurial. Jadi Universitas Putra itu karakternya di entrepreneurial.

Sehingga ketika membuka... prodi S3 management juga mengarah ke entrepreneurial. Tapi kita juga baru selesai satu semester.

Di UNISBA ini, saya dengar program dokter ilmu komunikasi, Prof ya? Ya, jadi saya kapan hari itu baca, saya bilang, wah bagus ini. Sudah banyak ya, supaya jangan, kalau ada banyak prodi Program doktor artinya mahasiswa punya banyak peluang untuk mengikuti pendidikan istidak. Nah baik, saya punya slide 127. Wow, luar biasa.

Ini materi memang disajikan untuk beberapa minggu. Tapi hari ini hanya 2 jam. Sehingga saya akan singkat-singkat saja atau lewat-lewat saja.

Kebetulan saya... Cukup lama mengajar mata kuliah filsafat ilmu dan terutama dikaitkan juga dengan... Nah ini Prof Neni sudah masuk.

Prof Neni, apa kabar? Maaf, ini... Saya akan lewatkan dulu slide saya kepada Bapak-Ibu sekalian.

Oh, sudah kelihatan ya slide saya? Belum ya? Sudah Prof, sudah keluar Prof. Sudah ya? Sudah ada, Pak. Kelihatan ya?

Ya, kelihatan. Ya, kelihatan. besarkan. Biasanya ini nggak bisa.

Jadi, ini materi saya. Bapak, Ibu sekalian, jadi kita lihat di sini, saya punya beberapa bagian dari filosofat dan paradigma ilmu komunikasi ini, tetapi juga dikaitkan dengan paradigma umum, ilmu pengetahuan. Kenapa kalau kita lihat mengapa S3, juga teman-teman di S2, harus belajar filsafat? Karena ilmu dan metode itu sebenarnya adalah genre dari paradigma.

Paradigma itu genre dari filsafat. Nah kalau kita di perguruan tinggi itu hanya mempelajari metode, mempelajari ilmu, itu kita di level syariat. Di S2, S2 ini level berapa? Level 7, level 8. Dia harus belajar paradigma, sehingga memang berkaitan dengan levelnya repetareka.

Tapi kalau S3, memang level 9, wajib mempelajari filsafat, filsafat ilmu. Dia sudah dihakikat. Jadi kalau kita mengamalkan...

metode ilmu, paradigma, dan filsafat, kita akan menjadi seorang ma'rifat. Itu yang memang diharapkan di perguruan tinggi program studi S3, itu memang mempelajari ilmu itu dari filsafat. Kemarin saya dikirim oleh teman-teman di grup alumni metode penelitian, salah seorang teman, profesor.

Prof. Hanif dari UT, itu dia mengkritisi tentang perkembangan pendidikan kita di Indonesia. Terutama dia bilang bahwa ilmu pengetahuan kita di perguruan tinggi di Indonesia ini lebih banyak menciptakan tukang. Menciptakan tukang daripada ilmuwan. Nah, saya tahu dia berbicara seperti itu dalam kacamata profesor. Tapi kalau menurut saya tidak salah juga.

Kenapa? Karena... orientasi pendidikan kita di Indonesia ini lebih banyak ke level 7, level 6 dan level 7, atau di tingkat S1.

Sehingga lebih banyak mereka mengarahnya ke tenaga-tenaga siapa. Tapi agak lebih parah juga terakhir ini ketika Pak Jokowi ini, menteri-menteri yang mengurus pendidikan, Pendidikan ini memang ada banyak yang hilang ya, ketika pendidikan itu lebih mengarah ke sana. Saya katakan pada Prof. Hanif di WM bahwa dulu kita mengejek India, kita mengolok-olok India, karena India banyak menghasilkan tukang, bukan seorang ilmuwan.

Hari ini kita berguru ke India, tim fokasi kita ini Pak. tim fokasi di Kementerian kita ini, itu belajar fokasinya itu ke India. Mereka kirim tim, termasuk teman saya, ke India belajar fokasi beberapa bulan di sana.

Dan pulang diamalkan di Indonesia. Nah inilah yang menjadi satu persoalan besar ya, bahwa memang tingkat pendidikan kita di Indonesia ini, prodi-prodi kita di Indonesia ini terlalu banyak S1. Sehingga memang sarjana-sarjana yang kita hasilkan itu lebih banyak ke arah tenaga fokasi-fokasi itu, siap pakai. Berbeda ketika di Malaysia, itu hampir semua prodi di Malaysia itu ada istiganya. Ada istiganya, sehingga orientasi keilmuan itu bisa bervariasi.

Mereka lebih banyak menciptakan... apa namanya, leadership, pemimpin, bukan vokasi. Karena itu di setiap prodi, kalau ada prodi S3 itu sangat bagus, menjadi lokomotif dari prodi itu untuk pengembangan keilmuan di bidang itu. Karena memang proses ilmu pengetahuan kita ini memang harus berada di tiga level ini. Level metode ilmu, Level syariat, level tarikat, dan level agekat.

Karena itu disertasi nanti yang dibuat oleh mahasiswa itu harus betul-betul berangkat dari filsafat dan paradigma. Tidak boleh lagi kemudian bicara tentang masalah metode, masalah ilmu itu secara spesifik, secara tidak berkaitan dengan paradigma. Ini yang penting sekali harus dipahami. Kekuatan... mahasiswa S3, karakter mahasiswa S3 itu adalah pada kemampuan dia melakukan riset.

Yes, saya katakan yes, betul. Tetapi riset itu harus diingat, jendrenya adalah paradigma, jendrenya adalah filsafat. Risetnya anak S1, risetnya anak S2, dan risetnya anak S3 beda. Risetnya anak S1 itu bisa saja... Bagaimana dia mengaplikasikan sebuah metode.

Nah, level S2, karakternya bagaimana dia memahami paradigma sehingga dia bisa memilih metode-metode penelitian itu. Tapi mahasiswa S3 tidak demikian. Mahasiswa S3 harus memahami ketiga-tiga ini, terutama filsafat. Majhab.

Nah, filsafat itu dalam arti di sini adalah akar dari majhab. Paradigma itu masyarakat. Jadi filsafat itu adalah akar dari masyarakat itu. Dari masyarakat-masyarakat.

Itu harus dipahami sehingga lahir ilmu komunikasi, umpamanya. Itu alirannya banyak. Mungkin di akhir slide ini saya akan sampaikan sedikit tentang paradigma dan perkembangan ilmu pengetahuan dan ilmu komunikasi di dunia hari ini. Itu yang menjadi sangat penting untuk dipahami oleh mahasiswa-mahasiswa S3.

Baik, Bapak-Ibu sekalian. Paradigma itu apa? Paradigm. Paradigm ini adalah kanal kecil pandangan dunia.

Selain paradigm, itu ada worldview, pandangan dunia. Jadi kalau kita lihat di sini, paradigm itu adalah sistem keyakinan, ideologi, ketauhidan, ilmuwan untuk mencapai kebenaran. Jadi paradigm itu sistem keyakinan, sistem ideologi, sistem ketauhidan, ilmuwan untuk mencapai kebenaran. Kalau agama, religious paradigm itu adalah sistem keyakinan kita untuk mencapai surga. Tapi kalau paradigm, sistem keyakinan kita untuk mencapai kebenaran.

Jadi semua ilmuwan harus memahami paradigm. Saya selalu tanyakan kepada teman-teman dosen saya bahwa Anda menjadi dosen 20 tahun, 15 tahun, sebenarnya kalian itu berparadigma apa? Setiap ilmu pengetahuan memiliki paradigm.

Itu kadang-kadang para dosen-dosen itu nggak bisa menjawabnya dengan benar. Anda 20 tahun menjadi dosen, jadi ilmuwan, tapi tidak punya paradigma. Ini sama dengan... Orang katakan bahwa saya ini orang Indonesia tapi tidak punya agama.

Atheis. Orang kalau di paradigma, scientific paradigm, kalau dia tidak paham scientific paradigm, itu sama kalau di agama, itu dia ateis, tidak beragama. Tanpa dia sadari.

Jadi kalau ngomong tentang... Tuhan itu orang Jawa bilang, ngalur ngidul. Hari ini bicara surga dalam versinya agama ini, hari ini bicara Tuhan dalam versi agama ini, karena dia memang tidak beragama. Tanpa disengaja.

Sama dengan seorang ilmuwan. Seorang ilmuwan tidak memiliki paradigma. tidak memiliki domain paradigm, sama.

Hari ini bicara tahu, besok bicara TMP, besok lagi bicara apa. Tidak menjadi sebuah karakter paradigma, paradigm. Jadi Bapak-Ibu kalau mengundang seseorang, itu harus paham. Kalau dia bicara tentang ilmu pengetahuan, harus paham.

Dia ini seorang berparadigma apa. Jangan sampai dia datang ke prodi Bapak, akan merusak pandangan paradigma yang dibangun selama ini di prodi itu. Begitu, Pak. Cara yang sama saja, umpamanya... Maaf, maaf.

Ininya slide-nya tidak berubah. Oke. Paradigma, paradigm itu adalah kanal kecil dalam pandangan dunia.

Kemudian paradigma, paradigm itu sistem keyakinan. Ideologi, ketauhid dan ilmuwan untuk mencapai kebenaran. Jadi kalau kita memilih agama itu karena kita yakin bahwa agama itu akan membawa kita kepada surga. Tapi kalau kita memiliki sebuah paradigma, kita yakin bahwa paradigma itu akan membawa kita kepada sebuah kebenaran. Nah itu harus dipahami.

Karena itu seorang ilmuwan harus punya paradigma. Paradigma di dalam kehidupan agama namanya religious paradigm. Kalau di ilmu pengetahuan namanya paradigm. paradigma ilmu pengetahuan.

Jadi wajib seorang ilmuwan itu harus punya paradigma. Ya, seperti itu. Jadi nanti suatu saat Bapak Ibu tanyakan kepada saya, peruburan ini seorang berparadigma apa?

