Transcript for:
Fenomena Disrupsi Digital dan Moderasi Beragama

Fenomena era disrupsi digital dan post-truth Mata kuliah, Islam dan moderasi beragama Dosen pengampu, Ibu Elina Lestarianti, Magister Pendidikan Presentator kelompok 8 yang berangkutakan 1. Lena Angelina 2. Mutiara Selsabila 3. Rihma Fikriana Farakin Ruang lingkup materi yang akan kita bahas kali ini ada 3 Yang pertama Diskursus moderasi beragama di era disrupsi digital dan post-truth yang akan dipaparkan oleh Rihma Fikriana Farakin Yang kedua, fenomena keberagaman masyarakat Indonesia di era disrupsi digital dan post-truth yang akan dipaparkan oleh Mutiara Salsabila Yang ketiga, peluang dan tantangan moderasi beragama di era disrupsi digital dan post-truth yang akan dipaparkan oleh Lena Angelina Diskursus moderasi beragama di era disrupsi digital dan post-truth. Diskursus berasal dari bahasa lain, yang secara harfiah berarti berbolak-balik, adalah suatu bentuk komunikasi baik secara lisan maupun tulisan. Dalam ilmu filsafat, diskursus merupakan suatu konsep yang dikembangkan oleh Michel Foucault, yaitu sebuah sistem berpikir ide-ide pemikiran dan gambaran yang kemudian membangun konsep suatu kultur atau budaya. Diskursus dibangun oleh asumsi-asumsi yang umum, yang kemudian menjadi ciri khas dalam pembicaraan, baik oleh suatu kelompok tertentu maupun dalam suatu periode sejarah tertentu. Moderasi saat ini telah menjadi diskursus dan wacana keislaman yang diakini mampu membawa umat Islam lebih unggul dan lebih adil serta lebih relevan dalam berinteraksi dengan peradaban modern di era globalisasi, digital, revolusi industri, informasi, dan komunikasi. Teknologi informasi secara digital menjadi aplikasi media pengubah keagamaan dengan membawa budaya baru yang serba instan, kadangkala bersifat bohong atau hoax, dan media sosial saat ini menjadi digidaya dekana Menariknya informasi tersebut diterima sebagai suatu kebenaran. Realitas ini dinamakan dengan post-truth society. Selanjutnya, definisi dari era disrupsi digital dan post-truth. Definisi era disrupsi digital. Secara bahasa, kata disrupsi berasal dari bahasa Inggris, yakni disruption, yang berarti gangguan atau kekacauan. Gangguan atau masalah yang mengganggu suatu peristiwa, aktivitas, atau proses. Kata disrupsi menurut KBBI adalah diartikan sebagai sebuah hal yang terjeput dari akarnya, sedangkan digital berasal dari bahasa Yunani, yakni digitus, yang artinya jari jemari. Jadi dapat dikatakan era disrupsi digital, yakni sebagai zaman perubahan di berbagai sektor akibat digitalisasi, Dan akibat dari Internet of Things atau Internet untuk Segala Yang menandai sebuah era yang sifatnya offline ke online Yang kedua, definisi post-truth Post-truth secara etimologi berasal dari bahasa Inggris Post berarti after atau setelah Truth dari kata sifat true yang berarti benar Jadi post-truth memiliki arti setelah atau pasca kebenaran Menurut Kamus Oxford Post-truth kata sifat yang berkaitan dengan keadaan individu merespon lebih banyak menggunakan perasaan dan keyakinan dalam pembentukan opini publik dibandingkan menggunakan fakta-fakta yang objektif. Sederhananya, post-truth dalam bahasa Jawa yakni ngapusi atau dalam bahasa Arab yakni al-kiz. Jadi, berdasarkan pengertian era disrupsi digital dan pengertian post-truth dapat ditarik kesimpulan bahwa Di antara keduanya saling berkaitan dan tidak dapat dibisahkan, karena apabila membicarakan masalah disrupsi digital secara tidak langsung, post-truth akan menyertainya. Post-truth sendiri ada disebabkan karena era disrupsi digital, di mana digitalisasi merubah berbagai hal di berbagai sektor yang ditandai dengan mudahnya individu merespon berbagai informasi