Pada tahun 1975, sebagian besar negara di seluruh dunia sudah merdeka dari penjajahan, baik di Asia hingga di Afrika. Namun, tidak bagi Timur Leste. Pasalnya, di tahun 1975, Timur Leste, yang seharusnya sudah merdeka, justru disibukan dengan Perang Saudara.
Perang saudara antar partai yang mengakibatkan ribuan nyawa melayang. Bahkan karena terjadinya perang ini, Indonesia yang dibantu Amerika serta Australia mulai melancarkan operasi militer dengan sandi Operasi Seroja. Operasi yang dilancarkan selama dua tahun yang telah mengakibatkan ratusan ribu nyawa rakyat timur melayang. Forsa Indonesia halukinvasiang buat iadili, no baukau, liuhusi lalehan, no tasi.
Tropas Indonesia cukup diadili, sayadau, sayadau. Bahiram atpu atmatai, aten atmatai husi, Indonesia ka, ka atmatai husi. Aminifun maluk rasik dunia.
Bagi rakyat timur, keterlibatan Indonesia dalam konflik di Timur Leste satu sisi dianggap sebagai penyelamatnya dan di sisi lain dianggap sebagai penjajah layaknya Portugis yang menjajah Timur Leste. Dari sinilah timbul beberapa pertanyaan. Mengapa di Timur Leste terjadi Perang Saudara?
Mengapa Indonesia melancarkan operasi militer ke Timur Leste? Dan sampai kapan konflik ini selesai? Video ini adalah episode kedua mengenai sejarah Perang Saudara Timur Leste dan terutama sejarah operasi Seroja.
Terjadinya revolusi anjelir di Portugal membuat pemerintah Portugal harus melepaskan tanah jajahannya, termasuk Timur Leste yang dijajah selama ratusan tahun. Hal ini membuat rakyat Timur memiliki harapan akan kemerdekaan dari Portugis. Oleh karenanya, beberapa aktivis Timur membentuk kelompok pergerakan yang berupa partai sebagai wadah untuk memperjuangkan kemerdekaan rakyat Timur. Alhasil, di tahun 1974 pula, partai-partai mulai bermunculan, mulai dari Partai UDT, Partai Apodeti, dan juga Partai Fretilin.
Hanya saja, ketiga partai ini memiliki tujuan yang berbeda. Partai Fretilin yang berideologi komunis ingin memperjuangkan kemerdekaan Timur Leste secara mandiri. UDT yang nasionalis ingin memperjuangkan kemerdekaan dengan cara bertahap. Sementara Apodeti menginginkan agar Timur Leste bergabung dengan Indonesia.
Perbedaan ketiga partai inilah yang akan melahirkan perang saudara di kemudian hari. Bagi Fretilin dan UDT, tujuan Apodeti yang ingin bergabung dengan Indonesia bertentangan dengan harapan rakyat Timur dan piagam PBB karena dinilai sama saja bergabung dengan neokolonialis. Oleh karenanya, pada tanggal 20 Januari 1974, Partai UDT pimpinan Francisco López Dacus dan Fretilin pimpinan Fretilin Safierdo Amaral membentuk koalisi bersama.
Dalam percaturan politik, koalisi ini tentunya membuat pihak Apodeti menjadi pihak yang dikesampingkan. Dan memang, kedua partai ini kontra dengan partai Apodeti. Namun, pada tanggal 27 Mei 1975, UDT secara sepihak membatalkan koalisi dengan Fretilin.
Sementara itu, di London, untuk menyelesaikan upaya dekolonialisasi pada tanggal 9 Maret 1975, pihak Portugal yang diwakili Victor Alves melakukan pertemuan dengan pihak Indonesia yang diwakili Jenderal Ali Murtopo. Sejak itulah, Indonesia mulai mengintervensi kepentingan di Timor Leste. Dan disinilah ada perbedaan pendapat antara Indonesia dan Portugal.