Kalau Bapak membaca semua karya saya, pasti jelas. Saya adalah seorang konstruktivisme para daya. Saya melihat realitas sosial itu adalah bentukan manusia.

Constructivism paradigm. Sudah, semua karya saya. Saya dua kali bikin disertasi, dua kali juga menulis dengan konstruksi sosial. Dengan versi yang berbeda, dengan kritik-kritik yang berbeda. Itu sebuah contoh bahwa saya sudah yakin bahwa konstruktivisme akan membawa saya kepada kebenaran.

Bapak-Ibu sekalian, paradigm... dipengaruhi oleh pandangan dunia nah paradigma ini dipengaruhi oleh pandangan dunia. Jadi kalau kita lihat, paradigm ini merupakan kanal kecil pandangan dunia, pandangan dunia itu disebut dengan world view, yang masuk ke dunia pengetahuan di perguruan tinggi dan mempengaruhi, membentuk sistem berpikir ilmuwan.

Jadi paradigma itu kanal kecil saja. Di luar sana adanya pandangan dunia. Karena itu di perguruan tinggi sebelum mengenal pandangan dunia positifisme, belum mengenal paradigma positifisme, di luar sana itu sudah ada pandangan dunia positifisme.

Bagaimana bangsa-bangsa Eropa Barat itu bisa datang ke Indonesia, bisa datang ke Afrika, dan kemudian menjajah kita, dan tidak ada satu orang pun yang kemudian berteriak bahwa itu sebuah kejahatan. Dan kemarin itu... Pimpinan Belanda itu sudah mengakui bahwa mereka membuat kesalahan di Indonesia. Di zaman itu tidak ada satu orang pun yang berteriak bahwa itu salah.

Karena memang pandangan dunia seperti itu. Makanya bangsa Eropa Barat itu berlomba-lomba membangun armada untuk menguasai dunia ini. Dengan apa?

Pandangan dunia positifisem. Pandangan dunia positifism itu juga masuk di perguruan tinggi kita, yang itu kita kenal paradigma itu. Mempengaruhi cara berpikir orang-orang di perguruan tinggi, yang kita kenal itu sebagai paradigm. Sehingga paradigm pun akhirnya mengadopsi pandangan dunia positifism itu. Makanya tidak salah kalau Agus Kong, di akhir abad 18, kemudian melahirkan ilmu sosial pertama, yang namanya adalah sosiologi itu, itu dengan paradigma positifisme.

Karena memang pandangan dunia di zaman itu seperti itu. Positifisme. Jadi pandangan dunia itu sama atau tidak sebangun dengan paradigma sebenarnya. Ya sama, tapi juga tidak sama dengan paradigm. Tetapi kalau pandangan dunia positifism, maka sains paradigm juga positifism.

Kalau pandangan dunia fenomenologi, maka sains paradigm juga adalah fenomenologi. Kalau pandangan dunia kritikal teori paradigm, maka sains paradigmnya adalah kritikal teori paradigm. Pandangan dunia postmodern juga melahirkan sains paradigm. postmodern paradigm. Begitu juga pandangan dunia postkritikal juga akan melahirkan sains paradigm yaitu postkritikal paradigm.

Itu selalu seperti itu. Jadi pandangan dunia ini ikut masuk mempengaruhi orang-orang di program tinggi. Sehingga membangun paradigma-paradigma keilmuan. Jadi hari ini kita sudah berada di pandangan dunia posmo. bahkan sudah berada di pandangan dunia post-kritikal.

Tidak lagi post-move, tapi post-kritikal paradigm. Jadi kalau kita lihat pohon utamanya seperti ini, ini termasuk juga berkembang di ilmu komunikasi yang seperti ini. Ilmu komunikasi yang tidak mengadopsi paradigma-paradigma keunggulan seperti ini akan ketinggalan zaman. Ditinggal orang. Makanya nanti di akhir saya akan ceritakan salah satu penulis yang berbicara tentang post-disiplin.

Ilmu komunikasi ini sudah masuk ke era post-disiplin. Itu sudah masuk di post-critical paradigm itu. Kita lihat awal mula lahirnya paradigma itu adalah yang kita sebut dengan classical paradigm.

Itu positifisien. Karena kita sadar betul ilmu-ilmu sosial itu juga lahir, dipelopori oleh ilmu pengetahuan yang kita kenal dengan ilmu-ilmuan-ilmuan fisika. Ilmu termasuk Guskom itu seorang ilmuwan fisika yang kemudian membawa alat-alat riset dia di fisika itu.

Dia melakukan riset ke manusia, kemudian melahirkan ilmu pengetahuan. Pertama yang namanya Sosiologi. Ilmu pengetahuan sosial pertama yang namanya Sosiologi. Belum ada ilmu komunikasi, belum ada ilmu pendidikan, belum ada ilmu pelajaran, belum ada.

Baru pertama kali yang namanya adalah Sosiologi. Sosiologi itu mempelajari tentang interaksi manusia, mempelajari tentang pendidikan, mempelajari politik, negara, dan sebagainya. Yang hari ini kita kenal...

Sosialologi Agus Kom itu dengan istilah ilmu-ilmu sosial hari ini. Itu pertama kali dipropori oleh Agus Kom. Kemudian masyarakat berubah, kemudian masuk di dalam satu era yang kita kenal dengan post-positivism, yaitu paradigma tengah ini. Tetapi ini terjadi semacam kritikal di sini bahwa Sebenarnya orang belum mengenal post-positivism, dia sudah mengenal fenomenologi dulu. Dia sudah mengenal critical paradigm.

Tetapi kelompok post-positivism ini, dia tidak migrasi ke fenomenologi, ke critical paradigm. Dia kembali ke positivism, kemudian dia mengkritik positivism dari dalam. Sehingga paradigma ini kita kenal dengan middle paradigm.

Paradigma tengah. Dia ada di positivism, dia ada di fenomenologi juga. Tetapi kita mengenal fenomenologi ini sebagai critical paradigm. Nah, hari ini critical paradigm itu sudah masuk ke era postmodern, yang kita kenal bukan lagi critical paradigm, tapi post-critical paradigm. Jadi ini orang-orang postmodern ini.

Jadi kalau kita bagi begitu bahwa... Paradigma utama dalam ilmu sosial, termasuk komunikasi, itu adalah penganut paham klasik, penganut paham modern, dan penganut paham kosmologi. Hari ini semua riset-riset yang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa kita di ilmu komunikasi, semua sudah di era post-critical paradigm. Post-critical paradigm.

Sehingga... Metode itu sudah menjadi sesuatu yang amat sulit kalau kita tidak inovasi. Kalau kita tidak melakukan inovasi, teman-teman di S3 besok, kalau tidak melakukan inovasi metodologi, akan kesulitan menghadapi fenomena atau realitas sosial kita hari ini. Karena itu wajib melakukan inovasi. Kita tidak bisa lagi mengandalkan metode-metode di era ini, di era positifism.

Di era positifisem ini melahirkan metode kuantitatif. Di era fenomenologi ini menghasilkan riset-riset kualitatif. Di era post-positifisem ini kita memahami menghasilkan metode-metode post-positifisem yang kita kenal dengan kuasi kualitatif, deskriptif kuantitatif, dan sebagainya itu di sini.

Tetapi di era post-moderate ini, metode itu sudah tidak berstruktur lagi. Metode itu sudah tidak memiliki sebuah model. Kenapa? Karena realitas sosial kita itu sudah bercampur bau dan lain sebagainya.

Sehingga harus ada modifikasi-modifikasi metodologi. Nah, kelompok-kelompok fenomenologi ini melahirkan metode-metode tunggal yang kita kenal dengan netnografi, netnoporn, netnobiotiful, dan lain sebagainya. Sedangkan di post-modern ini melahirkan mix-mix metode itu, mix metode dan sebagainya.

Sehingga teman-teman S3 tidak akan bisa mengungkapkan sebuah realitas sosial dengan baik tanpa memahami metode perubahan paradigma ini dengan baik sehingga nanti besok bisa melakukan inovasi metodologi dengan baik. Semua ilmu pengetahuan mengalami hal yang sama. Teman-teman saya di Prodi Management Entrepreneurial juga seperti itu.

Memahami persoalan kesulitan, memahami metode di era post-critical ini tanpa harus melakukan inovasi. Karena itu Denzin mengatakan bahwa setiap research itu harus melahirkan satu kejian. Apalagi riset-riset S3 ini wajib menghasilkan satu kejian. Saya lakukan itu.

Semua disertasi saya itu menjadi kajian. Disertasi saya di Unair menjadi kajian sosiologi komunikasi, menjadi kajian konstruksi sosial, media masa. Di Unair itu jadi dua kajian.

Nah, disertasi saya yang terakhir di Malaysia itu menghasilkan kajian komunikasi pariwisata. Nah itu sebuah contoh bahwa apa yang dikatakan Denzin itu seperti itu. Sehingga teman-teman yang sehari ini akan siap-siap membuat disertasi, itu harus sudah tahu bahwa disertasi saya itu besok wajib menjadi satu kejian.

Karena Denzin mengatakan begitu, Bapak menghabiskan uang di Prodi ini ratusan juta, tapi kalau besok tidak menghasilkan kejian, ya rugi kan Bu? Pak, rugi dong. Seperti itu. Kajian itu akan menghasilkan konsep, menghasilkan ilmu pengetahuan. Di mana pelopornya adalah Pak Asep, pelopornya adalah Bu Eka, pelopornya Bu Tia, melalui disertasi-disertasi.

Jadi saya sekarang bangga bahwa kajian sosiologi komunikasi itu saya pelopornya. Karena saya paling awal yang mem... mempelopor kajian ini. Kajian Sosialologi Komunikasi, saya bangga karena saya yang mempeloporinya.

Kajian Konservasi Sosial Media Masa, saya bangga karena saya yang menjadi pelopornya dari disertasi-disertasi itu. Begitu Bapak-Ibu sekalian. Jadi, kita harus punya idealisme seperti itu ketika akan membuat disertasi. Bapak-Ibu sekalian, kita lanjut.