dengan menggunakan perasaan. Mereka tanpa menelaah fakta yang ada dan lebih percaya terhadap berita viral yang belum tahu pasti kebenarannya Mengenai era disripsi digital dan post-truth, Allah SWT berfirman dalam Al-Quran Surat Al-Ma'idah ayat 8 Yang berbunyi Bismillahirrahmanirrahim Ya ayuhaladzina amanuku nukawwaminalillahi shuhada abilkis wa layajarimannakum shananukumin ala allata'diluh a'daliluh wa akrabulittaqwa wa taqunlah inna allah khabirun bimata'malun Dari pengertian Al-Quran surat Al-Ma'idah ayat 8 sangat jelas bahwa Allah melarang umatnya untuk berkata bohong mengujarkan ujaran kebencian dan tidak menegakkan keadilan ketika hal yang dilarang Allah tersebut memiliki kesamaan arti dengan istilah post-truth saya Mutiara Salsabila untuk sedikit menjelaskan tentang fenomena keberagamaan di tengah era distruksi digital dan post-truth keberagamaan atau religiositas adalah bahasa Sanskrit yang merujuk pada makna bersifat normatif. Menurut Wach, pada tahun 1952, terdapat tiga kriteria yang memuat definisi dari keagamaan, yaitu yang pertama merupakan tanggapan terhadap suatu yang dihayati sebagai realitas mutlak. Yang kedua, tanggapan tersebut melibatkan pribadi utuh yang melibat dalam kegiatan. Bukan hanya pikiran, perasaan, ataupun kehendak semata Tetapi keseluruhan potensi dan kemampuan yang dimiliki manusia Yang ketiga yaitu Ungkapan pengalaman dalam perbuatan, pemikiran, dan kehidupan kelompok Realitas beragama yang dilakukan oleh manusia menurut Abdul Karim Soroh Yaitu yang pertama, tipe religiositas pragmatis yang mengandalkan gerakan fisik dan praktis didasarkan pada rasionalitas instrumental yang kedua, tipe religiositas gnostik yang mengedepankan aspek mental dan reflektif didasarkan pada rasionalitas teoritis yang ketiga, tipe religiositas eksperiensal yang mencuri bukti dan manifestasi berupa atau berkaitan dengan penyaksian kemudian, apa saja fenomena permasalahan yang terjadi, yaitu tentang keberagamaan di era disrupsi digital dan post-truth, yang pertama banyak orang merasa dirinya ahli agama, Tom Nichols dalam The Death of Expertise mengatakan bahwa keahlian yang telah melekat pada diri seseorang yang telah diperoleh melalui proses yang panjang dan melelahkan Tergantikan oleh internet dan banyak orang yang mengaku sebagai ahli, baik ahli agama, ahli kesehatan, pakar sejarah, dan lain-lain. Fenomena di atas menunjukkan bahwa beragam informasi tersebut, informasi keagaman dengan begitu mudahnya diperoleh melalui ujung jari. Benar atau tidaknya informasi yang diperoleh itu urusan belakang. Seseorang akan mengaku sebagai ahli, termasuk ahli agama berdasarkan keilmuan yang diperoleh bukan melalui proses pembelajaran serta literasi keilmuan, melainkan hanya dari internet. Kemudian yang kedua, berkembangnya hoaks keagamaan. Ketika seseorang mengaku sebagai ahli, maka hanya akan melahirkan para penyebar informasi termasuk informasi keagamaan yang tidak benar atau keliru. Kemudian penyebar informasi tersebut memiliki simpatisan atau masa yang fanatik. turut membenarkan apa-apa yang disampaikannya karena dari awalnya sudah suka maka akan tetap diterima hal tersebut dapat memunculkan paham ataupun aliran yang tidak sesuai dengan ajaran yang diajarkan oleh Nabi Muhammad hal inilah yang membuat banyak orang terpapar informasi yang bohong atau hoax menariknya informasi tersebut diterima sebagai suatu kebenaran realitas inilah yang disebut dengan post-truth Society atau masyarakat pasca Kebenaran Kalangan atau golongan yang terpapar post-truth lebih tunduk pada emosi, keyakinan pribadi, atau ideologi yang dianutnya daripada kebenaran yang bersifat faktual. Penerimaan informasi berdasarkan perasaan, suka