Transcript for:
Fenomena Penembakan Misterius di Indonesia

Pada tahun 1982 hingga 1985, sebuah fenomena teror misterius terjadi di tanah air yang dikenal dengan nama penembakan misterius atau Petrus. Teror itu sukses merenggut ratusan, bahkan ribuan nyawa warga Indonesia. Suara tembakan yang menggigit teror misterius terjadi di tanah air yang dikenal dengan nama penembakan misterius atau Petrus. gemar di malam yang sunyi, darah yang mengalir di jalan-jalan yang dulu damai dan ketakutan yang merayap di setiap sudut kota tidak ada yang tahu siapa pelakunya dan tidak ada yang berani bertanya masyarakat hidup dalam ketegangan menyaksikan tragedi ini seperti sebuah bayangan kelam yang tidak kunjung padam. Apa yang sebenarnya terjadi di balik semua ini?

Mengapa begitu banyak nyawa yang melayang dan dipertontonkan di muka jalan? Pada kesempatan kali ini, kita akan menyelami tragedi ini lebih dalam. Kita mulai dari sebab semua ini bermula dan seberapa mencekam teror itu saat dioperasikan. Pada awal dekade 1980-an, Indonesia berada dalam kondisi sosial dan politik yang cukup tegang. Di bawah pemerintahan otoriter Presiden Soeharto, yang telah berkuasa sejak tahun 1966, Orde Baru memprioritaskan stabilitas dan pembangunan ekonomi.

tetapi dengan harga yang cukup tinggi. Pada masa itu pemerintahan Orde Baru sangat fokus pada industrialisasi dan pembangunan infrastruktur. Namun meskipun ada pertumbuhan ekonomi yang pesat, distribusi kekayaan sangat tidak merata.

Kebijakan pembangunan yang sangat terpusat di kota-kota besar menyebabkan ketimpangan antara daerah urban dan pedesaan. Di satu sisi, beberapa kalangan merasakan manfaat dari pembangunan ini. Namun di sisi yang lain, sebagian besar rakyat Indonesia tetap terperangkap dalam kemiskinan.

Di kota-kota besar seperti Jakarta, kesenjangan sosial ini menjadi sangat terlihat. Keadaan ini semakin diperparah oleh tingginya angka kemiskinan dan pengangguran yang mendorong banyak orang untuk hidup dalam kondisi yang sangat sulit. Kondisi ekonomi yang buruk ini perlahan menciptakan ketidakpuasan yang meluas yang akhirnya berujung pada meningkatnya kejahatan jalanan dan ketidakstabilan sosial. Seiring dengan meningkatnya ketimpangan sosial tersebut, angka kejahatan di kota-kota besar juga mengalami lonjakan yang cukup signifikan. Andreas Harsono dalam bukunya yang berjudul Petrus, penembak misterius, menulis bahwa pada awal 1980-an Jakarta menjadi salah satu kota dengan tingkat kejahatan yang cukup tinggi.

Kejahatan jalanan seperti perampokan, pencurian, pemerasan, dan kekerasan di ruang publik semakin meresahkan masyarakat. Banyak dari pelaku kejahatan ini adalah bekas residivis yang muncul dengan berbagai julukan seperti gali, jagger, bromo corah, preman, dan sebagainya yang biasanya menguasai lahan parkir, toko, pasar, dan tempat hiburan malam kemudian melakukan beberapa tindak kejahatan seperti merampok, mencuri, membegal, bahkan membunuh siapa saja untuk mendapatkan rampasan. Mereka menciptakan teror di tengah resahnya masyarakat. Menikapi hal ini, mahasiswa dan beberapa elemen masyarakat mulai melakukan demonstrasi sebagai bentuk protes Kepada pemerintah yang dinilai tidak becus menjalankan roda ekonomi dan keamanan, premanisme yang merajalela ini tidak hanya berdampak pada kehidupan sehari-hari masyarakat, tetapi juga memperburuk citra pemerintah yang dianggap gagal mengatasi masalah sosial. Dan untuk menanggulangi masalah tersebut, pemerintah Orde Baru mengambil pendekatan yang sangat represif.

Dalam buku yang berjudul 30 Tahun Orde Baru Membangun yang diedit oleh Jailani Sarmili, di sana dituliskan bahwa, suara itu sendiri menyebutkan bahwa stabilitas sosial adalah prioritas utama. Kebijakan pemerintah memang seringkali melibatkan penyalahgunan kekuasaan dan penggunaan aparat negara untuk menjaga kontrol politik. Dan hal tersebut seringkali dengan cara-cara yang tidak sah. Atas cara-carnya itu juga lah, pemerintah Orde Baru baik di dalam negeri dan di luar negeri semakin dikenal dengan pendekatannya yang otoriter. Kebebasan berpendapat dibatasi dan kritik terhadap pemerintah bisa berujung pada penangkapan atau bahkan hilangnya nyawa seseorang.