Paradigm application-nya itu seperti ini. Jadi mengapa paradigma itu harus kita punya, harus kita miliki, harus kita kuasai, terutama di mahasiswa S3. Karena paradigma itu adalah cara pandang kita ketika kita menghadapi satu masalah. Ketika Bapak melihat saya jalan-jalan ke Bandung ini, terus Prof Neni dan Prof Ati tahu. Kemudian telepon saya, saya mau ketemu Prof. Nah sudah.

Oke, silakan ketemu. Nah, tapi sudah janjian nanti sore ketemu ini. Tapi di dalam perjalanannya, Nenek bilang, nggak enak kalau ketemu perempuan, nggak bawa apa-apa. Terus mampirlah ke toko, ya.

Cari makanan khas Bandung apa itu. Kemudian dibawakan, ya. Dibawakan ke hotel, ketemu saya di sana. Kemudian dikasihkanlah barang makanan itu ke saya. Nah Bapak Ibu sekalian, apakah saya langsung makan barang itu?

Tidak lupa. Saya membukanya dan melihatnya dengan paling tidak dua paradigma ini. Religious paradigm atau scientific paradigm.

Pertama saya buka dulu. Konteks Prof Neni dan Prof Ati itu memperkuat religious paradigm saya. Karena Prof Ati dan Prof Neni adalah seorang Muslim.

Sehingga memperkuat. memperkuat religius paradigm. Tidak mungkin beliau membawa makanan yang tidak halal kepada saya.

Sehingga itu memperkuat pandangan religius saya. Kemudian begitu saya buka ternyata kue khas Bandung. Apakah langsung saya makan?

Tidak. Saya harus mempertimbangkannya dengan scientific paradigm. Saya lihat lagi barang ini memang bisa dimakan atau tidak.

Bersih, hijin, tidak berjamur atau tidak. Sehat untuk saya atau tidak? Itu saya lihat lagi. Ketika saya yakin bahwa scientific paradigm ini lolos, baru saya mencicipi makanan. Itu terjadi ketika kemarin kita pertama kali menggunakan vaksin itu.

Vaksin COVID-19. Yang Sinovac. Begitu tahu Sinovac dibuat di Amerika, dibuat di Cina, kita sudah geger.

Pasti haram. Karena orang-orang berpikir Religious paradigm Pasti Cina yang bikin ini pasti haram Dibikin dari lemak babi Akhirnya kita harus kirim ulama Ke Cina untuk mempelajari Cara membuat vaksin ini Ternyata betul Ada, dibuat dari lemak babi Tapi jauh sekali, jauh Diolah, diolah, diolah Sehingga pada saat Menjadi bahan baku dari Sinewa, itu sudah tidak ada lagi unsur babi. Nah disinilah kemudian secara dirijis beradain para ulama-ulama kita menentukan halal.

Sinopaktipan. Apakah langsung disuntik? Tidak loh.

Dibawa ke Bandung dulu. Di uji coba 1.600 orang. Melalui apa? Melalui scientific paradigm.

Dicoba dulu. Ini disuntik orang sakit atau tidak? Ternyata 1.600 itu orang tidak ada yang sakit.

Kalau ada hanya gejala-gejala kecil kan. Maka badan POM mengeluarkan sertifikat. Sertifikatif namanya scientific paradigm. Pemakaian dari urat itu. Nah, di dalam kehidupan sehari-hari, kita tetap menggunakan paradigma ini.

Yang disebut dengan religious paradigm. Karena itu paradigma itu sangat penting. Coba bayangkan, Bu Eka ini tidak punya paradigma ini, religious paradigm di dalam kehidupan. Ya, ketemu Pak Asep, ya oke-oke aja. Pak Asep ini memang suaminya.

Kan nggak juga kan? Tapi karena... Bu Eka ini, Pak Asep ini memiliki religious paradigm, ketemu berdua dimana saja aman. Wah ini bukan istri saya, bukan suami saya. Aman.

Tapi kalau sudah tidak punya religious paradigm, habis sudah. Makanya penting sekali kita memahami paradigma itu. Cara berpikir kita menghadapi Nah itu pun terjadi pada scientific paradigm. Ketika kita punya masalah, kita sudah punya alat Sebelum teori, kita sudah punya alat paradigma itu untuk melihat. Umpamanya di kampung-kampung kita di Jawa itu ya, itu ada tulisan besar, ngebut benjut.

Ngebut benjut, itu paradigma. Kamu kalau ngebut pasti benjut kamu. Itu di jalan-jalan di kampung-kampung kita di Jawa itu begitu.

Itu cara berpikir. Kalau kamu tidak belajar, nggak lulus kamu. Itu paradigma.

Bukan teori, paradigma. Seperti itu. Ini paradigm aplikasinya. Sehingga paradigma itu menjadi penting.

Bapak-bapak, ibu-ibu yang menjadi dosen, yang mengajar mahasiswa di kelas, yang diajarkan itu paradigma-nya. Yang diajarkan itu paradigma-nya. Jadi kalau bapak, ibu, dosen kemudian tidak punya paradigma, itu jadi orang ulaan ilmu saja, kata orang Jawa. Ambil ilmunya siapa diajarkan, ambil ilmunya siapa diajarkan. Tapi kalau Bapak Ibu punya paradigma, ilmu-ilmu itu akan diseleksi sesuai dengan paradigma Bapak.

Karena itulah yang menjadi keyakinan Bapak, bahwa mahasiswa saya yang menggunakan cara berpikir saya, paradigma berpikir saya, dia akan menjadi cepat memahami sebuah persoalannya. Begitu, Pak. Jadi di dunia ini, terjadi pertarungan paradigm, Pak, di dalam kampus-kampus kita ini. Saya tidak tahu betul di UNISBA ini paradigma mana yang berkuasa.

Tapi umpamanya di ilmu hukum, di ilmu hukum hampir di seluruh Indonesia, itu ada dua paradigma yang sangat kuat. Yaitu hukum positif dan hukum empiris. Itu dua paradigma ini luar biasa.

Nah di komunikasi ini perbandingannya rata-rata sama seperti itu. Jadi paradigma, nanti saya akan cerita paradigma linear, dan nanti saya akan cerita paradigma post-disiplin, kemudian ada juga satu paradigma teknologi media komunikasi. Itu yang paling kuat yang berkembang di Indonesia. Kita tanpa sedari hari ini, post-disiplin itu sudah menguasai kita di dalam ilmu-ilmu komunikasi kita.

Saya termasuk orang yang penganut paham post-disiplin ini. Saya datang bukan dari S1 komunikasi, tapi ketika S2, S3, saya sudah berpindah arah ke komunikasi. Pengalaman Prof. Alo juga begitu, Prof. Deddy juga seperti itu.

Bahkan Prof. Deddy itu di disertasinya. tidak bicara tentang komunikasi, tapi S1, S2, beliau komunikasi. Prof. Alu tidak. Prof. Alu itu di S1, kalau tidak salah, masih administrasi. Masih administrasi, kalau tidak salah.

Itu sudah seperti itu. Tetapi di akhir perjalanan kita, kita memilih science communication. Ini menjadi sebuah... sains paradigm yang itu menjadi penting. Saya 25 tahun yang lalu sudah melihat bahwa bidang komunikasi ini menjadi sebuah bidang yang akan berkembang pesat di waktu yang kedat.

Ternyata betul. Sehingga saya dari sosiologi pindah saya ke S2-nya komunikasi. Waktu itu S2 komunikasi belum ada.

Saya ambil komunikasi di Unair, itu namanya ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu sosial tetapi tesi saya bicara komunikasi. Erotika media masa waktu itu. Kemudian... S3, saya mengambil iklan televisi.

Sama juga di ilmu-ilmu sosial. Karena undang-undang itu mengandung paham ilmu-ilmu sosial itu tidak bisa diklasifikasikan. Jadi dia mengatakan, Prof. Tandeo waktu itu mengatakan, mana ada ilmu-ilmu sosial itu bisa dipisahkan.

Semua sama. Nanti dibedakan pada disertasi dan... tesis dan disertasi waktu itu. Saya di Malaysia yang baru spesifikasi mengambil state communication.

Di Malaysia itu prodi saya namanya teknologi multimedia dan komunikasi. Lucu lagi kan, di sana orang-orang multimedia dan orang komunikasi itu menjadi satu prodi. Nanti doktornya...

PSD-nya itu ada PSD komunikasi, ada PSD teknologi komunikasi. Itu seperti itu. Saya mengambil yang PSD komunikasi. PSD komunikasi.

Jadi yang di Malaysia itu saya sudah spesifik mengambil PSD komunikasi. Nah itu sejarah kita itu seperti itu. Nah Bapak-Ibu sekalian kita lihat. Kalau dilihat dari scientific paradigm atau social method paradigm, bahwa paradigma kita ini ada tiga yang paling berpengaruh, dan postmodern masuk di dalam itu. Yaitu ada yang klasik, ada yang kritis, dan ada yang post-positivis.

Ini kalau di metode penelitian, kita akan membahasnya satu persatu. Kita lewatkan saja, ini yang klasik paradigm, yang dikwantitatif, melayani kami dengan metode kuantitatif. Nah ini kalau kita lihat perbandingan paradigma metode pelintian itu seperti ini, ada yang positifism, ada yang post-positifism, ada yang konstruktifism, ada yang critical theory, ada yang disebut dengan participatory.

Nah kita lihat di ilmu-ilmu, di teori-teori sosial yang dibuat oleh Josh. Richard itu dia membagi paradigma ada tiga, ada fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial. Nah kita lihat di Paloma, Paloma juga membuat beberapa model klasifikasi paradigma yang dibagi dari evaluatif, humanistik, dan kemudian naturalistik.

Palomo ini orang pendidikan, sehingga dia mengklasifikasi seperti itu. Nah ini Jagen Hampermas. Ini adalah paradigma Jagen Hampermas, ini adalah tokoh komunikasi kita awalnya, filosof komunikasi, yang dia membagi ilmu itu ada tiga, empiris, historis, hermeneutik, dan sosial kritis. Jadi sebenarnya... Awal mula dari teori-teori komunikasi ini, salah satunya adalah Jagan Habermas.

