Beberapa pekan belakangan ini nilai mata uang Garuda atau rupiah terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat hingga hampir menembus Rp16.500. Bank Indonesia sebagai bank sentral yang berperan vital dalam menjaga stabilitas sistem keuangan pun mengambil beberapa langkah untuk mengeram laju rupiah agar tidak semakin anjlok. Lantas seperti apa dampaknya jika dolar Amerika Serikat ini tembus di angka Rp17.000 dan apa saja obat kuat yang harus dimiliki mata uang Garuda ini agar nilai tukarnya tidak anjlok. Kita akan bahas dalam dolar Amerika Serikat bisa tembus 17 ribu. Apa yang akan terjadi?
Kita lihat selet yang pertama. Ya, nilai tukar rupiah belakangan ini kian anjlok terhadap dolar Amerika Serikat. Hal ini bahkan disebutkan rupiah melemah yang terparah sejak krisis moneter tahun 1998. Nilai tukar rupiah atau kurs rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan Jumat pekan kemarin ditutup turun, salah satunya karena dipengaruhi sentimen pembangkasan suku bunga acuan AS.
Pada akhir perdagangan Jumat kemarin, rupiah melemah 20 poin atau 0,12% menjadi Rp16.450 per dolar AS dari penutupan perdagangan sebelumnya yaitu Rp16.400. Rp30 per dolar AS. Sebelumnya nilai tukar rupiah kalau kita lihat terhadap dolar AS pada pertengahan Jumat 14 Juni 2024 ditutup perosot menyentuh angka Rp16.412. Nilai ini disebut menjadi terendah sejak krisis moneter 1998 ketika rupiah jatuh ke Rp16.650.
Mei 1998 dikenang oleh masyarakat Indonesia lewat berbagai peristiwa kelam yang terjadi saat itu. Salah satunya adalah krisis moneter yang menghantam Asia Tenggara sejak awal tahun yang berdampak buruk pada perekonomian Indonesia termasuk anjloknya nilai tukar rupiah. Saat itu sistem keuangan Indonesia yang lemah dan juga rentan, tentunya dengan keteggergantungan yang besar pada modal asing, menjadikan Indonesia sebagai sasaran empuk krisis tersebut.
Spekulasi terhadap nilai tukar rupiah semakin meningkat, ditambah dengan beban utang luar negeri swasta yang membebani dan sistem perbankan yang rapuh. Puncak krisis terjadi pada Mei 1998. Ketika rupiah mengalami penurunan nilai yang drastis, mencapai titik terendahnya dari Rp2.500 menjadi Rp16.800 per dolar AS. Kejadian ini membuat investor kehilangan kepercayaannya terhadap perekonomian Indonesia dengan dampak yang merugikan seperti lonjakan harga barang dan juga jasa yang memicu inflasi hingga 78%, kegiatan ekonomi yang lumpuh, banyaknya perusahaan yang bangkrut, dan peningkatan angka pengangguran. Lantas apa yang akan terjadi nantinya jika dolar Amerika Serikat ini tembus ke 17.000 rupiah?
Kita akan lihat slide berikutnya. Ya, apa yang akan terjadi? Kita lihat ekonom senior yang juga merupakan guru besar Fakultas Ekonomi dan juga Bisnis Universitas Indonesia, Thelisa Aulia mengingatkan ya, pemerintah dan juga otoritas monitor untuk tidak membiarkan kurs rupiah tembus di level 16.500 rupiah per dolar Amerika Serikat.
Thelisa mengatakan bila level psikologis itu tembus dari saat ini di kisaran... atas Rp16.400 per dolar AS, ini akan terus mengakumulasi sentimen negatif pelaku pasar keuangan dari yang sudah bermunculan saat ini sehingga memang akan sulit dijinakan dan berpotensi merosot sampai Rp17.000 per dolar AS. Talisa menegaskan juga nih, pelemahan rupiah ini tentu harus segera diantisipasi pemerintah dan juga Bank Indonesia sebab jika tembus Rp17.000, Per dolar AS, maka kerugian ekonominya akan lebih besar dihadapi masyarakat Indonesia, meski tak sampai menyebabkan krisis moneter sebagaimana saat 1997 hingga 1998. Ada pun risiko yang akan dihadapi ekonomi Indonesia bila rupiah ke level 17 ribu, ya ini tentu saja inflasi tahun ini akan naik, menyebabkan daya beli masyarakat semakin melemah.
Ujungnya ialah pertumbuhan ekonomi tidak akan sampai pada target pemerintah di 5,2 persen. Nah lantas apa faktor pendorong atau obat agar mata uang Garuda kita ini kembali perkasa? Kita lihat slide berikutnya. Ini kalau menurut Bank Indonesia, Bank Indonesia membutuhkan biaya intervensi. Sedikitnya 3 miliar dolar AS atau setara dengan 49,4 triliun rupiah agar nilai tukar rupiah ini dapat kembali ke level 16.100 per dolar AS.