Pada masa Orde Baru, banyak aktivis dan intelektual yang kritis terhadap pemerintah Orde Baru diadapkan pada tekanan hebat dari aparat negara. Mereka yang menentang pemerintah seringkali dipaksa diam, ditangkap, atau bahkan disiksa. Gerakan mahasiswa yang mulai mengkritik pemerintah, seperti yang terjadi pada tahun 1980-an, seringkali mendapatkan respon keras dari negara.

Disinilah ketegangan sosial mulai meningkat, karena selain kejahatan jalanan, semakin banyak kelompok yang merasa tidak puas dengan cara pemerintah mengatasi masalah sosial dan politik. Herbert K. Crouch dalam bukunya yang berjudul Political Reform in Indonesia after Suharto atau menjatat bahwa mahasiswa dan kelompok oposisi menjadi sasaran utama dari tindakan represif ini. Di tengah ketegangan sosial dan politik ini, salah satu kebijakan yang mulai diterapkan pada tahun tersebut adalah penanggulangan kejahatan melalui tindakan yang lebih represif dan militaristik.

Dari kebijakan kontroversial dan pemerintahan orba yang selalu mengedepankan cara-cara militer itulah, kemudian muncul fenomena penembakan misterius, yang kemudian dikenal dengan nama Petrus. Andreas Harsono dalam bukunya yang sama, yang berjudul Petrus, penembak misterius menggambarkan bagaimana penembakan ini terjadi secara mendadak di berbagai kota besar, menargetkan orang-orang yang dianggap terlibat dalam kejahatan. Dalam catatan Tempo edisi tertanggal 6 Agustus di tahun 1983, menuliskan bahwa, kejadian-kejadian seperti penembakan misterius menyebar secara merata di beberapa daerah, namun tindakan yang tujuannya membasmi kejahatan ini tidak benar-benar hanya membasmi kejahatan, tetapi juga menciptakan rasa takut, teror, dan ketidakpastian di kalangan masyarakat. Selain itu, yang membingungkan masyarakat adalah tidak ada yang tahu siapa pelaku dibalik penembakan ini.

Fenomena penembakan misterius atau yang lebih dikenal dengan nama Petrus mulai mencuat pada tahun 1982 ketika serangkaian penembakan terhadap orang-orang yang dianggap sebagai pelaku kejahatan atau kriminal terjadi di berbagai kota besar di Indonesia. Untuk tambahan informasi, Petrus sendiri sebenarnya merupakan istilah yang diciptakan oleh masyarakat dan media masa. Sementara dalam operasi resmi, ABRI, Kepolisian dan Pemerintahan Order Baru menyebutnya sebagai Operasi Selurit, yang dikemas dengan nama Operasi Pemberantasan Kejahatan atau OPK. Jadi, bagaimana fenomena Petrus itu bisa ada?

Itu bisa kita lacak mulai dari hari pidato kenegaran yang terjadi pada tanggal 16 Agustus di tahun 1982. Di pidato kenagaran ini, Soeharto, selaku bekas presiden otoriter Indonesia saat itu, memerintahkan kepada Laksamana Sudomo dan jajaran abri untuk memberantas preman dan kelompok sejenis agar diberantas hingga akar-akarnya. Dan sehari setelah pidato Soeharto yang memerintahkan untuk menindas para preman, di malam tanggal 17 Agustus di tahun 1982 itu, jajaran abri beserta kepolisian mulai membahas untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum, termasuk langkah-langkah penanganannya. Dan beberapa bulan kemudian, Tepatnya pada tanggal 19 Januari di tahun 1983, rapat koordinasi berlangsung di Markas Kodam Jaya dan dipimpin langsung oleh Laksamana Sudomo yang saat itu menjabat sebagai Pangkop Kamtip. Rapat ini juga dihadiri oleh Norman Sasono selalu Pangdem Jaya. Anton Sujarwo selalu Kapolri, Sujoko selalu Kapolda Metro Jaya, dan Abdelkhairman selalu Wakil Gubernur Jakarta saat itu.

Nur Muhammad Wahyu Kencoro dalam bukunya yang berjudul 69 Kasus Hukum Mengguncang Indonesia menuliskan bahwa rapat yang membahas keamanan ibu kota itu untuk memutuskan untuk melaksanakan operasi menumpas kejahatan bersandi, operasi celurit, di Jakarta dan sekitarnya. Operasi yang juga dikenal dengan nama Operasi Pemberantasan Kejahatan atau OPK ini, kemudian diikuti oleh Polri maupun Abri yang ada di kota-kota lain seperti Yogyakarta, Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang hingga Samarinda. Sudomo dalam pernyatanya yang dimuat di Koran Sinar Harapan tertanggal 27 Juli di tahun 1983 menyatakan bahwa operasi ini tidak hanya ditujukan untuk menindak pelaku kejahatan, melainkan juga untuk menginventarisasi nama-nama pelakunya.