Satu sisi, Portugal menginginkan kemerdekaan bagi Timor secara mandiri. Namun, di sisi lain, Indonesia menginginkan agar Pulau Timur bergabung dengan Indonesia. Intro Keinginan Indonesia merangkul Pulau Timur sangat beralasan.
Karena bagi Indonesia, rakyat Timur Leste dianggap belum dewasa dalam berpolitik. Akhirnya, perundingan di London ini menghasilkan bahwa Indonesia berencana membentuk badan konsultatif antara tiga partai di Timur untuk perwakilan Pulau Timur. Ketiga partai inilah yang akan dimanfaatkan pihak Indonesia untuk bekerja sama agar Timur Leste bergabung dengan Indonesia.
Pihak Portugal pun menyetujui kesepakatan ini. Alhasil, pada tanggal 26 Juni 1975, pihak Portugal mengundang tiga partai besar Timur, UDT, Apodeti, dan Fretilin untuk melakukan pertemuan di Makau. Hanya saja, partai Fretilin tidak ikut bergabung.
Otomatis, Pembentukan badan konsultatif ini terhambat seketika. Ketidakhadiran Fretilin di Makau oleh UDT dan Apodeti dianggap sebagai suatu pengkhianatan terhadap perjuangan Timur menuju kemerdekaan. Hal inilah yang kemudian akan melahirkan konflik antarpartai.
Dan Pulau Timur pun juga akan menjadi arena pertempuran. Kegagalan pertemuan di Makau membuat beberapa pihak mengecam Partai Fretilin, baik dari Apodeti hingga Portugal, begitu juga Partai UDT. Selain menganggap sebagai partai pengkhianat, UDT juga menganggap bahwa Fretilin adalah partai komunis yang dinilai radikal.
Jika mereka dibiarkan, baginya akan membahayakan stabilitas keamanan nasional serta menghambat proses dekolonialisasi. Oleh karenanya, UDT pun berkeinginan memusnahkan Fretilin. Benar saja, pada tanggal 11 Agustus 1975, UDT melakukan gerakan revolusioner anti-komunis.
Dengan mudah, gerombolan UDT melakukan penyerangan ke markas Fretilin. Bahkan, Mereka menangkap dan menahan sebagian besar anggota Fretilin, para komandan militer, hingga orang Portugis yang berhaluan kiri. Lebih dari itu, mereka juga merebut tempat-tempat sentral, seperti kantor pos, telekomunikasi, stasiun radio, pos polisi, serta markas militer di kota Dili.
Airport di sini di Delhi masih menunjukkan kebocoran yang besar antara UDT dan Fretilin. Itu terjadi pada 11 Agustus, ketika UDT menetapkan pejabatnya di sini, dan Fretilin menyerang dan memaksa mereka. Viva Komite Sentral Fretilin!
Viva! Viva Fora Melau! Viva! Melihat kebrutalan serangan UDT, Fretilin tidak tinggal diam. Namun, sebelum melakukan serangan, pada pertengahan Agustus 1975, Partai Fretilin terlebih dahulu melakukan serangan terhadap Partai Apodeti serta Raja Abase yang dinilai oleh mereka sebagai cukong penjajah.
Beberapa hari kemudian, Fretilin melanjutkan serangannya terhadap Partai UDT Alhasil pertempuran pun terjadi Yang mana masing-masing dari mereka kini menggunakan senjata militer Musik Korban mulai berjatuhan, termasuk dari warga sipil. Dan rakyat yang selamat melarikan diri ke perbatasan timur Indonesia. Kini rakyat timur pun mulai bingung. Jika terjadi perang saudara antar partai, lantas siapa yang mereka ikuti untuk berjuang meraih kemerdekaan?
Melihat kondisi mencekam yang diwarnai perang saudara ini, Gubernur Lemos Pires melarikan diri ke Pulau Atauro dengan membawa pihak Portugis. Di sana, sang Gubernur meminta bantuan kepada pihak Indonesia. dan internasional agar bisa mengevakuasi warga sipil dan menyelesaikan konflik. Alhasil, pada tanggal 27 Agustus 1975, satu kapal perang Monginsidi, pimpinan Kolonel Subiakto, akhirnya berlabuh di Pulau Timur.