Nah ini kita lihat juga ada apa namanya, filosof-filosof yang lain. Tetapi Jagan Habermas ini yang membawa sosialologi komunikasi terlepas dari sosialologi. Ya ini Jagan Habermas. Melalui teori tindakan ini. Melalui ini Pak.

Melalui teori tindakan ini. Jadi Bapak Ibu wajib mempelajari epistemologi Jagan Habermas ini ya, di buku Sosologi Komunikasi saya itu, saya bicara tuntas ini dengan Jagan Habermas. Bagaimana dia memisahkan komunikasi dari sosologi. Tikungannya adalah di Jagan Habermas.

Jadi kita harus berterima kasih kepada Jagan Habermas ini karena teori tindakan yang dia buat itu membuat ilmu komunikasi ini menjadi ilmu pengetahuan sendiri yang terlepas dari sosiologi. Sebelum itu, kita melihat bahwa sosiologi, komunikasi itu bagian dari sosiologi. Dari apa?

Dari komunikasi dan kontak. Di sosiologi itu ada... kajian kontak sosial dan komunikasi.

Dan ini itu kemudian terlepas, membuat tikungan sendiri, dibantu oleh Jargen Habermas ini. Sehingga pemikiran-pemikiran teori tindakan ini mempengaruhi apa yang kita kenal hari ini sebagai komunikasi. Sehingga dia masuk ke tindakan komunikatif. tindakan revolusioner emancipaturis.

Nah ini Margon, Baril dan Margon. Ini juga membuat sebuah paradigma radikal. Radikal change.

Dia membuat sebuah paradigma yang kita kenal sebagai paradigma radikal. Lalu di kesempatan lain kita bicara Baril dan Margon ini bisa tiga-empat kali pertemuan. Kalau kita membuat satu perbandingan paradigm, di sana ada Guba, Habermas, Barel, Paloma, Richard, itu kira-kira seperti ini. Jadi kita lihat Habermas itu ada empirik analitik, teori sosial kritik, dan historik. Kita tahu bahwa jargon Habermas ini adalah orang kiri.

Dia orang kiri, sehingga teori-teori dia kita kenal dengan teori kritis. Maka komunikasi itu adalah teori kritis. Ingat ya, komunikasi itu adalah teori kritis.

Saya pernah bertemu dengan seorang teman saya, kemudian dia tahu saya orang komunikasi, dia bilang sama saya, wah ini orang-orang kritis ini, seperti itu, ini orang komunikasi, orang kritis. Memang betul, karena dia mempelajari jargian abermansi. Bapak-Ibu sekalian, kita juga harus paham di dalam studi-studi posmo, kita harus paham juga paradigma interpretive-constructivist ini. Jadi di dalam ilmu-ilmu komunikasi, kita mengenal dekat tentang interpretive dan constructivist.

Hari ini, semua ilmu komunikasi berparadigma interpretive dan constructivist. Hari ini. Nah, interpretive ini bersifat subjektif. Konsortivis itu bersifat subjektif Makanya jangan kaget kalau ilmu-ilmu komunikasi Juga mengembangkan teori-teori Berandaskan pada subjektivitas Di posisi kiri ada objektivitas Di posisi kanan ada subjektivitas Sehingga di dalam teori-teori komunikasi Jangan kaget Ada yang membangun teori dengan asumsi positifis Dengan ajaran positifis Yang objektifis Ada juga ilmu-ilmu nekasi yang dikembangkan dengan aranjalan fenomenologi dengan subjektivis. Bahkan akhir-akhir ini ilmu komunikasi dibangun dengan dua paradigma yang bercampur baru itu, yang kita kenal dengan mixed methods atau post-critical paradigm itu.

Jadi hari ini kita sudah lebih banyak mengkombinasikan paradigma positifis dan paradigma fenomenologi. Paradigma kritis yang kemudian menjadi post-critical paradigm. Begitu, Pak.

Jadi jangan kaget kalau akhir ini kita mengatakan bahwa fenomena-fenomena komunikasi itu menjadi blur. Jadi blur, menjadi tersamar, menjadi jama. Itu kenapa? Karena paradigma pengetahuan realitas sosial kita hari ini itu juga sudah blur itu.

Kita juga mengenal dalam paradigma terutama juga pada riset-riset komunikasi, yaitu kritikal teori paradigm ini. Banyak sekali riset-riset komunikasi yang tidak menggunakan teori sebagai dasar dari riset-riset fenomenologi. Kenapa mereka adalah kelompok kritikal teori paradigm?

Jadi kritikal teori paradigm ini adalah kelompok yang paling kuat di era perkembangan ilmu komunikasi di awal-awal, terutama dari kelompok Jerman, dari kelompok Franz Frut School Jerman. Jadi paling banyak, bahkan kita kenal bahwa aliran Jerman ini adalah yang menguasai dunia. Jadi komunikasi itu juga terpengaruh oleh... Kata kritis tadi itu berangkat dari Jerman, Frankfurt School itu. Akhirnya banyak sekali riset-riset komunikasi juga tidak menggunakan teori, karena di critical teori paradigm ini tidak percaya kepada teori-teori itu.

Sehingga Bapak Ibu Prof. Ati dan Prof. Meneni ada di sini, mungkin juga bisa mempertimbangkan. Jadi saya ketika menjadi kaprodi di kampus saya yang lama, itu saya merubah pedoman disertasi itu menjadi empat model. Kalau selama ini hanya satu model. Ketika saya kemarin ditunjuk jadi kapro di manajemen interperneal, juga pertama sekali yang saya lakukan merubah buku pedoman yang hanya satu menjadi empat, yaitu kuantitatif, kuasi kualitatif, fenomenologi dan mix method.

Itu sebabnya. Dirubah sehingga mahasiswa dan para dosen itu memahami bahwa kita harus, apa namanya, harus buku perdoman disertasi itu kan sebenarnya kitab suci kita kan, di dalam pembimbingan, baik para dosen maupun juga mahasiswa. Tidak boleh hanya satu.

Biasanya yang ditulis itu hanya model... Positivism itu, kuantitatif itu. Saya merubahnya menjadi empat, termasuk mixed method.

Jadi kalau menulis dengan mixed method, bagaimana desainnya? Jelas, seperti itu. Kenapa? Karena ada banyak riset-riset komunikasi itu penganu paham critical theory paradigm.

Tidak menggunakan teori. Banyak kita gunakan saja model Creswell. Creswell yang naratif itu. itu nggak pakai teori.

Yang model fenomenologi nggak pakai teori, Pak. Seperti itu. Jadi kalau Bapak pakai teori, itu paradigma pasti kuasik kualitatif.

Pasti kuasik kualitatif. Jadi hati-hati. Di sana kita harus paham paradigma ini dengan baik. Nah berikutnya, kita lanjut. Ini kalau kita belajar paradigma, kita harus tahu dua...

Kalau saya bilang nabi, tidaklah. Karena mereka lahir di bukan era nabi. Orang-orang besar inilah. Ada yang popor, ada pun.

Jadi kalau popor mengatakan bahwa ilmu ketahuan bukan semata-mata produk kesepakatan sosial. Jadi ilmu komunikasi itu bukan semata-mata produk asosiasi. Jadi SPKOM itu bukan salah satu...

produk ilmu-ilmu menjadi pabrik ilmu-ilmu pengetahuan, ASPICOM itu. Ini pandangan Popper. Tapi kalau pandangan Kuhn, ilmu pengetahuan itu hasil kesepakatan ASPICOM. Kalau kita seperti itu. Tapi kalau Popper tidak.

Jadi ilmu pengetahuan itu berkembang secara evolusioner. Itu Popper bilang seperti itu, karena melalui peneliti. menelui ilmuwan. Tapi kalau Thomas Kuhn, ilmu pengetahuan itu berkembang secara revolusioner.

Kenapa? Karena melalui asosiasi. Sehingga cepat berkembang.

Yang ketiga, perkembangan ilmu pengetahuan melalui subjek peneliti. Itu popper. Tapi kalau Thomas Kuhn mengatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan itu melalui subjek peneliti, anggota ASPICOM. Kalau bukan anggota ASPICOM, nggak boleh mengembangkan ilmu. komunikasi itu seperti itu yang keempat kelima keenam itu nanti dibaca sendiri ya itu tidak terlalu itu perangkat tapi kira-kira seperti ada dua aliran jadi aliran yang percaya kepada asb-as asosiasi ada aliran yang tidak percaya pada asosiasi makanya kita harus harus bebas saja ya ada produk-produk yang bergabung ke asb-kom silakan ada produk-produk yang tidak mau bergabung Asosiasi ya silakan.

Karena ini memang ada jalannya. Ada dua pandangan seperti itu. Jadi tidak semua wajib mengikuti asosiasi, tidak. Jadi asosiasi itu kan hanya organisasi.

Organisasi kita berkumpul saja. Tapi secara ilmu pengetahuan memang seperti itu. Jadi Bapak-Ibu sekalian, begitu banyak paradigma ilmu-ilmu sosial, maka kita... ada yang positifism, post-positifism, ada yang fenomenologi atau kritis atau anti-positifism.

ilmu komunikasi ini, ada juga yang beraliran positivism, post-positivism, ada juga yang beraliran fenomenologi atau aliran kritis, atau beraliran post-kritis itu. Jadi silakan, hanya saja Bapak-Ibu sekalian kita tahu bahwa aliran-aliran positivism itu merupakan aliran ilmu pengetahuan yang klasik, yang lama, mengikuti tradisi yang lama. Kalau Bapak mau modern, masuk ke arah post-positivism atau ke arah kritis.

Terutama disertasi. Disertasi itu memang harus banyak beraliran kritis. Supaya bisa mengkritik teori. Kenapa? Karena positivism itu doktrin dia.