Yogyakarta dan wilayah Jawa Tengah disebut-sebut sebagai daerah pertama yang melakukan operasi terhadap para preman dan bandit beserta gengnya sebelum operasi celurit, diberlakukan pada bulan Februari di tahun 1983. Hal ini pun diakui langsung oleh M. Hasbi, yang pada saat itu menjabat sebagai Komandan Kodim 0734 sebagai operasi pembersihan para preman. Namun istilah penembakan misterius, agaknya kurang tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi di Jawa Tengah.

di Yogyakarta dan sekitarnya pada saat itu. Sebab menurut Nur Ismanto, ex-anggota Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta pada saat itu menyebutkan bahwa di Yogyakarta tidak ada yang penembakan yang dilakukan secara misterius, penembakannya dilakukan secara terbuka, dan banyak clipping berita soal itu. Dan apa yang dikatakan Nur Ismanto memang benar adanya, sebab wartawan BBC Indonesia yang berada di Yogyakarta, yang bernama Furkon Uliah Himawan, dalam salah satu riset beritanya ia menemukan, bahwa sejumlah media masa saat itu memang terbuka memberitakan peristiwa Petrus tersebut. tersebut. Dan di Jogja Library Center Furkon Uliah Himawan menemukan media masa seperti Koran Kompas, Kedaulatan Rakyat, Berita Nasional serta Majalah Tempo memang benar-benar meliput operasi pemberantasan kejahatan atau operasi Petrus itu dan sekaligus menguatkan bahwa operasi itu memang resmi dan terbuka.

Bahkan, aksi menghabisi gali-gali atau preman di wilayah Jogja, menurut Nur Ismanto dalam salah satu wawancaranya dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnasam pada tahun 2003, menyatakan bahwa operasi itu dilakukan secara terbuka. Dalam obrolan operasi pemberantasan kejahatan yang digelar oleh Garnisum Kodim 0734 Yogyakarta. Tentang operasi pemberantasan kejahatan atau operasi celurit ini, Harian Kompas tertanggal 17 Februari di tahun 1983 memberitakan bahwa operasi celurit telah dilaksanakan sejak tanggal 21 Januari di tahun 1983. Dan sejak saat itu, mayat-mayat misterius mulai ditemukan masyarakat di sejumlah tempat seperti jalan raya, sungai, pasar, atau lahan permukiman.

Nyaris setiap hari ditemukan mayat tidak dikenal yang tergeletak di jalanan. Mereka dicap sebagai GALI, akronim dari Gabungan Anak Liar. yang mengistalakan orang-orang bertato yang melakukan kejahatan. Ketika korban ditemukan, ciri-ciri umumnya dalam kondisi luka di kepala dan leher dengan tangan terikat. Mereka juga biasanya memiliki tato di tubuh yang umumnya ditempu aparat saat melakukan razia resmi untuk menjaring pelaku kejahatan.

Dalam buku Petrus, Penembak Misterius, Andreas Harsono menyebutkan, penembakan ini biasanya menargetkan para kriminal termasuk preman dan pengedar narkoba yang sering terlibat dalam kejahatan jalanan atau tindakan kekerasan lainnya. Namun yang mengejutkan adalah banyaknya korban yang terjadi. yang tidak jelas keterlibatannya dalam dunia kriminal. Yang mengarah pada spekulasi, bahwa penembakan ini merupakan bagian dari kebijakan negara, untuk menanggulangi musuh-musuh pemerintah yang tidak jelas bentuknya.

Dalam Indonesia, The Rise of Capital, Richard Robinson menyatakan bahwa meskipun ada klaim bahwa penembakan ini adalah, bagian dari operasi penegakan hukum, banyak kalangan yang meragukan keterlibatan pihak berwenang. Penembakan-penembakan ini seringkali dilakukan tanpa proses hukum yang jelas, sehingga memunculkan kecurigaan bahwa aparat keamanan, termasuk kepolisian dan militer terlibat. dalam operasi ini.

Banyak saksi mata yang melaporkan bahwa korban-korban Petrus ditembak di tempat tanpa peningatan dan tanpa adanya pemeriksaan hukum yang sah. Banyak saksi mata juga mengungkapkan bahwa penembakan seringkali dilakukan dengan cara yang sangat sistematis dan terkoordinasi dengan korban ditembak di tempat umum atau di jalan-jalan yang ramai. Hal ini semakin memperkuat spekulasi bahwa penembakan ini tidak dilakukan oleh individu atau kelompok biasa, melainkan oleh pihak yang memiliki akses terhadap senjata api dan itu pasti adalah aparat negara.

Di tengah berlangsungnya penembakan-penembakan ini, reaksi masyarakat Indonesia cukup beragam. Sebagian besar masyarakat, terutama mereka yang tinggal di kota-kota besar, merasa takut dan cemas akan keselamatan diri mereka. Sebab dengan cepat fenomena Petrus ini menciptakan atmosfer ketakutan yang luar biasa di kalangan masyarakat. Masyarakat merasa bahwa mereka hidup dalam ketidakpastian, karena siapa saja bisa menjadi korban tanpa sebab yang jelas. Namun di sisi lain, sebagian orang melihat fenomena Petrus sebagai upaya untuk memberisikan kota dari kejahatan yang semakin merajalela.