atau tidak suka, sehingga betapapun informasi dari pihak lain walaupun didasarkan pada kebenaran faktual, tetapi karena memang tidak suka, maka ditolaknya. Begitupun sebaliknya. Kemudian yang ketiga, keberagamaan otensi. Otentisitas atau komoditas simbolik Selain menghadirkan deprivatisasi agama, fenomena distruksi juga menyebabkan otentisitas dalam beragama mengalami pergeseran makna. Kesalahan berubah wujud menjadi komoditas simbolis dan sasaran publisitas yang dapat mengingkari kesejatian atau otentisitas dalam beragama. Artinya, ukuran kesalahan seseorang dapat diketahui dari simbol-simbol keagamaan yang melekat pada dirinya, seperti pakaian yang sunnah, gamis, serta kerudung atau jilbab yang sari, celana cingkrang, jenggot yang panjang, jidat yang menghitam, dan mengenakan cadar nikob. bagi wanita muslimah serta memakai produk-produk kecantikannya halal simbol-simbol ini seakan menegasi kesalahan yang otentik misalnya intensitas ibadah sedekah, segala perbuatan yang baik, apapun itu tentunya dilakukan secara diam-diam tanpa seorang pun yang mengetahuinya tidak diumbar di ruang publik kemudian yang keempat agama hanya menjadi tren keberadaan media sosial telah menjadi Bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan keberagamaan Seiring dengan perkembangannya, banyak orang yang mempublikasi kegiatan ibadah dan amalan yang dilakukannya di media sosial Hal itu membuat warga net berlomba-lomba melakukan hal yang sama Sebenarnya hal ini baik karena dapat mengajak pada kebaikan kepada orang lain, tetapi dapat dilihat pada kenyataannya malah justru mengarah kepada ajang untuk pamer dan menjadikan agama sebagai tren yang harus dipiru bukan karena ikhlas karena Allah, tapi karena konten ataupun hanya mengikuti saja kemudian yang kelima munculnya sistem kapitalisme religius sistem kapitalisme religius memungkinkan setiap individu dibiarkan secara bebas berusaha tanpa adanya campur tangan orang lain hal ini didorong oleh kepentingan secara personal sehingga dengan sendirinya produksi akan sempurna dan meningkat praktik ini sejalan dengan teori invisible hand tangan-tangan yang dikenalkan oleh Adam Smith merujuk pada teori tersebut akhirnya mereka berlomba-lomba memproduksi berbagai macam barang pakaian muslim dan muslimah serta produk kecantikan dengan label syari guna menggait para generasi milenial selain itu mereka juga turut andil dalam meramaikan fenomena hijrah hal ini seakan menggambarkan kepada kita bahwa para kalangan tersebut memainkan peran ganda kemudian yang terakhir hilangnya sikap tanggung jawab keagamaan dan sosial atau amanah dari individu dan masyarakat amanah disini adalah kesedihan manusia untuk memikul beban keagamaan atau takalif syaraniyah sebagaimana diamanatkan oleh Allah yaitu dalam surat Al-Azab ayat 72 dan Surat Al-Aqraf ayat 172 Bentuk berkurangnya amanah pada individu dan masyarakat diantaranya Seperti ketidakpatuhan untuk melaksanakan kewajiban agama Sikap acu-ta'acu kepada pendidikan agama pada anak-anak Korupsi merajalela tidak diindahkannya nilai moral atau etika Hidup dalam suasana egoistis menipisnya rasa empati kepada masyarakat yang kekurangan Selanjutnya, ada beberapa solusi dan cara menyikapi fenomena keberagamaan di era destruksi digital dan post-truth. Yang pertama, menumbuh kembangkan kembali tradisi publik beragama yang berkesadaran bahwa ruang publik nyata tidak bisa digantikan oleh ruang publik maya. Perlu disadari bahwa media sosial atau daring hanya bisa menciptakan koneksi, bukan relasi. Yang kedua, mengajak publik untuk melihat informasi. berdasarkan logika, etika, dan guna sehingga diperoleh sikap publik yang berhati-hati dan selektif menghadapi beragam