Indonesia baru saja selesai dengan pesta demokrasinya dan kita melihat untuk pertama kalinya sejak 25 tahun terakhir bising terdengar gelombang suara dari para akademisi yang sekilas tidak satu harmoni dengan suara masyarakat kebanyakan. Pemimpin yang baru harus mengagregasi suara para akademisi dalam 5 tahun ke depan. Setuju atau tidak, suka atau tidak, kepemimpinan yang baik harus memugar kembali pecahan-pecahan masyarakat yang terpolarisasi.
Sepertiga dari masyarakat mengaku informasi yang mereka dapatkan melalui media sosial itu menjadi rujukan dalam menentukan pilihan, bahkan mengubah pilihan mereka. Namun pada tahun 2018, MIT melakukan penelitian yang menemukakan bahwa di media sosial itu kebohongan menyebar 6 kali lebih cepat daripada fakta. Sensasi bagai candu didorong oleh algoritma yang diciptakan untuk memaksimalkan keuntungan.
Fakta dan pengetahuan dikucilkan karena tidak menjual. Disonansi yang terjadi di kalangan masyarakat, alergi akan teori dan antagonisasi. universitas, serta murah dan mudahnya opini dibentuk adalah gejala dari penyakit intelektual yang harus dicari obat. Kalau tidak, masa depan Indonesia akan berada di tangan segelintir perusahaan-perusahaan teknologi informasi dan AI.
And of your own happiness, I call upon you to march with me under the banner of freedom towards the beacon lights of national prosperity and honor which must ever be ours. Winston Churchill, Perdana Menteri Britania, pernah berkata, demokrasi itu adalah sistem pemerintahan terburuk, namun masih lebih baik dari sistem lain yang pernah dan akan dicoba. Kalau mau tahu argumen terbaik untuk menjatuhkan demokrasi, Anda cukup ngobrol selama lima menit dengan seorang pemilih rata-rata. Churchill sendiri pernah merasakan pahitnya demokrasi setelah dikalahkan telak di pemilu Inggris tahun 1945. Hanya dua tahun semenjak ia memimpin Britania mengalahkan Hitler.
Namun Churchill berkata demokrasi itu adalah asuransi. Asuransi untuk meredam rezim otokratik dan penindasan dari kaum elit yang berkuasa. Demokrasi adalah perjalanan yang panjang, bukan sistem yang datang dari langit. Post-truth adalah sebuah anekdot populer yang merujuk kepada sebuah era di mana fakta objektif memiliki pengaruh yang jauh lebih kecil dalam membentuk opini dan keyakinan publik dibandingkan emosi dan sensasi. Ketika gimmick lelucon dan ketakutan lebih melandasi tindakan kita dibandingkan pengetahuan, maka cepat atau lambat demokrasi itu akan kehilangan fungsinya.
Maraknya pemimpin-pemimpin populis yang terpilih lewat gimmick lelucon dan kampanye ketakutan adalah gejala Arab-Ostrus. Di dalam sistem demokrasi yang bengkok, akan ada insentif untuk membodohi rakyat agar kekuasaan terus terjaga. Kita patut melihat apakah di sekeliling kita hikmah lebih bising daripada lelucon.
Apakah anak-anak muda kita masih mampu berpakaian santun? Atau hanya bisa bercanda? Apakah mereka bisa merangkai kata-kata yang tepat untuk menggambarkan emosi? Atau hanya bersandar pada emoji? Kalau rakyat tidak mengerti dasar-dasar prinsip ekonomi, maka ada pemilihan pun sia-sia.
Siapa yang menjanjikan subsidi dan komoditas gratis, pasti akan selalu dipilih. Namun kalau rakyat mengerti minimal sedikit saja tentang apa itu sebenarnya uang, dari mana datangnya, dan bagaimana ia memiliki nilai, maka ia akan tertarik mendengarkan konsep kandidat yang akan dipilihnya. Lebih dari hal-hal nonsens seperti cara bicara atau potongan rambutnya.
Memilih itu adalah ilmu, bukan intuisi yang sembarangan. Dan layaknya ilmu-ilmu yang lain, cara memilih yang benar perlu diajarkan secara sistematis kepada setiap warga negara. Demokrasi itu hanya se-efektif sistem pendidikan yang menyokongnya.
Rakyat harus diajarkan bedanya opini, keyakinan, dan pengetahuan dalam mengambil keputusan. Itulah tujuan dibentuk liberal arts faculty. Liberal arts faculty ada sejak zaman antiquity.
Dan bukan... Berarti hanya mengajarkan seni rupa, namun mencakup ilmu alam, ilmu sosial, seni, dan humaniora. Liberal arts adalah ruh dari universitas. Universitas adalah penyokong dan mikrokosmos dari demokrasi itu sendiri, yang dibentuk sesuai dengan rupa bangsa itu. Struktur kepemerintahannya pun cerminan dari kepemerintahan bangsa.
Universitas adalah tempat di mana demokrasi itu dirawat. disempurnakan. Dalam universitas, mahasiswa seharusnya diajarkan bagaimana mempertanggungjawabkan keyakinan itu sendiri.
Keyakinan yang dapat dipertanggungjawabkan adalah pengetahuan. Pengetahuan itu diakses oleh memori, persepsi, dan nalar. Pengetahuan a priori seperti logika dan prinsip-prinsip moral itu dipelajari di fakultas seni, filsafat, dan humaniora. Sedangkan pengetahuan empirik atau pengetahuan akan segala sesuatu yang bisa diindrakan, Itu diajarkan di Fakultas Ilmu Alam dan Turunanmu. Di dalam lingkup universitas, mahasiswa diajarkan tentang meritokrasi, hirarki berdasarkan performa akademik.