Edward Aspinal dalam bukunya yang berjudul Opposing Suharto, Compromise, Resistance, dan Regime Change in Indonesia mencatat bahwa sebagian segmen masyarakat menyebut positif tindakan keras pemerintah. Karena mereka mengangkat bobat dengan adanya Petrus, tingkat kejahatan terutama di kota-kota besar mulai menurun. Mereka beranggapan bahwa penembakan ini adalah cara efektif untuk memberantas kesejahteraan yang sulit dikendalikan dengan pendekatan hukum biasa. Bahkan mereka yang mendukung adanya Petrus ini bahkan bersedia menjadi relawan sebagai eksekutor atau tugas lainnya untuk membasmi para preman yang ditargetkan. Di kalangan yang menyebut baik adanya Petrus ini, ada anggapan lebih baik mengorbankan yang sedikit daripada harus mengorbankan lebih banyak.

Namun di luar adanya pro dan kontra yang terjadi di masyarakat selama periode Petrus, media massa memainkan peran penting dalam membentuk persepsi publik terhadap fenomena ini. Tetapi karena media massa juga dibatasi oleh pemerintah yang sangat mengontrol narasi-narasi yang beredar di masyarakat, maka tidak ada laporan resmi yang menyebutkan keterlibatan aparat keamanan dalam penembakan-penembakan ini. Dan banyak media yang hanya melaporkan fenomena Petrus, sebagai tindakan penanggulangan kejahatan biasa.

Namun di sisi lain, sebagian media asing melaporkan fenomen ini dengan lebih kritis, menyeroti pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di belakang operasi-operasi ini. Dalam buku, 30 Tahun Orde Baru Membangun, Soeharto sendiri menyebutkan bahwa penanggulangan kejahatan adalah bagian dari upaya untuk menjaga kestabilan negara yang dianggap sangat penting untuk kelangsungan pembangunan ekonomi. Bahkan dalam buku autobiografinya yang berjudul Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Soeharto mengaku bahwa dengan adanya MyTorch, mayat-mayat yang ditinggalkan begitu saja.

Itu adalah bentuk shock terapi. Dan dalam memoirnya itu, Suharto dengan jelas bahwa hal itu dilakukan supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan ini dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampui batas kemanusiaan. Namun, ketidak transparanan dalam pelaksanaan Petrus menyebabkan banyak pihak meragukan klaim pemerintah dan menganggap bahwa penembakan ini lebih dari sekedar operasi kriminalitas biasa.

Bahkan dalam bukunya Petrus Penembak Misterius, Harsono menulis bahwa ... ada dugaan kuat bahwa banyak individu yang ditembak mati bukan hanya mereka yang terlibat dalam kejahatan, tetapi juga orang-orang yang dianggap mengancam stabilitas pemerintah. Bersama dengan itu, para penentang Petrus, seperti Ketua MUI saat itu Yanni Ezet Mutakin dan Uskup Agung Jakarta saat itu Yanni Dr. Leo Sukojo, menentang dengan tegas adanya Petrus sebab di sana ada pembunuhan tanpa pengadilan.

Sebab kedua pemimpin agama ini beranggapan bahwa penjahat sekalipun harusnya diberi kesempatan untuk menyesali perbuatannya dan bertobat. Selain kedua tokoh agama tersebut, Adnan Buyung Nasutir yang saat itu menjabat Ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dalam tempo edisi bulan Mei di tahun 1983. mengatakan bahwa operasi penembakan di tempat merupakan tindakan main hakim sendiri dan pengambat usaha meningkatkan kesadaran hukum masyarakat seperti dicanangkan dalam garis besar haluan negara. Adnan Buyung Nasution juga mengatakan meski masyarakat menyambut positif operasi pemberantasan Gali karena hasilnya yang konkret, cepat, dan langsung namun dalam negara hukum operasi semacam itu sama sekali tidak dibenarkan. Adnan Buyung Nasution menyatakan bahwa penjahat pun berhak mendapatkan keadilan.

Selain dari tiga tokoh itu, mantan wakil presiden Adam Malik yang juga menentang adanya operasi Petrus terus juga menyatakan dalam rubrik tempo yang berjudul, Ada dor, ada ya, ada tidak. Yang terbit pada edisi tertanggal 6 Agustus di tahun 1983, bahwa harus ada pengadilan, bahkan itu pengadilan singkat terhadap para preman. Dalam rubrik tersebut, ada Malik menyatakan, jangan mentang-mentang penjahat kerah dekil langsung ditembak. Bila perlu tangkap pagi, sidangkan siang hari, langsung besoknya dieksekusi mati.

Ini berarti, matiannya karena putusan pengadilan, dan berarti kita berjalan di atas landasan hukum. Penembakan Petrus berlangsung hingga pertengahan tahun 1985 ketika tekanan dari masyarakat internasional dan kelompok-kelompok hak asasi manusia mulai meningkat. Menurut laporan dari Amnesty International yang dipublikasikan dalam Human Rights in Southeast Asia yang terbit pada tahun 1987 melaporkan bahwa fenomena Petrus mendapatkan sorotan internasional terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di dalamnya.