informasi yang diberikan ke sosial media kemudian yang ketiga, mengembangkan sikap kritis dengan bersikap kritis, kita memiliki penteng untuk tidak tercerumus dalam informasi yang tidak jelas termasuk juga dengan pendidikan agama wajib menguatkan kemampuan berpikir logis dan kreatif kritis sehingga mampu membedakan informasi yang benar dan salah menghindari berbagai pikiran yang sesat, serta mampu mengambil kesimpulan secara benar Akibatnya tidak mudah tertular virus radikalisme dan terpancing dengan berita hoax. Yang keempat, membiasakan bersikap terbuka. Menyadari bahwa teknologi komunikasi memang telah membuka kesempatan seluas-luasnya bagi publik untuk berhubungan dengan siapa saja, dan di mana saja, dan kapan saja. Dengan demikian, kita mengenal adanya keberagaman dan memahami setiap perbedaan. Yang kelima, Berhati-hati dengan judul provokatif. Berita hoax seringkali menggunakan judul sensasional yang provokatif. Misalnya dengan langsung menudingkan jari ke pihak tertentu, isinya pun bisa diambil dari berita media resmi. Hanya saja diubah-ubah agar menimbulkan persepsi sesuai yang dikendaki sang pembuat hoax. Yang keenam, mencermati alamat situs. Untuk informasi yang diperoleh dari website atau mencantumkan link, cermatilah alamat URL situs dimaksud. Apabila berasal dari situs yang belum terverifikasi sebagai institusi pers yang resmi, misalnya menggunakan domain blog, maka informasinya bisa dibilang meragukan. Yang ketujuh, periksa fakta dan cek keaslian foto. Diara teknologi digital saat ini bukan hanya konten berupa teks yang bisa dimanipulasi, melainkan juga konten lain berupa foto ataupun video. Ada kalanya pembuat berita palsu juga mengedit foto untuk memprovokasi pembaca. Kemudian yang terakhir, mengikuti grup diskusi anti-hoax. Di grup-grup diskusi ini, seseorang bisa ikut bertanya apakah suatu informasi merupakan hoax atau bukan, sekaligus melihat. klarifikasi yang sudah diberikan oleh orang lain semua anggota bisa ikut berkontribusi sehingga grup berfungsi layaknya crowdsourcing yang memanfaatkan tenaga banyak orang. Baik disini saya akan menjelaskan tentang peluang dan tantangan moderasi beragama di era disrupsi digital dan post-truth. Sebelum itu kita harus mengetahui moderasi beragama yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah membawa masyarakat dalam pemahaman yang moderat, tidak ekstrim, dan juga tidak mendewakan rasio yang berpikir bebas tanpa batas. Moderasi beragama didiskusikan, dilafalkan, dan diejawantakan, serta digaungkan sebagai framing dalam mengelola kehidupan masyarakat Indonesia yang multikultural. Kebutuhan terhadap narasi keagamaan yang moderat tidak hanya menjadi kebutuhan personal atau kelembagaan, Melainkan secara umum bagi warga dunia, terutama di tengah perkembangan teknologi informasi dalam menghadapi kapitalisme global dan politik percepatan yang disebut era digital. Yang pertama kita akan membahas tentang peluang. Peluang moderasi beragama di era disrupsi digital terposturut yang pertama yaitu ada terbukanya kesempatan kedakwah. Era digital memberi ruang terbuka bagi kegiatan dakwah sekaligus ajakan moderasi antarumat beragama. Dakwah tidak hanya secara konvensional berupa majelis taklim yang berinteraksi secara fisik, namun juga dapat dilakukan melalui media sosial. Peluang ini melihat banyaknya kaum muda yang sering menggunakan kemajuan teknologi, misalnya media sosial dalam sehari-hari, sehingga dalam hal ini dakwah apa yang dilakukan harus interaktif, kredibel, inovatif, kreatif, dan tidak monoton. Yang kedua yaitu berkembangnya teknologi informasi untuk memperkuat silaturahmi dan memperkuat kerukunan umat beragama. Teknologi digital membawa kita