Para akademisi diajarkan tentang integritas lewat praktik telah sejauh. Kualitas-kualitas tersebut adalah ruh penyokong kehidupan berbangsa yang bermartabat. Akademisi harus tetap lantang bersuara.
dan keahlian harus menjadi bagian integral dalam kepemerintahan. Di negara-negara besar, riset dan akademisi selalu dijadikan landasan kebijakan atau setidaknya ada insentif untuk mengintegrasikannya. Akademisi harus bersuara ketika krisis terjadi, memberikan jawaban pada masyarakat yang bertanya dan kebebasannya harus dilindungi 100%.
Epistemologi adalah teori tentang pengetahuan. Pengetahuan adalah keyakinan yang dapat dipertanggungjawabkan. Keyakinan tentang apa yang akan terjadi di masa depan, contohnya.
Itu dapat dipertanggungjawabkan jikalau fakta atau bukti yang dapat digunakan untuk memprediksi masa depan itu juga merupakan fakta atau bukti yang mendasari keyakinan itu sendiri. Fakta atau bukti yang bisa digunakan untuk memprediksi masa depan dapat diperoleh secara induktif, contohnya lewat pengambilan data, menganalisanya di dalam laboratorium, maupun deduktif, lewat silogisme, lewat hukum inferensi berdasarkan logika. Nalar deduktif atau deductive reasoning adalah cara untuk mengambil kesimpulan lewat inferensi berdasarkan premis-premis. Contohnya, kalau rakyat memilih pemimpinnya sendiri, maka sistem politiknya demokratis.
Kalau sistem politiknya demokratis, maka rakyat akan sejahtera. Kesimpulannya, maka kalau rakyat memilih pemimpinnya sendiri, maka rakyat akan sejahtera. Itu contoh deductive argument, sorry, reasoning. Selama premisnya benar, maka kesimpulannya akan mengikat, akan benar, lepas dari suka atau tidak suka.
Nah kalau kenyataan di lapangan berbeda dengan kesimpulannya, maka salah satu atau bahkan kedua premis tersebut ada cacatnya. Nalar Induktif atau Inductive Reasoning mencoba mencari kesimpulan general lewat analisa akan sampel yang terbatas. Contohnya, misalnya dari 100 orang perokok, 80 orang mengidap kanker.
Lalu dari 100 orang yang tidak merokok, hanya 10 orang yang mengidap kanker. Maka kesimpulannya, rokok merupakan setidaknya salah satu penyebab kanker. Nah, konklusi akibat inductive reasoning, tidak mengikat hanya bersifat mungkin atau lebih probable.
Metode saintifik sangat bertumpu pada metode induktif untuk menguji hipotesa. Bagaimana kemudian seseorang dapat membedakan pernyataan-pernyataan saintifik dan pernyataan pseudosaintifik? Salah satu metode deduktif.
yang dapat digunakan adalah dengan menguji falsifiability dari pernyataan tersebut atau keterpalsuannya. Pernyataan saintifik selalu dapat dibuktikan salah. Misalnya, kalau gaya tarik-menarik antara kedua objek yang memiliki masa itu tidak sebanding dengan masa kedua objek tersebut kemudian dibagi dengan jarak kwadrat, maka hukum gravitasi Newton itu salah dan bisa dibuktikan salah.
Kita bisa menguji. Dengan demikian, pernyataan-pernyataan dari para dukun. Contohnya, kalau Anda pasang susuk dan sungguh-sungguh percaya di dalam hati, maka Anda akan mendapati jodoh Anda minggu depan.
Kalau jodoh Anda kemudian tidak datang minggu depan, dan Anda sudah menerima jodoh Anda, Sudah memasang susuk, artinya Anda tidak percaya dengan sungguh-sungguh. Nah, pernyataan seperti itu tidak bisa dibuktikan salah. Dan oleh sebab itu, juga tidak bisa dibuktikan benar.
Sekiranya pun jodoh Anda datang minggu depan, maka itu adalah situasi yang sifatnya ad-hoc atau acak. Betulan. Kalau universitas tidak lagi dapat melaksanakan fungsinya sebagai medan pertempuran dan distributor sentimen dan ide-ide revolusioner, maka alternatif akan dengan sendirinya terbentuk.
Pada awal abad modern di Perancis, contohnya akibat terbuangnya kaum marginal dan non-aristokrat dari dunia pendidikan tinggi, universitas-universitas dadakan atau penny universities mulai bermunculan di kedai-kedai kopi di Eropa Barat. Sebuah reaksi antibody terhadap racun pembodohan. Akibatnya universitas-universitas dadakan ini menjadi cikal bakal apa yang disebut salon, sebuah event-event pertemuan yang menghubungkan seniman, ilmuwan, dan intelektual publik. The Age of Conversation pun lahir, dan dengan itu bibit-bibit intelektual revolusi Perancis. Kanal ini mencoba untuk menjadi salon modern.
Chronicles akan memuji ide-ide baru lewat dialog dengan pemikir dari berbagai disiplin. Tujuannya untuk memperlengkapi pendengar dengan metode untuk menguji kebenaran berita-berita di media sosial. Untuk menemukan narasi baru tentang arti, nilai, dan tujuan bangsa kita.
Rakyat yang kuat adalah rakyat yang bebas berpikir. Anda punya hak untuk berpikir.