Meskipun pemerintah Indonesia tidak pernah mengakui secara resmi bahwa mereka terlibat dalam penembakan ini. Banyak kalangan yang percaya bahwa Petrus adalah bagian dari kebijakan represif yang lebih besar yang dijalankan oleh pemerintah Orde Baru. Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang diantaranya tewas akibat luka tembakan. Pada tahun 1984 ada 107 orang tewas, diantaranya 15 orang tewas ditembak.

Lalu pada tahun 1985 tercatat ada 74 orang tewas, 28 diantaranya tewas ditembak. Herbert Crouch dalam bukunya yang sama yang berjudul Petrus. Politika Reform in Indonesia after Soeharto menulis bahwa meskipun fenomena Petrus berakhir pada tahun 1985, dampaknya masih terasa dalam jangka panjang, terutama terkait dengan pengaruhnya terhadap reputasi pemerintah Indonesia di mata dunia internasional. Selain itu, ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat keamanan semakin dalam karena mereka melihat penembakan ini sebagai bukti dari kebijakan yang menindas dan tidak transparan. Berdasarkan berbagai laporan dari saksi mata, banyak yang menduga bahwa penembakan-penembakan yang terjadi selama periode Petrus dilaksanakan oleh aparat negara baik dari kepolisian maupun militer.

Dalam buku Petrus Penembak Misterius, Andreas Harsono menjelaskan bahwa modus operandi dari penembakan ini sangat mirip dengan operasi yang biasanya dilakukan oleh pasukan keamanan. Korban-korban Petrus seringkali ditembak tanpa peringatan dan langsung mati di tempat. Seperti halnya operasi militer atau penindakan oleh polisi terhadap kelompok yang dianggap berbahaya. Beberapa saksi mata juga melaporkan bahwa mereka melihat kendaraan yang digunakan oleh pelaku penembakan mirip dengan kendaraan yang biasa digunakan oleh aparat negara. Teori ini juga didukung oleh laporan yang muncul pada waktu itu yang menyebutkan bahwa aparat kepolisian dan militer memiliki akses langsung untuk melaksanakan operasi semacam ini tanpa perlu pengadilan.

atau prosedur hukum yang formal. Dalam buku Indonesia, The Rise of Capital, Richard Robinson mencatat bahwa di bawah pemerintahan Soeharto, aparat keamanan seringkali diberi kewenangan yang sangat besar untuk menanggulangi ancaman terhadap kestabilan negara. Penembakan Petrus bisa dilihat sebagai bagian dari pendekatan yang lebih luas yang diterapkan oleh pemerintah untuk menjaga kontrol atas situasi sosial yang tidak stabil.

Beberapa teori berpendapat bahwa penembakan ini bukanlah aksi individu yang dilakukan oleh oknum aparat. tetapi merupakan bagian dari operasi terorganisir yang dilakukan oleh aparat keamanan dengan tujuan tertentu sebab pada masa pemerintahan Soeharto, negara seringkali menggunakan kekuatan aparat keamanan secara terorganisir untuk menanggulangi ancaman terhadap stabilitas negara terutama dalam situasi yang dianggap kritis seperti meningkatnya angka kejahatan atau ketidakpuasan sosial beberapa peneliti juga berpendapat bahwa Petrus merupakan bagian dari kebijakan untuk membersihkan kota-kota besar dari elemen-elemen yang dianggap merusak ketertiban, terutama kelompok-kelompok yang terlibat dalam dunia kriminal dan premanisme. Justina Devi Ardiani dalam penelitian yang berjudul Potret Relasi Gali Militer di Indonesia, ingatan masyarakat Yogyakarta tentang Petrus 1983, mengaku bahwa saat dalam melakukan risetnya, dirinya pernah mewawancari salah seorang aparat kepolisian yang pada tahun 1983 terlibat dalam pelaksana operasi pemberantasan kejahatan atau yang dikenal Petrus.

Dalam wawancaranya itu, Justina mendapat pengakuan dari seorang aparat bahwa dalam operasi gabungan itu, yang melakukan eksekusi tembak adalah tentara dan menjadi tugas aparat kepolisian untuk mengambil bangkai korban penembakan. Teori lain yang saat itu berkembang adalah dugaan bahwa intelijen negara mungkin terlibat dalam penembakan Petrus. Beberapa ahli berpendapat bahwa Petrus bukan hanya merupakan operasi militer atau polisi, melainkan juga bagian dari strategi intelijen untuk mengurangi potensi ancaman terhadap stabilitas politik.

Aparat intelijen Indonesia pada masa itu memang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan keamanan negara. Meskipun banyak pihak yang menganggap intelijen hanya bertugas mengumpulkan informasi, ada juga teori yang mengatakan bahwa mereka bisa terlibat langsung dalam operasi-operasi semacam Petrus yang bertujuan untuk menjaga agar situasi politik tetap terkendali. Teori ini semakin diperkuat oleh berbagai laporan yang menyebutkan bahwa selama periode Petrus terjadi penghilangan paksa terhadap individu-individu yang dicurigai mengancam ketertiban sosial dan politik.