memasuki era revolusi 4.0 dengan segala konsekuensinya. Namun perlu ditegaskan bahwa bukan berarti kita meninggalkan era-era sebelumnya Artinya isu-isu klasik dan kontemporer juga ikut mewarnai dan berdapat pada perpecahan yang lainnya Untuk itu, walaupun kita memasuki era digital, Pancasila sebagai ideologi memiliki peran untuk mempersatukan keberagamaan dan penguatan moral bangsa Karena sejatinya, ajaran semua agama menginginkan hidup damai, moderat menjaga kerukunan dan melesasi yang ketiga yaitu peluang karena berkembangnya strategi literasi dengan strategi literasi masyarakat menjadi kebal terhadap usaha-usaha disinformasi dan menjadi abai terhadap disinformasi Literasi digital adalah sebuah tahap edukasi yang membuka mata halayak bahwa dunia berubah dan di dalam dunia yang berubah tersebut, setiap orang dituntut mengembangkan sikap yang benar dan bertanggung jawab. Literasi mampu membentuk filter internal di dalam diri masyarakat untuk menyaring setiap informasi dan menentukan sikap terhadapnya. Yang keempat yaitu peluang untuk mengambil peran. Ketua Komisi Hak Asasi Manusia Organisasi Kerja Sama Islam atau di singkat OKI pada periode 2012-2018, Siti Ruhaini Suhayatin menyampaikan Indonesia diminta mengambil peran lebih kuat lagi oleh dunia internasional untuk mempromosikan Islam yang moderat, terkhususnya pada dunia yang serba canggih ini. Dalam hal moderasi beragama, proses itu sudah dimulai pada saat Menteri Agama periode 2009 hingga 2014, yaitu pada masa Lukman Hakim Syaifuddin, yang memperlakukan strukturisasi moderasi beragama yang masuk ke dalam kebijakan pemerintah. Ia pun menyampaikan, model Indonesia menjadi model dari moderasi beragama dan modalitas cukup kuat. Tentu saja dengan kehadiran organisasi seperti Muhammadiyah, Nadratul Ulama, dan lembaga arus utama lainnya termasuk perguruan tinggi. Selanjutnya, kita akan membahas tentang tantangan moderasi beragama di era disrupsi digital dan post-truth. Yang pertama yaitu munculnya persaingan situs online Islam yang provokatif. Pentingnya penguatan Islam modera di era post-truth adalah karena Islam modera mengambil jalan tengah untuk mencari persamaan dan bukan perbedaan apalagi perbedaan di jagad maya terkait pesatnya persaingan situs-situs online yang berbau islam di antara alasannya yang pertama yaitu salah satu esensi hadirnya internet adalah mendekatkan yang jauh bukan menjauhkan yang dekat tujuannya agar silaturahmi dan silaturahim tetap terjalim sehingga masyarakat dapat menyantap bahan bacaan yang berkualitas dengan mengusung Islam yang santai. Kedua, sebagai situs Islam yang mengedepankan perdamaian untuk menggiring dan mengajak masyarakat untuk turut serta menjadi pelopor dari agen perdamaian itu. Dengan banyak munculnya situs tak bertanggung jawab, ini menyebabkan persaingan di antara situs online resmi yang menyampaikan informasi secara benar dengan situs online yang abal-abal. Tantangan yang kedua yaitu suburnya atau menyuburnya konflik dan politik identitas. Di dalam ruang digital yang dikendalikan oleh kecepatan elektronik, eksistensi manusia mengalami perubahan mendasar dari sebuah bentuk tubuh yang bergerak di dalam ruang, menjadi bentuk tubuh yang diam di tempat dan hanya mampu menyerap setiap informasi yang lewat melalui simulasi elektronik. Ruang digital kemudian menjadi arena kontestasi dan kompetisi. Pada titik inilah, ruang-ruang digital dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk menyeburkan konflik dan menghidupkan politik identitas. Ruang digital itu kini lebih condong didominasi nilai keagamaan yang menjurus kepada eksklusifitas. Tidak hanya itu, ajaran-ajaran agama dipertentangkan dengan kebijakan-kebijakan