Nanti kita akan lihat, tidak banyak dia mengkritik teori. Kalau mau mengkritik teori, dia harus berpindah ke post-positivism. Tapi kalau kritis, sekarang kita semua kritik, baru menghasilkan teori baru. Bapak-bapak, ibu-ibu DS3 ini kan nanti biasa menghasilkan novelty teori, kan? Jadi mestinya itu masuk di posisi post-positivism atau di paradigma kritis itu.

Supaya bisa menghasilkan teori-teori novelty teori. Jadi kalau kita bagi dua, ada... klasik, ada yang modern. Klasik itu yang positivism, pos-positivism, kemudian yang modern itu yang pos-modern.

Mari sekarang kita lihat bagian kedua. Jadi kalau kita lihat bahwa filsafat kita ini dibagi ada dua. Ada filsafat modern, filsafat timur.

Kemudian kalau filsafat... modern itu kita lebih mengenal Eropa, Yunani kuno, Perancis, Inggris, Jerman, dan sebagainya. Amerika itu yang terakhir, Pak.

Teori Amerika itu ketika ilmu pengetahuan berkembang di Yunani, di Perancis, di Inggris, di Jerman, Amerika itu masih menjadi hutan rimba, tempat pembantaiannya orang-orang asli oleh residivis-residivis dari Inggris itu. Jadi baru saja dia menjadi tanah harapan ketika Amerika itu ternyata banyak emasnya, banyak tambang emas, kemudian orang-orang Eropa bermigrasi ke sana, termasuk juga ilmuwan-ilmuwan Eropa itu juga berpindah ke Amerika, baru Amerika itu berkembang. Jadi kalau dia bilang dia itu polisi dunia, ya kita ketawa kan, karena kita tahu bahwa banyak...

Sekitar 2 juta lebih penduduk asli dibantai oleh residus dari Inggris itu. Yang dulu Bu Tia mungkin waktu kecil nonton film Cowboy itu. Nonton film Cowboy itu merupakan cerita konflik antara orang-orang pendatang dan orang-orang tempatan di sana.

Yang The Wild West misalnya, Pak? Jadi, mengapa mereka selalu menggunakan senjata? Karena mereka residipis.

Orang-orang Inggris itu residipis. Jadi, berperangnya sama orang Indian. Jadi, ilmu pengetahuan belum berkembang di sana.

Yang berkembang di Eropa memang. Hasil dari apa, Bu? Hasil dari perang salib itu.

Hasil dari perang salib itu. Kemudian, ilmu pengetahuan itu. kitab-kitab orang ilmuwan Islam itu diambil bawa ke Eropa, kemudian Eropa berkembang ilmunya. Nah, filsafat timur itu kita kenal Mesir Kuno, Mesopotamia, ini lebih lama, lebih lama lagi.

Mesir Kuno itu, waduh, tahun nggak karuan-karuan ya. Kemudian kita lihat seluruh bangsa-bangsa yang dikuasai oleh Islam. Itu juga... daerah yang kita sebut daerah Mesopotamia. Di Asia ini kita kenal India, Cina, Jawa, itu menjadi pusat dari filsafat timur.

Jawa ini luar biasa, Bu, filsafat timurnya. Mari kita lihat, filsafat itu induk dari pengetahuan. Semua ilmu pengetahuan bersumber dari filsafat. Termasuk komunikasi.

Filsafat sampai saat ini tidak pernah lepas dari konteks. kultural masyarakat di mana ia berkembang. Jadi, filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sosial pertama adalah sosiologi. Belum ada ilmu komunikasi, ilmu politik, ilmu pendidikan, dan sebagainya.

Kajian sosiologi saat itu adalah politik, pendidikan, negara, ekonomi, masyarakat, dan sebagainya. Hari ini sosiologi itu disebut dengan ilmu-ilmu sosial. Termasuk juga komunikasi. Bagian terlepas dari sosiologi itu, karena tadi saya katakan, kemungkinan kajian, kemungkinan tindakan itu membawa komunikasi terlepas dari sosiologi itu menjadi disiplin ilmu sendiri.

Nah, filsafat masa Yunani kuno... Disebut pula sebagai langkah awal pembebasan akal manusia dari kultur mistik yang membelegu potensi-potensi rasional manusia. Kemudian kesadaran baru. Jadi filsafat itu dianggap sebuah hal baru di zaman itu yang terlepas dari pengaruh-pengaruh mistis manusia. Jadi manusia ini, sejak Adam lahir sampai dengan 600 tahun sebelum Masih, dia...

itu kehidupan mereka diatur oleh mistik. Oleh mistik, Pak. Jadi kita kenal cerita orang-orang tua dulu-dulu itu kalau pergi kemana-mana nggak pakai kendaraan.

Yaitu mistik. Dan itu bukan sesuatu yang bohong. Semua pemimpin-pemimpin dunia itu harus punya dukun.

Harus punya dukun. Kita kenal Fir'aun dan sebagainya itu punya dukun. Dukun itu... menteri mereka, penasehat mereka. Kenapa?

Karena di kepala manusia zaman itu ya mistik, kultur mistik. Nah, dan lahirnya 600 tahun sebelum masih, baru orang mengenal Saffa. Dan dari situlah orang mulai mengenal Logos, ilmu.

Jadi mereka meninggalkan mistik berarti kayak Logos. Itu seperti itu ceritanya. ada sejarahnya, saya akan cerita. Jadi, kata kritis adalah kata kunci dari semua filosof sepanjang zaman sampai hari ini. Karena itu kita bersyukur ilmu komunikasi itu bagian dari pandangan kritis itu di dalam ilmu pengetahuan.

Jadi, lahirnya ilmu komunikasi itu dari pandangan kritis. Siapa gurunya? Jargen Habermas itu salah satunya. Dia tokoh kritis. Tokoh ilmu-ilmu kiri, ilmu kritis itu.

Makanya Bapak-Ibu harus tahu posisinya. Tetapi dalam perkembangannya, ilmu-ilmu komunikasi itu tidak selamanya kritis, tetapi juga positifis. Ada juga yang positifis dan sebagainya.

Tetapi substansi dari teori-teori komunikasi itu adalah teori kritis itu. Itu sejalan dengan filsafat. Karena kata kritis ini menjadi kunci dari semua.

Filosof sepanjang zaman. Bernard Russell mendefinisikan filsafat sebagai daerah tak bertuan. Di antara teologi dan ilmu pengetahuan. Jadi kira-kira seperti ini. Jadi filsafat itu berada di sini.

Di daerah tidak bertuan. Di sini ada teologi, di sini ada pengetahuan. Jadi filsafat itu semakin tinggi, semakin tidak ada garis ini, Pak.

Kalau saya teruskan, dia akan melingkar ke sini. Jadi pengetahuan itu sebenarnya ada batasnya. Teologi juga begitu.

Saya tarik, masih belum kumul ke sini. Artinya bahwa teologi itu terbatas pada agama-agama mereka sendiri. Pengetahuan juga terbatas pada kajian-kajian. Tapi filsafat semakin tinggi, semakin terbuka. Seperti itu.

Jadi kemudian kita lihat, kalau kita mempelajari filsafat dalam kajian ilmu, Kita cukup mempelajari empat hal ini, termasuk juga filsafat ilmu komunikasi. Kita bicara definisi, sistematika, tokoh dan aliran, sejarah. Itu sudah clear semua. Kita sudah paham betul posisi filsafat komunikasi.

Tapi tentu hari ini tidak bisa saya bicarkan semua. Ini materi satu semester mestinya. Jadi kalau dari pendekatan, kita mengenal ada pendekatan definisi. Kalau dalam pendekatan sistematik, kita mengenal bahwa filsafat itu berangkat dari pertanyaan Immanuel Kant tentang persoalan substansi ada.

Jadi kalau kita lihat di sini, ada itu ontologi, ada itu metafisika, kemudian ada ilmu pengetahuan dan nilai. Jadi yang kita kembangkan dalam sebuah pengetahuan, itu adalah substansinya adalah ini. Lanjut, Pak, kemudian... Pendekatan melalui toko dan aliran. Ini mungkin saya bisa menjelaskan sedikit bahwa ini penting untuk dipahami karena dia akan mempengaruhi aliran-aliran kita di sana.

Jadi seperti kita lihat, René Descartes, Spinoza, Lipnis, mereka ada pelopor aliran rasionalis. Aliran rasionalis ini sebuah aliran yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan itu berasal dari akal pikiran manusia. Segala sesuatu yang bukan bersumber dari akal pikiran manusia, bukan pengetahuan.

Karena itu, sebenarnya dari sini tidak ada yang komunikasi, komunikasi saya bilang, ada yang menggunakan komunikasi agama. Itu tidak ada, Pak. Karena agama itu bersumber dari wahyu.

Kalau melihat pendangan aliran rasionalisme ini. Ada lagi apa ya? komunikasi selupa itu yang bersifat dengan apa namanya mistik itu Pak jadi tidak ada Pak jadi yang disebut ilmu pengetahuan itu bersumber akal pikiran Jadi kalau ada yang katakan bahwa ilmu pengetahuan ilmu-ilmu komunikasi itu komunikasi ritual nggak ada Pak seperti itu itu bukan ilmu yaitu ngelmu lah gitu ya bukan Bukan ilmu komunikasi.

Jadi teman-teman itu menggunakan istilah-istilah ini, ini mereka tidak paham tentang kesehatan ilmunya, sehingga menggunakan istilah-istilah yang salah. Kemudian yang kedua, kelompok David Hume, John Locke, dan Berkeley, mereka mengembangkan aliran empirisem. Ini aliran empirisem yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu berdasarkan pengalaman komunikasi.

mengembangkan ilmu pengetahuan dari pengalaman. Pengalaman berinteraksi dengan orang, pengalaman berinteraksi dengan kelompok, dan sebagainya. Terutama Prof. Neni dan Prof. Ati ini, konsentrasi kepada PR, PR itu berangkat dari pengalaman hidup bersama orang lain.

Aliran empirisem. Mestinya beliau ada aliran empirisem. Nah kemudian, Ariran kritisem. Ini yang dipelopori oleh Immanuel Kant. Ariran rasionalisem dan empirisem itu berkelahi.