Dalam laporan yang diterbitkan oleh Amnesi Internasional pada tahun 1987, di sana disebutkan bahwa Petrus adalah pelanggaran hak asasi manusia yang besar dan tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa para korban mendapatkan proses hukum yang adil sebelum mereka di... eksekusi. Salah satu alasan yang diajukan untuk mendukung teori keterlibatan aparat keamanan dalam Petrus adalah upaya untuk mengatasi kejahatan yang semakin merajalela, terutama di kota-kota besar di Indonesia.

Meskipun banyak teori yang mengarah pada keterlibatan aparat keamanan dalam Petrus, pemerintah Orde Baru pada waktu itu tetap membantah segala keterlibatan mereka. Dalam buku memoirnya berjudul Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Soeharto menyatakan bahwa pemerintah Indonesia selalu berusaha untuk menjaga ketertiban dan... menanggulangi kejahatan dengan cara yang sah.

Namun karena adanya ancaman serius terhadap stabilitas negara, kadang-kadang perlu ada tindakan yang lebih tegas. Pemerintah berargumen bahwa penembakan yang terjadi adalah bagian dari upaya untuk membersihkan masyarakat dari elemen-elemen yang merusak tatanan sosial, meskipun dengan cara-cara yang tidak transparan dan bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan. Namun meskipun pemerintah tetap bertahan dengan narasi tersebut, banyak kalangan, baik dalam negeri maupun internasional, meyakini bahwa fenomena Petrus merupakan bagian dari kebijakan pemerintah untuk memperkuat kendali politik dengan cara yang sangat represif. Beberapa pengamat bahkan berpendapat bahwa penembakan ini bukan hanya untuk memberantas kejahatan, tetapi juga sebagai cara untuk mengendalikan musuh-musuh politik yang mungkin menyusup ke dalam dunia kriminal. Penembakan misterius ini entah dalam pembenaran apapun tetap saja menciptakan dampak yang luar biasa baik dari sisi sosial maupun politik.

Salah satu dampak terbesar dari fenomena Petrus adalah rusaknya kepercayaan masyarakat terhadap aparat negara khususnya kepolisian dan militer. Banyak warga yang sebelumnya menghormati aparat negara merasa terkejut dan takut karena tindakan aparat yang dianggap sewenang-wenang. Penembakan petrus Penembakan yang terjadi tanpa proses hukum yang jelas Membuat banyak orang merasa Bahwa mereka bisa saja menjadi korban tanpa sebab yang jelas Rasa ketidakamanan ini semakin diperburuk Dengan minimnya transparansi dari pemerintah mengenai siapa Yang bertanggung jawab atas penembakan tersebut Fenomena Petrus juga memicu reaksi keras Dari organisasi-organisasi hak asasi manusia Baik di dalam negeri maupun internasional Dalam laporan yang diterbitkan oleh Amnesty International pada tahun 1987 Disebutkan bahwa operasi Petrus adalah pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia di mana para korban dieksekusi tanpa pengadilan yang adil.

Meskipun penembakan ini ditunjukkan untuk menanggulangi kejahatan, prosedur yang dilanggar dalam penanganannya menyebabkan kerusakan besar terhadap integritas sistem hukum Indonesia. Organisasi-organisasi internasional menekan pemerintah Indonesia untuk memberikan penjelasan dan bertanggung jawaban atas operasi ini, namun respon dari pemerintah sangat terbatas dan tidak transparan. Sebagai reaksi terhadap kritik internasional, pemerintah Indonesia pada masa itu berusaha menutup-nutupi informasi tentang PNR. dan menganggapnya sebagai bagian dari kebijakan dalam menjaga stabilitas negara. Namun, dalam buku Indonesia, The Rise of Capital, Richard Robinson menulis bahwa meskipun pemerintah Indonesia tetap dia mengenai keterlibatannya, publikasi internasional yang mengkritik kebijakan ini semakin memperburuk citra pemerintah order baru di mata dunia.

Isu hak asasi manusia menjadi semakin penting dalam konteks politik global dan Indonesia semakin terisolasi di arena internasional terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama periode Petrus. Salah satu dampak sosial dari Petrus yang lain juga adalah semakin menguatnya gerakan-gerakan oposisi di dalam negeri. Meskipun pemerintah Orde Baru menganggap Petrus sebagai cara untuk menekan kejahatan, namun ternyata operasi tersebut malah memperburuk citra pemerintah di kalangan mahasiswa, intelektual, dan kelompok-kelompok oposisi.

Penyedasan yang terjadi dalam bentuk penembakan misterius ini memicu kemarahan dan ketidakpuasan di kalangan generasi muda yang semakin kritis terhadap rezim Soeharto. Gerakan mahasiswa yang semakin vokal pada masa itu semakin menentang. ...tentang kebijakan pemerintah yang represif. Meskipun mahasiswa seringkali menjadi sasaran penangkapan dan persekusi...

...mereka tetap melanjutkan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah... ...yang dianggap otoriter dan tidak adil. Dalam buku Politika Reform in Indonesia after Suharto...