negara. Kondisi demikian sangat mengkhawatirkan karena dapat menggeser otoritas keagamaan serta menubuhkan peremajaan ulama bagaimana tidak otoritas keagamaan tidak lagi dipegang oleh para ulama yang otoritatif dan kredibel yang ketiga yaitu tantangan karena permasalahan perma tantangan dan kendala lain yang dihadapi adalah mencari perma atau landasan hukum yang sama dalam moderasi agama dalam ajaran islam dikenal dengan wasatiyah islam namun di dalam agama lain istilah itu tentu berbeda telah diketahui bahwa wasatiyah berasal dari akar kata wasatak yang menurut Muhammad bin Mukrim bin Mandur al-ifriqi al-mashri diartikan sebagai sesuatu yang berada di tengah, diantara dua sisi disamping itu pada prakteknya penerapan program moderasi beragama ini tidak memiliki anggaran khusus moderasi beragama ini dilebur dan dilakukan melalui program rutin akibat tidak adanya landasan atau perma ini menyebabkan banyaknya oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan hal tersebut dalam hal moderasi beragama pada era disrusi digital misalnya tersebar ruasnya hoax dan berita bohong yang provokatif Yang keempat yaitu tantangan karena sulitnya menyamakan persepsi. Tantangan yang dihadapi dalam mensosialisasikan moderasi beragama ini adalah menyamakan persepsi. Apalagi dalam dunia yang sebercepat ini, dengan banyak informasi yang mungkin tidak cukup kredibel, menyebabkan sulitnya menyamakan persepsi. Hal ini tentu menjadi tantangan dalam melaksanakan moderasi beragama itu sendiri. Menurut staf ahli bidang manajemen komunikasi kementerian agama, Oman Katurahman, menyampaikan bahwa menyemakan persepsi memakan waktu cukup banyak. Ia tidak ingin ada persepsi moderat yang berarti menjadi liberal. Oman berujar, moderasi tetap bermakna militan sesuai dengan nilai ajaran dari masing-masing agama. Nilai moderat merupakan sikap yang memberikan ruang tafsir kebenaran pada sebuah agama. Dalam moderasi beragama memiliki satu nilai kesamaan yang harus dipegang yaitu nilai keadilan dan keberimanan. Tantangan yang kelima yaitu rasa ketidakpercayaan terhadap yang berbeda. Pelajaran berharga dari Islam yang lalu menjadi model revolusi 4.0 adalah truth atau kepercayaan. Kepercayaan terhadap orang lain meski berbeda kulit, suku, ras, sangatlah penting untuk tujuan bersama Indonesia akan menjadi ramuan hebat beragama yang universal. Tetapi ditambah media sosial. Ketidakpercayaan satu sama lain menjadi kelemahan dalam moderasi beragama Sedangkan kepercayaan satu sama lain menjadi kebermanfaatan untuk sesama Yang keenam yaitu konteks viral Viral tidak selalu menjadi indikator yang baik tentang hal-hal yang penting Konteks viral yang dibagikan berulang kali sering didasarkan pada hal-hal yang tidak akurat Verifikasi sumber dan konteksnya Ciri paling mencolok dari berita palsu adalah ketiadaan sumber. Berita palsu mampu bertahan di tengah masyarakat karena terus menerus dihujani informasi tersebut. Dan jangan terlalu percaya dengan berita yang beredar di media sosial karena itus berita tidak terjamin kebenarannya. Yang terakhir atau yang ketujuh yaitu framing akan data. Sebetulnya, framing adalah hal yang sangat baik untuk menolong seseorang memahami realitas dan mengurangi kebingungan akibat kompleksitas informasi. Fakta yang disajikan dalam suatu internet mungkin benar, tetapi karena dikontekskan dengan sesuatu yang tidak tepat, justru beragama menjadi alat mendiskreditkan pihak lain, contohnya tentang terorisme atau gerakan agama dan politik. Terima kasih telah menyaksikan video pemaparan materi dari kelompok 8 Kami meminta maaf bila ada kesalahan dalam tutur kata dan kekurangan dalam penyampaian isi materi Sekian dari kami Wa'alaikumussalam