Tak lama kemudian, mereka sebisa mungkin melakukan evakuasi terhadap warga sipil. Bahkan, Kolonel Subiakto juga berusaha menjadi mediator antara Fretilin dan UDT agar dilakukan gencatan senjata. Akhirnya, pertempuran pun terhenti.
Sekalipun, hanya untuk sementara waktu. Ironisnya, alih-alih mendukung militer Indonesia, justru Gubernur Lemos Pires malah meminta Kolonel Subiakto untuk mundur dari kota Dili. Hal yang sangat disayangkan, mengingat masih banyak korban yang belum terselamatkan.
Akhirnya, dengan terpaksa, Kolonel Subiakto bersama pasukannya mundur dari kota Dili dengan membawa korban yang masih bisa diselamatkan. Lebih dari itu, karena mundurnya pihak Indonesia dari Dili, pada akhirnya pertempuran UDT dan Fretilin pun kembali terjadi. Memasuki awal September 1975, Fretilin telah berhasil melumpuhkan kekuatan Partai UDT dan Apodeti.
Tak sedikit, mereka menangkap anggota UDT dan Apodeti. Tak lama kemudian, saat kondisi sudah aman, sebagian Partai UDT dan Apodeti melarikan diri ke perbatasan. Kini, Partai Fretilin dengan sepenuhnya menguasai wilayah Timur-Timur.
Di perbatasan, di tempat persembunyiannya, Partai UDT dan Abodeti serta dua partai kecil lainnya sering berdiskusi satu sama lain mengenai nasib Pulau Timur. Hingga kemudian, pada tanggal 7 September 1975, keempat partai yang didukung ribuan pengungsi ini mengajukan petisi ke pemerintah Indonesia yang berisi harapan untuk melakukan integrasi Timur-Timur ke negara Indonesia. Pihak Indonesia pun secara tidak langsung menerima mereka dengan tangan terbuka.
Ironisnya, di saat Partai UDT dan kawan-kawannya mengajukan bergabung dengan Indonesia, pada tanggal 28 November 1975, Partai Fretilin secara sepihak menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan kemerdekaan Timur Leste dengan Xavier de Amaral sebagai Presiden Timur Leste. Aliansi Partai UDT pun juga tidak tinggal diam. Dua hari kemudian, pada tanggal 30 November 1975, aliansi Partai UDT mendeklarasikan proklamasi tandingan di Balibu. Deklarasi ini dikenal dengan Deklarasi Balibu.
Deklarasi yang memiliki harapan bahwa Timur Leste ingin bergabung dengan Indonesia. Melihat hal ini, Fred Tilin pun geram. Akhirnya, mereka menyerang markas aliansi UDT di dekat perbatasan. Bahkan pasukan ABRI juga tak luput menjadi sasarannya. Tentunya, hal ini memancing amarah Indonesia.
Oleh karenanya, Indonesia melancarkan beberapa operasi rahasia. Salah satunya yakni Operasi Komodo. Operasi yang kemudian dikenal dengan Operasi Intelligent untuk mengawasi pergerakan Fretilin di Timur Leste dipimpin oleh Yoga Sugama dan Ali Murtopo.
Hasil dari operasi ini menemukan informasi bahwa ternyata Timur Leste menjadi tempat yang rentan untuk dikuasai Partai Fretilin, partai komunis radikal yang dianggap membahayakan Indonesia. Dengan alasan membasmi komunis serta meruntuhkan pemerintahan Fretilin, Presiden Soeharto kemudian memerintahkan pasukan ABRI untuk melakukan operasi besar, yakni Operasi Seroja. Operasi militer yang bukan hanya akan menjadi malapetaka bagi sebagian rakyat timur, tapi juga akan menjadi trauma yang berkepanjangan.