Mereka bersaing. Saling mengolok-olok. Kemudian lahir ariran kritisem.

Ini menggambungkan antara rasionalisem dan empirisem. Immanuel Kant mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu pertama kali berasal dari pengalaman. Kemudian...

diramu menjadi sebuah pengetahuan oleh akal pikiran manusia. Atau bahkan pengetahuan juga bisa berasal dari pikiran orang dan kemudian dikombain dengan pengalaman di lapangan. Dari ajaran kritisem ini, maka penelitian kita hari ini harus menggambungkan arah deduktif dan induktif.

Selalu seperti itu. Ada teori, ada pengumpulan data. Ini karena alirannya Immanuel Kant.

Kalau tidak begitu, dibilang bukan riset. Nanti kita lihat lagi riset dan prosedur penelitian itu di pembahasan lain. Jadi, fenomenologi itu bukan metode penelitian, tapi prosedur penelitian.

Yang namanya metode penelitian itu akan menjadi kajian ilmiah, sedangkan prosedur penelitian menjadi kajian filsafat. Jadi, kualitatif itu menjadi kajian filsafat, bukan kajian ilmiah. Karena itu kualitatif bukan ilmiah. Tetapi karya filsafat lebih tinggi dari kajian ilmiah.

Kualitatif itu lebih tinggi dari kuantitatif. Karena memang penempatannya seperti itu. Denzin mengatakan bahwa semua peneliti kualitatif adalah filosof. Itu Denzin yang katakan seperti itu.

Sehingga kajian kualitatif itu satu tingkat lebih tinggi dari kuantitatif. Kalau kuantitatif menghasilkan ilmuwan-ilmuwan, Kalau kualitatif, menghasilkan filosof-filosof. Wah, itu Pak. Jadi lebih tinggi lagi ya. Nah, yang keempat itu aliran idealisme.

Nah, aliran idealisme dari Hegel, Pixer, dan Schelling ini mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu adalah proses mental, proses psikologis yang sifatnya subjektif. Nah, karena disinilah makanya kita lihat bahwa ada juga aliran-aliran ilmu pengetahuan yang mengembangkan ilmu pengetahuan dari subjektivitas. Jadi jangan salah, tidak semua ilmu pengetahuan itu dibangun dari...

positifis, objektifitas. Ada ilmu pengetahuan yang dibangun dari subjektifitas. Ini alirannya idealisme.

Idealisme dan fenomenologi nanti. Seperti itu. Jadi selama ini kita salah kemudian berpikir bahwa semua ilmu itu dikembangkan, dibangun dari objektifitas.

Tidak zaman dulu banyak yang mengembangkan ilmu dari idealisme ini. Jadi Hegel itu membangun pengetahuan dari... subjektivitas.

Makanya jangan kaget kalau hari ini para ilmuwan, para mahasiswa, mahasiswa S3 kita itu juga mengembangkan risetatimu mereka dengan subjektivitas. Dan dari subjektivitas itu menghasilkan teori. Ada yang bertanya sama saya, Pak, bagaimana kita mengembangkan teori dari subjektivitas?

Kamu bertanya dengan kacamata kuantitatif ya, saya bilang. Kuantitatif membangun teori dari objektivitas. Tapi kalau kualitatif membangun teori dari subjektivitas, ada caranya.

Jadi Anda bertanya dengan kacamata yang keliru, seperti itu. Jadi tidak semua teori itu dibangun dari objektivitas. Tapi banyak hari ini hampir seluruh ilmu pengetahuan membangun teori dari subjektivitas.

Karena sudah masuk ke arah tadi post-critical itu. post-critical paradigm. Ini yang aliran vitalism. Aliran vitalism ini aliran yang aneh.

Ini yang biasanya dipakai untuk mistik-mistik. Jadi ini kelompoknya Bergeson, Schopenhauer, Nietzsche. Ini aliran lain.

Mereka mengatakan bahwa fisik itu tidak bisa dilihat secara mekanistik. dan deterministik saja, tapi bisa berkembang sesuai dengan keinginan seseorang. Jadi orang yang berubah menjadi harimau, itu filsafatnya ini, Pak. Vitalisme.

Dan itu ada ilmunya. Di desa saya, di desanya Prof. Alo, itu orang berubah jadi suwangi, Pak. Jadi babi. Orang berubah jadi babi. Kalau di Jawa, Itu orang berubah jadi, di Jawa dan Sumatera, itu orang berubah menjadi harimau.

Harimau seperti itu. Itu bukan omong kosong. Filsafatnya adalah vitalisme.

Saya belajar tenaga dalam, makanya saya tahu. Jadi kita bisa berubah menjadi monyet, bisa berubah menjadi serigala, itu sesuatu yang... Makanya ada film orang berubah jadi serigala itu, Pak.

Dulu ada film di TVRI yang namanya Menimel itu. Seorang dokter... doktor yang berubah bisa berubah jadi harimau ini filsafatnya ini Pak jadi Ibu Eka itu bisa berubah jadi jadi apa hari mau belajar Bu ada yang kita dengar dulu babi ngepet itu bukan kosong ada ilmunya ini filsafatnya vitalisir filsafat berisim Ini yang terakhir, yang ke-6, disebut aliran fenomenologi. Aliran fenomenologi ini dipelopori oleh Husserl, Heidegger. Mereka ini adalah murid-muridnya Hegel.

Kemudian mengembangkan fenomenologi ini sehingga fenomenologi ini menjadi aliran utama dari aliran kualitatif itu yang kita kenal. Ini aliran filsafat fenomenologi. Mereka mengatakan bahwa ilmu pengetahuan ilmu pengetahuan semua realitas sosial itu dibangun karena ada kesadaran.

Jadi ada kesadaran yang mendorong akhirnya ilmu sosial itu. Oke, ini kita lihat, kita lanjut ya. Kita lanjut karena waktunya pasti nggak cukup kalau dilihat satu-satu. Kita berterima kasih kepada Pak Ambuskom ini karena beliau mengembangkan sosiologi dan sosiologi ini melahirkan ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu komunikasi kita hari ini, yang kita pelajari itu berasal dari sosiologi Pak Agus Kom ini. Dari mana?

Itu berasal dari ajaran Socrates, atau Aristoteles, yang melahirkan filsafat sosial. Kemudian filsafat sosial itu ditarik oleh Agus Kom ini menjadi sosiologi, menjadi ilmu sosial. Dan kemudian para Jargen Habermas menarik komunikasi itu keluar dari sosiologi itu menjadi...

komunikasi. Nah, di abad pertengahan kita mengenal ajaran-ajaran teosentris. Ajaran-ajaran teosentris di mana ilmu-ilmu pengetahuan bersumber pada wahyu.

Makanya kita kenal bahwa semua di Eropa itu pendeta, ilmuwan itu adalah pendeta. Di dunia Islam, para imam-imam itu menjadi ilmuwan. Mereka filosof dan ilmuwan. Itu seperti itu Pak.

Kenapa? Karena ada 10 abad. 10 abad pandangan dunia mengatakan bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari bawah. Dan disinilah makanya Galileo itu harus dibunuh. Karena pandangan dia bertentangan dengan pandangan gereja.

Sehingga gereja takut, penguasa takut, gereja takut jangan sampai ajaran-ajaran Galileo ini menyesatkan masyarakat. Sehingga harus dibunuh. Begitu juga Socrates zaman itu. Itu Bapak-Ibu sekalian. Indonesia kita kenal seksitijenar.

Seksitijenar itu harus dibunuh. Itu keputusan Dewan Wali. Kenapa ajaran-ajaran seksitijenar itu dipandang oleh Dewan Wali, itu akan menyesatkan umat.

Makanya itu harus dibunuh. Jadi ini perbedaan-perbedaan paradigma ini bahaya sekali ya. Ahmadiyah dikejar-kejar itu karena perbedaan paradigma dengan alisunan wal jamaat. Seperti itu ya.

Jadi di Eropa kita kenal para pendeta-pendeta ini mereka semua adalah para ilmuwan. Kita kenal Saint Augustinus, kalau di dunia Islam, Al-Farabi, Ibn Rushd, dan sebagainya itu. Filsafat menjadi abdi dari teologi di mana pemikiran-pemikiran filosofis digunakan untuk mendukung kebenaran wahyu.

Coba bayangkan. Jadi pikiran-pikiran wahyu itu hanya dipakai untuk mendukung kebenaran wahyu. Menurut saya, inilah yang paling betul. Tapi menurut ajaran-ajaran filsafat modern, ilmuwan modern, tidak betul.

Kenapa? Karena Aguskom memberi dasar kepada riset ilmiah, pengetahuan ilmiah itu harus positifisem, bersumber dari akal pikiran manusia. Saya sebagai umat beragama, saya lebih cocok dengan era ini, era modern ini, bahwa ilmu pengetahuan ini bersumber dari wahyu.

Tapi dipersalahkan oleh kelompok-kelompok modern, terutama aliran yang dibawa oleh Agus Komit. Jadi kemudian filsafat modern ini di abad 17-19 berkembang dan nantinya menghasilkan dengan renaissance. Renaissance ini kelahiran kembali. Yaitu kalau kita lihat kelahiran kembali begini, kira-kira seperti ini.

Jadi pertama kali Yunani Kuno. kurang lebih 600 tahun sebelum Masihi, orang meninggalkan mistik, beralih ke Logos. Kemudian abad pertengahan, 300 tahun sebelum Masihi sampai 1300, dari Logos ke Wahyu. Orang ke Wahyu tadi itu ya. Maka pendeta, imam itu menjadi ilmuwan semua.