Jika upaya intervensi tersebut tidak berhasil, terbuka ruang bagi kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis point menjadi 6,5%. Sementara senior ekonomis PT Samuel Sekuritas Indonesia, Fitra Faisal, mengatakan Pelemahan rupiah ini terutama disebabkan oleh sentimen negatif baik dari sisi global maupun juga domestik. Meski terbuka kemungkinan pemangkasan suku bunga sebanyak satu kali pada akhir 2024, arah kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, masih tetap hawkish. Di sisi lain juga persepsi negatif terkait kesinambungan fiskal Indonesia ke depan turut semakin menambah ketidakpastian bagi pasar keuangan domestik di mata investor asing. Jadi dengan kata lain, Pemirsa, Kedua sentimen tersebut ini berkontribusi terhadap depresiasi rupiah sebesar 300 basis point yang sebelumnya rupiah berada pada level Rp16.100 per dolar AS.
Fitra juga mengatakan biaya intervensi yang dibutuhkan Bank Indonesia saat ini lebih mahal ketimbang saat sebelumnya Bank Indonesia ini memutuskan menaikkan suku bunga cuannya menjadi 6,25% pada April 2024. Saat itu Bank Indonesia hanya butuh Rp500 juta hingga Rp1 miliar AS. untuk membawa rupiah kembali ke level Rp16.000 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.100 per dolar AS. Jadi, kendali lebih mahal, Bank Indonesia ini dinilai masih memiliki keluluasan intervensi yang tercermin dari peningkatan cadangan devisa dari Rp136,2 miliar pada April 2024 menjadi Rp139 miliar pada Mei 2024. Ada pun cadangan devisa tersebut, idealnya ini harus dijaga minimal Rp16.000 miliar.
130 miliar dolar Amerika Serikat guna meminimalkan reaksi negatif dari pasar. Nah, di sisi lain Gubernur Bank Indonesia Pak Perry Warjo ini optimis ya bahwa rupiah ini akan menguat. Tapi kita lihat dulu dasar dari Pak Perry bilang mengatakan rupiah akan menguat begitu ya. Jadi Pak Perry, Gubernur Bank Indonesia menyatakan bahwa nilai tukar rupiah akan menguat karena faktor fundamental yang terpantau baik.
Jadi ada pun faktor fundamental yang mempengaruhi perbaikan nilai tukar, ini meliputi inflasi yang tercatat masih di rentang 2,84% secara tahunan atau year on year. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi mencapai 5,1%, lalu juga ada pertumbuhan kredit sebesar 12%, lalu juga PERI menuturkan pelemahan nilai tukar rupiah saat ini lebih dipengaruhi oleh sentimen jangka pendek. Jadi pada Mei lalu terjadi ketegangan geopolitik di Timur Tengah, begitu pula dengan kebijakan Bank Senaral Amerika Serikat, The Fed. yang diperkirakan akan menurunkan suku bunga acuan sebanyak satu kali dari semula diprediksi tiga kali sepanjang tahun ini.
Oleh karenanya, Bank Indonesia merespon dengan cara menaikkan suku bunga acuan dan intervensi di pasar untuk menstabilkan mata uang rupiah. Lebih lanjut, PERI juga menuturkan pergerakan nilai tukar rupiah yang melemah saat ini dipengaruhi oleh sentimen global dan domestik. Kalau kita lihat di lingkup global, pelemahan dipicu oleh kenaikan suku bunga obligasi pemerintah AS.
Dari 4,5% menjadi 6%, lalu kalau kita lihat penurunan suku bunga bank sentral Eropa. Lalu kalau misalkan kita melihat di sektor domestik begitu ya, di sektor domestik pelemahan dipicu kenaikan permintaan korporasi untuk kepentingan repatriasi dividen di kuartal 2 2024. Kemudian persepsi sustainability dari fiskal ke depan yang menciptakan sentimen di masyarakat. Untuk terus menjaga nilai tukar, Pak Perry menyatakan bahwa memang Bank Indonesia akan terus berada di pasar, Bank Sentral memiliki channel devisa yang akan digunakan ketika terjadi aliran modal asing keluar atau capital outflow yang memicu pelemahan lebih lanjut lagi.
Nah itu tadi pemirsa yang akan terjadi jika rupiah kita tembus di angka 17 ribu. Rupiah per dolar Amerika Serikat, tentu kita berharap hal ini tidak akan terjadi begitu ya, menyesul dengan memang berbagai sentimen negatif yang ada. Dan tentunya kita harapkan upaya pemerintah juga dapat membuat mata uang Garuda bertaji kembali di hadapan dolar Amerika Serikat dalam waktu dekat ini.