...Herbert Croce bahkan menyebutkan bahwa... ...aksi protes mahasiswa dan kelompok oposisi... ...menjadi semakin terorganisir pasca peristiwa Petrus... ...dengan fokus utama pada reformasi politik... ...dan pembebasan hak asasi manusia.

Intro Fenomena Petrus sendiri berakhir pada pertengahan 1985 ketika gelombang penembakan yang dilakukan oleh aparat negara secara massal mulai meredah. Pemerintah Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto tampaknya menyadari bahwa penembakan tanpa proses hukum yang sah. semakin mendapat perhatian negatif, baik dari dalam negeri maupun internasional. Beberapa faktor yang menyebabkan berakhirnya Petrus, antara lain adalah tekanan publik yang semakin kuat, baik dari organisasi hak asasi manusia maupun media, yang mulai membongkar praktek-praktek kekerasan ini.

Pada tahun 1985, penembakan-penembakan yang dilakukan oleh Petrus ...aparat keamanan mulai berkurang secara signifikan. Dalam buku Petrus, Penembak Misterius, Andreas Harsono menyebutkan bahwa pemerintah Orde Baru mungkin mulai khawatir dengan dampak jangka panjang dari tindakan tersebut, termasuk isolasi diplomatik dan kecaman dari negara... negara barat terkait pelanggaran HAM.

Di samping itu, masalah ekonomi yang semakin memburuk pada pertengahan 1980-an yang diperparah oleh krisis utang luar negeri mengalihkan fokus pemerintah dari penanganan kriminalitas dengan cara kekerasan menjadi masalah-masalah yang yang lebih mendesak terkait dengan perekonomian dan stabilitas sosial. Dengan berakhirnya fenomena Petrus, Indonesia memasuki periode yang penuh ketidakpastian di mana pemerintah mencoba untuk mengatasi dampak dari kebijakan-kebijakan represif yang pernah diterapkan. Namun, meskipun penembakan masal ini berakhir, dampak dan warisan dari Petrus terus berlanjut baik dalam kesadaran sosial maupun dalam sistem hukum Indonesia.

Salah satu warisan terbesar dari Petrus adalah pelanggaran hak asasi manusia yang tidak pernah mendapatkan keadilan yang pantas. Sebagai bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan yang dilakukan oleh aparat negara, banyak dari korban Petrus yang dieksekusi tanpa pengadilan, tanpa kesempatan untuk membela diri, dan tanpa adanya proses hukum yang jelas. Banyaknya korban yang tidak dikenal identitasnya, serta sulitnya mendapatkan informasi yang jelas tentang siapa yang bertanggung jawab, menunjukkan bahwa negara gagal memberikan perlindungan terhadap hak hidup warga negaranya.

Hal ini menceritakan ketidakpercayaan yang mendalam terhadap institusi hukum di Indonesia, sebuah warisan sosial yang masih sulit dihadapi. bahkan kembali menjadi-jadi di masa sekarang. Selain itu warisan sosial lainnya adalah trauma kolektif yang dialami oleh keluarga korban dan masyarakat luas. Dalam banyak kasus, keluarga korban Petrus harus menanggung rasa kehilangan dan ketidakpastian yang panjang, tidak sedikit dari mereka yang tidak tahu mengapa anggota keluarga mereka dibunuh atau siapa yang bertanggung jawab. Rasa ketakutan dan ketidakpercayaan terhadap aparat negara berlanjut dari generasi ke generasi, menggerogoti hubungan antara negara dan rakyat.

merasa bahwa mereka hidup dalam bayang-bayang ketidakadilan yang tidak kunjung terungkap. Bahkan ada beberapa keluarga korban Petrus merasa malu dan enggan untuk diumumkan ke publik. Karena semua itu soal aib dan beban trauma masa lalu. Setelah berakhirnya fenomena Petrus, meskipun ada beberapa upaya untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia terkait, proses pencarian keadilan dan rekonsiliasi masih berjalan lambat. Atas fakta dan realita tersebut, Komnas HAM kemudian memutuskan melakukan penyelidikan kasus ini mulai dari tahun 2008 sampai tahun 2012. Dalam penyelidikannya ini, Komnas HAM melakukan beberapa cara, antara lain mewawancarai penyintas dan keluarganya, serta mendatangi lokasi pembunuhan.

Dan dalam temuan dari hasil penyelidikan itu, Komnas HAM menguatkan bahwa dalam operasi pemberantasan kejahatan atau PETRUS, terdapat adanya pelanggaran HAM berat. Setelah menyimpulkan adanya pelanggaran HAM berat, Komnas HAM lantas menyampaikan temuannya kepada Kejaksaan Agung untuk menindak lejutinya. Namun, ini tidak pernah direalisasikan dengan berbagai alasan. Baru-baru ini, beberapa organisasi HAM, hak asasi manusia seperti komisi untuk orang hilang dan korban tindak kekerasan atau kontras terus berjuang untuk mendapatkan pengakuan bagi para korban Petrus dan mendesak pemerintah Indonesia untuk membuka kembali kasus ini dengan serius Pada tahun 2020, Kontras kembali mengangkat isu Petrus dan meminta agar negara membuka arsip terkait peristiwa tersebut yang selama bertahun-tahun disembunyikan. Dalam laporan yang dirilis pada tahun 2020, Kontras menyatakan bahwa meskipun banyak waktu telah berlalu, para korban dan keluarga mereka berhak mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas pembunuhan yang terjadi.