Kemudian kejayaan Islam di zaman ini juga mengadopsi cara berikut ini, Logos ke Wahyu. kira-kira 9-13 kemudian filsafat modern itu merubah wahyu ke akal pikiran dengan pemikiran-pemikiran sekuler sekuler mereka dari wahyu ke akal pikiran sampai hari ini, kemudian Agus Kong juga berpandangan bahwa akal pikiran itu harus berandaskan pada observasi, jadi ilmu pengetahuan harus berandaskan pada hasil pengamatan sampai hari ini. Alam simbolis, alam postmodern, hari ini semua menggunakan akal pikiran manusia. Jadi kira-kira seperti itu. Perkembangan sumber pengetahuan manusia.

Kita kenal di zaman ini René Descartes dan sebagainya. Kita lanjut ke Agus Kom ini. Jadi Agus Kom inilah membawa pandangan positifism kepada kita. Kemudian kita mengenal bahwa ada... kriteria positifism, yaitu explanatoris dan prediktif.

Jadi ilmu-ilmu ilmiah itu harus berlandaskan pada explanatoris dan prediktif. Jadi kalau ilmu komunikasi yang berlandaskan kepada positifism, itu bersifat explanatoris dan prediktif. Sedangkan hari ini, ilmu-ilmu komunikasi tidak saja berlandaskan pada positifis, tapi berlandaskan juga pada fenomenologi.

Hari ini kita lihat bahwa pendangan positifisme di dalam ilmu pengetahuan, termasuk ilmu komunikasi, menyebabkan ilmu komunikasi itu harus punya objek. Dia harus objektif. Teori-teori komunikasi harus objektif. Yaitu teori-teori komunikasi tentang semesta harus bebas nilai. Nggak boleh bicara buruk.

Jadi kalau Pak Asep itu melakukan penelitian terhadap kelompok-kelompok kelompok-kelompok riskan atau kelompok-kelompok sensitif di dalam kehidupan sosial, terutama orang-orang pengedar narkoba dan sebagainya, mempelajari bagaimana model interaksi mereka, Bapak tidak boleh mengatakan bahwa kehidupan mereka itu baik-buruk. Tidak boleh. Bapak harus bebas nilai. Tidak boleh membicarakan baik-buruk. Tetapi bahwa komunikasi yang dikembangkan itu fungsional atau tidak fungsional.

Bicara fungsi, bukan bicara nilai. Jadi objektif itu bicara fungsi. Kemudian berikutnya, fenomenalisme.

Bahwa ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan komunikasi itu hanya bicara tentang yang kelihatan saja. Yang tidak kelihatan tidak bicara. Itu nanti dibicara di kiosafat yang lain. Tapi filsafat positifisme itu mengajarkan bahwa ilmu komunikasi itu hanya lihat yang tampak saja. Bagaimana kalau Bapak membentak seseorang, reaksi psikologi seorang, bagaimana?

Dia menangis, dia tertawa, itu saja yang tampak. Jadi pola-pola komunikasi yang kita bangun itu, dalam komunikasi kita, itu yang terlihat saja. Itu yang kemudian bisa dideskripsikan.

Sedangkan di balik itu tidak. Tidak kemudian menjadi sebuah fenomenalisme. Kemudian reduksionisme. Reduksionisme ini mengatakan bahwa segala semua pengetahuan kita ini harus direduksi dengan fakta. Fakta keras.

Jadi kalau kita bilang bahwa dunia ini bundar, bulat, maka ada yang namanya globe itu. Globe itu merupakan reduksi dari bumi ini bundar. Kalau Bapak mengatakan bahwa saya sedang mengembangkan komunikasi persuasif, itu harus ada reduksinya.

Komunikasi persuasif itu reduksinya apa? Modelnya apa? Bendanya itu apa? Makanya buku, disertasi itu adalah reduksi dari Bapak-Bapak ini kuliah di program dokter atau S2, tesis. Disertasi itu adalah reduksi dari beberapa tahun Bapak belajar di sana.

Kemudian naturalisme. Naturalisme ini merupakan teori-teori yang dikembangkan oleh positivisme yang mengatakan bahwa semesta ini adalah objek yang berkaitan dengan arah jam. Jadi kalau buah apel itu dari atas jatuh ke bawah. Nah itu yang disebut naturalisme. Bukan buah apel itu jatuh kemudian melayang-layang.

Itu bukan naturalistik. Cerita di Surabaya itu, Bu, ada seorang yang namanya Sakerah. Sakerah ini kalau ditembak oleh Belanda, mati, nanti malam hidup lagi.

Kena embun, malam hidup lagi. Nah, Sakerah ini bukan naturalistik. Ini penganut paham lain. Orang kalau ditembak, mati, atau kepalanya dipotong, Dari badan, ya mesti mati kan.

Nah, sakhira malam hari, hidup lagi lho Pak. Walaupun sudah dipotong seperti itu. Nah, ini bukan naturalistik. Nah, positifis memiliki pengaruh yang amat kuat terhadap berbagai disiplin ilmu, termasuk kuantitatif hari ini, sampai dewasa, sampai hari ini.

Jadi kuantitatif itu sangat kuat sekali. Walaupun sudah zaman dulu, sudah... bukan zamannya lagi. Kuantitatif itu sudah era klasik, sudah bukan zaman lain. Tapi hari ini masih kuat, melekat di pikiran-pikiran para guru-guru besar kita, para dokter-dokter kita, sehingga mereka mengajarkan yang positifisem ini kepada murid-muridnya itu terus begitu ya.

Tetapi di seberang sana sudah menghadang apa yang disebut dengan pandangan kritis itu, fenomenologi atau post-kritikal tadi itu. Jadi ini ada pertarungan paradigma di dalam ilmu komunikasi ini. Ada yang positivism, ada yang fenomenologi, ada yang post-kritikal.

Terutama bahwa komunikasi ini dikembangkan dengan tradisi post-kritikal. Lahirnya komunikasi ini dari teori-teori kritis, tetapi juga dipengaruhi oleh positivism. Nah, ini yang membuat positivism itu sampai hari ini.

dipegang tegung. Karena ada doktrin. Doktrin positifis.

Jadi kuantitatif itu, Pak, itu karena kekuatannya di doktrin. Doktrin paradigma. Ini doktrin paradigma mereka. Satu, klaim kesatuan ilmu.

Ini doktrin mereka. Ilmu-ilmu sosial, ilmu manusia dan ilmu-ilmu alam, termasuk juga komunikasi, berada di bawah payung paradigma yang sama, yaitu paradigma positifis. Ini doktrin, Pak. seperti itu. Kemudian dokter yang kedua, klaim yang kedua, kesatuan bahasa.

Bahasa perlu dimurnikan dari konsep-konsep metafisis dengan mengajukan parameter verifikasi. Jadi ilmu pengetahuan itu akan dibilang sebagai ilmu pengetahuan kalau bisa diverifikasi. Padahal tidak semua pengetahuan bisa diverifikasi.

Yang bisa diverifikasi hanya kuantitatif. Kualitatif tidak bisa diverifikasi. Bagaimana Butia mengklasifikasi Sargen Haberman, eh, Sargen, Sargen ya, Waini Sargen, waktu itu dia melakukan penelitian di Dhani, kemudian Butia membaca sirisnya di hari ini, Butia, soal mau, saya mau verifikasi ini, bisa dia, bagaimana?

Realitas sosialnya sudah berlalu. bahkan Pak Abahoro sendiri sudah meninggal. Tidak bisa diverifikasi.

Tapi di kuantitatif bisa diverifikasi. Ini doktrin. Kemudian klaim yang terakhir, klaim kesatuan metode. Metode verifikasi bersifat universal. Jadi metode penelitian itu, ilmu-ilmu sosial apapun, termasuk komunikasi, yaitu kuantitatif.

Masih seperti itu. Nah ini doktrin. Hari ini tidak demikian.

Saya bertemu dengan Prof. Sugiono. Prof. Sugiono itu teman akrab kami. Kita sama-sama di satu asosiasi, Asosiasi Dosen Metodologi Penelitian.

Dia bilang sama saya begini, Dik, kuantitatif itu kuno. Loh, kaget saya. Loh, kok bisa, Prof? Nah, itu lahir sejak zaman Agus Komet, dia bilang. Kalau mau modern, ya sampean itu.

Kalau mau modern, ya dia tunjukin saya. Ya, kualitatif itu. Kalau mau modern lagi, ya mix method, dia bilang. Nah, itu props. Tapi saya ketika menulis buku, saya tidak menggunakan istilah kuno.

Saya menggunakan istilah klasik. Metode-metode kuantitatif itu klasik. Karena eranya lampau. Seperti itu, Bapak Ibu.

Tapi sampai hari ini masih kuat bertahap. Nah, kemudian kita lewat. Kita lewat saja. Ini nanti di tempat lain baru kita bicara.

Oke, mari. Disiplin ilmu komunikasi. Jadi, Bapak-Ibu sekalian, objek komunikasi, ilmu komunikasi itu ada dua.

Semua ilmu pengetahuan, itu ada dua. Yang disebut objek material dan objek formal. Nah objek materialnya siapa? Manusia.

Ilmu koneksi ini dipakai untuk manusia, bukan pakai jin, bukan dipakai untuk jin, tidak, untuk manusia. Karena itu yang menggunakan, yang menjadi subjek ilmu koneksi manusia. Nah objek formalnya baru kita bagi menjadi dua. Objek umum itu interaksi sosial, media interaksi komunikasi, dampak teknologi, media...

media komunikasi, dan lain-lain, silahkan Bapak kembangkan. Dan objek spesifiknya, kita kenal komunikasi, pesan, receiver, kanal, efek media, dan sebagainya. Dan ini bergerak.

Objek formal ini bergerak. Bisa bertambah, bisa berkurang. Karena sesuai dengan perkembangan zaman.

Jadi Bapak-Ibu sekalian harus paham kalau belajar ilmu komunikasi. Ilmu komunikasi itu punya dua objek. Satu objek material dan objek formal. Objek material pasti manusia.

Karena manusia... yang menggunakan ilmu komunikasi. Nah, objek formalnya baru kita lihat bagaimana aspek manusianya itu, yaitu interaksi sosial, media interaksi komunikasi, dampak teknologi, media, dan Bapak-Ibu boleh tambah di sini ya, kemudian objek spesifik yang kita kenal dengan teori-teori komunikasi itu, seperti komunikan, pesan, receiver, kanal, efek media, dan sebagainya.