Akhirnya, pada tanggal 7 Desember 1975, Operasi Seroja pun dimulai. Dalam sebuah konflik yang diwarnai perbedaan ideologi, tentunya tidak akan luput dari peran asing. Selain Amerika, Australia, Korea Selatan dan Belanda, Indonesia juga turut serta dalam kepentingan di Pulau Timur, terlebih akibat berlangsungnya Perang Dingin antara Soviet dan Amerika. Dalam konflik di Pulau Timur ini, Amerika lantas mendukung penuh upaya untuk melenyapkan kelompok komunis Fretilin.
Begitu juga pemerintah Soeharto yang juga mempunyai agenda untuk membasmi komunis di Asia. Tentunya, munculnya komunisme di Timur bagi Soeharto dianggap sebagai sebuah ancaman yang serius. Alhasil, pada tanggal 5 Juli 1975, Presiden Soeharto dan perwakilan dari AS, Henry Kissinger, melakukan pertemuan di Camp David, Amerika Serikat.
Dalam pertemuan itu, mereka... merencanakan upaya untuk membasmi Fretilin dengan sebuah operasi militer. Operasi yang kemudian dibantu 13 pesawat tempur dari AS ini akan dilancarkan saat waktunya tiba.
Dan saat memasuki bulan Desember, akhirnya operasi Seroja untuk membasmi Fretilin di Pulau Timur pun 7 Desember 1975, malam hari. Beberapa kapal perang Indonesia mengebom markas Fretilin di kota Dili. Sekalipun begitu, dari arah timur dan barat Dili, kelompok Fretilin melakukan serangan meriam arti. Namun, pasukan ABRI dengan mudah melakukan serangan brutal, hingga kemudian pos-pos Fretilin itu dapat dihancurkan, dan mereka yang selamat melarikan diri. Tak lama kemudian, angkasa dan kemurahan mereka menyebabkan kematian dan kematian mereka.
Angkatan Udara ABRI menerjumkan 641 penerjun payung di Distrik Foral. Tak sedikit para penerjun payung itu ditembak oleh sisa kelompok Fretilin. Alhasil, pertempuran sengit ini berlangsung hingga 6 jam.
PEMBUNUHAN PENERJUN PAYUNG Sedikit demi sedikit, pasukan ABRI berhasil memukul mundur kelompok Fred Billit, termasuk pasukan Feintil. Bahkan, pada siang hari, ABRI berhasil merebut kota Dili dan melepaskan para tahanan Apodeti serta Udet. Sementara itu, sebanyak 20.000 pasukan Fretilin melarikan diri ke Baucau Namun, dua hari kemudian, pada tanggal 10 Desember 1975 Kekuatan Fretilin di Baucau dapat dilumpuhkan oleh pasukan ABRI Forsa Indonesia halau invasang bot Iadili di Bukau, Lihusi, Lalehan, dan Tasi.
Jatuhnya Dili dan Baucau di tangan Abri dapat memudahkan pasukan Abri untuk membuka jalur penerbangan ke Timur Leste. Lebih-lebih untuk melenyapkan Fretilin. Di Lensisi, 6 bulan setelah Abri melancarkan disambut baik oleh sebagian besar orang Timur, begitu juga oleh UDT dan Apodeti.
Menyadari nasibnya yang sebagian besar terbelakang, maka pada tanggal 30 November 1975, rakyat Timur-Timur memproklamasikan pengintegrasian daerahnya ke dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Dan resmilah sejak hari itu, Timur-Timur menjadi provinsi ke-27 wilayah Republik Indonesia. untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari di provinsi yang ke-27 ini diangkat seorang gubernur dan wakilnya. Lantas, dengan bergabungnya Timur-Timur ke Indonesia, apakah membuat operasi Seroja dihentikan?
Tentunya tidak. Jika Fretilin masih belum dimusnahkan, operasi militer itu tidak akan berhenti. Terbukti, sejak tahun 1976, pasukan ABRI masih melakukan operasi militer dan bahkan mulai menyisir serta mengepung Fretilin ke berbagai arah.