Laporan tersebut menyebutkan bahwa meskipun Petrus terjadi pada era Orde Baru, korban-korban yang tewas harus mendapatkan pengakuan dan keadilan. Apalagi banyak. Banyak dari mereka yang tewas tanpa proses hukum yang jelas.

Upaya penuntasan kasus ini sangat penting untuk pemulihan kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum di Indonesia pada awal tahun 2021. Sebuah terobosan baru terjadi ketika Kejaksaan Agung Republik Indonesia mengumumkan niatnya untuk membuka kembali kasus Petrus dan melakukan penyelidikan lebih lanjut. Kenyataan ini disampaikan oleh Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin, yang menegaskan bahwa Kejaksaan akan mengevaluasi bukti-bukti yang ada dan memeriksa kembali saksi-saksi yang relevan terkait dengan operasi Petrus. Penyelidikan yang dimulai kembali ini tidak terlepas dari upaya pemerintah Indonesia untuk menanggapi tekanan internasional mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada era Orde Baru.

Pembahasan Masa di tahun 2022, upaya hukum semakin konkret ketika pengadilan mulai memproses beberapa individu yang diduga terlibat dalam Petrus. Beberapa tokoh penting di lingkungan militer dan kepolisian yang diduga terlibat dalam perencanaan atau pelaksanaan operasi Petrus mulai dipanggil untuk diperiksa oleh Komnas HAM. Dalam sidang yang digelar pada awal tahun 2023, beberapa saksi yang selamat dari aksi Petrus memberikan kesaksian mengenai pelaksanaan penembakan yang mereka saksikan dan bagaimana operasi tersebut dilakukan oleh aparat negara tanpa proses hukum yang sah.

Namun meskipun sejumlah oknum aparat negara mulai diperiksa, sulit untuk menemukan bukti yang cukup untuk membawa makhluk. ...pengadilan. Banyak saksi yang takut memberikan kesaksian penuh, pengancaman terhadap keselamatan diri mereka dan keluarga mereka.

Sebuah kondisi yang masih dirasakan oleh sebagian masyarakat yang terlibat dalam kasus Petrus. Ketua Tim Ad-Hoc Penyelidikan Pelanggaran Ham Yanni Yosef Adi Prasetya Presetio memperkirakan jumlah korban Petrus mencapai 10.000 orang. Namun berbeda dengan apa yang disampaikan tim Ad-Hoc, menurut Komnasam jumlah korban hanya mencapai 2.000 orang lebih. Para korban Petrus biasanya memiliki ciri-ciri yang hampir sama, jadi memiliki 3 luka.

tembak di tubuh. Beberapa korban terdapat buka cekik dan biasanya pelaku meninggalkan uang 10 ribu rupiah untuk biaya penguburan kala itu. Meski penyelidikan dan persidangan terhadap pelaku Petrus terus berlanjut, banyak tantangan besar yang dihadapi dalam upaya ini. Salah satu tantangan terbesar adalah minimnya bukti yang ada untuk mengaitkan pelaku penembakan dengan aparat keamanan secara langsung.

Sebagian besar bukti yang ada, termasuk keterangan saksi, masih bersifat tidak langsung dan seringkali sulit untuk diverifikasi. Selain itu, faktor keterlibatan aparat ...parat militer dan intelijen yang terorganisir selama masa Orde Baru... ...menambah kompleksitas proses hukum ini. Dalam konteks ini, walaupun upaya untuk mengungkapkan kebenaran dilakukan... ...hambatan struktural seperti ketakutan akan balas dendam...

...atau bahkan kekhawatiran terhadap stabilitas politik Indonesia... ...menjadi faktor yang sulit dihindari. Namun, meski proses hukum berjalan lambat...

...upaya ini tetap penting dalam memberikan keadilan... ...bagi para korban Petrus dan keluarga mereka. Sebab transparansi dan keadilan dalam mengungkap kebenaran... ...adalah bagian dari proses demokratis... yang sedang berlangsung di Indonesia.

Masyarakat Indonesia saat ini lebih sadar akan pentingnya penghormatan terhadap hak asasi manusia dan semakin banyak individu yang merasa penting untuk memperjuangkan keadilan. Meskipun setelah sekian lama kejadian itu berlalu, proses hukum ini juga memiliki dampak penting dalam meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya sistem hukum yang adil dan transparan. Upaya ini memberi harapan bahwa tidak ada lagi tempat bagi impunitas dalam sistem hukum Indonesia dan bahwa setiap pelanggaran hak asasi manusia, meskipun terjadi bertanggung jawab, Tahun-tahun lalu harus diusut hingga tuntas. KEMBALI KE KOMITEN