Dan ini pun bergerak, bertambah. Akhir-akhir ini juga realitas sosial berkembang, sehingga objek formal ini tidak baku, tetapi dia selalu berkembang, seirama dengan perkembangan realitas sosial. Realitas sosial komunikasi. Nah, di dunia, paling tidak di Indonesia, paradigma ilmu komunikasi itu, tiga ini yang paling berpengaruh. Satu paradigma teori komunikasi linier, orang yang berpendangan bahwa teori komunikasi itu harus linier, S1 komunikasi, S2 komunikasi, S3 komunikasi, begitu terus.

Tapi sesungguhnya di dunia ini, perkembangan ilmu pengetahuan yang linier ini semakin terbatas. Nanti di akhirnya kita akan lihat, dia akan masuk di teori tradisional, paradigma teori komunikasi. Kemudian, Ada lagi yang kedua yang namanya teori komunikasi multilinear atau disebut dengan post-disiplin ini. Nah ini yang paling berkembang di Indonesia hari ini.

Yang paling berkembang di Indonesia hari ini. Dan yang ketiga, paradigma teknologi media komunikasi. Bahwa teori-teori komunikasi di dunia ini, paling tidak di Indonesia, berkembang seirama dengan mengikuti arah perkembangan. teknologi media komunikasi.

Saya hari ini tidak lagi menggunakan istilah teknologi informasi dan komunikasi. Itu sudah tidak pas hari ini. Saya lebih cocok menggunakan TMK, teknologi media komunikasi. Karena kita tidak bisa memisahkan antara teknologi media informasi dan komunikasi. Teknologi...

Informasi mengarah ke media-media komunikasi. Selalu seperti itu. Makanya tadi saya katakan, kenapa prodi saya di Malaysia itu, nama prodinya itu adalah teknologi multimedia dan komunikasi. Karena tidak bisa dibisarkan. Semua perkembangan teknologi berkaitan dengan komunikasi manusia.

Semua perkembangan teknologi informasi, maksud saya. Itu berkaitan dengan media komunikasi manusia. Itu seperti itu.

Nah, kita lihat Stephen Littlejohn, dia membuat tradisi, dalam buku dia yang terakhir juga, dengan apa namanya, Foss dan Otzel, dia masih tetap menggunakan istilah tradisi teori komunikasi. Itu ada tujuh. Yaitu, Tradisi semiotik, tradisi fenomenologikal, tradisi cybernetik, tradisi sosial-psychologikal, tradisi sosial-kultural, tradisi kritikal. Dia masih menggunakan tradisi kritikal, karena kritikal ini merupakan ruh dari teori-teori konflikasi.

Dan yang ketiga tradisi retorikal. Nah tradisi retorikal ini nanti kita lihat siapa yang memproporinya. Bapak-Ibu sekalian, kita juga selain Jagera Habermas, kita juga mengenal Adorno. Adorno ini juga bicara awal tentang komunikasi, tapi yang dibicara adalah sistem sing di dalam bahasa.

Sistem sing itu apa, Pak? Pesan, ya. Sinyal, ya. Sistem pesan atau sinyal di dalam bahasa.

Karena itu... Kita mengenal teori-teori ini dari Césur dan lain sebagainya. Tapi Adorno ini kita juga kelompokkan sebagai kelompok orang yang memberi warna terhadap perkembangan teori-teori komunikasi. Karena itu kita kenal seperti ilmunya Pak Alex Sogur, yaitu semiotika komunikasi, termasuk ilmu saya tentang konstruksi sosial, media masa itu melihat. Bagaimana sistem pesan ini disampaikan.

Tetapi konservasi sosial itu mengadopsi teori-teorinya Peter Berger dan Lachman. Kemudian kita mengenal teori tindakan yang tadi saya sebut, yaitu jargon Habermas. Jargon Habermas mengembangkan teori tindakan, membawa sosiologi ke komunikasi. Kemudian kita lihat sekarang paradigma komunikasi post-disiplin. Diceritakan oleh Weisbord.

Jadi ini bukan cerita saya, post-disiplin ini. Kita sudah lama mengenal paradigma komunikasi multilinier. Jadi ilmu itu berkembang menjadi dua, Pak. Satu secara linier, satu multilinier. Tetapi Weisbock menggunakan istilah post-disiplin.

Di dalam buku dia, yang terakhir, saya secara tidak kebetulan, secara kebetulan beberapa waktu, kemudian main-main di toko buku yang sering saya hampiri kalau saya di Kuala Lumpur, yaitu Konikinia di Menara Berkembar. Ternyata dapat ini, buku yang ditulis oleh Silvio Weisbock ini, yaitu komunikasi post-disiplin. Saya baca kemudian masuk ke dalam pemikiran bahwa komunikasi disiplin ini merupakan teori-teori komunikasi yang multilinear.

Jadi, klop, selama ini kita mengatakan bahwa komunikasi itu berkembang secara tradisional, secara linier. sehingga dia kita katakan berkembang secara tradisional, tapi juga multilinear, tapi tidak ada dasarnya. Baru kemudian Westbrook ini dia menulis dengan post-disiplin ini, ini menjadi dasar dari multilinear itu.

Sehingga hari ini Bapak-Ibu sekalian, jadi kalau kita teruskan ke sini, ini penjelasannya panjang lebar, kita lihat di sini, ilmu konekasi itu dihimpun oleh dua disiplin ini. Satu disiplin tradisional. yang kita kenal sana broadcasting, public relations, media, efek media, markom, dll. Itu masuk di dalam disiplin tradisional ilmu-ilmu komunikasi.

Itu dikembangkan dari zaman dahulu kali, Pak. Dari tradisi SOR, dll. Itu adalah tradisi disiplin.

Disiplin tradisional ilmu komunikasi. Tetapi yang disebut dengan multilinear oleh Weisbord mengatakan post-disiplin itu, itu yang kita kenal seperti komunikasi pariwisata, komunikasi kesehatan, komunikasi kebijakan, sosiologi komunikasi, ini semua adalah post-disiplin. Jadi disiplin tradisional itu artinya begini, disiplin ini dikembangkan berdasarkan pada tradisi-tradisi komunikasi, dari waktu ke waktu. Sedangkan post-disiplin ini, adalah teori-teori komunikasi yang dikembangkan di era posmo.

Di era posmo. Jadi teori-teori komunikasi posmo itu adalah post-disiplin. Tidak bisa lagi mengadopsi teori-teori tradisional, Pak. Teori tradisional itu mengalami jalan buntu kalau tidak dikembangkan dengan teori-teori lain yang berasal dari disiplin-disiplin ilmu lain. Dan justru di sinilah, ini tradisi Amerika.

Post-disiplin ini tradisi Amerika. Amerika itu mengapa begitu cepat perkembangan ilmu pengetahuan di sana? Karena mereka penganut paham post-disiplin. Multilinear. Jadi ilmu itu kalau linear saja itu tidak berkembang.

Tapi kalau dia multilinear, dia kemudian bercabang-cabang. Nah hari ini kita lihat dua disiplin ini dalam ilmu ponegasi itu berkembang semara. Bahkan saya melihat bahwa post-disiplin jauh lebih semara perkembangannya bila dibandingkan dengan disiplin tradisional itu. Bahkan ada beberapa kajian komunikasi, umpamanya broadcasting. Itu yang dianggap bahwa ke depan itu sudah tidak laku lagi, kecuali kita ubah menjadi digital broadcasting.

PR itu di waktu akan datang sudah tidak laku lagi, kecuali dirubah menjadi digital PR. Ya, seperti itu. Ya, markom iklan itu ke depan semua orang bisa bikin.

Jadi, terubah menjadi digital markom. Makanya di fakultas saya, Pak, mulai tahun depan, itu sudah berubah. Ya, menjadi digital PR, digital broadcasting, dan digital cinematography.

Karena dianggap... bahwa ini sudah mengalami jalan berikutnya. Semua orang bisa bikin film, semua orang bisa jadi PR, semua orang bisa mem-broadcast pesan-pesan dia di media.

Jadi kalau kita tidak merubah disiplin ini menjadi sesuai zaman ini, suatu saat ditinggal. Saya mendapatkan satu asir riset yang mengatakan dari, tapi bukan di Indonesia, di luar negeri. Asir riset mengatakan salah satu... Disiplin yang mahasiswanya kecewa adalah komunikasi.

Angkanya 27%. Ini saya cerita, saya dekan pautas komunikasi. Makanya saya prihatin ini. Tetapi, ada tetapinya.

Mengapa mereka bilang kecewa? Karena dikatakan bahwa ilmu komunikasi itu terlalu umum. Jadi kalau kita belajar ilmu komunikasi, itu terlalu umum. Makanya...

lebih baik di spesifik. Ke digital broadcasting, digital PR, itu lebih cocok. Dan ketika Prodis saya hari ini membuka tiga konsentrasi itu, semuanya digital, itu jumlah mahasiswanya naik tinggi sekali. Karena orang tua itu paham.

Digital broadcasting, digital PR itu ngerti. Tapi kalau hanya ilmu komunikasi, bingung. Orang tua ngomong sama saya.

datang ke kampus, kemudian ngomong sama saya. Saya itu bingung, Pak. Anak saya ini mau ngotot belajar di komunikasi, ilmu komunikasi itu apa, Pak? Nah, mereka nggak paham. Tapi kalau sudah bilang digital PR, nah baru paham, Pak.

PR, kemudian broadcasting itu, Pak. Nah, untuk itu perlu sentuhan-sentuhan dari post-disiplin ini. Makanya di luar sana berkembang disiplin, disiplin, post-disiplin, yang ini menjadi... masa depan kita, masa depan ilmu komunikasi. Demikian, Bapak-Ibu sekalian, mungkin waktunya, ya pas, 9-15 menit ya.

Saya ambil yang penting-penting saja, ada sisa 15 menit untuk kita diskusi. Terima kasih.