Kota demi kota, desa demi desa, sebanyak 30.000 pasukan ABRI menyisir semua pasukan Fretilin ke seluruh Pulau Timur, bahkan hingga ke pegunungan dan hutan-hutan. Namun, karena minimnya pengetahuan, mengenai medan perang saat di hutan-hutan pasukan ABRI kesulitan menembus pertahanan FRETHILIN. Sementara itu FRETHILIN yang sudah menguasai medan pertempuran dengan gaya gerilianya dapat dengan mudahnya mengecoh pasukan ABRI. Hal ini berlangsung hingga awal tahun 1977. Pada akhirnya, selama setahun, pasukan ABRI mengalami kebuntuan. Tentunya hal ini membuat Amerika dan Australia kerap menekan pemerintah Orde Baru.
Alhasil, pada bulan Februari 19... Pemerintah Orde Baru Memesan sejumlah alat tempur Ke Belanda, Australia, Korea Selatan Dan termasuk Amerika Seperti rudal, pesawat tempur Dan termasuk 13 pesawat OV-10 Bronco dan pesawat Skyhawk. Fuerza Indonesia tidak mudah menangkap pesawat.
Amerika memperoleh pesawat OV di seluruh Bronco. Tapi satu bom barat yang menyebabkan kematian di seluruh Resinwalo. Alhasil, di bulan itu juga, pasukan ABRI meluncurkan kampanye militer solusi akhir dengan menggunakan dua taktik sekaligus, pengepungan dan penghancuran.
Dengan menambah sebanyak 10 ribu pasukan, Angkatan Udara ABRI melakukan pengeboman secara brutal ke pegunungan dan hutan tiada henti. Hal ini membuat pasukan Fretilin kalang kabut. Dan setelah melakukan pengeboman, pasukan ABRI mulai bisa menyebar dan mengepung Fretilin. Merpati gemini, merpati gemini.
Saya Anda masuk dari utara. Saya Anda masuk utara. Ironisnya, saat para pendukung Fretilin menyerah, pasukan ABRI dengan brutalnya menembak mereka. Bahkan, tak sedikit penduduk sipil yang tidak tahu menau juga menjadi sasaran tembakan. Lebih dari itu, ironisnya setelah Abri berhasil mematahkan kekuatan Fredilin, kampanye militer yang mulanya pengepungan dan penghancuran berubah menjadi kampanye pembersihan akhir.
Alhasil, seluruh warga sipil setempat dipaksa untuk memegang senjata dan berbaris di depan pasukan Abri guna mencari anggota Fretilin. Dengan kata lain, mereka digunakan sebagai tameng pasukan Abri. Jika mereka menemukan anggota Fretilin, para anggota akan dipaksa untuk menyerah atau menembak diri sendiri.
Bahkan, pada akhir Desember 1978, Nikolau Labato, selaku Presiden Timur-Timur sekaligus komandan militer, akhirnya ditembak dan dibunuh oleh pasukan helikopter. Lambat laun, operasi terakhir ini berhasil menghancurkan seluruh pasukan Fretilin. Dan operasi Seroja ini dinilai sukses. Tercatat, operasi Seroja ini telah memakan ratusan korban jiwa, baik dari pihak Timur Leste yang mencapai 180 ribu korban jiwa, dan dari militer Indonesia yang mencapai 3 ribu korban jiwa. Kini, Indonesia bersama sekutunya berhasil melumpuhkan kelompok Fretilin.
Namun, hanya untuk sementara waktu. Mengapa pasukan Fretilin maupun Faintil yang selamat masih melakukan gerakan secara sembunyi-sembunyi? Senyap, mematikan, dan suatu hari mereka akan menjadi ancaman bagi Indonesia.
Meski begitu, pasukan ABRI juga tidak akan tinggal diam membiarkan Fretilin bergerak dengan leluasa. Mereka akan melakukan cara apapun untuk memberangus kelompok kiri Fretilin yang dinilai radikal. Hal inilah yang kemudian akan melahirkan berbagai tragedi kemanusiaan. Begitu juga hal yang akan membuat Timur Leste berpisah dari Indonesia. Setidaknya di episode ketiga selanjutnya.
Terima kasih telah men