Transcript for:
Ekspedisi Indonesia Biru dan Budaya Badui

Hai Selama dua bulan, di akhir tahun 2014, kami mempersiapkan perjalanan keliling Indonesia menggunakan sepeda motor bebek bekas keluaran tahun 2003 dan 2005. Salah satu dari kami akan menjadi videographer merangkap fotografer. Sementara yang lain akan menjadi reporter merangkap video editor. Ada sekitar 18 baterai yang harus kami isi setiap hari untuk menghidupkan aneka peralatan yang kami bawa.

9 kali lebih kuat dari ini. Mana yang ini? Yang putih? 9 kali lebih kuat dari ini.

Menurut iklan dan covernya. Kami berlatih menerbangkan drone, mencoba posisi kamera untuk perjalanan, melakukan riset, hingga mengontak calon arah sumber dan kawan-kawan yang akan kami lalui sepanjang perjalanan. Lalu, tepat 1 Januari 2015, kami dilepas oleh kawan-kawan dan para jurnalis dari Pondok Gede, Jawa Barat. Konsum di konten, karena itu yang akan lebih jangkan hasil eksplosinya dengan perjalanan lain.

Ini tidak sekedar perjalanan, tapi adalah... mencari konten yang bagus-bagus dari pelosok Indonesia. Ini bukan soal kepercayaan dan lain-lain, tapi ini bagian dari adat dan istiadat kebudayaan kita, bahwa disinilah cita-cita Dandi yang harus dipecahkan oleh kita untuk mendukung dia semua. Kita baca ya Bismillahirrahmanirrahim Rute pertama menuju masyarakat adat Badui di Provinsi Banten. Dari sana, kami akan berjalan ke timur dan mengelilingi Indonesia melawan arah jarum jam.

Perjalanan ini kami rencanakan selama satu tahun penuh tanpa jeda. Dinamakan Ekspedisi Indonesia Biru karena perjalanan ini ingin menguji konsep ekonomi biru di Nusantara. Sebuah konsep ekonomi yang berusaha kembali kepada prinsip kelestarian lingkungan dan hukum-hukum alam, mengembangkan pengetahuan dan teknologi tepat guna dari konteks budaya lokal, dan akhirnya akan terwujud menjadi keadilan sosial.

Dan perjalanan panjang merekam Nusantara ini kami mulai dari Banten. Terima kasih telah menonton Meski bercerita tentang warga Baduidalam atau orang Tangtu, namun gambar-gambar dalam episode ini direkam di luar kampung mereka. Karena adat melarang penggunaan listrik dan barang-barang elektronik termasuk kamera.

Sebagai warga Baduy Dalam, Sapri dan anaknya, Komong, juga pantang menggunakan alas kaki, apalagi salana transportasi. Daftar pantangan akan semakin panjang bila kita masuk dalam sistem pertanian, arsitektur, hingga kegiatan ekonomi mereka. Persarapan. Kenapa kalau beras sendiri, tetiasa dijual?

Memang dulu tidak ada orang yang jual. Ini moyang. Paling bisa di tukar, di barter. Ke barter luar sana.

Namun hasil bumi nulain, tetiasa dijual? Madu, cawuk. Kubik bisa dijual, durian, petek, jengkol.

Tak heran bila ada gabah yang bertahan selama 22 tahun di Lumbung dan tetap dapat dikonsumsi. Berbeda halnya dengan Mursid. Tahun 2011 lalu, ia keluar dari Baduidalam. Pemuda 25 tahun ini kini tinggal di kampung Campaka dan menjadi warga Baduiluar atau Urang Panamping.

Kenapa keluar dari Baduidalam, Kang? Mau luas, ke luar boleh naik mobil ke kota. Bikin gula aren boleh kalau Baduidalam.

Kalau di dalam nggak bisa bikin gula aren? Nggak bisa. Mursid sendiri adalah putra salah satu tokoh adat di Baduidalam. Tapi ada puluhan pohon aren yang harus dikelola sebagai salah satu sumber ekonomi.

12 bungkus 12 bungkus? iya x 7000 84000 jadi segini uangnya 84000 Selain membuka warung, ekonomi keluarga Mursid ditopang dari gula aren ini. Satu ikat gula aren ia jual 7.000 rupiah kepada pedagang di pasar.

Meski dilarang menjual beras hasil panen, warga Baduidalam atau orang Tangtu hidup dari hasil hutan yang tak pernah habis sepanjang tahun. Usai musim durian, mereka akan berjalan kaki selama 4 hari ke Jakarta untuk menjual madu hutan.